Heritage Intelligence
Ketidak berdayaan pembuktian kekayaan dan kerugian Negara tentang peninggalan sejarah, yang telah hilang maupun masih ada merupakan 'titik lemah' untuk dapat menjelaskan dan mempertanggung jawabkan kepada publik.
Sebagaimana contoh hancurnya bangunan di proklamasi, dimana potret nyata detik-detik bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Pertanyaan kerugian apa saja yang diciptakan dari kehancuran bangunan proklamasi tersebut? Ternyata ketika di 'bedah' anatominya sungguh membuat kepala cekot-cekot, dari sisi Ilmu pengetahuan bukti nyata keberadaan fisik bangunan sudah tidak ada. Di dalam ranah berbeda seperti contoh ketika pulau Sipadan dan Ligitan diakui oleh Mahkamah Internasional di Belanda, fisik bangunan yang terdapat dikedua pulau tersebut adalah milik Malaysia. Pada akhirnya secara de jure maupun de fakto pulau Sipadan dan Ligitan milik sah Malaysia.
Terperanjat bahwa eksistensi fisik bangunan bukan persoalan sederhana, cara pandang melihat fisik bangunan selama ini hanya dilihat dari 'kaca mata kuda' yang melulu diukur dari perspektif estetika dan ekonomis semata. Padahal sebuah bangunan diciptakan melampaui tapal batas estetika dan ekonomi, sebagaimana masyarakat Jawa membangun rumah Panggang pe Ceregancet mirip dengan jasad hidup yang tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan kehidupan penghuninya.
Database Benda Cagar Budaya
Film petualangan Indiana Jones, National Treasure, dan Da Vinci Code, membuat adrenalin penonton terpacu. Kecerdasan mengumpulkan serpihan informasi yang tercecer, sehingga teka-teki dapat terpecahkan dan disusun ulang. Sungguh sebuah inspirasi. Tersebar dan terseraknya artefak benda cagar budaya dari berbagai wujud, baik dari sisa-sisa peninggalan kerajaan Nusantara sampai peninggalan kolonial. Sampai saat ini masih dalam 'terawangan' sebagai analogi berjalan dikegelapan tanpa cahaya. Keberadaan UU.No.5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya dan UU.No.26 Tahun 2007 Tentang Tata Ruang masih dalam tahap konsepsional, belum memasuki 'ranah' operasional di dalam pelestarian benda cagar budaya. Inventarisasi pendokumentasiaan sebagai database keberadaan benda cagar budaya dari berbagai ragam bentuk, sampai saat ini masih belum dapat direalisasikan. Padahal database tersebut merupakan 'peta hidup' sebagai alat deteksi dini, perihal kelangsungan pelestarian benda cagar budaya di Indonesia. Karena bila terwujud pendokumentasian tersebut, publik dapat mengetahui dan menjaga pelestarian dari benda cagar budaya yang dilindungi oleh Negara. Fungsi database dapat memberikan suguhan informasi, berapa jumlah benda cagar budaya yang dimiliki seperti Gedung, Benteng, Rumah, Masjid, Gereja, Vihara, Pusaka dan lain sebagainya. Dengan adanya informasi keberadaan artefak sejarah ini, penghancuran dan pencurian dapat maksimal dihindari.
Pendokumentasian mempunyai peran ganda di satu sisi dapat menjadi alat kontrol, disisi lain merupakan alat sosialisasi dari Undang-Undang tentang Benda Cagar Budaya yang murah dan efektif kepada warga Negara.
Benda Cagar Budaya dan Keamanan Nasional
Perjuangan panjang Vasco da Gama (1497-1499) mencapai India melalui Tanjung Harapan telah berhasil gilang gemilang, dari keberhasilan ini maka terbuka lebar pintu masuk pelayaran bangsa Eropa ke Asia. Setelah Tanjung Harapan ditundukkan, kini giliran Melaka dikuasai Portugal (1511).
