Heritage Intelligence
Ketidak berdayaan pembuktian kekayaan dan kerugian Negara tentang peninggalan sejarah, yang telah hilang maupun masih ada merupakan 'titik lemah' untuk dapat menjelaskan dan mempertanggung jawabkan kepada publik.
Sebagaimana contoh hancurnya bangunan di proklamasi, dimana potret nyata detik-detik bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Pertanyaan kerugian apa saja yang diciptakan dari kehancuran bangunan proklamasi tersebut? Ternyata ketika di 'bedah' anatominya sungguh membuat kepala cekot-cekot, dari sisi Ilmu pengetahuan bukti nyata keberadaan fisik bangunan sudah tidak ada. Di dalam ranah berbeda seperti contoh ketika pulau Sipadan dan Ligitan diakui oleh Mahkamah Internasional di Belanda, fisik bangunan yang terdapat dikedua pulau tersebut adalah milik Malaysia. Pada akhirnya secara de jure maupun de fakto pulau Sipadan dan Ligitan milik sah Malaysia.
Terperanjat bahwa eksistensi fisik bangunan bukan persoalan sederhana, cara pandang melihat fisik bangunan selama ini hanya dilihat dari 'kaca mata kuda' yang melulu diukur dari perspektif estetika dan ekonomis semata. Padahal sebuah bangunan diciptakan melampaui tapal batas estetika dan ekonomi, sebagaimana masyarakat Jawa membangun rumah Panggang pe Ceregancet mirip dengan jasad hidup yang tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan kehidupan penghuninya.
Database Benda Cagar Budaya
Film petualangan Indiana Jones, National Treasure, dan Da Vinci Code, membuat adrenalin penonton terpacu. Kecerdasan mengumpulkan serpihan informasi yang tercecer, sehingga teka-teki dapat terpecahkan dan disusun ulang. Sungguh sebuah inspirasi. Tersebar dan terseraknya artefak benda cagar budaya dari berbagai wujud, baik dari sisa-sisa peninggalan kerajaan Nusantara sampai peninggalan kolonial. Sampai saat ini masih dalam 'terawangan' sebagai analogi berjalan dikegelapan tanpa cahaya. Keberadaan UU.No.5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya dan UU.No.26 Tahun 2007 Tentang Tata Ruang masih dalam tahap konsepsional, belum memasuki 'ranah' operasional di dalam pelestarian benda cagar budaya. Inventarisasi pendokumentasiaan sebagai database keberadaan benda cagar budaya dari berbagai ragam bentuk, sampai saat ini masih belum dapat direalisasikan. Padahal database tersebut merupakan 'peta hidup' sebagai alat deteksi dini, perihal kelangsungan pelestarian benda cagar budaya di Indonesia. Karena bila terwujud pendokumentasian tersebut, publik dapat mengetahui dan menjaga pelestarian dari benda cagar budaya yang dilindungi oleh Negara. Fungsi database dapat memberikan suguhan informasi, berapa jumlah benda cagar budaya yang dimiliki seperti Gedung, Benteng, Rumah, Masjid, Gereja, Vihara, Pusaka dan lain sebagainya. Dengan adanya informasi keberadaan artefak sejarah ini, penghancuran dan pencurian dapat maksimal dihindari.
Pendokumentasian mempunyai peran ganda di satu sisi dapat menjadi alat kontrol, disisi lain merupakan alat sosialisasi dari Undang-Undang tentang Benda Cagar Budaya yang murah dan efektif kepada warga Negara.
Benda Cagar Budaya dan Keamanan Nasional
Perjuangan panjang Vasco da Gama (1497-1499) mencapai India melalui Tanjung Harapan telah berhasil gilang gemilang, dari keberhasilan ini maka terbuka lebar pintu masuk pelayaran bangsa Eropa ke Asia. Setelah Tanjung Harapan ditundukkan, kini giliran Melaka dikuasai Portugal (1511).
