Heritage Intelligence

Mendengar intelijen ingatan langsung tertuju kepada James Bond 007, CIA, KGB, dan Mossad. Institusi intelijen Negara yang bekerja dalam ketertutupan dan menyeramkan seperti kisah Victor Ostrovsky atau novel Body of Lies karya David Ignatius. Intelijen Benda Cagar Budaya (Heritage Intelligence) bukan merupakan pengenjawantahan dari Lembaga Intelijen Negara, melainkan pekerjaan penelitian dan pendokumentasian tentang keberadaan benda cagar budaya yang ada di Indonesia. Banyaknya peninggalan kekayaan artefak sejarah yang telah lenyap atau musnah, sehingga menciptakan kerugian besar hampir disetiap sektor baik dari Ilmu pengetahuan, sosial-budaya, ekonomi dan pertahanan keamanan Negara.
Ketidak berdayaan pembuktian kekayaan dan kerugian Negara tentang peninggalan sejarah, yang telah hilang maupun masih ada merupakan 'titik lemah' untuk dapat menjelaskan dan mempertanggung jawabkan kepada publik.
Sebagaimana contoh hancurnya bangunan di proklamasi, dimana potret nyata detik-detik bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Pertanyaan kerugian apa saja yang diciptakan dari kehancuran bangunan proklamasi tersebut? Ternyata ketika di 'bedah' anatominya sungguh membuat kepala cekot-cekot, dari sisi Ilmu pengetahuan bukti nyata keberadaan fisik bangunan sudah tidak ada. Di dalam ranah berbeda seperti contoh ketika pulau Sipadan dan Ligitan diakui oleh Mahkamah Internasional di Belanda, fisik bangunan yang terdapat dikedua pulau tersebut adalah milik Malaysia. Pada akhirnya secara de jure maupun de fakto pulau Sipadan dan Ligitan milik sah Malaysia.
Terperanjat bahwa eksistensi fisik bangunan bukan persoalan sederhana, cara pandang melihat fisik bangunan selama ini hanya dilihat dari 'kaca mata kuda' yang melulu diukur dari perspektif estetika dan ekonomis semata. Padahal sebuah bangunan diciptakan melampaui tapal batas estetika dan ekonomi, sebagaimana masyarakat Jawa membangun rumah Panggang pe Ceregancet mirip dengan jasad hidup yang tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan kehidupan penghuninya.

Database Benda Cagar Budaya

Film petualangan Indiana Jones, National Treasure, dan Da Vinci Code, membuat adrenalin penonton terpacu. Kecerdasan mengumpulkan serpihan informasi yang tercecer, sehingga teka-teki dapat terpecahkan dan disusun ulang. Sungguh sebuah inspirasi. Tersebar dan terseraknya artefak benda cagar budaya dari berbagai wujud, baik dari sisa-sisa peninggalan kerajaan Nusantara sampai peninggalan kolonial. Sampai saat ini masih dalam 'terawangan' sebagai analogi berjalan dikegelapan tanpa cahaya. Keberadaan UU.No.5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya dan UU.No.26 Tahun 2007 Tentang Tata Ruang masih dalam tahap konsepsional, belum memasuki 'ranah' operasional di dalam pelestarian benda cagar budaya. Inventarisasi pendokumentasiaan sebagai database keberadaan benda cagar budaya dari berbagai ragam bentuk, sampai saat ini masih belum dapat direalisasikan. Padahal database tersebut merupakan 'peta hidup' sebagai alat deteksi dini, perihal kelangsungan pelestarian benda cagar budaya di Indonesia. Karena bila terwujud pendokumentasian tersebut, publik dapat mengetahui dan menjaga pelestarian dari benda cagar budaya yang dilindungi oleh Negara. Fungsi database dapat memberikan suguhan informasi, berapa jumlah benda cagar budaya yang dimiliki seperti Gedung, Benteng, Rumah, Masjid, Gereja, Vihara, Pusaka dan lain sebagainya. Dengan adanya informasi keberadaan artefak sejarah ini, penghancuran dan pencurian dapat maksimal dihindari.
Pendokumentasian mempunyai peran ganda di satu sisi dapat menjadi alat kontrol, disisi lain merupakan alat sosialisasi dari Undang-Undang tentang Benda Cagar Budaya yang murah dan efektif kepada warga Negara.