Di dalam kurun waktu 11 tahun tepatnya pada tahun 1522 ekspedisi Ferdinand Magellan dari Spanyol berhasil mencapai Maluku, selisih waktu 57 tahun (1522-1579) Francis Drake dari Inggris datang menyusul ke kewilayah 'surga rempah-rempah' Maluku. Berawal dari rempah-rempah nafsu serakah untuk menguasai dalam wajah kolonialisme tertancap di bumi Maluku, gesekan kepentingan untuk saling menguasai antara Portugal dan Spanyol di Maluku pada abad XVI tidak dapat terhindarkan. Maka keluar perjanjian Tordesillas (1494) dan menyusul perjanjian Saragossa (1527) antara Spanyol dan Portugal. Hal hasil dari perjanjian tersebut Portugal dapat menguasai Maluku.
Kilasan sejarah tersebut merupakan 'rekam jejak' kolonialisme pertama kali hadir di bumi jamrud khatulistiwa, taktik dan strategi kolonial di dalam melakukan infiltrasi sampai menuju invasi dapat ketahui. Fakta penjajahan dapat ditelusuri melalui artefak seperti Benteng Victoria (1605) yang dibangun Portugal di Maluku, berfungsi sebagai benteng pertahanan. Juga Benteng Oranje (1607) di Ternate yang dibangun oleh Cornelis Matelief de Jonge (Belanda). Benteng ini pernah dijadikan pusat pemerintahan tertinggi Hindia Belanda (Gubernur Jenderal) Pieter Both, Herald Reynst, Laurenz Reaal, dan Jan Pieterszoon Coen.
Dari Benteng pertahanan sampai rute perjalanan alur laut kolonial memasuki Nusantara, sebagaimana diketemukannya beberapa artefak kapal laut kolonial yang karam di dasar laut. Dan legitimasi Mahkamah Internasional tentang batas kedaulatan wilayah Negara Kesatuan republik Indonesia (NKRI), mengacu pada peninggalan tanah jajahan Belanda. Dengan demikian 'patok batas' secara fisik peninggalan Belanda, kedepan menjadi sesuatu yang vital di dalam pembuktian wilayah kedaulatan Negara.
Walaupun bukan konteks benda cagar budaya, tetapi masih dalam 'satu tarikan nafas' peristiwa dikuasainya Pulau Sipadan dan Ligitan oleh Malaysia, karena lemahnya bukti otentik di Mahkamah Internasional. Merupakan pertanda urgensinya fisik bangunan dalam wilayah hukum Internasional. Serta perluasan pembangunan fisik didaratan Singapura melalui 'pasir laut', hampir saja mencaplok kedaulatan Indonesia khususnya pulau Nipa dan pulau lainnya disekitar wilayah propinsi kepulauan Riau. Satu lagi peristiwa penghancuran taman didepan stasiun Beos kota, dimana wilayah itu merupakan 'ring satu' zona benda cagar budaya. Kepentingan bisnis lebih penting daripada keamanan. Pembangunan shelter busway dan terowongan untuk pedestrian mengakibatkan dampak buruk bagi bangunan tua disekitarnya. Tercatat sedikitnya empat bangunan tua yang langsung terkena dampak negative yang diakibatkan dewatering saat pembangunan terowongan tersebut, keseimbangan air tanah disekitar lokasi terganggu. Dan keempat bangunan tua mengalami penurunan pondasi, dan dampak negatif apa yang akan tercipta kedepan? Tidak ada yang dapat mengatahui dan diperlukan kajian mendalam. Sampai saat ini kejelasan tentang barang sitaan Negara dari hasil penangkapan eksplorasi kapal VOC yang karam secara illegal, berapa jumlah dan nilai harta karun tersebut dan disimpan dimana masih dalam misteri.
Saksi bisu benda cagar budaya ternyata faktual dapat 'berbunyi' dan berkata jujur tanpa ada rekayasa maupun kebohongan.
Intelijen Benda Cagar Budaya (Heritage Intelligence)
Cegah tangkal di dalam pelestarian benda cagar budaya sudah waktunya diperkuat, perhitungan secara matematis tentang kekayaan 'adi luhung' bangsa Indonesia belum dapat direalisasikan. Kemampuan IPTEK di dalam kalkulasi sumber daya alam (SDA) kekayaan laut sudah dapat dihandalkan di negri kepulauan ini, padahal dahulu sebelum teori tersebut ada masih merupakan sesuatu yang 'ghaib' diwilayah alam bawah sadar. Sosok manusia dapat terbang Gatot Kaca yang hanya ada dalam cerita pewayangan, tersentak bahwa cerita itu bukan mitos melainkan teknos dengan kemampuan di dalam rekayasa teknologi kapal terbang (Dirgantara Indonesia).
