Heritage Intelligence
Ketidak berdayaan pembuktian kekayaan dan kerugian Negara tentang peninggalan sejarah, yang telah hilang maupun masih ada merupakan 'titik lemah' untuk dapat menjelaskan dan mempertanggung jawabkan kepada publik.
Sebagaimana contoh hancurnya bangunan di proklamasi, dimana potret nyata detik-detik bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Pertanyaan kerugian apa saja yang diciptakan dari kehancuran bangunan proklamasi tersebut? Ternyata ketika di 'bedah' anatominya sungguh membuat kepala cekot-cekot, dari sisi Ilmu pengetahuan bukti nyata keberadaan fisik bangunan sudah tidak ada. Di dalam ranah berbeda seperti contoh ketika pulau Sipadan dan Ligitan diakui oleh Mahkamah Internasional di Belanda, fisik bangunan yang terdapat dikedua pulau tersebut adalah milik Malaysia. Pada akhirnya secara de jure maupun de fakto pulau Sipadan dan Ligitan milik sah Malaysia.
Terperanjat bahwa eksistensi fisik bangunan bukan persoalan sederhana, cara pandang melihat fisik bangunan selama ini hanya dilihat dari 'kaca mata kuda' yang melulu diukur dari perspektif estetika dan ekonomis semata. Padahal sebuah bangunan diciptakan melampaui tapal batas estetika dan ekonomi, sebagaimana masyarakat Jawa membangun rumah Panggang pe Ceregancet mirip dengan jasad hidup yang tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan kehidupan penghuninya.
Database Benda Cagar Budaya
Film petualangan Indiana Jones, National Treasure, dan Da Vinci Code, membuat adrenalin penonton terpacu. Kecerdasan mengumpulkan serpihan informasi yang tercecer, sehingga teka-teki dapat terpecahkan dan disusun ulang. Sungguh sebuah inspirasi. Tersebar dan terseraknya artefak benda cagar budaya dari berbagai wujud, baik dari sisa-sisa peninggalan kerajaan Nusantara sampai peninggalan kolonial. Sampai saat ini masih dalam 'terawangan' sebagai analogi berjalan dikegelapan tanpa cahaya. Keberadaan UU.No.5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya dan UU.No.26 Tahun 2007 Tentang Tata Ruang masih dalam tahap konsepsional, belum memasuki 'ranah' operasional di dalam pelestarian benda cagar budaya. Inventarisasi pendokumentasiaan sebagai database keberadaan benda cagar budaya dari berbagai ragam bentuk, sampai saat ini masih belum dapat direalisasikan. Padahal database tersebut merupakan 'peta hidup' sebagai alat deteksi dini, perihal kelangsungan pelestarian benda cagar budaya di Indonesia. Karena bila terwujud pendokumentasian tersebut, publik dapat mengetahui dan menjaga pelestarian dari benda cagar budaya yang dilindungi oleh Negara. Fungsi database dapat memberikan suguhan informasi, berapa jumlah benda cagar budaya yang dimiliki seperti Gedung, Benteng, Rumah, Masjid, Gereja, Vihara, Pusaka dan lain sebagainya. Dengan adanya informasi keberadaan artefak sejarah ini, penghancuran dan pencurian dapat maksimal dihindari.
Pendokumentasian mempunyai peran ganda di satu sisi dapat menjadi alat kontrol, disisi lain merupakan alat sosialisasi dari Undang-Undang tentang Benda Cagar Budaya yang murah dan efektif kepada warga Negara.
Benda Cagar Budaya dan Keamanan Nasional
Perjuangan panjang Vasco da Gama (1497-1499) mencapai India melalui Tanjung Harapan telah berhasil gilang gemilang, dari keberhasilan ini maka terbuka lebar pintu masuk pelayaran bangsa Eropa ke Asia. Setelah Tanjung Harapan ditundukkan, kini giliran Melaka dikuasai Portugal (1511).