Benda Cagar Budaya dan Keamanan Nasional

Perjuangan panjang Vasco da Gama (1497-1499) mencapai India melalui Tanjung Harapan telah berhasil gilang gemilang, dari keberhasilan ini maka terbuka lebar pintu masuk pelayaran bangsa Eropa ke Asia. Setelah Tanjung Harapan ditundukkan, kini giliran Melaka dikuasai Portugal (1511).
Di dalam kurun waktu 11 tahun tepatnya pada tahun 1522 ekspedisi Ferdinand Magellan dari Spanyol berhasil mencapai Maluku, selisih waktu 57 tahun (1522-1579) Francis Drake dari Inggris datang menyusul ke kewilayah 'surga rempah-rempah' Maluku. Berawal dari rempah-rempah nafsu serakah untuk menguasai dalam wajah kolonialisme tertancap di bumi Maluku, gesekan kepentingan untuk saling menguasai antara Portugal dan Spanyol di Maluku pada abad XVI tidak dapat terhindarkan. Maka keluar perjanjian Tordesillas (1494) dan menyusul perjanjian Saragossa (1527) antara Spanyol dan Portugal. Hal hasil dari perjanjian tersebut Portugal dapat menguasai Maluku.
Kilasan sejarah tersebut merupakan 'rekam jejak' kolonialisme pertama kali hadir di bumi jamrud khatulistiwa, taktik dan strategi kolonial di dalam melakukan infiltrasi sampai menuju invasi dapat ketahui. Fakta penjajahan dapat ditelusuri melalui artefak seperti Benteng Victoria (1605) yang dibangun Portugal di Maluku, berfungsi sebagai benteng pertahanan. Juga Benteng Oranje (1607) di Ternate yang dibangun oleh Cornelis Matelief de Jonge (Belanda). Benteng ini pernah dijadikan pusat pemerintahan tertinggi Hindia Belanda (Gubernur Jenderal) Pieter Both, Herald Reynst, Laurenz Reaal, dan Jan Pieterszoon Coen.
Dari Benteng pertahanan sampai rute perjalanan alur laut kolonial memasuki Nusantara, sebagaimana diketemukannya beberapa artefak kapal laut kolonial yang karam di dasar laut. Dan legitimasi Mahkamah Internasional tentang batas kedaulatan wilayah Negara Kesatuan republik Indonesia (NKRI), mengacu pada peninggalan tanah jajahan Belanda. Dengan demikian 'patok batas' secara fisik peninggalan Belanda, kedepan menjadi sesuatu yang vital di dalam pembuktian wilayah kedaulatan Negara.
Walaupun bukan konteks benda cagar budaya, tetapi masih dalam 'satu tarikan nafas' peristiwa dikuasainya Pulau Sipadan dan Ligitan oleh Malaysia, karena lemahnya bukti otentik di Mahkamah Internasional. Merupakan pertanda urgensinya fisik bangunan dalam wilayah hukum Internasional. Serta perluasan pembangunan fisik didaratan Singapura melalui 'pasir laut', hampir saja mencaplok kedaulatan Indonesia khususnya pulau Nipa dan pulau lainnya disekitar wilayah propinsi kepulauan Riau. Satu lagi peristiwa penghancuran taman didepan stasiun Beos kota, dimana wilayah itu merupakan 'ring satu' zona benda cagar budaya. Kepentingan bisnis lebih penting daripada keamanan. Pembangunan shelter busway dan terowongan untuk pedestrian mengakibatkan dampak buruk bagi bangunan tua disekitarnya. Tercatat sedikitnya empat bangunan tua yang langsung terkena dampak negative yang diakibatkan dewatering saat pembangunan terowongan tersebut, keseimbangan air tanah disekitar lokasi terganggu. Dan keempat bangunan tua mengalami penurunan pondasi, dan dampak negatif apa yang akan tercipta kedepan? Tidak ada yang dapat mengatahui dan diperlukan kajian mendalam. Sampai saat ini kejelasan tentang barang sitaan Negara dari hasil penangkapan eksplorasi kapal VOC yang karam secara illegal, berapa jumlah dan nilai harta karun tersebut dan disimpan dimana masih dalam misteri.
Saksi bisu benda cagar budaya ternyata faktual dapat 'berbunyi' dan berkata jujur tanpa ada rekayasa maupun kebohongan.

Intelijen Benda Cagar Budaya (Heritage Intelligence)

Cegah tangkal di dalam pelestarian benda cagar budaya sudah waktunya diperkuat, perhitungan secara matematis tentang kekayaan 'adi luhung' bangsa Indonesia belum dapat direalisasikan. Kemampuan IPTEK di dalam kalkulasi sumber daya alam (SDA) kekayaan laut sudah dapat dihandalkan di negri kepulauan ini, padahal dahulu sebelum teori tersebut ada masih merupakan sesuatu yang 'ghaib' diwilayah alam bawah sadar. Sosok manusia dapat terbang Gatot Kaca yang hanya ada dalam cerita pewayangan, tersentak bahwa cerita itu bukan mitos melainkan teknos dengan kemampuan di dalam rekayasa teknologi kapal terbang (Dirgantara Indonesia).
Eksistensi heritage intelligence di dalam melakukan penelitian dan pendokumentasian, serta dapat juga melakukan 'audit' benda cagar budaya, merupakan pemecah dari kebekuan dan kerapuhan mengatasi permasalahan benda cagar budaya. Generasi kedepan perlu diberikan 'menu' visualitas bukan virtualitas. Melalaui intelijen benda cagar budaya sesuatu yang absurd menjadi rasional, investigasi tapak tilas untuk dapat mengumpulkan kembali serpihan sejarah yang tercecer dan hilang. Seperti analogi menjahit pakaian yang sudah usang termakan jaman, memerlukan sentuhan ketekunan penjahit handal. Semoga.***

BAROUSAI, BARUS, ATAU FANSUR: KISAH CEMERLANG DARI BERIBU TAHUN SILAM

BAROUSAI, BARUS, ATAU FANSUR:

KISAH CEMERLANG DARI BERIBU TAHUN SILAM

Kota bandar di tepian pantai barat Sumatra yang berabad lalu menjadi sebuah perkampungan multi-etnis yang penuh guyub, sarat daya tarik bagi para pedagang di hampir seluruh penjuru bumi, juga menjadi pintu masuknya berbagai peradaban dan agama-agama besar di bumi Nusantara itu kini telah sepi.