Eksistensi heritage intelligence di dalam melakukan penelitian dan pendokumentasian, serta dapat juga melakukan 'audit' benda cagar budaya, merupakan pemecah dari kebekuan dan kerapuhan mengatasi permasalahan benda cagar budaya. Generasi kedepan perlu diberikan 'menu' visualitas bukan virtualitas. Melalaui intelijen benda cagar budaya sesuatu yang absurd menjadi rasional, investigasi tapak tilas untuk dapat mengumpulkan kembali serpihan sejarah yang tercecer dan hilang. Seperti analogi menjahit pakaian yang sudah usang termakan jaman, memerlukan sentuhan ketekunan penjahit handal. Semoga.***
BAROUSAI, BARUS, ATAU FANSUR: KISAH CEMERLANG DARI BERIBU TAHUN SILAM
BAROUSAI, BARUS, ATAU FANSUR:
KISAH CEMERLANG DARI BERIBU TAHUN SILAM
Kota bandar di tepian pantai barat Sumatra yang berabad lalu menjadi sebuah perkampungan multi-etnis yang penuh guyub, sarat daya tarik bagi para pedagang di hampir seluruh penjuru bumi, juga menjadi pintu masuknya berbagai peradaban dan agama-agama besar di bumi Nusantara itu kini telah sepi.
BARUS saat ini hanya sebuah ibukota Kecamatan, di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatra Utara. Posisinya berada di pinggir pantai barat Sumatera, sekitar 60 km sebelah utara Sibolga, atau sekitar 414 km dari
Dan boleh jadi, Barus adalah satu-satunya
Tapi apa gerangan yang menjadikan
Jawabnya tak lain adalah kapur barus (bhs Belanda: kamfer, dan mungkin dari kata kapur yang diucapkan kofur oleh bangsa Arab).[3] Konon, kapur barus asal kota barus inilah yang paling banyak dicari karena kualitasnya yang terbaik, paling laku dan harganya kurang lebih 8 kali lebih mahal daripada kapur-kapur barus asal tempat lain[4]. Dalam catatan pelancong Italia, Marco Polo bahkan disebutkan bahwa, harga kapur barus kala itu setara dengan harga emas dengan berat yang sama[5].
Seorang Belanda pernah menulis bahwa kemenyan dari Barus, telah dipakai sebagai salah satu bahan mengawetkan (membalsem) mayat raja-raja di Mesir sebelum Masehi[6]. Jika dugaan ini benar, maka berarti kota bandar Barus ini sudah ada sejak 5.000 tahun SM. Perkiraan akhir itu, didasarkan pada temuan bahan pengawet dari berbagai mummy Fir'aun Mesir Kuno salah satu pengawetnya menggunakan kanper atau kapur Barus. Sejarawan era kemerdekaan Moh. Yamin, bahkan memperkirakan bahwa, perdagangan rempah-rempah dan tentu saja kamfer, sudah dilakukan pedagang Nusantara sejak 6.000 tahun lalu ke berbagai penjuru dunia.
Hasil penelitian Innis Miller terhadap naskah Historia Naturalis karya Plinius di abad pertama juga sudah menunjukkan bahwa, para pedagang Nusantara pun ternyata sudah menjajakan komoditas mereka sampai ke Asia Barat dan Afrika Timur sejak abad permulaan Masehi[7]. Sementara Prof. Kern[8] pernah menulis bahwa
Begitu pentingnya
Dan tentu, seperti kata pepatah, ada gula ada semut. Pesona kapur barus dari selatan ini menggoda banyak pendatang. Sebagaimana dicatatan Ptolomaios, selain para penjelajah dari Yunani, juga datang pedagang dari
Dewan Gereja-gereja di Indonesia juga memercayai sejak tahun 645 Masehi di daerah Barus telah masuk umat Kristen dari sekte Nestorian. Keyakinan tersebut didasarkan pada buku kuno tulisan Shaikh Abu Salih al-Armini. Sementara itu, penjelajah dari Armenia Mabousahl mencatat bahwa pada abad ke-12 telah terdapat Gereja Nestorian.
