Heritage Intelligence

Mendengar intelijen ingatan langsung tertuju kepada James Bond 007, CIA, KGB, dan Mossad. Institusi intelijen Negara yang bekerja dalam ketertutupan dan menyeramkan seperti kisah Victor Ostrovsky atau novel Body of Lies karya David Ignatius. Intelijen Benda Cagar Budaya (Heritage Intelligence) bukan merupakan pengenjawantahan dari Lembaga Intelijen Negara, melainkan pekerjaan penelitian dan pendokumentasian tentang keberadaan benda cagar budaya yang ada di Indonesia. Banyaknya peninggalan kekayaan artefak sejarah yang telah lenyap atau musnah, sehingga menciptakan kerugian besar hampir disetiap sektor baik dari Ilmu pengetahuan, sosial-budaya, ekonomi dan pertahanan keamanan Negara.
Ketidak berdayaan pembuktian kekayaan dan kerugian Negara tentang peninggalan sejarah, yang telah hilang maupun masih ada merupakan 'titik lemah' untuk dapat menjelaskan dan mempertanggung jawabkan kepada publik.
Sebagaimana contoh hancurnya bangunan di proklamasi, dimana potret nyata detik-detik bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Pertanyaan kerugian apa saja yang diciptakan dari kehancuran bangunan proklamasi tersebut? Ternyata ketika di 'bedah' anatominya sungguh membuat kepala cekot-cekot, dari sisi Ilmu pengetahuan bukti nyata keberadaan fisik bangunan sudah tidak ada. Di dalam ranah berbeda seperti contoh ketika pulau Sipadan dan Ligitan diakui oleh Mahkamah Internasional di Belanda, fisik bangunan yang terdapat dikedua pulau tersebut adalah milik Malaysia. Pada akhirnya secara de jure maupun de fakto pulau Sipadan dan Ligitan milik sah Malaysia.
Terperanjat bahwa eksistensi fisik bangunan bukan persoalan sederhana, cara pandang melihat fisik bangunan selama ini hanya dilihat dari 'kaca mata kuda' yang melulu diukur dari perspektif estetika dan ekonomis semata. Padahal sebuah bangunan diciptakan melampaui tapal batas estetika dan ekonomi, sebagaimana masyarakat Jawa membangun rumah Panggang pe Ceregancet mirip dengan jasad hidup yang tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan kehidupan penghuninya.

Database Benda Cagar Budaya

Film petualangan Indiana Jones, National Treasure, dan Da Vinci Code, membuat adrenalin penonton terpacu. Kecerdasan mengumpulkan serpihan informasi yang tercecer, sehingga teka-teki dapat terpecahkan dan disusun ulang. Sungguh sebuah inspirasi. Tersebar dan terseraknya artefak benda cagar budaya dari berbagai wujud, baik dari sisa-sisa peninggalan kerajaan Nusantara sampai peninggalan kolonial. Sampai saat ini masih dalam 'terawangan' sebagai analogi berjalan dikegelapan tanpa cahaya. Keberadaan UU.No.5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya dan UU.No.26 Tahun 2007 Tentang Tata Ruang masih dalam tahap konsepsional, belum memasuki 'ranah' operasional di dalam pelestarian benda cagar budaya. Inventarisasi pendokumentasiaan sebagai database keberadaan benda cagar budaya dari berbagai ragam bentuk, sampai saat ini masih belum dapat direalisasikan. Padahal database tersebut merupakan 'peta hidup' sebagai alat deteksi dini, perihal kelangsungan pelestarian benda cagar budaya di Indonesia. Karena bila terwujud pendokumentasian tersebut, publik dapat mengetahui dan menjaga pelestarian dari benda cagar budaya yang dilindungi oleh Negara. Fungsi database dapat memberikan suguhan informasi, berapa jumlah benda cagar budaya yang dimiliki seperti Gedung, Benteng, Rumah, Masjid, Gereja, Vihara, Pusaka dan lain sebagainya. Dengan adanya informasi keberadaan artefak sejarah ini, penghancuran dan pencurian dapat maksimal dihindari.
Pendokumentasian mempunyai peran ganda di satu sisi dapat menjadi alat kontrol, disisi lain merupakan alat sosialisasi dari Undang-Undang tentang Benda Cagar Budaya yang murah dan efektif kepada warga Negara.