BARUS saat ini hanya sebuah ibukota Kecamatan, di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatra Utara. Posisinya berada di pinggir pantai barat Sumatera, sekitar 60 km sebelah utara Sibolga, atau sekitar 414 km dari Medan. Tidak ada yang istimewa. Begitu juga dengan Desa Lobutua, sekitar 4 km ke arah barat dari Barus. Juga layaknya sebuah desa, sepi. Meskipun sesekali para peziarah datang silih-berganti, menapaki sejarah sebuah kota banda yang jauh di awal abad masehi pernah begitu cemerlang dan menggemparkan sekujur bumi.

Dan boleh jadi, Barus adalah satu-satunya kota yang tercatat di dalam buku yang terbit di awal masehi, sehingga menempatkannya sebagai kota tertua di bumi Nusantara. Adalah Claudius Ptolomaios[1], seorang geograf Yunani yang dalam bukunya dari abad ke dua Masehi, Geographike Hyphegesis menuliskan nama negeri Barousai di Chryse Chora (Pulau Emas) yang antara lain oleh van der Meulen disimpulkan sebagai Sumatra[2].

Tapi apa gerangan yang menjadikan kota bandar ini begitu mempesona orang Yunani, China, India, dan bahkan juga para Pharao di Mesir kuno?

Jawabnya tak lain adalah kapur barus (bhs Belanda: kamfer, dan mungkin dari kata kapur yang diucapkan kofur oleh bangsa Arab).[3] Konon, kapur barus asal kota barus inilah yang paling banyak dicari karena kualitasnya yang terbaik, paling laku dan harganya kurang lebih 8 kali lebih mahal daripada kapur-kapur barus asal tempat lain[4]. Dalam catatan pelancong Italia, Marco Polo bahkan disebutkan bahwa, harga kapur barus kala itu setara dengan harga emas dengan berat yang sama[5].

Seorang Belanda pernah menulis bahwa kemenyan dari Barus, telah dipakai sebagai salah satu bahan mengawetkan (membalsem) mayat raja-raja di Mesir sebelum Masehi[6]. Jika dugaan ini benar, maka berarti kota bandar Barus ini sudah ada sejak 5.000 tahun SM. Perkiraan akhir itu, didasarkan pada temuan bahan pengawet dari berbagai mummy Fir'aun Mesir Kuno salah satu pengawetnya menggunakan kanper atau kapur Barus. Sejarawan era kemerdekaan Moh. Yamin, bahkan memperkirakan bahwa, perdagangan rempah-rempah dan tentu saja kamfer, sudah dilakukan pedagang Nusantara sejak 6.000 tahun lalu ke berbagai penjuru dunia.

Hasil penelitian Innis Miller terhadap naskah Historia Naturalis karya Plinius di abad pertama juga sudah menunjukkan bahwa, para pedagang Nusantara pun ternyata sudah menjajakan komoditas mereka sampai ke Asia Barat dan Afrika Timur sejak abad permulaan Masehi[7]. Sementara Prof. Kern[8] pernah menulis bahwa Kota “P’o-lu-chi” yang dimaksud I Tsing di abad ke-7, tidak lain dari Barus[9]. Seorang penyair Arab sebelum Islam, Amru al-Qais (meninggal tahun 530 Masehi), sangat memuji keharuman kafur dalam syair-syairnya[10].

Begitu pentingnya kota Barus ini—mungkin bisa disamakan dengan Paris pada abad modern yang terkenal dengan inovasi parfumnya—maka sejak zaman dulu dalam dunia dagang telah dikenal nama-nama Baros, Balus, Pansur, Fansur, Pansuri[11], Kalasaputra[12], Karpura-dwipa, Barusai, Waru-saka dan lain-lain.

Dan tentu, seperti kata pepatah, ada gula ada semut. Pesona kapur barus dari selatan ini menggoda banyak pendatang. Sebagaimana dicatatan Ptolomaios, selain para penjelajah dari Yunani, juga datang pedagang dari Venesia, India, Arab dan Tiongkok. Selain itu, sekelompok penyebar ajaran Kristen Sekte Nestorian dari Konstantinopel, pusat Kerajaan Byzantium Timur, juga menjejakkan kakinya di Barus. Kelompok itu diperkirakan datang sekira tahun 600 M dan mendirikan gereja pertama di Desa Pancuran, Barus.

Dewan Gereja-gereja di Indonesia juga memercayai sejak tahun 645 Masehi di daerah Barus telah masuk umat Kristen dari sekte Nestorian. Keyakinan tersebut didasarkan pada buku kuno tulisan Shaikh Abu Salih al-Armini. Sementara itu, penjelajah dari Armenia Mabousahl mencatat bahwa pada abad ke-12 telah terdapat Gereja Nestorian.

Lalu datanglah para pedagang Arab memasuki Barus sekira 627-643 M atau sekitar tahun 1 Hijriah, dan menyebarkan agama Islam di daerah itu. Di antaranya Wahab bin Qabishah mendarat di Pulau Mursala pada 627 M. Ada juga utusan Khulafaur Rasyidin, bernama Syekh Ismail akan ke Samudera Pasai dan singgah di Barus, sekira tahun 634 M. Dan sejak itu pula, tercatat bangsa Arab (Islam) mendirikan koloni di Barus. Bangsa Arab menamakan Barus dengan sebutan Fansur atau Fansuri, misalnya oleh penulis Sulaiman pada 851 M dalam bukunya "Silsilatus Tawarikh."