Di dalam kurun waktu 11 tahun tepatnya pada tahun 1522 ekspedisi Ferdinand Magellan dari Spanyol berhasil mencapai Maluku, selisih waktu 57 tahun (1522-1579) Francis Drake dari Inggris datang menyusul ke kewilayah 'surga rempah-rempah' Maluku. Berawal dari rempah-rempah nafsu serakah untuk menguasai dalam wajah kolonialisme tertancap di bumi Maluku, gesekan kepentingan untuk saling menguasai antara Portugal dan Spanyol di Maluku pada abad XVI tidak dapat terhindarkan. Maka keluar perjanjian Tordesillas (1494) dan menyusul perjanjian Saragossa (1527) antara Spanyol dan Portugal. Hal hasil dari perjanjian tersebut Portugal dapat menguasai Maluku.
Kilasan sejarah tersebut merupakan 'rekam jejak' kolonialisme pertama kali hadir di bumi jamrud khatulistiwa, taktik dan strategi kolonial di dalam melakukan infiltrasi sampai menuju invasi dapat ketahui. Fakta penjajahan dapat ditelusuri melalui artefak seperti Benteng Victoria (1605) yang dibangun Portugal di Maluku, berfungsi sebagai benteng pertahanan. Juga Benteng Oranje (1607) di Ternate yang dibangun oleh Cornelis Matelief de Jonge (Belanda). Benteng ini pernah dijadikan pusat pemerintahan tertinggi Hindia Belanda (Gubernur Jenderal) Pieter Both, Herald Reynst, Laurenz Reaal, dan Jan Pieterszoon Coen.
Dari Benteng pertahanan sampai rute perjalanan alur laut kolonial memasuki Nusantara, sebagaimana diketemukannya beberapa artefak kapal laut kolonial yang karam di dasar laut. Dan legitimasi Mahkamah Internasional tentang batas kedaulatan wilayah Negara Kesatuan republik Indonesia (NKRI), mengacu pada peninggalan tanah jajahan Belanda. Dengan demikian 'patok batas' secara fisik peninggalan Belanda, kedepan menjadi sesuatu yang vital di dalam pembuktian wilayah kedaulatan Negara.
Walaupun bukan konteks benda cagar budaya, tetapi masih dalam 'satu tarikan nafas' peristiwa dikuasainya Pulau Sipadan dan Ligitan oleh Malaysia, karena lemahnya bukti otentik di Mahkamah Internasional. Merupakan pertanda urgensinya fisik bangunan dalam wilayah hukum Internasional. Serta perluasan pembangunan fisik didaratan Singapura melalui 'pasir laut', hampir saja mencaplok kedaulatan Indonesia khususnya pulau Nipa dan pulau lainnya disekitar wilayah propinsi kepulauan Riau. Satu lagi peristiwa penghancuran taman didepan stasiun Beos kota, dimana wilayah itu merupakan 'ring satu' zona benda cagar budaya. Kepentingan bisnis lebih penting daripada keamanan. Pembangunan shelter busway dan terowongan untuk pedestrian mengakibatkan dampak buruk bagi bangunan tua disekitarnya. Tercatat sedikitnya empat bangunan tua yang langsung terkena dampak negative yang diakibatkan dewatering saat pembangunan terowongan tersebut, keseimbangan air tanah disekitar lokasi terganggu. Dan keempat bangunan tua mengalami penurunan pondasi, dan dampak negatif apa yang akan tercipta kedepan? Tidak ada yang dapat mengatahui dan diperlukan kajian mendalam. Sampai saat ini kejelasan tentang barang sitaan Negara dari hasil penangkapan eksplorasi kapal VOC yang karam secara illegal, berapa jumlah dan nilai harta karun tersebut dan disimpan dimana masih dalam misteri.
Saksi bisu benda cagar budaya ternyata faktual dapat 'berbunyi' dan berkata jujur tanpa ada rekayasa maupun kebohongan.