Benda Cagar Budaya dan Keamanan Nasional

Perjuangan panjang Vasco da Gama (1497-1499) mencapai India melalui Tanjung Harapan telah berhasil gilang gemilang, dari keberhasilan ini maka terbuka lebar pintu masuk pelayaran bangsa Eropa ke Asia. Setelah Tanjung Harapan ditundukkan, kini giliran Melaka dikuasai Portugal (1511).
Di dalam kurun waktu 11 tahun tepatnya pada tahun 1522 ekspedisi Ferdinand Magellan dari Spanyol berhasil mencapai Maluku, selisih waktu 57 tahun (1522-1579) Francis Drake dari Inggris datang menyusul ke kewilayah 'surga rempah-rempah' Maluku. Berawal dari rempah-rempah nafsu serakah untuk menguasai dalam wajah kolonialisme tertancap di bumi Maluku, gesekan kepentingan untuk saling menguasai antara Portugal dan Spanyol di Maluku pada abad XVI tidak dapat terhindarkan. Maka keluar perjanjian Tordesillas (1494) dan menyusul perjanjian Saragossa (1527) antara Spanyol dan Portugal. Hal hasil dari perjanjian tersebut Portugal dapat menguasai Maluku.
Kilasan sejarah tersebut merupakan 'rekam jejak' kolonialisme pertama kali hadir di bumi jamrud khatulistiwa, taktik dan strategi kolonial di dalam melakukan infiltrasi sampai menuju invasi dapat ketahui. Fakta penjajahan dapat ditelusuri melalui artefak seperti Benteng Victoria (1605) yang dibangun Portugal di Maluku, berfungsi sebagai benteng pertahanan. Juga Benteng Oranje (1607) di Ternate yang dibangun oleh Cornelis Matelief de Jonge (Belanda). Benteng ini pernah dijadikan pusat pemerintahan tertinggi Hindia Belanda (Gubernur Jenderal) Pieter Both, Herald Reynst, Laurenz Reaal, dan Jan Pieterszoon Coen.
Dari Benteng pertahanan sampai rute perjalanan alur laut kolonial memasuki Nusantara, sebagaimana diketemukannya beberapa artefak kapal laut kolonial yang karam di dasar laut. Dan legitimasi Mahkamah Internasional tentang batas kedaulatan wilayah Negara Kesatuan republik Indonesia (NKRI), mengacu pada peninggalan tanah jajahan Belanda. Dengan demikian 'patok batas' secara fisik peninggalan Belanda, kedepan menjadi sesuatu yang vital di dalam pembuktian wilayah kedaulatan Negara.
Walaupun bukan konteks benda cagar budaya, tetapi masih dalam 'satu tarikan nafas' peristiwa dikuasainya Pulau Sipadan dan Ligitan oleh Malaysia, karena lemahnya bukti otentik di Mahkamah Internasional. Merupakan pertanda urgensinya fisik bangunan dalam wilayah hukum Internasional. Serta perluasan pembangunan fisik didaratan Singapura melalui 'pasir laut', hampir saja mencaplok kedaulatan Indonesia khususnya pulau Nipa dan pulau lainnya disekitar wilayah propinsi kepulauan Riau. Satu lagi peristiwa penghancuran taman didepan stasiun Beos kota, dimana wilayah itu merupakan 'ring satu' zona benda cagar budaya. Kepentingan bisnis lebih penting daripada keamanan. Pembangunan shelter busway dan terowongan untuk pedestrian mengakibatkan dampak buruk bagi bangunan tua disekitarnya. Tercatat sedikitnya empat bangunan tua yang langsung terkena dampak negative yang diakibatkan dewatering saat pembangunan terowongan tersebut, keseimbangan air tanah disekitar lokasi terganggu. Dan keempat bangunan tua mengalami penurunan pondasi, dan dampak negatif apa yang akan tercipta kedepan? Tidak ada yang dapat mengatahui dan diperlukan kajian mendalam. Sampai saat ini kejelasan tentang barang sitaan Negara dari hasil penangkapan eksplorasi kapal VOC yang karam secara illegal, berapa jumlah dan nilai harta karun tersebut dan disimpan dimana masih dalam misteri.
Saksi bisu benda cagar budaya ternyata faktual dapat 'berbunyi' dan berkata jujur tanpa ada rekayasa maupun kebohongan.

Intelijen Benda Cagar Budaya (Heritage Intelligence)

Cegah tangkal di dalam pelestarian benda cagar budaya sudah waktunya diperkuat, perhitungan secara matematis tentang kekayaan 'adi luhung' bangsa Indonesia belum dapat direalisasikan. Kemampuan IPTEK di dalam kalkulasi sumber daya alam (SDA) kekayaan laut sudah dapat dihandalkan di negri kepulauan ini, padahal dahulu sebelum teori tersebut ada masih merupakan sesuatu yang 'ghaib' diwilayah alam bawah sadar. Sosok manusia dapat terbang Gatot Kaca yang hanya ada dalam cerita pewayangan, tersentak bahwa cerita itu bukan mitos melainkan teknos dengan kemampuan di dalam rekayasa teknologi kapal terbang (Dirgantara Indonesia).
Eksistensi heritage intelligence di dalam melakukan penelitian dan pendokumentasian, serta dapat juga melakukan 'audit' benda cagar budaya, merupakan pemecah dari kebekuan dan kerapuhan mengatasi permasalahan benda cagar budaya. Generasi kedepan perlu diberikan 'menu' visualitas bukan virtualitas. Melalaui intelijen benda cagar budaya sesuatu yang absurd menjadi rasional, investigasi tapak tilas untuk dapat mengumpulkan kembali serpihan sejarah yang tercecer dan hilang. Seperti analogi menjahit pakaian yang sudah usang termakan jaman, memerlukan sentuhan ketekunan penjahit handal. Semoga.***

BAROUSAI, BARUS, ATAU FANSUR: KISAH CEMERLANG DARI BERIBU TAHUN SILAM

BAROUSAI, BARUS, ATAU FANSUR:

KISAH CEMERLANG DARI BERIBU TAHUN SILAM

Kota bandar di tepian pantai barat Sumatra yang berabad lalu menjadi sebuah perkampungan multi-etnis yang penuh guyub, sarat daya tarik bagi para pedagang di hampir seluruh penjuru bumi, juga menjadi pintu masuknya berbagai peradaban dan agama-agama besar di bumi Nusantara itu kini telah sepi.

BARUS saat ini hanya sebuah ibukota Kecamatan, di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatra Utara. Posisinya berada di pinggir pantai barat Sumatera, sekitar 60 km sebelah utara Sibolga, atau sekitar 414 km dari Medan. Tidak ada yang istimewa. Begitu juga dengan Desa Lobutua, sekitar 4 km ke arah barat dari Barus. Juga layaknya sebuah desa, sepi. Meskipun sesekali para peziarah datang silih-berganti, menapaki sejarah sebuah kota banda yang jauh di awal abad masehi pernah begitu cemerlang dan menggemparkan sekujur bumi.

Dan boleh jadi, Barus adalah satu-satunya kota yang tercatat di dalam buku yang terbit di awal masehi, sehingga menempatkannya sebagai kota tertua di bumi Nusantara. Adalah Claudius Ptolomaios[1], seorang geograf Yunani yang dalam bukunya dari abad ke dua Masehi, Geographike Hyphegesis menuliskan nama negeri Barousai di Chryse Chora (Pulau Emas) yang antara lain oleh van der Meulen disimpulkan sebagai Sumatra[2].

Tapi apa gerangan yang menjadikan kota bandar ini begitu mempesona orang Yunani, China, India, dan bahkan juga para Pharao di Mesir kuno?

Jawabnya tak lain adalah kapur barus (bhs Belanda: kamfer, dan mungkin dari kata kapur yang diucapkan kofur oleh bangsa Arab).[3] Konon, kapur barus asal kota barus inilah yang paling banyak dicari karena kualitasnya yang terbaik, paling laku dan harganya kurang lebih 8 kali lebih mahal daripada kapur-kapur barus asal tempat lain[4]. Dalam catatan pelancong Italia, Marco Polo bahkan disebutkan bahwa, harga kapur barus kala itu setara dengan harga emas dengan berat yang sama[5].