Lalu datanglah para pedagang Arab memasuki Barus sekira 627-643 M atau sekitar tahun 1 Hijriah, dan menyebarkan agama Islam di daerah itu. Di antaranya Wahab bin Qabishah mendarat di Pulau Mursala pada 627 M. Ada juga utusan Khulafaur Rasyidin, bernama Syekh Ismail akan ke Samudera Pasai dan singgah di Barus, sekira tahun 634 M. Dan sejak itu pula, tercatat bangsa Arab (Islam) mendirikan koloni di Barus. Bangsa Arab menamakan Barus dengan sebutan Fansur atau Fansuri, misalnya oleh penulis Sulaiman pada 851 M dalam bukunya "Silsilatus Tawarikh."
Kedatangan bangsa Arab yang kemudian menyebarkan agama Islam itu juga disebutkan dalam berita-berita Cina, Hsin-Tang-shu[13] (Catatan Dinasti Tang, 618-907), dan Chu-fan-chi[14] (Catatan Negeri-negeri Asing) yang ditulis Chau Ju-kua pada tahun 1225. Di dalam dua kronik Cina itu banyak bercerita tentang Ta-shi, istilah Cina untuk menyebut Arab. (Chu-fan-chi menerangkan bahwa Ta-shi mempunyai seorang Buddha (maksudnya Nabi) yang bernama Ma-ha-mat (Muhammad). Dalam sehari mereka
Tentu, dapat dibayangkan betapa makmurnya
Seorang bekas kontrolir Belanda, G.J.J. Deutz, sewaktu bertugas di Barus,[18] menulis bahwa menurut rakyat setempat di Desa Lobutua pernah didapat penduduk sebuah batu bertulis pada dua bagian. Tetapi sayang, batu itu pada tahun 1857 dipecahkan oleh Raja Barus bernama Mara Pangkat. Pada tahun 1872 Deutz banyak menemukan pecahan batu peninggalan zaman Hindu yang telah dilupakan orang, telah berlumut. Dan baru pada tahun 1932, prasasti itu diterjemahkan Profesor Nila-kanti Sastri dari Universitas Madras.[19]
Prasasti itu menyebutkan bahwa paling sedikit sejak abad ke-11, telah bermukim di
Menurut Gnillout Claude[20], Barus adalah sebuah
Dan semua kemakmuran itu berkat aroma kapur barus yang diolah dari kayu kamfer. Hanya kini, komoditi yang begitu mempesona di masa silam itu, hingga konon juga dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5. 000 tahun sebelum Masehi itu, kini sudah lama tidak lagi diproduksi
Di komplek makam Syekh Machmud yang tertata rapi dan terletak di Bukit Papan Tinggi dan memang betul-betul tinggi sehingga harus melewati 710 anak tangga ini, menggantung sebuah tulisan, “Beri Salam dan Alas Kaki dibuka.” Seakan mengakhiri sebuah kisah perjalanan sebuah kota bandar di tepian pantai barat Sumatra yang berabad lalu menjadi sebuah perkampungan multi-etnis yang penuh guyub, sarat daya tarik bagi para pedagang di hampir seluruh penjuru bumi, juga menjadi pintu masuknya berbagai peradaban dan agama-agama besar di bumi Nusantara itu kini telah sepi.**
[1] Barus telah disebut oleh Ptolomeus kira kira tahun 150 Masehi. (Kozok, 1991, 14)
[2] W. J. van der Meulen, “Suvarnadvipa and the Chryse Chersonesos”,
[3] Encyclopdeia van Nederlandsch Indie
[4] Ada tiga jenis kapur barus pada saat itu yaitu: Kapur barus dari Kalimantan dan Sumatera (Dryobalanops aromatica), Kapur barus dari China dan Jepang (Cinnamomum Camphora) yang banyak beredar dipasaran dan yang ketiga adalah Blumea balsami- fera, yang diproduksi di China dengan nama kapur barus Ngai. Harga dari kapur barus asal Sumatera ini kira-kira 138 kali lebih mahal dari kapur barus