Intelijen Benda Cagar Budaya (Heritage Intelligence)
Cegah tangkal di dalam pelestarian benda cagar budaya sudah waktunya diperkuat, perhitungan secara matematis tentang kekayaan 'adi luhung' bangsa Indonesia belum dapat direalisasikan. Kemampuan IPTEK di dalam kalkulasi sumber daya alam (SDA) kekayaan laut sudah dapat dihandalkan di negri kepulauan ini, padahal dahulu sebelum teori tersebut ada masih merupakan sesuatu yang 'ghaib' diwilayah alam bawah sadar. Sosok manusia dapat terbang Gatot Kaca yang hanya ada dalam cerita pewayangan, tersentak bahwa cerita itu bukan mitos melainkan teknos dengan kemampuan di dalam rekayasa teknologi kapal terbang (Dirgantara Indonesia).
Eksistensi heritage intelligence di dalam melakukan penelitian dan pendokumentasian, serta dapat juga melakukan 'audit' benda cagar budaya, merupakan pemecah dari kebekuan dan kerapuhan mengatasi permasalahan benda cagar budaya. Generasi kedepan perlu diberikan 'menu' visualitas bukan virtualitas. Melalaui intelijen benda cagar budaya sesuatu yang absurd menjadi rasional, investigasi tapak tilas untuk dapat mengumpulkan kembali serpihan sejarah yang tercecer dan hilang. Seperti analogi menjahit pakaian yang sudah usang termakan jaman, memerlukan sentuhan ketekunan penjahit handal. Semoga.***
BAROUSAI, BARUS, ATAU FANSUR: KISAH CEMERLANG DARI BERIBU TAHUN SILAM
BAROUSAI, BARUS, ATAU FANSUR:
KISAH CEMERLANG DARI BERIBU TAHUN SILAM
Kota bandar di tepian pantai barat Sumatra yang berabad lalu menjadi sebuah perkampungan multi-etnis yang penuh guyub, sarat daya tarik bagi para pedagang di hampir seluruh penjuru bumi, juga menjadi pintu masuknya berbagai peradaban dan agama-agama besar di bumi Nusantara itu kini telah sepi.
BARUS saat ini hanya sebuah ibukota Kecamatan, di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatra Utara. Posisinya berada di pinggir pantai barat Sumatera, sekitar 60 km sebelah utara Sibolga, atau sekitar 414 km dari
Dan boleh jadi, Barus adalah satu-satunya
Tapi apa gerangan yang menjadikan
Jawabnya tak lain adalah kapur barus (bhs Belanda: kamfer, dan mungkin dari kata kapur yang diucapkan kofur oleh bangsa Arab).[3] Konon, kapur barus asal kota barus inilah yang paling banyak dicari karena kualitasnya yang terbaik, paling laku dan harganya kurang lebih 8 kali lebih mahal daripada kapur-kapur barus asal tempat lain[4]. Dalam catatan pelancong Italia, Marco Polo bahkan disebutkan bahwa, harga kapur barus kala itu setara dengan harga emas dengan berat yang sama[5].
Seorang Belanda pernah menulis bahwa kemenyan dari Barus, telah dipakai sebagai salah satu bahan mengawetkan (membalsem) mayat raja-raja di Mesir sebelum Masehi[6]. Jika dugaan ini benar, maka berarti kota bandar Barus ini sudah ada sejak 5.000 tahun SM. Perkiraan akhir itu, didasarkan pada temuan bahan pengawet dari berbagai mummy Fir'aun Mesir Kuno salah satu pengawetnya menggunakan kanper atau kapur Barus. Sejarawan era kemerdekaan Moh. Yamin, bahkan memperkirakan bahwa, perdagangan rempah-rempah dan tentu saja kamfer, sudah dilakukan pedagang Nusantara sejak 6.000 tahun lalu ke berbagai penjuru dunia.