Di dalam kurun waktu 11 tahun tepatnya pada tahun 1522 ekspedisi Ferdinand Magellan dari Spanyol berhasil mencapai Maluku, selisih waktu 57 tahun (1522-1579) Francis Drake dari Inggris datang menyusul ke kewilayah 'surga rempah-rempah' Maluku. Berawal dari rempah-rempah nafsu serakah untuk menguasai dalam wajah kolonialisme tertancap di bumi Maluku, gesekan kepentingan untuk saling menguasai antara Portugal dan Spanyol di Maluku pada abad XVI tidak dapat terhindarkan. Maka keluar perjanjian Tordesillas (1494) dan menyusul perjanjian Saragossa (1527) antara Spanyol dan Portugal. Hal hasil dari perjanjian tersebut Portugal dapat menguasai Maluku.
Kilasan sejarah tersebut merupakan 'rekam jejak' kolonialisme pertama kali hadir di bumi jamrud khatulistiwa, taktik dan strategi kolonial di dalam melakukan infiltrasi sampai menuju invasi dapat ketahui. Fakta penjajahan dapat ditelusuri melalui artefak seperti Benteng Victoria (1605) yang dibangun Portugal di Maluku, berfungsi sebagai benteng pertahanan. Juga Benteng Oranje (1607) di Ternate yang dibangun oleh Cornelis Matelief de Jonge (Belanda). Benteng ini pernah dijadikan pusat pemerintahan tertinggi Hindia Belanda (Gubernur Jenderal) Pieter Both, Herald Reynst, Laurenz Reaal, dan Jan Pieterszoon Coen.
Dari Benteng pertahanan sampai rute perjalanan alur laut kolonial memasuki Nusantara, sebagaimana diketemukannya beberapa artefak kapal laut kolonial yang karam di dasar laut. Dan legitimasi Mahkamah Internasional tentang batas kedaulatan wilayah Negara Kesatuan republik Indonesia (NKRI), mengacu pada peninggalan tanah jajahan Belanda. Dengan demikian 'patok batas' secara fisik peninggalan Belanda, kedepan menjadi sesuatu yang vital di dalam pembuktian wilayah kedaulatan Negara.
Walaupun bukan konteks benda cagar budaya, tetapi masih dalam 'satu tarikan nafas' peristiwa dikuasainya Pulau Sipadan dan Ligitan oleh Malaysia, karena lemahnya bukti otentik di Mahkamah Internasional. Merupakan pertanda urgensinya fisik bangunan dalam wilayah hukum Internasional. Serta perluasan pembangunan fisik didaratan Singapura melalui 'pasir laut', hampir saja mencaplok kedaulatan Indonesia khususnya pulau Nipa dan pulau lainnya disekitar wilayah propinsi kepulauan Riau. Satu lagi peristiwa penghancuran taman didepan stasiun Beos kota, dimana wilayah itu merupakan 'ring satu' zona benda cagar budaya. Kepentingan bisnis lebih penting daripada keamanan. Pembangunan shelter busway dan terowongan untuk pedestrian mengakibatkan dampak buruk bagi bangunan tua disekitarnya. Tercatat sedikitnya empat bangunan tua yang langsung terkena dampak negative yang diakibatkan dewatering saat pembangunan terowongan tersebut, keseimbangan air tanah disekitar lokasi terganggu. Dan keempat bangunan tua mengalami penurunan pondasi, dan dampak negatif apa yang akan tercipta kedepan? Tidak ada yang dapat mengatahui dan diperlukan kajian mendalam. Sampai saat ini kejelasan tentang barang sitaan Negara dari hasil penangkapan eksplorasi kapal VOC yang karam secara illegal, berapa jumlah dan nilai harta karun tersebut dan disimpan dimana masih dalam misteri.
Saksi bisu benda cagar budaya ternyata faktual dapat 'berbunyi' dan berkata jujur tanpa ada rekayasa maupun kebohongan.
Intelijen Benda Cagar Budaya (Heritage Intelligence)
Cegah tangkal di dalam pelestarian benda cagar budaya sudah waktunya diperkuat, perhitungan secara matematis tentang kekayaan 'adi luhung' bangsa Indonesia belum dapat direalisasikan. Kemampuan IPTEK di dalam kalkulasi sumber daya alam (SDA) kekayaan laut sudah dapat dihandalkan di negri kepulauan ini, padahal dahulu sebelum teori tersebut ada masih merupakan sesuatu yang 'ghaib' diwilayah alam bawah sadar. Sosok manusia dapat terbang Gatot Kaca yang hanya ada dalam cerita pewayangan, tersentak bahwa cerita itu bukan mitos melainkan teknos dengan kemampuan di dalam rekayasa teknologi kapal terbang (Dirgantara Indonesia).