Kedatangan bangsa Arab yang kemudian menyebarkan agama Islam itu juga disebutkan dalam berita-berita Cina, Hsin-Tang-shu[13] (Catatan Dinasti Tang, 618-907), dan Chu-fan-chi[14] (Catatan Negeri-negeri Asing) yang ditulis Chau Ju-kua pada tahun 1225. Di dalam dua kronik Cina itu banyak bercerita tentang Ta-shi, istilah Cina untuk menyebut Arab. (Chu-fan-chi menerangkan bahwa Ta-shi mempunyai seorang Buddha (maksudnya Nabi) yang bernama Ma-ha-mat (Muhammad). Dalam sehari mereka lima kali sembahyang, dan setiap tahun berpuasa selama sebulan penuh. Dinasti Ta-shi ada dua macam, yaitu white-robed Ta-shi (Arab berjubah putih) atau Pon-ni-mo-huan (Bani Marwan, atau Bani Umayyah), serta black-robed Ta-shi (Arab berjubah hitam) yang didirikan raja A-po-lo-pa (Abul-Abbas)[15]. Pada tahun 651 Masehi, raja Ta-shi (Arab) bernama Han-mi-mo-mi-ni mengirimkan utusan ke istana Cina[16]. Hampir dapat dipastikan bahwa nama Han-mi-mo-mi-ni dalam ucapan Cina ini adalah untuk Amir al-Mu’minin, gelar resmi para khalifah Islam, dan “raja Ta-shi” yang mengirimkan utusan itu adalah Khalifah `Utsman ibn Affan yang memerintah dari tahun 644 sampai 656. Hsin-Tang-shu mencatat bahwa pada tahun 674 terdapat pemukiman pedagang Ta-shi (Arab) di Po-lu-shih, daerah pantai barat Sumatera.[17]

Tentu, dapat dibayangkan betapa makmurnya kota Barus pada awal abad masehi ini, dengan penduduk yang sebagian besar terdiri atas kaum pedagang. Pertanyaannya kemudian, siapakah yang menggerakkan semua perdagangan hingga jauh ke negeri seberang itu?

Seorang bekas kontrolir Belanda, G.J.J. Deutz, sewaktu bertugas di Barus,[18] menulis bahwa menurut rakyat setempat di Desa Lobutua pernah didapat penduduk sebuah batu bertulis pada dua bagian. Tetapi sayang, batu itu pada tahun 1857 dipecahkan oleh Raja Barus bernama Mara Pangkat. Pada tahun 1872 Deutz banyak menemukan pecahan batu peninggalan zaman Hindu yang telah dilupakan orang, telah berlumut. Dan baru pada tahun 1932, prasasti itu diterjemahkan Profesor Nila-kanti Sastri dari Universitas Madras.[19]

Prasasti itu menyebutkan bahwa paling sedikit sejak abad ke-11, telah bermukim di kota Barus sebuah koloni bangsa Tamil. Menurut batu Lobutua itu, mereka tergabung dalam sebuah perusahaan bernama “kelompok 500″ yang tidak asing lagi bagi orang-orang India waktu itu. Perusahaan swasta yang mereka wakili, merupakan perusahaan dagang cukup kuat, merdeka dalam tindakan dan tidak gampang tunduk pada salah satu raja yang berkuasa di sekitar Barus. Mereka yang berdiam di Barus inilah yang membeli beberapa hasil dari rakyat—utamanya kapur barus—untuk diekspor ke luar negeri.

Menurut Gnillout Claude[20], Barus adalah sebuah kota kuno di pantai barat Propinsi Sumatera Utara yang terkenal di seluruh Asia, sejak lebih dari seribu tahun, berkat hasil hutannya. Selain itu, nama Barus juga muncul dalam sejarah peradaban Melayu dengan Hamzah Fansuri, penyair mistik terkenal yang baru-baru ini ditemukan kembali makamnya di Mekkah. Sementara itu, tim arkeolog dari Ecole Francaise D’extreme-Orient (EFEO) Perancis bekerjasama dengan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua-Barus, menemukan bahwa pada sekitar abad 9-12 Masehi, Barus telah menjadi sebuah perkampungan multi-etnis dari berbagai suku bangsa seperti Arab, Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu, dan sebagainya. Tim tersebut juga menemukan banyak benda-benda berkualitas tinggi yang usianya sudah ratusan dan bahkan ribuan tahun dan ini menandakan dahulu kala kehidupan di Barus itu sangatlah makmur.

Dan semua kemakmuran itu berkat aroma kapur barus yang diolah dari kayu kamfer. Hanya kini, komoditi yang begitu mempesona di masa silam itu, hingga konon juga dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5. 000 tahun sebelum Masehi itu, kini sudah lama tidak lagi diproduksi

Di komplek makam Syekh Machmud yang tertata rapi dan terletak di Bukit Papan Tinggi dan memang betul-betul tinggi sehingga harus melewati 710 anak tangga ini, menggantung sebuah tulisan, “Beri Salam dan Alas Kaki dibuka.” Seakan mengakhiri sebuah kisah perjalanan sebuah kota bandar di tepian pantai barat Sumatra yang berabad lalu menjadi sebuah perkampungan multi-etnis yang penuh guyub, sarat daya tarik bagi para pedagang di hampir seluruh penjuru bumi, juga menjadi pintu masuknya berbagai peradaban dan agama-agama besar di bumi Nusantara itu kini telah sepi.**



[1] Barus telah disebut oleh Ptolomeus kira kira tahun 150 Masehi. (Kozok, 1991, 14)

[2] W. J. van der Meulen, “Suvarnadvipa and the Chryse Chersonesos”, Indonesia, 18, October 1974, h. 1