Hasil penelitian Innis Miller terhadap naskah Historia Naturalis karya Plinius di abad pertama juga sudah menunjukkan bahwa, para pedagang Nusantara pun ternyata sudah menjajakan komoditas mereka sampai ke Asia Barat dan Afrika Timur sejak abad permulaan Masehi[7]. Sementara Prof. Kern[8] pernah menulis bahwa
Begitu pentingnya
Dan tentu, seperti kata pepatah, ada gula ada semut. Pesona kapur barus dari selatan ini menggoda banyak pendatang. Sebagaimana dicatatan Ptolomaios, selain para penjelajah dari Yunani, juga datang pedagang dari
Dewan Gereja-gereja di Indonesia juga memercayai sejak tahun 645 Masehi di daerah Barus telah masuk umat Kristen dari sekte Nestorian. Keyakinan tersebut didasarkan pada buku kuno tulisan Shaikh Abu Salih al-Armini. Sementara itu, penjelajah dari Armenia Mabousahl mencatat bahwa pada abad ke-12 telah terdapat Gereja Nestorian.
Lalu datanglah para pedagang Arab memasuki Barus sekira 627-643 M atau sekitar tahun 1 Hijriah, dan menyebarkan agama Islam di daerah itu. Di antaranya Wahab bin Qabishah mendarat di Pulau Mursala pada 627 M. Ada juga utusan Khulafaur Rasyidin, bernama Syekh Ismail akan ke Samudera Pasai dan singgah di Barus, sekira tahun 634 M. Dan sejak itu pula, tercatat bangsa Arab (Islam) mendirikan koloni di Barus. Bangsa Arab menamakan Barus dengan sebutan Fansur atau Fansuri, misalnya oleh penulis Sulaiman pada 851 M dalam bukunya "Silsilatus Tawarikh."
Kedatangan bangsa Arab yang kemudian menyebarkan agama Islam itu juga disebutkan dalam berita-berita Cina, Hsin-Tang-shu[13] (Catatan Dinasti Tang, 618-907), dan Chu-fan-chi[14] (Catatan Negeri-negeri Asing) yang ditulis Chau Ju-kua pada tahun 1225. Di dalam dua kronik Cina itu banyak bercerita tentang Ta-shi, istilah Cina untuk menyebut Arab. (Chu-fan-chi menerangkan bahwa Ta-shi mempunyai seorang Buddha (maksudnya Nabi) yang bernama Ma-ha-mat (Muhammad). Dalam sehari mereka
Tentu, dapat dibayangkan betapa makmurnya
Seorang bekas kontrolir Belanda, G.J.J. Deutz, sewaktu bertugas di Barus,[18] menulis bahwa menurut rakyat setempat di Desa Lobutua pernah didapat penduduk sebuah batu bertulis pada dua bagian. Tetapi sayang, batu itu pada tahun 1857 dipecahkan oleh Raja Barus bernama Mara Pangkat. Pada tahun 1872 Deutz banyak menemukan pecahan batu peninggalan zaman Hindu yang telah dilupakan orang, telah berlumut. Dan baru pada tahun 1932, prasasti itu diterjemahkan Profesor Nila-kanti Sastri dari Universitas Madras.[19]
Prasasti itu menyebutkan bahwa paling sedikit sejak abad ke-11, telah bermukim di
Menurut Gnillout Claude[20], Barus adalah sebuah
Dan semua kemakmuran itu berkat aroma kapur barus yang diolah dari kayu kamfer. Hanya kini, komoditi yang begitu mempesona di masa silam itu, hingga konon juga dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5. 000 tahun sebelum Masehi itu, kini sudah lama tidak lagi diproduksi