Seorang Belanda pernah menulis bahwa kemenyan dari Barus, telah dipakai sebagai salah satu bahan mengawetkan (membalsem) mayat raja-raja di Mesir sebelum Masehi[6]. Jika dugaan ini benar, maka berarti kota bandar Barus ini sudah ada sejak 5.000 tahun SM. Perkiraan akhir itu, didasarkan pada temuan bahan pengawet dari berbagai mummy Fir'aun Mesir Kuno salah satu pengawetnya menggunakan kanper atau kapur Barus. Sejarawan era kemerdekaan Moh. Yamin, bahkan memperkirakan bahwa, perdagangan rempah-rempah dan tentu saja kamfer, sudah dilakukan pedagang Nusantara sejak 6.000 tahun lalu ke berbagai penjuru dunia.

Hasil penelitian Innis Miller terhadap naskah Historia Naturalis karya Plinius di abad pertama juga sudah menunjukkan bahwa, para pedagang Nusantara pun ternyata sudah menjajakan komoditas mereka sampai ke Asia Barat dan Afrika Timur sejak abad permulaan Masehi[7]. Sementara Prof. Kern[8] pernah menulis bahwa Kota “P’o-lu-chi” yang dimaksud I Tsing di abad ke-7, tidak lain dari Barus[9]. Seorang penyair Arab sebelum Islam, Amru al-Qais (meninggal tahun 530 Masehi), sangat memuji keharuman kafur dalam syair-syairnya[10].

Begitu pentingnya kota Barus ini—mungkin bisa disamakan dengan Paris pada abad modern yang terkenal dengan inovasi parfumnya—maka sejak zaman dulu dalam dunia dagang telah dikenal nama-nama Baros, Balus, Pansur, Fansur, Pansuri[11], Kalasaputra[12], Karpura-dwipa, Barusai, Waru-saka dan lain-lain.

Dan tentu, seperti kata pepatah, ada gula ada semut. Pesona kapur barus dari selatan ini menggoda banyak pendatang. Sebagaimana dicatatan Ptolomaios, selain para penjelajah dari Yunani, juga datang pedagang dari Venesia, India, Arab dan Tiongkok. Selain itu, sekelompok penyebar ajaran Kristen Sekte Nestorian dari Konstantinopel, pusat Kerajaan Byzantium Timur, juga menjejakkan kakinya di Barus. Kelompok itu diperkirakan datang sekira tahun 600 M dan mendirikan gereja pertama di Desa Pancuran, Barus.

Dewan Gereja-gereja di Indonesia juga memercayai sejak tahun 645 Masehi di daerah Barus telah masuk umat Kristen dari sekte Nestorian. Keyakinan tersebut didasarkan pada buku kuno tulisan Shaikh Abu Salih al-Armini. Sementara itu, penjelajah dari Armenia Mabousahl mencatat bahwa pada abad ke-12 telah terdapat Gereja Nestorian.

Lalu datanglah para pedagang Arab memasuki Barus sekira 627-643 M atau sekitar tahun 1 Hijriah, dan menyebarkan agama Islam di daerah itu. Di antaranya Wahab bin Qabishah mendarat di Pulau Mursala pada 627 M. Ada juga utusan Khulafaur Rasyidin, bernama Syekh Ismail akan ke Samudera Pasai dan singgah di Barus, sekira tahun 634 M. Dan sejak itu pula, tercatat bangsa Arab (Islam) mendirikan koloni di Barus. Bangsa Arab menamakan Barus dengan sebutan Fansur atau Fansuri, misalnya oleh penulis Sulaiman pada 851 M dalam bukunya "Silsilatus Tawarikh."

Kedatangan bangsa Arab yang kemudian menyebarkan agama Islam itu juga disebutkan dalam berita-berita Cina, Hsin-Tang-shu[13] (Catatan Dinasti Tang, 618-907), dan Chu-fan-chi[14] (Catatan Negeri-negeri Asing) yang ditulis Chau Ju-kua pada tahun 1225. Di dalam dua kronik Cina itu banyak bercerita tentang Ta-shi, istilah Cina untuk menyebut Arab. (Chu-fan-chi menerangkan bahwa Ta-shi mempunyai seorang Buddha (maksudnya Nabi) yang bernama Ma-ha-mat (Muhammad). Dalam sehari mereka lima kali sembahyang, dan setiap tahun berpuasa selama sebulan penuh. Dinasti Ta-shi ada dua macam, yaitu white-robed Ta-shi (Arab berjubah putih) atau Pon-ni-mo-huan (Bani Marwan, atau Bani Umayyah), serta black-robed Ta-shi (Arab berjubah hitam) yang didirikan raja A-po-lo-pa (Abul-Abbas)[15]. Pada tahun 651 Masehi, raja Ta-shi (Arab) bernama Han-mi-mo-mi-ni mengirimkan utusan ke istana Cina[16]. Hampir dapat dipastikan bahwa nama Han-mi-mo-mi-ni dalam ucapan Cina ini adalah untuk Amir al-Mu’minin, gelar resmi para khalifah Islam, dan “raja Ta-shi” yang mengirimkan utusan itu adalah Khalifah `Utsman ibn Affan yang memerintah dari tahun 644 sampai 656. Hsin-Tang-shu mencatat bahwa pada tahun 674 terdapat pemukiman pedagang Ta-shi (Arab) di Po-lu-shih, daerah pantai barat Sumatera.[17]

Tentu, dapat dibayangkan betapa makmurnya kota Barus pada awal abad masehi ini, dengan penduduk yang sebagian besar terdiri atas kaum pedagang. Pertanyaannya kemudian, siapakah yang menggerakkan semua perdagangan hingga jauh ke negeri seberang itu?