Eksistensi heritage intelligence di dalam melakukan penelitian dan pendokumentasian, serta dapat juga melakukan 'audit' benda cagar budaya, merupakan pemecah dari kebekuan dan kerapuhan mengatasi permasalahan benda cagar budaya. Generasi kedepan perlu diberikan 'menu' visualitas bukan virtualitas. Melalaui intelijen benda cagar budaya sesuatu yang absurd menjadi rasional, investigasi tapak tilas untuk dapat mengumpulkan kembali serpihan sejarah yang tercecer dan hilang. Seperti analogi menjahit pakaian yang sudah usang termakan jaman, memerlukan sentuhan ketekunan penjahit handal. Semoga.***
BAROUSAI, BARUS, ATAU FANSUR: KISAH CEMERLANG DARI BERIBU TAHUN SILAM
BAROUSAI, BARUS, ATAU FANSUR:
KISAH CEMERLANG DARI BERIBU TAHUN SILAM
Kota bandar di tepian pantai barat Sumatra yang berabad lalu menjadi sebuah perkampungan multi-etnis yang penuh guyub, sarat daya tarik bagi para pedagang di hampir seluruh penjuru bumi, juga menjadi pintu masuknya berbagai peradaban dan agama-agama besar di bumi Nusantara itu kini telah sepi.
BARUS saat ini hanya sebuah ibukota Kecamatan, di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatra Utara. Posisinya berada di pinggir pantai barat Sumatera, sekitar 60 km sebelah utara Sibolga, atau sekitar 414 km dari
Dan boleh jadi, Barus adalah satu-satunya
Tapi apa gerangan yang menjadikan
Jawabnya tak lain adalah kapur barus (bhs Belanda: kamfer, dan mungkin dari kata kapur yang diucapkan kofur oleh bangsa Arab).[3] Konon, kapur barus asal kota barus inilah yang paling banyak dicari karena kualitasnya yang terbaik, paling laku dan harganya kurang lebih 8 kali lebih mahal daripada kapur-kapur barus asal tempat lain[4]. Dalam catatan pelancong Italia, Marco Polo bahkan disebutkan bahwa, harga kapur barus kala itu setara dengan harga emas dengan berat yang sama[5].
Seorang Belanda pernah menulis bahwa kemenyan dari Barus, telah dipakai sebagai salah satu bahan mengawetkan (membalsem) mayat raja-raja di Mesir sebelum Masehi[6]. Jika dugaan ini benar, maka berarti kota bandar Barus ini sudah ada sejak 5.000 tahun SM. Perkiraan akhir itu, didasarkan pada temuan bahan pengawet dari berbagai mummy Fir'aun Mesir Kuno salah satu pengawetnya menggunakan kanper atau kapur Barus. Sejarawan era kemerdekaan Moh. Yamin, bahkan memperkirakan bahwa, perdagangan rempah-rempah dan tentu saja kamfer, sudah dilakukan pedagang Nusantara sejak 6.000 tahun lalu ke berbagai penjuru dunia.
Hasil penelitian Innis Miller terhadap naskah Historia Naturalis karya Plinius di abad pertama juga sudah menunjukkan bahwa, para pedagang Nusantara pun ternyata sudah menjajakan komoditas mereka sampai ke Asia Barat dan Afrika Timur sejak abad permulaan Masehi[7]. Sementara Prof. Kern[8] pernah menulis bahwa
Begitu pentingnya
Dan tentu, seperti kata pepatah, ada gula ada semut. Pesona kapur barus dari selatan ini menggoda banyak pendatang. Sebagaimana dicatatan Ptolomaios, selain para penjelajah dari Yunani, juga datang pedagang dari
Dewan Gereja-gereja di Indonesia juga memercayai sejak tahun 645 Masehi di daerah Barus telah masuk umat Kristen dari sekte Nestorian. Keyakinan tersebut didasarkan pada buku kuno tulisan Shaikh Abu Salih al-Armini. Sementara itu, penjelajah dari Armenia Mabousahl mencatat bahwa pada abad ke-12 telah terdapat Gereja Nestorian.