Di komplek makam Syekh Machmud yang tertata rapi dan terletak di Bukit Papan Tinggi dan memang betul-betul tinggi sehingga harus melewati 710 anak tangga ini, menggantung sebuah tulisan, “Beri Salam dan Alas Kaki dibuka.” Seakan mengakhiri sebuah kisah perjalanan sebuah kota bandar di tepian pantai barat Sumatra yang berabad lalu menjadi sebuah perkampungan multi-etnis yang penuh guyub, sarat daya tarik bagi para pedagang di hampir seluruh penjuru bumi, juga menjadi pintu masuknya berbagai peradaban dan agama-agama besar di bumi Nusantara itu kini telah sepi.**
[1] Barus telah disebut oleh Ptolomeus kira kira tahun 150 Masehi. (Kozok, 1991, 14)
[2] W. J. van der Meulen, “Suvarnadvipa and the Chryse Chersonesos”,
[3] Encyclopdeia van Nederlandsch Indie
[4] Ada tiga jenis kapur barus pada saat itu yaitu: Kapur barus dari Kalimantan dan Sumatera (Dryobalanops aromatica), Kapur barus dari China dan Jepang (Cinnamomum Camphora) yang banyak beredar dipasaran dan yang ketiga adalah Blumea balsami- fera, yang diproduksi di China dengan nama kapur barus Ngai. Harga dari kapur barus asal Sumatera ini kira-kira 138 kali lebih mahal dari kapur barus
[5] “Travel of Marco Polo,” Buku 3 Bab 9 dan Buku 2 Bab 8 by Marco Polo dan Rustichello of Pisa
[6]
[7] J. Innis Miller, The Spice Trade of the Roman Empire, Oxford University Press, London, 1969, terutama Bab “The Cinnamon Route”
[8] Verspreide Geschriften No VI, halaman 15
[9] Po-lu-chi atau Po-lu-suo terkadang sering keliru diterjemahkan dalam text
[10] Oliver W. Wolters, Early Indonesian Commerce, Cornell University Press,
[11] Dari Desa Pansur sedikit di utara Barus
[12] Dari kata Kalasan, daerah penghasil kapur barus antara Kota Barus dan Sungai Chenendang
[13] Diterjemahkan oleh Paul Pelliot, “Deux Itineraires de Chine en Inde a la Fin du VIIIe Siecle”, BEFEO, 4, 1904, hal. 132-413
[14] Diterjemahkan oleh Friedrich Hirth dan W. W. Rockhill, Chau Ju-kua: His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries, entitled CHU-FAN-CHI, Imperial Academy of Sciences, St.Petersburg, 1911
[15] Lihat: F. Hirth dan W.W.Rockhill, hh. 114-124
[16] Berita ini tercantum dalam kronik Tung-tien buku 193 nomor 22b. Lihat: F.Hirth dan W.W.Rockhill, h. 119
[17] Paul Pelliot, h. 297. Lihat juga W. P. Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources, Bhratara, Jakarta, cetak ulang 1960, h. 14.
[18] Barus, G.J.J. Deutz, Tijdschr No. 22 tahun 1875
[19] A Tamil Merchant-guild in Sumatera oleh Prof. N. Sastri dalam Tijdschr No 72 tahun 1932
[20] “Lobu Tua Sejarah Barus”, Obor, 2002
Sabtu, 13 September 2008
KEMISKINAN DI PERBATASAN DAN NASIONALISME
oleh: Ir.H.M. Lukman Edy, Msi.
Komitmen untuk melakukan pembangunan nasional tentunya menjadi tanggung-jawab dari semua komponen bangsa, baik pemerintah, swasta maupun masyarakat itu sendiri. Konteks yang demikian, tentunya harus dilakukan dengan pendekatan secara holistik yang mencakup semua bagian dan wilayah bangsa.
Sejarah masa lalu tentang sentralisasi pembangunan, harus kita jadikan sebagai motivasi dan acuan untuk melakukan pembangunan di daerah-daerah yang selama ini proses pembangunannya belum maksimal. Dan, hal ini tentunya sejalan dengan semangat desentralisasi pembangunan.