Seorang bekas kontrolir Belanda, G.J.J. Deutz, sewaktu bertugas di Barus,[18] menulis bahwa menurut rakyat setempat di Desa Lobutua pernah didapat penduduk sebuah batu bertulis pada dua bagian. Tetapi sayang, batu itu pada tahun 1857 dipecahkan oleh Raja Barus bernama Mara Pangkat. Pada tahun 1872 Deutz banyak menemukan pecahan batu peninggalan zaman Hindu yang telah dilupakan orang, telah berlumut. Dan baru pada tahun 1932, prasasti itu diterjemahkan Profesor Nila-kanti Sastri dari Universitas Madras.[19]

Prasasti itu menyebutkan bahwa paling sedikit sejak abad ke-11, telah bermukim di kota Barus sebuah koloni bangsa Tamil. Menurut batu Lobutua itu, mereka tergabung dalam sebuah perusahaan bernama “kelompok 500″ yang tidak asing lagi bagi orang-orang India waktu itu. Perusahaan swasta yang mereka wakili, merupakan perusahaan dagang cukup kuat, merdeka dalam tindakan dan tidak gampang tunduk pada salah satu raja yang berkuasa di sekitar Barus. Mereka yang berdiam di Barus inilah yang membeli beberapa hasil dari rakyat—utamanya kapur barus—untuk diekspor ke luar negeri.

Menurut Gnillout Claude[20], Barus adalah sebuah kota kuno di pantai barat Propinsi Sumatera Utara yang terkenal di seluruh Asia, sejak lebih dari seribu tahun, berkat hasil hutannya. Selain itu, nama Barus juga muncul dalam sejarah peradaban Melayu dengan Hamzah Fansuri, penyair mistik terkenal yang baru-baru ini ditemukan kembali makamnya di Mekkah. Sementara itu, tim arkeolog dari Ecole Francaise D’extreme-Orient (EFEO) Perancis bekerjasama dengan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua-Barus, menemukan bahwa pada sekitar abad 9-12 Masehi, Barus telah menjadi sebuah perkampungan multi-etnis dari berbagai suku bangsa seperti Arab, Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu, dan sebagainya. Tim tersebut juga menemukan banyak benda-benda berkualitas tinggi yang usianya sudah ratusan dan bahkan ribuan tahun dan ini menandakan dahulu kala kehidupan di Barus itu sangatlah makmur.

Dan semua kemakmuran itu berkat aroma kapur barus yang diolah dari kayu kamfer. Hanya kini, komoditi yang begitu mempesona di masa silam itu, hingga konon juga dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5. 000 tahun sebelum Masehi itu, kini sudah lama tidak lagi diproduksi

Di komplek makam Syekh Machmud yang tertata rapi dan terletak di Bukit Papan Tinggi dan memang betul-betul tinggi sehingga harus melewati 710 anak tangga ini, menggantung sebuah tulisan, “Beri Salam dan Alas Kaki dibuka.” Seakan mengakhiri sebuah kisah perjalanan sebuah kota bandar di tepian pantai barat Sumatra yang berabad lalu menjadi sebuah perkampungan multi-etnis yang penuh guyub, sarat daya tarik bagi para pedagang di hampir seluruh penjuru bumi, juga menjadi pintu masuknya berbagai peradaban dan agama-agama besar di bumi Nusantara itu kini telah sepi.**



[1] Barus telah disebut oleh Ptolomeus kira kira tahun 150 Masehi. (Kozok, 1991, 14)

[2] W. J. van der Meulen, “Suvarnadvipa and the Chryse Chersonesos”, Indonesia, 18, October 1974, h. 1

[3] Encyclopdeia van Nederlandsch Indie

[4] Ada tiga jenis kapur barus pada saat itu yaitu: Kapur barus dari Kalimantan dan Sumatera (Dryobalanops aromatica), Kapur barus dari China dan Jepang (Cinnamomum Camphora) yang banyak beredar dipasaran dan yang ketiga adalah Blumea balsami- fera, yang diproduksi di China dengan nama kapur barus Ngai. Harga dari kapur barus asal Sumatera ini kira-kira 138 kali lebih mahal dari kapur barus China dan Jepang. (Hobson-Jobson, Glossary of Anglo-Indian Words and Phares)

[5]Travel of Marco Polo,” Buku 3 Bab 9 dan Buku 2 Bab 8 by Marco Polo dan Rustichello of Pisa

[6] Sumatra Benzoe, Disertasi P.H. Brans

[7] J. Innis Miller, The Spice Trade of the Roman Empire, Oxford University Press, London, 1969, terutama Bab “The Cinnamon Route”

[8] Verspreide Geschriften No VI, halaman 15

[9] Po-lu-chi atau Po-lu-suo terkadang sering keliru diterjemahkan dalam text China dengan Bo-si atau Persia. Barus ini juga sering disebut sebagai Bon-cu, Bian-shu atau Bin-cuo. (Roderich Ptak, Possible Chinese Reference to the Barus Area (Ming to Tang) in Claude Guillot (ed.) Histoire de Barus, Sumatera: Le Site de Lobu Tua I, Etudes et Documents, Paris, Cahier d’Archipel 30, 1998, pp. 119-138)

[10] Oliver W. Wolters, Early Indonesian Commerce, Cornell University Press, Ithaca, New York, 1967, terutama Bab 8

[11] Dari Desa Pansur sedikit di utara Barus

[12] Dari kata Kalasan, daerah penghasil kapur barus antara Kota Barus dan Sungai Chenendang

[13] Diterjemahkan oleh Paul Pelliot, “Deux Itineraires de Chine en Inde a la Fin du VIIIe Siecle”, BEFEO, 4, 1904, hal. 132-413

[14] Diterjemahkan oleh Friedrich Hirth dan W. W. Rockhill, Chau Ju-kua: His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries, entitled CHU-FAN-CHI, Imperial Academy of Sciences, St.Petersburg, 1911

[15] Lihat: F. Hirth dan W.W.Rockhill, hh. 114-124

[16] Berita ini tercantum dalam kronik Tung-tien buku 193 nomor 22b. Lihat: F.Hirth dan W.W.Rockhill, h. 119

[17] Paul Pelliot, h. 297. Lihat juga W. P. Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources, Bhratara, Jakarta, cetak ulang 1960, h. 14.