Lalu datanglah para pedagang Arab memasuki Barus sekira 627-643 M atau sekitar tahun 1 Hijriah, dan menyebarkan agama Islam di daerah itu. Di antaranya Wahab bin Qabishah mendarat di Pulau Mursala pada 627 M. Ada juga utusan Khulafaur Rasyidin, bernama Syekh Ismail akan ke Samudera Pasai dan singgah di Barus, sekira tahun 634 M. Dan sejak itu pula, tercatat bangsa Arab (Islam) mendirikan koloni di Barus. Bangsa Arab menamakan Barus dengan sebutan Fansur atau Fansuri, misalnya oleh penulis Sulaiman pada 851 M dalam bukunya "Silsilatus Tawarikh."
Kedatangan bangsa Arab yang kemudian menyebarkan agama Islam itu juga disebutkan dalam berita-berita Cina, Hsin-Tang-shu[13] (Catatan Dinasti Tang, 618-907), dan Chu-fan-chi[14] (Catatan Negeri-negeri Asing) yang ditulis Chau Ju-kua pada tahun 1225. Di dalam dua kronik Cina itu banyak bercerita tentang Ta-shi, istilah Cina untuk menyebut Arab. (Chu-fan-chi menerangkan bahwa Ta-shi mempunyai seorang Buddha (maksudnya Nabi) yang bernama Ma-ha-mat (Muhammad). Dalam sehari mereka
Tentu, dapat dibayangkan betapa makmurnya
Seorang bekas kontrolir Belanda, G.J.J. Deutz, sewaktu bertugas di Barus,[18] menulis bahwa menurut rakyat setempat di Desa Lobutua pernah didapat penduduk sebuah batu bertulis pada dua bagian. Tetapi sayang, batu itu pada tahun 1857 dipecahkan oleh Raja Barus bernama Mara Pangkat. Pada tahun 1872 Deutz banyak menemukan pecahan batu peninggalan zaman Hindu yang telah dilupakan orang, telah berlumut. Dan baru pada tahun 1932, prasasti itu diterjemahkan Profesor Nila-kanti Sastri dari Universitas Madras.[19]
Prasasti itu menyebutkan bahwa paling sedikit sejak abad ke-11, telah bermukim di
Menurut Gnillout Claude[20], Barus adalah sebuah
Dan semua kemakmuran itu berkat aroma kapur barus yang diolah dari kayu kamfer. Hanya kini, komoditi yang begitu mempesona di masa silam itu, hingga konon juga dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5. 000 tahun sebelum Masehi itu, kini sudah lama tidak lagi diproduksi
Di komplek makam Syekh Machmud yang tertata rapi dan terletak di Bukit Papan Tinggi dan memang betul-betul tinggi sehingga harus melewati 710 anak tangga ini, menggantung sebuah tulisan, “Beri Salam dan Alas Kaki dibuka.” Seakan mengakhiri sebuah kisah perjalanan sebuah kota bandar di tepian pantai barat Sumatra yang berabad lalu menjadi sebuah perkampungan multi-etnis yang penuh guyub, sarat daya tarik bagi para pedagang di hampir seluruh penjuru bumi, juga menjadi pintu masuknya berbagai peradaban dan agama-agama besar di bumi Nusantara itu kini telah sepi.**
[1] Barus telah disebut oleh Ptolomeus kira kira tahun 150 Masehi. (Kozok, 1991, 14)
[2] W. J. van der Meulen, “Suvarnadvipa and the Chryse Chersonesos”,
[3] Encyclopdeia van Nederlandsch Indie
[4] Ada tiga jenis kapur barus pada saat itu yaitu: Kapur barus dari Kalimantan dan Sumatera (Dryobalanops aromatica), Kapur barus dari China dan Jepang (Cinnamomum Camphora) yang banyak beredar dipasaran dan yang ketiga adalah Blumea balsami- fera, yang diproduksi di China dengan nama kapur barus Ngai. Harga dari kapur barus asal Sumatera ini kira-kira 138 kali lebih mahal dari kapur barus