[3] Encyclopdeia van Nederlandsch Indie

[4] Ada tiga jenis kapur barus pada saat itu yaitu: Kapur barus dari Kalimantan dan Sumatera (Dryobalanops aromatica), Kapur barus dari China dan Jepang (Cinnamomum Camphora) yang banyak beredar dipasaran dan yang ketiga adalah Blumea balsami- fera, yang diproduksi di China dengan nama kapur barus Ngai. Harga dari kapur barus asal Sumatera ini kira-kira 138 kali lebih mahal dari kapur barus China dan Jepang. (Hobson-Jobson, Glossary of Anglo-Indian Words and Phares)

[5]Travel of Marco Polo,” Buku 3 Bab 9 dan Buku 2 Bab 8 by Marco Polo dan Rustichello of Pisa

[6] Sumatra Benzoe, Disertasi P.H. Brans

[7] J. Innis Miller, The Spice Trade of the Roman Empire, Oxford University Press, London, 1969, terutama Bab “The Cinnamon Route”

[8] Verspreide Geschriften No VI, halaman 15

[9] Po-lu-chi atau Po-lu-suo terkadang sering keliru diterjemahkan dalam text China dengan Bo-si atau Persia. Barus ini juga sering disebut sebagai Bon-cu, Bian-shu atau Bin-cuo. (Roderich Ptak, Possible Chinese Reference to the Barus Area (Ming to Tang) in Claude Guillot (ed.) Histoire de Barus, Sumatera: Le Site de Lobu Tua I, Etudes et Documents, Paris, Cahier d’Archipel 30, 1998, pp. 119-138)

[10] Oliver W. Wolters, Early Indonesian Commerce, Cornell University Press, Ithaca, New York, 1967, terutama Bab 8

[11] Dari Desa Pansur sedikit di utara Barus

[12] Dari kata Kalasan, daerah penghasil kapur barus antara Kota Barus dan Sungai Chenendang

[13] Diterjemahkan oleh Paul Pelliot, “Deux Itineraires de Chine en Inde a la Fin du VIIIe Siecle”, BEFEO, 4, 1904, hal. 132-413

[14] Diterjemahkan oleh Friedrich Hirth dan W. W. Rockhill, Chau Ju-kua: His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries, entitled CHU-FAN-CHI, Imperial Academy of Sciences, St.Petersburg, 1911

[15] Lihat: F. Hirth dan W.W.Rockhill, hh. 114-124

[16] Berita ini tercantum dalam kronik Tung-tien buku 193 nomor 22b. Lihat: F.Hirth dan W.W.Rockhill, h. 119

[17] Paul Pelliot, h. 297. Lihat juga W. P. Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources, Bhratara, Jakarta, cetak ulang 1960, h. 14.

[18] Barus, G.J.J. Deutz, Tijdschr No. 22 tahun 1875

[19] A Tamil Merchant-guild in Sumatera oleh Prof. N. Sastri dalam Tijdschr No 72 tahun 1932

[20] “Lobu Tua Sejarah Barus”, Obor, 2002

Selasa, 16 September 2008

PENANGANAN BATAS WILAYAH NKRI
SUATU PERMASALAHAN DAN TANTANGAN KEDEPAN (Situs TNI AD)
Kolonel Ctp Juni Suburi

PENDAHULUAN
Wilayah perbatasan sebagai batas kedaulatan suatu negara secara universal memiliki peran strategis dalam penentuan kebijakan pemerintah baik untuk kepentingan nasional maupun hubungan antar negera (internasional). Posisi geografis RI yang diapit oleh dua benua, mempunyai batas wilayah intersional dengan 10 negara tetangga. Perbatasan didarat terdiri dari 3 (tiga) negara yaitu Malaysia, PNG dan Timor Leste. Sedangkan sebagai negara kepulauan (Archipelagic State) Indonesia mempunyai batas maritim berupa batas laut wilayah (teritorial), batas landas kontinen dan batas Zone ekonomi Eksklusif (ZEE) dengan 10 negara yaitu India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, palau, PNG, Timor Leste dan Australia. Walaupun RI sudah merdeka mendekati 58 tahun ini pengelolaan batas wilayah negara baik batas di darat maupun di laut belumlah tuntas sepenuhnya. Berbagai factor tentunya menyebabkan penanganan perbatasan negara ini tidak mudah untuk bisa diatasi oleh satu atau dua institusi saja, namun masih harus dituntaskan secara lintas sektoral. (interdep)
Setiap negara mempunyai kewenangan untuk menetapkan sendiri batas-batas wilayahnya. Namun mengingat batas terluar wilayah negara senantiasa berbatasan dengan wilayah atau perairan kedaulatan (yurisdiksi) otoritas negara lain, maka penetapan tersebut harus memperhatikan kewenangan otoritas negara lain sehingga perlu ada suatu kerjasama. Kerjasama regional dibidang survei dan penegasan batas wilayah darat antara RI dengan negara tetangga selama ini baik yang tertuang dalam bentuk MOU (MOU pertama mengenai kerjasama survei dan penegasan batas RI-Malaysia di Kalimantan pada tahun 1973) maupun perjanjian-perjanjian Penetapan garis batas laut (Perjanjian batas laut wilayah yang pertama antara RI - Malaysia pada tahun 1970, diundangkan dengan UURI No.2 tahun 1971), sisanya masih ada sejumlah gap (segmen-segmen) tersebar di sepanjang perbatasan negara yang belum bisa disepakati bersama maupun di beberapa wilayah laut yang belum dirundingkan oleh kedua negara antara lain dengan Rep. Palau.