Salah satu wilayah yang selama ini kurang optimal proses pembangunannya adalah wilayah-wilayah perbatasan. Padahal jelas bahwa wilayah perbatasan antar negara adalah beranda depan bangsa, serta daerah terjauh dari pusat yang dianggap banyak kalangan sebagai beranda belakang bangsa. Untuk itu, komitmen untuk melakukan pembagunan secara holistik di wilayah perbatasan negara.
Sesuai dengan Strategis Nasional Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal yang mengacu pada RPJMN 2004-2009 telah ditetapkan adanya 26 kabupaten diwilayah perbatasan yang mencakup 12 provinsi. Baik itu perbatasan darat maupun perbatasan laut, yang kesemuanya masuk dalam kategori daerah tertinggal.
Harus disadari pembangunan di perbatasan menjadi amat penting karena perbatasan memiliki beberapa nilai-nilai strategis, yang antara lain meliputi ; (a) mempunyai potensi sumber daya yang besar pengaruhnya terhadap aspek ekonomi, demografi, politis, dan hankam, serta pengembangan ruang wilayah di sekitarnya. (b) mempunyai dampak penting baik terhadap kegiatan yang sejenis maupun kegiatan lainnya, (c) merupakan faktor pendorong bagi peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat baik di wilayah yang bersangkutan maupun di wilayah sekitarnya, (d) mempunyai keterkaitan yang saling mempengaruhi dengan kegiatan yang dilaksanakan di wilayah lainnya yang berbatasan baik dalam lingkup nasional maupun regional, (e) mempunyai dampak terhadap kondisi politis dan pertahanan keamanan nasional dan regional.
Tantangan percepatan ditujukan untuk melindungi segenap penduduk dan kedaulatan seluruh wilayah negara, mengamankan pembangunan wilayah dan memelihara kerjasama dengan negara tetangga guna mewujudkan prinsip hidup berdampingan secara damai, aman, dan sejahtera.
Berdasarkan pada data yang dimiliki oleh KPDT, per akhir tahun 2006 total jumlah penduduk yang ada kabupaten-kabupaten di daerah perbatasan adalah 4,4 juta jiwa, atau rata-rata per kabupaten perbatasan sekitar 174.018 jiwa. Dengan persebaran penduduk rata-rata adalah 51 jiwa per 1 kilometer persegi. Hal ini menjukkan bahwa jumlah penduduk di daerah perbatasan relatif kecil, atau kurang sebanding dengan luas wilayahnya. Dan, secara lebih jauh, kondisi masyarakatnya adalah masyarakat miskin.
Aspek sosial ekonomi daerah perbatasan ditunjukkan oleh karakteristik daerah yang kurang berkembang (terbelakang) yang disebabkan antara lain oleh karena lokasinya yang relatif terisolir/terpencil dengan tingkat aksesibilitas yang rendah, rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan masyarakat, rendahnya tingkat kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat daerah perbatasan (jumlah penduduk miskin dan desa tertinggal), langkanya informasi tentang pemerintah dan pembangunan yang diterima oleh masyarakat di daerah perbatasan (blank spots).
Aspek hankam daerah perbatasan ditunjukkan oleh karakteristik luasnya wilayah pembinaan dan pola penyebaran penduduk yang tidak merata, sehingga menyebabkan rentang kendali pemerintahan sulit dilaksanakan, serta pengawasan dan pembinaan teritorial sulit dilaksanakan dengan mantap dan efisien. Aspek politis daerah perbatasan ditunjukkan oleh karakteristik kehidupan sosial ekonomi masyarakat daerah perbatasan yang relatif lebih berorientasi kepada kegiatan sosial ekonomi di negara tetangga
Kondisi inilah yang semenstinya mendorong bergulirnya berbagai program pengentasan kemiskinan bagi daerah perbatasan. Ini dilakukan mengingat masyarakat perbatasan amat rentan dengan ancaman disintegritas bangsa. Kecemburuan masyarakat melihat kondisi negara lain - yang di depan mata - bisa jadi berpotensi mendorong isu-isu disintegrasi di kalangan masyarakat sendiri.
Untuk itu, pemerintah berkomitmen tegas untuk menguranggi angka kemiskinan di perbatasan, sebagai bagian integral dari upaya untuk menjaga keutuhan wilayah NKRI serta menjaga semangat dan ruh nasionalisme di masyarakat itu sendiri.
Beberapa hal penting yang perlu untuk lebih ditekankan dalam rangka melakukan percepatan pembangunan daerah perbatasan antara lain bisa dilakukan dengan ; pertama, membangun sebuah kawasan pertumbuhan kerjasama regional, kawasan perbatasan yang berdimensi hankamnas, dan kawasan andalan regional, yang dikembangkan sesuai dengan rencana tata ruangnya dan diserasikan dengan kondisi, potensi dan aspirasi daerah sekitarnya.
Ini penting, mengingat daerah perbatasan sebenarnya memiliki ciri-ciri dan karakteristik yang hampir sama, baik dari topografi politiknya maupun topografi ekonominya. Sehingga pengembangan kawasan pertumbuhan regional diharapkan mampu mengurai serpihan-serpihan sejarah masa lalu dari masyarakat perbatasan itu sendiri.
Kedua, perlunya dibangun berbagai kesepakatan kerjasama antar negara yang secara geografis berbatasan, baik dalam bidang hankam, ekonomi, serta pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan daerah perbatasan.
Berbagai kerjasama semacam ini sebenanrnya pernah dilakukan oleh pemerintah, seperti kerjasama segitiga pertumbuhan IMS-GT (Indonesia, Malaysia, Singapura Growth Triangle) atau yang juga dikenal dengan kerjasama segitiga pertumbuhan SIJORI (Singapore-Johor-Riau), kerjasama segitiga pertumbuhan utara IMT-GT (Indonesia, Malaysia, Thailand Growth Triangle), kerjasama sosial ekonomi yang dijalin antara delapan propinsi di kawasan timur Indonesia dengan Propinsi Northern Teritorry di Australia, yang selanjutnya telah didepakati untuk dikembangkan menjadi Australia-Indonesia Development Area (AIDA), serta berbagai bentuk kerjasama lain yang melibatkan negara-negara yang berbatasan.
Sayangnya, berbagai bentuk kerjasama tersebut belum mampu berjalan secara optimal, karena aspek politik dan batas negara yang sampai saat ini masih menjadi perdebatan antar negara. Simak saja kasus Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan serta kasus Pulau Ambalat.
Untuk menjembatani hal tersebut, dibutuhkan sebuah kebijakan kerjasama yang secara prinsip mendorong peningkatan keserasian pertumbuhan antar daerah dan keserasian antar masyarakatnya. Hal ini penting, untuk meminimalisir kesenjangan ekonomi antar daerah perbatasan dan tentunya pengembangan ekonominya disesuaikan dengan kondisi daerah perbatasan masing-masing.
Selain itu, penekanan keserasian juga perlu mempertimbangkan aspek keserasian antar kawasan, yaitu kawasan timur dan kawasan barat. Hal ini didasari karena fakta daerah perbatasan yang tertinggal dan terisolasi.
Percepatan pembangunan daerah perbatasan dengan membangunan pusat pertumbuhan tentunya dalam upaya menjadikan daerah perbatasan sebagai kawasan pertumbuhan lintas batas internasional, kawasan perbatasan antarnegara, kawasan yang mendukung kepentingan pertahanan keamanan nasional, kawasan yang cepat berkembang, kawasan yang dapat memacu perekonomian daerah, kawasan yang mempunyai masalah khusus, dan kawasan lainnya yang memiliki pendekatan pembangunan wilayah yang terpadu.***
(Eko)
0 komentar:
Posting Komentar