[18] Barus, G.J.J. Deutz, Tijdschr No. 22 tahun 1875

[19] A Tamil Merchant-guild in Sumatera oleh Prof. N. Sastri dalam Tijdschr No 72 tahun 1932

[20] “Lobu Tua Sejarah Barus”, Obor, 2002

Senin, 09 Februari 2009

Kawasan Pulau Natuna, ”Quo Vadis”?

Oleh
Dr.-Ing. Imam Pragnyono, MBA

Ada beberapa daerah perbatasan di wilayah negara kita yang letaknya cukup unik, seperti misalnya wilayah Atambua di Kabupaten Belu, Pulau Timor, NTT yang letaknya menjorok masuk ke wilayah Timor Leste, negara baru yang pernah menjadi wilayah NKRI. Ada daerah-daerah perairan di sepanjang Selat Malaka yang berbatasan langsung dengan Malaysia, Singapura, dan Thailand. Salah satu yang juga cukup unik adalah kawasan Natuna yang wilayah perairannya membelah wilayah barat dan wilayah timur negara tetangga kita Malaysia, karena letak kawasan ini yang sangat menjorok ke utara. Hal lain yang menyebabkan wilayah Natuna cukup spesifik adalah letaknya yang cukup jauh dari ibu kota (1.200 km) dan kota-kota besar lainnya, tetapi cukup dekat dengan ibu kota negara-negara lain yaitu (Ho Chi Minh City 800 km, Singapura 600 km, Bandar Seri Begawan 650km).
Wilayah Natuna merupakan kawasan di Indonesia yang sangat potensial dan strategis dalam menunjang pembangunan nasional, dan pulau terbesar yang ada di sana adalah Pulau Natuna (dikenal pula dengan sebutan Pulau Bunguran Besar) yang saat ini termasuk dalam Kabupaten Natuna – Provinsi Kepulauan Riau. Wilayah Pulau Natuna terletak pada posisi 107º55’ BT - 108º 25’ BT dan 3º35’ LU - 4º15’ LU yang berarti terletak secara geografis di tengah-tengah Kawasan Asia Tenggara.
Dengan lokasi di wilayah perbatasan dan potensi SDA yang besar, maka kawasan Pulau Natuna dan sekitarnya telah ditetapkan sesuai PP No. 47 Tahun 1997 tentang RTRW Nasional menjadi salah satu kawasan tertentu yaitu kawasan yang ditetapkan secara nasional mempunyai nilai strategis yang penataan ruangnya diprioritaskan. Kawasan tertentu dapat berada di kawasan lindung, di kawasan budi daya atau kedua kawasan tersebut.
Beberapa kriteria kawasan tertentu yang dapat terpenuhi di kawasan Natuna antara lain karena mempunyai:
Potensi SDA yang besar dan berpengaruh terhadap pengembangan Poleksos-budhankam dan pengembangan wilayah sekitarnya.
Potensi SDA yang besar serta usaha/kegiatannya berdampak besar dan penting terhadap kegiatan sejenis maupun kegiatan lain, baik di wilayah bersangkutan, wilayah sekitar maupun wilayah negara.
Keterkaitan yang saling mempengaruhi dengan kegiatan yang dilaksanakan di wilayah lainnya yang berbatasan baik dalam lingkup nasional maupun regional.
Posisi strategis serta usaha dan atau kegiatannya berdampak besar dan penting terhadap kondisi politis dan pertahanan keamanan nasional serta regional.

Potensi
Selain letaknya yang strategis kawasan Pulau Natuna dan sekitarnya pada hakikatnya dikaruniai serangkaian potensi sumber daya alam yang belum dikelola secara memadai atau ada yang belum sama sekali, yang meliputi:
Sumber daya perikanan laut yang mencapai lebih dari 1 juta ton per tahun dengan total pemanfaatan hanya 36%, yang hanya sekitar 4,3% oleh Kabupaten Natuna.
Pertanian & perkebunan seperti ubi-ubian, kelapa, karet, sawit & cengkeh
Objek wisata: bahari (pantai, pulau selam), gunung, air terjun, gua, dan budaya
Ladang gas D-Alpha yang terletak 225 km di sebelah utara Pulau Natuna (di ZEEI) dengan total cadangan 222 trillion cubic feet (TCT) dan gas hidrokarbon yang bisa didapat sebesar 46 TCT merupakan salah satu sumber terbesar di Asia.

Kondisi
Secara hankam sangat rawan, butuh perhatian khusus (antara lain karena berada di dalam daerah rawan konflik Laut Cina Selatan, pembajakan di laut & perompakan, transit imigran gelap, penyelundupan, pencurian ikan laut).
Luas Pulau Natuna 172.000 ha dihuni oleh sekitar 40 ribu orang dengan tingkat pendidikan rata-rata masih rendah (65% tingkat SD, 0,9% perguruan tinggi)
Perekonomian (sektor pertanian, perkebunan, pertambangan, kehutanan, pertambangan, industri, perikanan & pariwisata) masih sangat tradisional dan kebanyakan berskala Usaha Mikro, Kecil, dan sedikit sekali berskala Menengah.
Prasarana dan sarana (transportasi, listrik, air bersih, telepon) yang masih terbatas.
Kelembagaan (Pemda, BP3-Natuna) dengan kemampuan & jumlah SDM yang masih terbatas begitu pula dengan aspek pembiayaan. Belum ada komitmen yang jelas dari semua yang terlibat.

Pengembangan
Pada awalnya di era BJ Habibie selaku Menristek, telah dilakukan upaya perencanaan & persiapan pengembangan Pulau Natuna sebagai basis pangkalan pengembangan Proyek Gas Natuna yang rencananya akan dilakukan oleh Esso Exploration and Production Natuna, Inc. dengan Pertamina dimulai pada tahun 1995. Sehubungan dengan biaya investasi yang sangat besar dan guna mengantisipasi kondisi pasar gas yang sangat dinamis dan kompetitif, maka telah dilakukan kegiatan perhitungan reduksi biaya investasi dan alternatif penerapan teknologi proses yang lebih efisien oleh pihak Exxon (Esso). Sayangnya hingga saat ini belum juga ada realisasi eksploitasi karena harga jual masih belum bisa memenuhi permintaan harga pasar gas dunia. Sementara itu pada tahun 1996 dibentuk Badan Pengelola Pengembangan Pulau Natuna (BP3-Natuna) melalui Keppres No. 71 tahun 1996 tentang Pembangunan Pulau Natuna sebagai Kapet yang kemudian diubah & disempurnakan dengan Keppres No. 17 Tahun 1999. Selain bertugas dalam rangka pengembangan wilayah Pulau Natuna, BP3-Natuna juga mengemban tugas untuk mendukung kegiatan Proyek Gas Natuna apabila jadi dilaksanakan.
Dengan adanya UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah yang kemudian diikuti dengan UU No. 53 Tahun 1999 tentang pembentukan kabupaten-kabupaten di Riau yang salah satunya adalah Kabupaten Natuna, maka pengelolaan dan pembangunan di Kabupaten Natuna merupakan kewenangan dan tanggung jawab Pemerintah Daerah. Karena pembagian peran, fungsi, tugas dan wewenang dan eksistensi BP3-Natuna dengan munculnya Kabupaten Natuna belum juga dirumuskan secara tuntas oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah, maka hubungan kerja yang ada hingga saat ini maksimal hanya sebatas pada tingkat koordinasi saja.
Hingga saat ini pengembangan kawasan tertentu – Kawasan Pulau Natuna dan sekitarnya yang berlokasi di Kabupaten Natuna praktis belum terealisasi seperti yang tertuang pada PP No. 47 dan yang diharapkan oleh Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN diatur dalam Keputusan Presiden No. 62 Tahun 2000 tentang Koordinasi Penataan Ruang Nasional)

Terobosan
Dalam rangka pengembangan Poleksos-budhankam di kawasan Pulau Natuna dan sekitarnya perlu dilakukan tindakan / terobosan inovatif oleh para pemimpin negara ini mengingat peluang yang timbul makin jarang dan tantangan dalam era globalisasi ini sangat keras dan dinamis. Sehingga apabila momentum yang ada dilewatkan, maka makin sulit upaya-upaya yang harus dilakukan untuk pengembangan kawasan tertentu Pulau Natuna dan sekitarnya. Perlu dicermati dan diwaspadai bahwa sebagian wilayah sumber gas Natuna di D-Alpha walaupun terletak di ZEEI (berdasarkan Hukum Laut Internasional 1982) bisa merupakan sumber perdebatan dan rawan konflik dengan RRC yang mendasari klaimnya pada sejarah dan garis batas maritim tradisional (batas maritim paling selatan). Laut Natuna sangat vital bagi RRC karena kawasan itu merupakan alur pelayaran penting sebagai penghubung komunikasi Utara-Selatan, dan Timur-Barat. Lebih lanjut pertumbuhan ekonomi RRC yang berlangsung sangat pesat beberapa tahun terakhir ini juga membutuhkan sumber-sumber energi baru dari segala penjuru dunia guna mendukung kelangsungan segala macam kegiatan sektor riilnya.
Beberapa indikasi kegiatan prospektif yang dapat dikembangkan di Pulau Natuna tetapi membutuhkan upaya-upaya terobosan antara lain mencakup:
Industri Perikanan Terpadu (perikanan tangkap & budi daya laut)
Industri Pariwisata (khususnya wisata bahari)
Perkebunan & pertanian
Pusat jasa maritim dan offshore supply base
Proyek Gas Natuna & jaringan pipa gas
Kawasan industri berbasis gas
Kilang minyak & pusat distribusi BBM
Jasa lokasi latihan militer
Pada gilirannya pusat perdagangan dan jasa
Berikut ini sedikit ilustrasi mengenai tiga macam prospek dari yang disebutkan di atas mencakup industri perikanan, proyek gas & jaringan pipa gas serta jasa maritim:
Rata-rata kapal penangkap ikan yang ada di Pulau Natuna dan sekitarnya adalah kapal ikan berukuran di bawah 5 GT, sehingga daerah operasinya juga sangat terbatas (kurang dari 4 mil), karena hasil tangkapan hanyalah untuk kebutuhan lokal. Demikian pula dengan prasarana pendukung hampir tidak ada atau sangat terbatas. Hingga saat ini yang memanfaatkan penangkapan ikan di perairan kawasan Pulau Natuna kebanyakan adalah nelayan dari luar daerah atau kapal ikan asing. Walaupun begitu, dengan potensi sumber daya ikan laut seperti disebut di atas (yield catching 36% per tahun) kawasan ini patut dipertimbangkan sebagai daerah pengembangan industri perikanan terpadu.
Pengembangan proyek gas dan jaringan pipa gas yang membutuhkan dukungan finansial berskala 2 digit tetapi bisa memberikan pendapatan berskala 3 digit dalam miliar dolar Amerika juga rawan terhadap kepentingan geopolitik hingga apabila tidak tertangani dengan baik dan saksama dalam waktu yang terukur, tidak tertutup kemungkinan konsesi dan kegiatan usahanya menjadi ajang perebutan peluang bisnis oleh pihak-pihak asing atau negara-negara tetangga yang sangat berkepentingan agar proyek gas tersebut dapat terealisasi. Sebagai contoh hingga kini forum inisiatif pengembangan usaha jaringan pipa gas asia yang beranggotakan beberapa negara ASEAN dan Asia Timur yang tergabung dalam Parnertship for Equitable Growth (PEG) masih secara berkala menjalankan kegiatan-kegiatannya. Keterlibatan pihak Indonesia yang diharapkan sebagai pemain utama sejak dilanda krisis ekonomi yang berkepanjangan dirasakan kurang intensif.
Daerah perairan laut Cina Selatan merupakan jalur pelayaran yang sangat sibuk (kawasan perairan Pulau Natuna berada di dekatnya). Jalur pelayaran ini selain melalui Selat Malaka juga dari Indonesia ke arah Laut Cina Selatan (jalur Eropa-Singapura dan negara-negara ASEAN dan Asia Timur). Tidak kurang dari 250 kapal berbagai jenis per hari (antara lain; tanker, cargo, container, ferry, tug & barge, dan kapal ikan) melintasi jalur ini. Padatnya lalu-lintas kapal di jalur tersebut merupakan suatu potensi pengembangan jasa maritim antara lain seperti prasarana galangan reparasi /doking, atau basis logistik untuk kegiatan lepas pantai yang banyak terdapat di Laut Cina Selatan.