PERMASALAHAN PERBATASAN
Persoalan wilayah perbatasan bukan hanya sekedar menegaskan garis (wilayah) batas negara walaupun penyelesaiannya melalui prosedur /mekanismme yang cukup kompleks, tetapijauh lebih penting perbatasan sebagai bagian dari wilayah negara dimana pengelolaannya tidak terlepas dari kebijakan maupun peraturan yang bersifat nasional sehingga dapat tercipta lingkungan yang kondusif baik untuk kepentingan masyarakat, bangsa maupun negara.
Kasus-kasus perbatasan selama ini pada umumnya menyangkut pelanggaran prosedur keimigrasian (pelintas batas secara illegal), penyelundupan barang/orang, pencurian sumber daya alam, terutama di wilayah yang sulit/jauh dari jangkauan pengawasan. Sebagai contoh dengan fasilitas perbatasan yang masih terbatas jumlahnya seperti 1 Pos Pengawasan Lintas Batas (PPLB) Entikong dan 15 Pos-pos Lintas Batas (PLB) yang tersebar di wilayah Kalimantan Timur, ternyata-kasus-kasus pelanggaran perbatasan masih sering terjadi. Bagaimana dengan keberadaan fasilitas lain seperti tanda-tanda (patok) batas wilayah yang nampak sederhana, sehingga dengan mudahnya orang-orang yang tidak bertanggung jawab memindahkan po sisi atau merusaknya karena semata-mata mereka ingin mencari keuntungan dengan mengabaikan resiko melanggar kedaulatan suatu negara.
Kasus (permasalahan) perbatasan tersebut sangat terkait dengan system pengamanan perbatasan kita yang belum memadai. Oleh Badan Planologi Departemen Kehutanan permasalahan keamanan perbatasan telah diangkat pula dalam kegiatan konsultasi publik di kalimantan Baratdan Kalimantan Timur tahun lalu untuk menjaring masukan dalam rangka menyusun Renstra Kebijakan Pengamanan Hutan Kawasan Perbatasan kita mengingat kondisi hutan saat ini di Kalimantan yang sudah sangat memprihatinkan.
Sebagai bagian dari masyarakat internsional tentunya batas-batas yang jelas secara yuridis diakui baik secara regional maupun internasional (dengan mendepositkan kePBB), dan tidak kalah penting bisa di mengerti/dipahami oleh masyarakat maupun aparat penegak hukum khususnya yang berada atau yang berinteraksi di wilayah perbatasan.
Persoalan secara fisik bagi pengguna peta wilayah perbatasan apabila menggunakan peta dasar Topografi yang overlap dengan border line (garis batas) dimana berbeda sistem proyeksi dan datum referensinya, walaupun bisa dilakukan penyesuaian perhitungan transformasinya namun perlu pengujian posisi dilapangan. Permasalahan di laut sebagai contoh, berupa pelanggaran wilayah yurisdiksi kita di Selat Malaka oleh kapal-kapal nelayan Malaysia maupun Thailand. Ditinjau dari sisi hukum laut Internasional ada perbedaan persepsi dalam penarikan garis bataslaut kedua negara, dimana penetapan titik-titik koordinat antara RI dengan Malaysia maupun Thailand ditetepkan sebelum berlakunya Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) tahun 1982 yang sudah diratifikasi Pemerintah RI pada tahun 1985. Dalam UNCLOSS tahun 1982 itu sebenarnya Malaysia bukan tergolong negara kepulauan, tetapi dalam kenyataannya telah menerapkan prinsip-prinsip penarikan garis pangkal lurus kepulaun antara P. Jarak dan P. Perak yang jaraknya ± 123 mil laut dari garis pangkal tersebut yang digunakan sebagai dasar penetapan lebar laut teritorialnya sepanjang 12 mil laut ke arah luar, sehingga mengakibatkan sebagian ZEE kita masuk menjadi bagian dari laut territorial Malaysia.
Dan masih banyak permasalahan batas wilayah baik di laut maupun di darat yang menyangkut kejelasan batas baik pada segmen-segmen yang belum ada kesepakatan (belum dirundingkan) ataupun di wilayah - wilayah yang masih bersifat ambigius.

TANTANGAN LEMBAGA SURTA
Bertitik tolak dari gambaran permasalahan perbatasan negara di atas kiranya sangatlah relevan untuk dikaji serta mengevaluasi hal-hal yang mendasar yang perlu segera dibenahi walaupun sangat bertahap. Dalam hal ini peranan Lembaga Surta seperti Bakorsurtanal, Ditwilhan Ditjen Strahan Dephan beserta jajaran Surta Angkatan maupun Departemen Teknis terkait lain diharapkan dapat sinergis dalam penyelesaian permasalahan perbatsan wilayah negara.
Tantangan kedepan dalam mengelola perbatasan wilayah negara yang perlu mendapatkan prioritas oleh Lembaga-lembaga surta, antara lain meliputi 3 aspek.