[5] “Travel of Marco Polo,” Buku 3 Bab 9 dan Buku 2 Bab 8 by Marco Polo dan Rustichello of Pisa
[6]
[7] J. Innis Miller, The Spice Trade of the Roman Empire, Oxford University Press, London, 1969, terutama Bab “The Cinnamon Route”
[8] Verspreide Geschriften No VI, halaman 15
[9] Po-lu-chi atau Po-lu-suo terkadang sering keliru diterjemahkan dalam text
[10] Oliver W. Wolters, Early Indonesian Commerce, Cornell University Press,
[11] Dari Desa Pansur sedikit di utara Barus
[12] Dari kata Kalasan, daerah penghasil kapur barus antara Kota Barus dan Sungai Chenendang
[13] Diterjemahkan oleh Paul Pelliot, “Deux Itineraires de Chine en Inde a la Fin du VIIIe Siecle”, BEFEO, 4, 1904, hal. 132-413
[14] Diterjemahkan oleh Friedrich Hirth dan W. W. Rockhill, Chau Ju-kua: His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries, entitled CHU-FAN-CHI, Imperial Academy of Sciences, St.Petersburg, 1911
[15] Lihat: F. Hirth dan W.W.Rockhill, hh. 114-124
[16] Berita ini tercantum dalam kronik Tung-tien buku 193 nomor 22b. Lihat: F.Hirth dan W.W.Rockhill, h. 119
[17] Paul Pelliot, h. 297. Lihat juga W. P. Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources, Bhratara, Jakarta, cetak ulang 1960, h. 14.
[18] Barus, G.J.J. Deutz, Tijdschr No. 22 tahun 1875
[19] A Tamil Merchant-guild in Sumatera oleh Prof. N. Sastri dalam Tijdschr No 72 tahun 1932
[20] “Lobu Tua Sejarah Barus”, Obor, 2002
Selasa, 16 September 2008
Arti KTT Bilateral RI-Malaysia
* Oleh Chusnan Maghribi
KONFERENSI Tingkat Tinggi (KTT) bilateral antara Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan PM Malaysia Abdullah Ahmad Badawi di Bukit Tinggi, Sumatra Barat, 12-13 Januari 2006, punya arti strategis dalam upaya memaksimalkan penanganan penyelesaian berbagai masalah hubungan RI-Malaysia demi terbangunnya hubungan bilateral yang lebih bersahabat, kuat (tidak lagi labil), dan produktif di segala bidang.
Ini tercermin dengan padatnya agenda pembicaraan kedua pemimpin, yang meliputi hampir semua lini kehidupan, mulai dari sosial ekonomi, politik dan keamanan, sampai budaya dan lingkungan hidup.
Hal itu wajar, mengingat betapa kompleks dan serius permasalahan yang muncul dalam jalinan hubungan dua negeri serumpun di bidang-bidang tersebut. Di bidang sosial ekonomi, selain ada masalah klasik puluhan ribu tenaga kerja Indonesia (TKI) ilegal, juga kesenjangan sosial ekonomi yang teramat mencolok antara penduduk kedua negara di kawasan perbatasan sebagaimana terlihat di Desa Aji Kuning, Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur (Kaltim).
Di bidang politik telah mengadang isu sengketa wilayah perbatasan, semisal Blok Ambalat, dengan segala tetekbengeknya. Di bidang keamanan menyembul masalah terorisme lintas nasional seperti yang diperlihatkan Dr Azahari (almarhum) dan Noordin M Top yang berkewarganegaraan Malaysia.
Di bidang lingkungan hidup muncul masalah perusakan hutan dengan segala efek samping yang ditimbulkannya, serta penyelundupan kayu hasil illegal logging dari Indonesia ke Malaysia di mana sebagian pelakunya warga negara negeri jiran itu.
Penanganan bagi upaya penyelesaian semua persoalan tersebut jelas kelewat penting, sangat dibutuhkan kedua negara. Namun, pelaksanaannya perlu dengan membuat skala prioritas: isu-isu apa saja yang harus diselesaikan sesegera mungkin (dalam jangka pendek), jangka menengah, dan jangka panjang biar tidak terjadi tumpang tindih dan jelas target pencapaian penyelesaiannya.
Sengketa wilayah Blok Ambalat serta wilayah-wilayah perbatasan lain yang berpotensi disengketakan, adalah satu dari beberapa isu panas yang upaya penyelesaiannya harus mendapat prioritas (dilakukan secepat mungkin), tak bisa ditawar. Ini penting terutama bagi RI guna, misalnya, menjamin kenyamanan Unocal East Ambalat Ltd yang tengah melakukan eksplorasi minyak di wilayah perairan di Laut Sulawesi itu.
Terkait upaya penyelesaian Ambalat, mestinya Pemerintah Malaysia mau menyadari kekeliruannya lantaran mengklaim Ambalat sebagai teritorialnya.
Bagaimanapun, klaim Kuala Lumpur atas Ambalat tidak berdasar. Peta Wilayah 1979 yang dijadikan dasar klaimnya sangatlah tidak fair dan tidak lazim, karena garis-garis batas di dalam peta itu ditarik dengan patokan-patokan yang cuma diketahui sepihak oleh Malaysia. Padahal, dalam pergaulan internasional, lazimnya sebuah negara memberitahukan titik-titik dasar untuk menentukan batas-batas wilayahnya supaya negara-negara tetangga memahaminya.
Melihat bagaimana Malaysia dengan Peta Tahun 1979 menarik garis batas di Laut Sulawesi, negara itu bukan saja mengklaim wilayah RI seluas 8000 kilometer persegi, tetapi juga wilayah Filipina seluas 17.000 kilometer persegi.
Lagi pula, dengan dikeluarkannya Konvensi Hukum Laut PBB (United Nations Convention on the Law of the Sea / UNCLOS) tahun 1982, Peta Wilayah Malaysia 1979 sebetulnya tidak dapat diberlakukan karena tidak sesuai dengan konvensi tersebut.
Jadi, tepat sekiranya Kuala Lumpur menyadari kekeliruannya itu. Syukur, saat ber-KTT dengan Presiden Yudhoyono di Bukit Tinggi, PM Badawi dengan jiwa besar mau menyampaikan permohonan maaf atas kekeliruannya tadi. Sikap demikian selain mencerminkan ke-gentelman - annya selaku pemimpin negara, juga sangat terpuji. Masalahnya, apakah PM Badawi tipe pemimpin berjiwa besar seperti itu ataukah bukan?
Sementara itu, wilayah-wilayah perbatasan lain yang berpotensi disengketakan juga mendesak diupayakan langkah preventifnya agar tidak meledak menjadi dispute territory (wilayah sengketa). Keberadaannya perlu ditata, diatur, guna memastikan bahwa wilayah itu masuk dalam kedaulatan RI ataukah yarisdiksi Malaysia.
Cukup banyak wilayah (pulau) di kawasan perbatasan RI-Malaysia yang berpotensi menjadi dispute territory . Sekadar contoh nyata adalah Pulau Berhala di Sumatra Utara; Pulau Pelampong, Batu Berhanti dan Nongsa di Riau; serta Pulau Gosong Makassar di Kalimantan Timur.
Berdasarkan Peta Wilayah RI di Departemen Kelautan dan Perikanan, pulau-pulau tersebut berada sangat dekat - bahkan tepat - di garis batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) maupun batas laut teritorial yang rawan konflik/sengketa.
Di antara pulau tersebut ada yang tidak berpenghuni. Jika tidak segera ditata guna memperjelas keberadaannya tidak mustahil akan terjadi silent occupation (pencaplokan diam-diam) wilayah itu oleh Malaysia. Secara hukum internasional, tindakan okupasi dapat/boleh dilakukan oleh sebuah negara terhadap suatu wilayah tak bertuan/berpenghuni (terra nullius).
Di luar itu, wilayah perbatasan RI-Malaysia - khususnya di darat - pada dasarnya rentan menimbulkan sengketa. Pasalnya, perbatasan darat kedua negara terutama di kawasan hutan tidak terdapat tanda batas fisik yang spesifik dan jelas, semisal pagar atau tugu perbatasan. Karena itu, keberadaannya juga mesti ditata ulang berdasarkan kesepakatan kedua negara.
Di Kalimantan, wilayah perbatasan darat membentang sepanjang 1.950 kilometer. Di Kaltim yang panjang perbatasannya mencapai 1.038 kilometer, berada di tiga kabupaten (Nunukan, Malinau dan Kutai Barat), hanya terdapat 700 patok perbatasan. Patok perbatasan di tengah hutan maupun perbukitan terjal tidak bisa dilihat dari radius dekat sekalipun. Untuk mengetahuinya harus bersusah-payah mencarinya di tengah hutan ataupun perbukitan.
Lebih parah lagi, penjagaan wilayah perbatasan Kalimantan dengan Sabah dan Sarawak itu terlampau longgar. Sepanjang perbatasan sekitar 1.950 kilometer itu di pihak RI hanya tersedia 30 pos penjagaan dengan cuma menerjunkan satu brigade prajurit TNI Angkatan Darat (AD). Itu berarti, tiap pos dengan hanya 30-40 tentara harus menjaga wilayah perbatasan sepanjang 65 kilometer.
Kondisi buruk ini diperparah dengan minimnya peralatan komunikasi yang tersedia di pos-pos penjagaan. Di 30 pos penjagaan hanya tersedia enam global positioning system (GPS) serta tidak ada telepon satelit untuk berhubungan dengan jalur komando.
Sementara di pihak Malaysia mengerahkan petugas pertahanan sebanyak satu divisi, terbagi dalam tiga brigade, di sepanjang wilayah perbatasan Sabah/Sarawak-Kalimantan. Mereka dilengkapi dengan sarana telekomunikasi dan jaminan pemenuhan kebutuhan hidup yang lebih baik ketimbang prajurit TNI. Tetapi, itupun belum juga memadai untuk menutup celah-celah yang bisa dilalui untuk menyelundupkan barang-barang maupun manusia secara ilegal baik dari maupun ke Malaysia.
Jadi, sekiranya upaya penyelesaian masalah Ambalat lewat jalur diplomasi (KTT bilateral SBY-Badawi) efektif, dan upaya pencegahan wilayah-wilayah perbatasan berpotensi sengketa juga efektif; berarti modal politik bagi penciptaan bangunan hubungan RI-Malaysia yang lebih bersahabat, kuat dan produktif di berbagai bidang terpenuhi. Apalagi kalau masalah krusial lain semisal keberadaan sekitar 30 ribu TKI ilegal dan penyelundupan besar-besaran kayu hasil illegal logging dari Indonesia ke Malaysia juga bisa diatasi dengan baik. Niscaya, semakin besar dan kuat lah modal politik itu.
Jika memang begitu halnya, sangat lah objektif sekiranya kemudian muncul gagasan perlunya penjagaan bersama kawasan perbatasan Kalimantan-Sabah/Sarawak oleh prajurit TNI dan pasukan Diraja Malaysia.
Atau, ide pentingnya pembangunan bersama kawasan perbatasan Kalimantan-Sabah/Sarawak dengan basis pemberdayaan pertanian, perkebunan, peternakan dan perniagaan/perdagangan demi terciptanya pertumbuhan ekonomi bersama yang setara supaya tidak terjadi kesenjangan mencolok di antara penduduk kedua negara di kawasan perbatasan. Dalam pembicaraannya di KTT Bukit Tinggi, Presiden SBY dan PM Badawi agaknya perlu menyinggung pentingnya kedua gagasan itu untuk diadopsi sekaligus direalisasi menjadi tindakan nyata bilamana kedua pemimpin itu betul-betul ingin hubungan RI-Malaysia yang pada dasarnya memang saling membutuhkan itu berlangsung lebih bersahabat, kuat dan produktif dengan prinsip saling menguntungkan di kemudian hari. (11)
- Chusnan Maghribi, staf peneliti lembaga survei independen CIIS di Yogyakarta.
0 komentar:
Posting Komentar