Penutup
Kawasan Pulau Natuna dan sekitarnya merupakan kawasan tertentu yang juga sekaligus merupakan kawasan perbatasan yang mempunyai posisi strategis di mana usaha dan atau kegiatannya berdampak besar terhadap kondisi geopolitis dan pertahanan keamanan nasional serta regional. Dengan lokasi yang strategis dan adanya potensi SDA yang sedemikian besar menjadi daya tarik tersendiri bagi lingkungan regional dan internasional untuk memanfaatkannya bagi kepentingan masing-masing. Hal ini perlu dicermati, diwaspadai, disikapi dan diantisipasi oleh pemerintah pusat secara berkesinambungan. Keterbatasan sumber daya yang dimiliki baik pemerintah daerah maupun perpanjangan pemerintah pusat yang sudah eksis dalam rangka pengembangan & pengelolaan perlu segera ditanggulangi secara intensif, dalam arti harus didukung dengan kapasitas & kapabilitas yang memadai untuk menfasilitasi & mendorong upaya-upaya investasi melalui lintas negara maupun melalui swasta nasional atau swasta asing. Bilamana tidak, akankah nantinya nasib Pulau Natuna sama seperti kawasan perbatasan lainnya yang pada umumnya masih pada kondisi tertinggal. Dengan demikian tujuan penataan ruang yang dimaksudkan untuk sebesar-sebesarnya kesejahteraan rakyat Indonesia yang pada gilirannya juga merupakan suatu wujud ketahanan nasional menjadi tidak tercapai.
Sebenarnya persepsi akan posisi & lokasi strategis kawasan Pulau Natuna tidaklah hanya sebatas pemahaman konseptual saja tetapi harus dan baru bisa berupa realitas apabila ada kesadaran dan komitmen yang kuat baik dari pemerintah maupun dari berbagai lapisan masyarakat. Komitmen dimaksud antara lain dalam wujud dukungan sumber daya yang layak, transparan dan terukur serta network berskala nasional & internasional. Dengan kondisi makin langkanya sumber-sumber daya yang dimiliki NKRI saat ini dan dalam rangka mencari solusi alternatif sumber-sumber ekonomi agar bisa membantu meringankan upaya keluar dari krisis multidimensi yang berkepanjangan, di sini perlu keberanian, pertimbangan yang bijak dan perhitungan yang cermat berwawasan strategis jangka panjang dari para pemimpin negara ini dalam menentukan skala prioritas dan pola implementasi pengembangan dari sedemikian banyak kawasan tertentu dan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) yang sudah didefinisikan dan dibentuk.

Penulis bekerja di BP3-Natuna, tulisan ini adalah
pendapat pribadi.

Selasa, 03 Februari 2009

Presiden: Indonesia dan Singapura Sepakati Batas Laut Segmen Barat

Senin, 2 Februari 2009, 14:30:49 WIB (Blog Presiden RI)
Presiden: Indonesia dan Singapura Sepakati Batas Laut Segmen Barat
Jakarta : Pemerintah Indonesia dan Singapura akhirnya menyepakati batas laut teritorial pada akhir tahun 2008 lalu, setelah melakukan perundingan yang dimulai sejak bulan Februari tahun 2005. Yang disepakati adalah Segmen Tengah atau Segmen Barat.

Hal ini dikatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hari Senin ( 2/2) siang, usai memimpin rapat terbatas kabinet, di Kantor Kepresidenan. Ratas ini juga membahas evaluasi terhadap langkah-langkah stabilisasi harga, berkaitan dengan kebijakan harga BBM dan perkembangan resesi perekonomian saat ini.

”Yang disepakati adalah Segmen Barat. Kalau Saudara tahu Pulau Nipah, di utara pulau itulah yang sudah disepakati batas laut teritorialnya. Hal ini sangat penting, karena melihat kawasan ini, kita selalu melihat dari dua cara pandang yaitu geo ekonomi dan geo politik. Dengan telah pastinya garis batas ini maka pengembangan ekonomi Indonesia di wilayah itu, termasuk kerjasama Indonesia dengan Singapura dan Malaysia, akan semakin baik," kata Presiden.

"Saudara ingat kerjasama segitiga pertumbuhan Sijori (Singapura, Johor, Riau) dan juga kerjasama lainnya, apalagi kita telah menetapkan kawasan Batam, Bintan dan Karimun sebagai Free Trade Zone,” ujar SBY. Sementara dari aspek security atau geo politik, lanjut SBY, lebih jelas lagi mana wilayah kita dan mana wilayah Singapura. Dengan demikian kerjasama yang akan kita lakukan lebih baik lagi, tambahnya.

Presiden menjelaskan, batas laut teritorial antara Indonesia dan Singapura mendapatkan persetujuan bersama pada segmen tengah dari batas laut teritorial ini ditetapkan pada tahun 1973. ”Berarti 36 tahun yang lalu, setelah itu belum ada perundingan lanjutan dan kemudian bulan Februari 2005, dimulai lagi perundingan agar ada kemajuan setelah puluhan tahun terhenti. Allhamdulillah dengan perundingan yang sangat bersungguh-sungguh akhirnya dicapai kesepakatan. Saudara tahu negosiasi masalah perbatasan baik darat maupun laut selalu tidak mudah ,” jelas SBY.

”Tetapi akhirnya setelah dilakukan negosiasi yang sangat intens, maka akhir tahun lalu telah dicapai kesepakatan untuk itu. Selaku Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan saya mengucapkan selamat dan terima kasih kepada juru runding Indonesia. Dengan jelasnya batas ini, maka kita bisa mengembagkan lagi kegiatan-kegiatan ekonomi di kawasan itu. Kesepakatan ini resmi ditanda tangani oleh keduan negara pada bulan ini dan Menlu akan mewakili pemerintah Indonesia, ” kata SBY.