1. Aspek Kelembagaan. Pada aspek ini kitalihat pengalaman dalam pengelolaan perbatasan selama ini yang ditangani secara parcial cenderung menunjukkan langkah egosektoralistik, terutama setelah bubarnya Panitia Koordinasi Penyelesaian Masalah Wilayah Nasional dan Dasar Laut (Pankorwilnas) tahun 1996. Pankorwilnas yang didirikan tahun 1971 berkedudukan di Dephankam dengan Ketua Menhankam/Pangab waktu itu, mempunyai tugas merumuskan pokok-pokok kebijakan yang menyangkut penyelesaian masalah perbatasan negara secara umum dan kerjasama lintas batas serta menyiapkan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk maksud tersebut. Pankorwilnas yang waktu itu berkedudukan di Dephankam dengan Ketua Menhankam/Pangab mempunyai sub-sub Panitia yang berkedudukan di Departemen Teknis seperti Sub Panitia Persiapan Konperensi Hukum laut di Deplu, Sub Panitia Penyelesaian Masalah Perbatasan Wilayah Nasional di Dephankam, Sub Panitia Masalah Lintas Batas di Depdagri, Sub Panitia Masalah Landas Kontinen dan Dasar laut di Dep. Pertambangan. Setelah Pankorwilnas bubar pendekatan yang bersifat koordinatif ini dilanjutkan dengan pembentukan Dewan Kelautan Nasional (DKN) tahun 1996, yang cenderung menitik beratkan menangani masalah kelautan. DKN hanya berlangsung 3 tahun yang kemudian dibentuk Dewan Maritim Indonesia (DMI) tahun 1999 (Keppres No.161), berperan sebagai forum konsultasi masalah-masalah kelautan. Baik DKN maupun DMI yang kalau boleh dikatakan sebagai pengganti dari Pangkorwilnas itu, ternyata dalam pelaksanaan tugasnya selama ini tidak lagi mengakomodasi sejumlah Panitia Teknis yang bertanggung jawab dalam penanganan dan penyelesaian masalah diluar bidang kelautan. Hal demikian mengakibatkan implikasi penanganan masalah perbatasan tersebut dilakukan secara kasuistis melalui pendekatan yang bersifat Ad hoc dibawah koordinasi Departemen Teknis yang berkepentingan.
Dalam kasus-kasus tertentu upaya yang kerapkali sulit dilakukan adalah mempertemukan skala prioritas dalam penanganan suatu masalah diantara Departemen terkait. Sebagai contoh : dalam penanganan masalah perbatasan, sektor mana yang akan diprioritaskan apakah penyelesaian tegas batas dengan legal instrumennya, pembangunan infrastruktur untuk mewujudkan system pengamanan atau pembangunan perekonomian masyarakat perbatasan. Permasalahan perbatasan dengan segala aspeknya sudah diangkat dalam Lokakarya Pengelolaan Perbatasan Negara oleh Depdagri pada akhir bulan Maret 2002, kemudian banyak ditindaklanjuti oleh rapat-rapat Interdep yang berhubungan dengan penanganan masalah perbatasan yang pada dasarnya salah satu aspek yakni faktor kelembagaan sebagaimana digambarkan diatas adalah menjadi salah satu kendala lambannnya kita menangani perbatasan negara.
Dalam pengelolaan perbatasan memang tidak harus membentuk badan baru, namun peranan dari Lembaga Surta maupun Instansi yang terkait bisa terwadahi dibawah kendali salah satu Departemen atau LPND, kiranya akn berperan lebih professional efisien, baik dalam hal pengorganisasian, penganggaran, kegiatan diplomasi hingga pendokumentasian produk.
2. Aspek teknis. Aspek teknis disini dimaksudkan sebagai factor yang harus diperhitungkan dalam menopang penyelenggaraan pengelolaan batas wilayah negara khususnya dalam produk survei dan pemetaan wilayah perbatasan. Kasus-kasus pelanggaran batas wilayah negara yang pernah terjadi pada ujung-ujungnya akan menggunakan sarana pembuktian atas posisi dimana terjadi pelanggaran atau sengketa di wilayah tersebut. Pada aspek teknis ini akan menjadi permasalahan dalam penanganan penetapan batas negara baik di laut maupun di darat. Sebagai contoh : Permasalahan batas laut RI-Singapura di selat Singapura belum tuntas, karena dari 6 titik koordinat yang sudah disepakati sesuai Perjanjian 25 Mei 1973 yang sudah diratifikasi dengan UURI No.7 tahun 1973 masih menyisakan garis lanjutan dari Titik 1 kearah barat ke Titik Three Junction antara Malaysia-Singapura-RI yang mana dalam hal ini masih menunggu penyelesaian garis batas antara Malaysia dengan Singapura di selatan Selat Johor. Kemudian dari Titik 6 ke arah timur penetapannya masih menunggu penyelesaian terlebih dahulu konflik tumpang tindih atas P. Batu Putih antara Malaysia dengan Singapura.
Demikian halnya permasalahan batas di darat, kerjasama survei dan penegasan batas antara RI-Malaysia di Kalimantan yang sudah diselesaikan sekitar 95 % masih menyisakan 9 segmen permasalahan. Apalagi dengan penggunaan teknologi survei sekarang seperti GPS yang memberikan nilai koordinat geografis dalam system WGS-84 dan ini berbeda dengan datum yang digunakan Malaysia, menyebabkan kita masih sangat tergantung kepada Malaysia, sehingga masalah perbedaan datum referensi yang sangat mendasar itu perlu kiranya ditinjau kembali. Dengan Timor Leste (DRTL) yang baru saja melaksanakan perundingan batas delineasi dimana pihak DRTL menggunakan sarana Citra Satelit ikonos sedangkan RI menggunakan peta Topografi skala 1 : 25.000, dan hal ini masih memerlukan penyesuaian spesifikasi teknis bersama. Rencana kerja kedua negara secara menteluruh baik dilineasi maupun demarkasi akan diselesaikan dalam tahun ini. Selanjutnya masih cukup banyak segmen atau titik-titik lain di sepanjang garis perbatasan wilayah RI yang belum disepakati/diselesaikan secara teknis oleh kedua negara.