[5] “Travel of Marco Polo,” Buku 3 Bab 9 dan Buku 2 Bab 8 by Marco Polo dan Rustichello of Pisa
[6]
[7] J. Innis Miller, The Spice Trade of the Roman Empire, Oxford University Press, London, 1969, terutama Bab “The Cinnamon Route”
[8] Verspreide Geschriften No VI, halaman 15
[9] Po-lu-chi atau Po-lu-suo terkadang sering keliru diterjemahkan dalam text
[10] Oliver W. Wolters, Early Indonesian Commerce, Cornell University Press,
[11] Dari Desa Pansur sedikit di utara Barus
[12] Dari kata Kalasan, daerah penghasil kapur barus antara Kota Barus dan Sungai Chenendang
[13] Diterjemahkan oleh Paul Pelliot, “Deux Itineraires de Chine en Inde a la Fin du VIIIe Siecle”, BEFEO, 4, 1904, hal. 132-413
[14] Diterjemahkan oleh Friedrich Hirth dan W. W. Rockhill, Chau Ju-kua: His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries, entitled CHU-FAN-CHI, Imperial Academy of Sciences, St.Petersburg, 1911
[15] Lihat: F. Hirth dan W.W.Rockhill, hh. 114-124
[16] Berita ini tercantum dalam kronik Tung-tien buku 193 nomor 22b. Lihat: F.Hirth dan W.W.Rockhill, h. 119
[17] Paul Pelliot, h. 297. Lihat juga W. P. Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources, Bhratara, Jakarta, cetak ulang 1960, h. 14.
[18] Barus, G.J.J. Deutz, Tijdschr No. 22 tahun 1875
[19] A Tamil Merchant-guild in Sumatera oleh Prof. N. Sastri dalam Tijdschr No 72 tahun 1932
[20] “Lobu Tua Sejarah Barus”, Obor, 2002
Minggu, 14 September 2008
Tanggal : 04 Apr 2007
Sumber : dpr.go.id
dpr.go.id,
Jayapura---DPR meminta pemerintah segera melakukan percepatan pembangunan di wilayah perbatasan, baik melalui dana APBN maupun APBD guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah perbatasan.
”Jangan sampai masyarakat di wilayah perbatasan dari negara lain lebih sejahtera dari masyarakat kita. Karena itu perlu ada penganggaran khusus untuk wilayah perbatasan,” kata Ketua Tim Kunjungan Kerja Komisi IV DPR Mindo Sianipar saat melakukan kunjungan ke wilayah perbatasan antara RI dan Papua Niugini (PNG), Selasa (3/4).
Karena itu, kata Mindo, pemerintah perlu memberi perhatian khusus terhadap wilayah perbatasan Negara. Wilayah pertabatasan harus diperkuat dalam segala hal, tidak hanya pertahanan dan keamanannya saja, juga masalah sosial, budaya, kesejahteraan, dsb.
Hal senada dikatakan anggota Tim Kunker dari daerah Pemilihan Papua Sudjud Siradjuddin, bahwa yang perlu diperhatikan adalah aspek social budaya atau adat istiadat yang sudah berlangsung lama dan turun temurun antara masyarakat lintas batas.
Menurutnya masalah sosal budaya ini perlu dimasukan dalam RUU Perbatasan yang sekarang sedang dibahas oleh DPR dan Pemerintah. ”Aspek budaya ini amat penting untuk diakomodasi dalam setiap produk perundang-undangan,” tandas polisi dari F-PAN ini.
Dikatakan Mindo, kunjungan ke Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) antara RI (desa Skouw) – PNG (desa Wutung), Distrik Muara Tami, Kota Jayapura ini tidak hanya untuk melihat lintas batas, tapi juga melihat bagaimana kondisi masyarakat Indonesia di sana.
Dari hasil pemantauan Dewan di wilayah perbatasan tersebut, kata Mindo, kita bersyukur ternyata kondisi masyarakat Indonesia relatif lebih baik dan lebih makmur daripada masyarakat di seberang (PNG). Demikian juga kondisi jalan darat sepanjangan 60 KM antara Abepura – perbatasan dan bangunannya juga bagus.
”Tapi, masih perlu penambahan percepatan pembangunan di daerah perbatasan itu, terutama pasar perlu lebih ditingkatkan lagi,” tegas politisi dari F-PDI P.
Menurutnya, peningkatan pembangunan khusus untuk daerah perbatasan ini adalah pembangunan di sektor pertanian dalam arti luas, termasuk peternakannya dan produk turunannya. Kalau itu dilakukan, tambahnya, sementra melakukan ekspor antar Negara maka pada saat yang sama akan terjadi penigkatan pendapat masyarakat yang pada akhirnya akan bermuara pada peningkatakan kesejahteraan masyarakat itu sendiri.
Mindo menambahkan, untuk lahan pertanian yang telah ditinggal oleh penduduk transmigran di wilayah perbatasan ini perlu direvitalisasi dalam bentuk konkrit untuk membantu masyarakat sekitar perbatasan.
Terhadap perbedaan nilai mata uang antar ke dua negara, dimana nilai mata uang PNG, Kina, yang lebih tinggi dari Rupiah, menurutnya, kondisi ini harus diihat sebagai kesempatan untuk mengekspor ke negara PNG berbagai potensi pertanian, pertenakan, dan kebutuhan hidup sehari-hari yang dimungkinkan dipasok dari sekitar Jayapura ke Negara PNG.
”Jadi jangan didatangkan dari P. Jawa, tapi harus didatangkan dari masyarakat Jayapura sendiri. Kita berdayakan masyarakat sekitar wilayah ini. Misalnya beras yang sangat disukai oleh masyarakat PNG,” kata Mindo.
Perbatasan Jaya Pura dengan PNG di SKOUW, desa Wutung, Distgrik Muara Tami ini rencananya akan diresmikan Prsiden SBY tanggal 1 April lalu namun gagal karena terkendala teknis. ”Belum tahu kapan Presiden akan meresmikan,” kata Kepala Bidang Pemberdayaan Potensi Wilayah Perbatasan Propinsi Papua Alexbert yang menerima kunjungan Tim Kunker Komisi IV DPR RI.
Dikatakan Alexbert, pemerintah propinsi sudah menyiapkan baik sarana fisik maupun sarana penunjang pos perbatasan untuk persiapan peresmian oleh presiden.
”Jalan sudah siap dilalui, pos penjagaan juga sudah siap, dan mekanisme pelayanan sudah diuji coba oleh Menteri Dalam Negeri dan Sekretaris Menkopolhukam beberapa waktu lalu. Pelayanan satu atap, yaitu karantina ikan dan hewan serta tumbuhan, imigrasi, beacukai, dan keamanan sudah siap dioperasikan,” ujar Alex.
Menurut Alex, permasalahan yang timbul adalah menyangkut hak-hak ulayat yang ada di perbatasan. ”Hal ini berpotensi konflik kalau tidak ditangani dengan jeli dan baik. Karena ada tanah hak ulayat warga nega PNG yang berada di wilayah RI. Demikian juga ada tanah hak ulayak warga RI yang ada di wilayah PNG, contohnya wilayah di sekitar sungai Tami itu hak ulayatnya warga PNG secara tradisional,” kata Alex.
Tapi, lanjut Alex, kedua Negara telah menyepakati itu dalam perjanjian dasar antara pemerintah RI dan Pemerintah PNG dan ditindaklanjuti dengan aturan pelaksanaan dalam special arrangement for traditional costumery border crossing antara Indoensia dan PNG tahun 1993.
”Itu aturan khusus yang mengatur tentang lintas batas, penduduk perbatasan, baik tradisional dan kebiasaan, termasuk di dalamnya mengenai tanah di atur. Tapi dalam special arramgetment itu juga kita mengacu pada hukum yang berlaku di kedua Negara,” kata Alex lagi. (et)
0 komentar:
Posting Komentar