Tampak hadir antara lain, Plt Menko Perekonomian Sri Mulyani, Menko Polhukam Widodo AS, Menko Kesra Aburizal Bakrie, Mensesneg Hatta Rajasa, Menteri Perdagangan Mari E Pangestu, Menteri Perindustrian Fahmi Idris, Menkominfo M.Nuh, Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso, Kapolri Jnderal Bambang Hendarso Danuri, Kepala BIN Syamsir Siregar dan Jubir Presiden, Dino Patti Djalal. (win)

RI-Singapura Sepakati Batas Pulau Nipah

Senin, 2 Februari 2009 | 16:55 WIB (Kompas)



Senin, 2 Februari 2009 | 16:55 WIB (Kompas)

JAKARTA, SENIN — Batas Pulau Nipah antara RI dan Singapura akhirnya disepakati bersama. Kesepakatan batas pulau yang kerap menjadi aksi penyelundupan BBM ini akan diteken pada Februari 2009. "Yang disepakati adalah segmen barat Pulau Nipah, di utara Pulau Nipah itulah disepakati batas laut teritorialnya," kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seusai menggelar rapat terbatas di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (2/2).

Menurut Presiden, batas laut di Pulau Nipah menggantung sejak persetujuan bersama disepakati pada 1973 lalu. Selepas itu, belum ada perundingan lanjutan terkait batas kedua negara. Perundingan batas laut di Pulau Nipah, lanjut Presiden, baru berlanjut kembali pada 2005. Perundingan lanjutan ini dengan harapan ada kemajuan negosiasi perbatasan.

"Negosiasi perbatasan baik darat dan laut selalu tak mudah, tapi akhirnya setelah dilakukan negosiasi intens, akhir tahun lalu dicapai kesepakatan," tandasnya seraya mengapresiasi juru runding RI yang dikomandoi Menko Polhukam Widodo AS dan Menlu Hassan Wirajuda. "Saya ucapkan selamat kepada juru runding RI," katanya.

Pembahasan teknis di antara kedua negara perihal batas Pulau Nipah kembali dilakukan di Jakarta, pada awal November 2008. Dari sinilah kesepakatan bersama hadir.

ADE
Sumber : Persda Network

RI-Singapura Sepakati Batas Laut Teritorial Bagian Barat

Senin, 02/02/2009 19:39 WIB
RI-Singapura Sepakati Batas Laut Teritorial Bagian Barat
Nograhany Widhi K - detikNews

Jakarta - Indonesia dan Singapura telah menyepakati batas laut teritorial bagian barat, yaitu di utara Pulau Nipah. Kesepakatan itu akan diteken kedua belah pihak pada Februari 2009.

"Dengan perundingan yang sungguh-sungguh dan intensif, akhir 2008 telah mencapai kesepakatan. Yang disepakati adalah segmen barat, yaitu di utara Pulau Nipah," ujar Presiden SBY.

Hal itu disampaikan SBY usai rapat kabinet terbatas di Kantor Presiden, Jalan Veteran, Jakarta Pusat, Senin (2/2/2009).

Pembahasan batas laut teritorial bagian barat ini, imbuh SBY, sudah dimulai sejak Februari tahun 2005. SBY menjelaskan kesepakatan itu adalah kemajuan sejak batas laut teritorial bagian tengah (yang berbatasan dengan Pulau Batam) disepakati tahun 1973.

Kesepakatan tersebut, imbuh SBY, sangat penting dari sisi geopolitik dan geoekonomi. "Dari segi geoekonomi bisa mengembangkan kemampuan ekonomi kita dengan mengembangkan Pulau Nipah. Lalu geopolitik untuk memperkuat keamanan Indonesia dan Singapura," imbuh dia.

Kesepakatan ini akan ditandatangani Februari 2009 ini oleh Menlu Hassan Wirajuda. Sementara Menlu Hassan Wirajuda menambahkan segmen barat yang disepakati di utara Pulau Nipah sampai bertemu dengan segitiga Singapura dan Malaysia.

Dengan demikian, tinggal satu lagi batas dengan Singapura yang belum disepakati, yaitu batas dengan Singapura di bagian timur.

"Belum dimulai sisi timur, di atas Bintan," ujar Hassan.

Menurut dia, Singapura ingin masalah perbatasan di bagian timur, dekat Pulau Bintan itu ditunda hingga akhir 2011. Karena Singapura masih terlibat sengketa dengan Malaysia, menyangkut wilayah Batu Puteh.

"Kita minta kepada Singapura untuk diadakan lagi yang di atas Bintan, segmen timur. Kalau timur sudah selesai, maka selesai. Kan kita ada 3 potongan (barat, tengah timur), yang 2 sudah diselesaikan, tinggal 1 lagi," ujar dia. (nwk/ndr)

Pembahasan Perjanjian Pertahanan RI-Singapura Nyaris Rampung

Rabu, 06/09/2006 14:01 WIB
Pembahasan Perjanjian Pertahanan RI-Singapura Nyaris Rampung
Nurfajri Budi Nugroho - detikNews
Jakarta - Pemerintah Indonesia dan Singapura masih terus membahas perjanjian pertahanan antarkedua negara. Hingga kini pembahasan sudah mencapai 85 persen. Pembahasan diharapkan akan selesai dalam satu putaran lagi.

"Mudah-mudahan satu putaran selesai. Sisanya 15-20 persen yang masih perlu dipertemukan," kata Menhan Juwono Sudarsono usai rapat dengan Pansus Peradilan Militer di Gedung MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (6/9/2006).

Disebutkan Menhan, persoalan yang belum selesai antara lain menyangkut hak lintas wilayah perairan Indonesia, yurisdiksi, dan status prajurit Singapura jika berlatih di wilayah Indonesia.

Mengenai jangka waktu penyelesaian perjanjian, Menhan mengemukakan, pemerintah berharap perpanjangan perjanjian bisa dilakukan setiap 5 tahun, dan ada hak untuk membatalkan perjanjian tersebut.

Sementara pihak Singapura menginginkan jangka waktu 20 tahun dengan pembaharuan setiap 5 tahunnya. "Singapura juga minta kalau dibatalkan ada kesepakatan antara dua belah pihak," katanya.

Dia juga berharap tim teknis yang menangani perjanjian pertahanan, termasuk perjanjian ekstradisi RI-Singapura, bisa menyelesaikan tugasnya sebelum digelar pertemuan APEC pada Novemver 2006. (umi/)