3. Aspek Yuridis. Aspek yuridis ini menjadi hal yang sangat krusial karena sebagai negara yang berdaulat dan legitimate didunia internasional, batas wilayah negara itu harus memenuhi kriteria berupa kepastuan hukum yakni ada produk hukum yang mengatur dan menetapkannya. Menurut Adi Sumardiman dalam makalah Aspek yuridis pada penataan batas negara, pada Forum Komunikasi dan Koordinasi Teknis Batas Wilayah, Bakosurtanal 2002 bahwa, sebenarnya bentuk produk hukum suatu perbatasan terletak pada kedudukan, hak dan kewajiban yang ada pada kawasan yang dibatasi tersebut. Apabila wilayah yang dibatasi itu memuat hak dan kewajiban negara atau masyarakat yang sifatnya mendasar, seperti wilayah negara, wilayah dengan hak milik, mak batas yang dibuat itu haruslah diatur dalam bentuk Undang-undang atau setidaknya Peraturan Pemerintah.
Kalau kita lihat dari sejumlah Keppres RI yang ada tentang Persetujuan batas Landas Kontinen antara RI - dengan negara tetangga (India, Thailand, Malaysia , Australia) tidak diatur dengan Undang-Undang, ini memang sesuai dengan yang dikemukakan Adi Sumardiman tersebut.
Tetapi bagaimana dengan Keppres RI No.21 tahun 1982 tentang Persetujuan antara RI-PNG mengenai Batas-batas Maritim kedua negara serta masalah-masalah yang bersangkutan. Batasmaritim disini tentunya termasuk mempunyai pengertian laut wilayah (territorial) dan juga mengandung arti wilayah negara yang kebetulan bersebelahan, maka semestinya perjanjian antara RI-PNG ini diatur lebih lanjut (diratifikasi) dalam bentuk undang-undang, bukan Keppres (dengan catatan perjanjian perbatasan tersebut dibuat dalam bentuk Treaty). Kemudian dihadapkan dengan diberlakukannya UNCLOS 1982 yang sudah diratifikasi dengan UURI No. 17 tahun 1985, apakan perjanjian-perjanjian batas laut antara RI-negara tetangga yang kebanyakan dibuat sebelum berlakunya UNCLOS-82 sudah memadai sesuai hukum internasional tersebut. Apabila kita simak, diantara perjanjian-perjanjian itu ada yang berbeda dalam nilai desimal koordinat geografis (ada koordinat yang lengkap hingga sekon dan ada tanpa sekon hanya sampai menit). Tentunya ketidaksamaan desimal nilai koordinat geografis sebagai dasar penarikan garis-garis batas wilayah laut yang sudah disepakati dengan negara tetangga tersebut, masih perlu juga disatukan dalam system referensi geografis yang tunggal mengingat teknologi penentuan posisi sekarang jauh lebih teliti disbanding pengukuran waktu itu.
Dalam hal hak-hak kedaulatan kewilayahan, sebenarnya RI sudah mempunyai Undang-undang batas perairan kepulauan. Perairan kepulauan tersebut dikelilingi oleh garis-garis lurus yang menghubungkan titik-tik pangkal dari pulau-pulau terluar di seluruh (sepanjang) wilayah nusantara yang diimplementasikan dalam bentuk UURI No.6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia sebagai pengganti UURI No.4 tahun 1960 tanpa mencantumkan titik-titik koordinat, karena titik-titik koordinasi garis pangkal pulau-pulau terluar tersebut sekarang sudah diakomodasi dalam PP No.38 tahun 2002 tentang Daftar Koordinasi Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. PP NO.38 inipun semestinya perlu dikaji kembali untuk diadakan revisi mengingat posisi P. Sipadan dan P. Ligitan yang tercantum dalam PP No. 38 itu statusnya sekarang sudah milik Malaysia. Dengan demikian untuk menutup seluruh batas perairan kepulauan yang masih ada sejumlah kantung-kantung atau segmen-segmen yang belum ditetapkan koordinatnya perlu ada prioritas penyelesaian internal maupun bilateral dan selanjutnya dapat dimuat dalam PP yang mempunyai kekuatan mengikat pula sebagaimana UU. Dengan demikian gagasan adanya rencana menyusun RUU Batas Wilayah Darat saja yang sekaligus dapat melengkapi UU No. 6 tahun 1996 tentang Perairan (batas laut wilayah) RI yang sudah ada. Dengan adanya UURI tentang Batas Laut dan Batas Darat berarti kita mempunyai UURI Batas Wilayah Negara.

PENUTUP
Dari uraian diatas yang pada esensinya sebagaimana pengelolaan batas wilayah RI ditinjau dari 3 aspek itu, nampaknya masih cukup kompleks permasalahan/tantangan yang harus dihadapi bagi Lembaga Surta dan Instansi terkait untuk dapat menyelesaikan pesoalan kedaulatan wilayah kita.
Sebagai kata kunci untuk penanganan masalah perbatasan perlu suatu Organisasi (kelembagaan) yang mapan dan Perangkat UU Batas Wilayah Negara beserta hak-haknya, untuk menjawab tantangan tersebut.
Sebelum kata kunci itu terwujud, setidaknya peranan Lembaga Surta dan Instansi terkait dalam penanganan masalah perbatasan ini dapat lebih optimal sesuai fungsi yang diemban dan saling mengisi, baik yang bersifat operasional maupun kebijakan (hubungan internasional), untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara ***

0 komentar: