Heritage Intelligence
Ketidak berdayaan pembuktian kekayaan dan kerugian Negara tentang peninggalan sejarah, yang telah hilang maupun masih ada merupakan 'titik lemah' untuk dapat menjelaskan dan mempertanggung jawabkan kepada publik.
Sebagaimana contoh hancurnya bangunan di proklamasi, dimana potret nyata detik-detik bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Pertanyaan kerugian apa saja yang diciptakan dari kehancuran bangunan proklamasi tersebut? Ternyata ketika di 'bedah' anatominya sungguh membuat kepala cekot-cekot, dari sisi Ilmu pengetahuan bukti nyata keberadaan fisik bangunan sudah tidak ada. Di dalam ranah berbeda seperti contoh ketika pulau Sipadan dan Ligitan diakui oleh Mahkamah Internasional di Belanda, fisik bangunan yang terdapat dikedua pulau tersebut adalah milik Malaysia. Pada akhirnya secara de jure maupun de fakto pulau Sipadan dan Ligitan milik sah Malaysia.
Terperanjat bahwa eksistensi fisik bangunan bukan persoalan sederhana, cara pandang melihat fisik bangunan selama ini hanya dilihat dari 'kaca mata kuda' yang melulu diukur dari perspektif estetika dan ekonomis semata. Padahal sebuah bangunan diciptakan melampaui tapal batas estetika dan ekonomi, sebagaimana masyarakat Jawa membangun rumah Panggang pe Ceregancet mirip dengan jasad hidup yang tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan kehidupan penghuninya.
Database Benda Cagar Budaya
Film petualangan Indiana Jones, National Treasure, dan Da Vinci Code, membuat adrenalin penonton terpacu. Kecerdasan mengumpulkan serpihan informasi yang tercecer, sehingga teka-teki dapat terpecahkan dan disusun ulang. Sungguh sebuah inspirasi. Tersebar dan terseraknya artefak benda cagar budaya dari berbagai wujud, baik dari sisa-sisa peninggalan kerajaan Nusantara sampai peninggalan kolonial. Sampai saat ini masih dalam 'terawangan' sebagai analogi berjalan dikegelapan tanpa cahaya. Keberadaan UU.No.5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya dan UU.No.26 Tahun 2007 Tentang Tata Ruang masih dalam tahap konsepsional, belum memasuki 'ranah' operasional di dalam pelestarian benda cagar budaya. Inventarisasi pendokumentasiaan sebagai database keberadaan benda cagar budaya dari berbagai ragam bentuk, sampai saat ini masih belum dapat direalisasikan. Padahal database tersebut merupakan 'peta hidup' sebagai alat deteksi dini, perihal kelangsungan pelestarian benda cagar budaya di Indonesia. Karena bila terwujud pendokumentasian tersebut, publik dapat mengetahui dan menjaga pelestarian dari benda cagar budaya yang dilindungi oleh Negara. Fungsi database dapat memberikan suguhan informasi, berapa jumlah benda cagar budaya yang dimiliki seperti Gedung, Benteng, Rumah, Masjid, Gereja, Vihara, Pusaka dan lain sebagainya. Dengan adanya informasi keberadaan artefak sejarah ini, penghancuran dan pencurian dapat maksimal dihindari.
Pendokumentasian mempunyai peran ganda di satu sisi dapat menjadi alat kontrol, disisi lain merupakan alat sosialisasi dari Undang-Undang tentang Benda Cagar Budaya yang murah dan efektif kepada warga Negara.
Benda Cagar Budaya dan Keamanan Nasional
Perjuangan panjang Vasco da Gama (1497-1499) mencapai India melalui Tanjung Harapan telah berhasil gilang gemilang, dari keberhasilan ini maka terbuka lebar pintu masuk pelayaran bangsa Eropa ke Asia. Setelah Tanjung Harapan ditundukkan, kini giliran Melaka dikuasai Portugal (1511).
Di dalam kurun waktu 11 tahun tepatnya pada tahun 1522 ekspedisi Ferdinand Magellan dari Spanyol berhasil mencapai Maluku, selisih waktu 57 tahun (1522-1579) Francis Drake dari Inggris datang menyusul ke kewilayah 'surga rempah-rempah' Maluku. Berawal dari rempah-rempah nafsu serakah untuk menguasai dalam wajah kolonialisme tertancap di bumi Maluku, gesekan kepentingan untuk saling menguasai antara Portugal dan Spanyol di Maluku pada abad XVI tidak dapat terhindarkan. Maka keluar perjanjian Tordesillas (1494) dan menyusul perjanjian Saragossa (1527) antara Spanyol dan Portugal. Hal hasil dari perjanjian tersebut Portugal dapat menguasai Maluku.
Kilasan sejarah tersebut merupakan 'rekam jejak' kolonialisme pertama kali hadir di bumi jamrud khatulistiwa, taktik dan strategi kolonial di dalam melakukan infiltrasi sampai menuju invasi dapat ketahui. Fakta penjajahan dapat ditelusuri melalui artefak seperti Benteng Victoria (1605) yang dibangun Portugal di Maluku, berfungsi sebagai benteng pertahanan. Juga Benteng Oranje (1607) di Ternate yang dibangun oleh Cornelis Matelief de Jonge (Belanda). Benteng ini pernah dijadikan pusat pemerintahan tertinggi Hindia Belanda (Gubernur Jenderal) Pieter Both, Herald Reynst, Laurenz Reaal, dan Jan Pieterszoon Coen.
Dari Benteng pertahanan sampai rute perjalanan alur laut kolonial memasuki Nusantara, sebagaimana diketemukannya beberapa artefak kapal laut kolonial yang karam di dasar laut. Dan legitimasi Mahkamah Internasional tentang batas kedaulatan wilayah Negara Kesatuan republik Indonesia (NKRI), mengacu pada peninggalan tanah jajahan Belanda. Dengan demikian 'patok batas' secara fisik peninggalan Belanda, kedepan menjadi sesuatu yang vital di dalam pembuktian wilayah kedaulatan Negara.
Walaupun bukan konteks benda cagar budaya, tetapi masih dalam 'satu tarikan nafas' peristiwa dikuasainya Pulau Sipadan dan Ligitan oleh Malaysia, karena lemahnya bukti otentik di Mahkamah Internasional. Merupakan pertanda urgensinya fisik bangunan dalam wilayah hukum Internasional. Serta perluasan pembangunan fisik didaratan Singapura melalui 'pasir laut', hampir saja mencaplok kedaulatan Indonesia khususnya pulau Nipa dan pulau lainnya disekitar wilayah propinsi kepulauan Riau. Satu lagi peristiwa penghancuran taman didepan stasiun Beos kota, dimana wilayah itu merupakan 'ring satu' zona benda cagar budaya. Kepentingan bisnis lebih penting daripada keamanan. Pembangunan shelter busway dan terowongan untuk pedestrian mengakibatkan dampak buruk bagi bangunan tua disekitarnya. Tercatat sedikitnya empat bangunan tua yang langsung terkena dampak negative yang diakibatkan dewatering saat pembangunan terowongan tersebut, keseimbangan air tanah disekitar lokasi terganggu. Dan keempat bangunan tua mengalami penurunan pondasi, dan dampak negatif apa yang akan tercipta kedepan? Tidak ada yang dapat mengatahui dan diperlukan kajian mendalam. Sampai saat ini kejelasan tentang barang sitaan Negara dari hasil penangkapan eksplorasi kapal VOC yang karam secara illegal, berapa jumlah dan nilai harta karun tersebut dan disimpan dimana masih dalam misteri.
Saksi bisu benda cagar budaya ternyata faktual dapat 'berbunyi' dan berkata jujur tanpa ada rekayasa maupun kebohongan.
Intelijen Benda Cagar Budaya (Heritage Intelligence)
Cegah tangkal di dalam pelestarian benda cagar budaya sudah waktunya diperkuat, perhitungan secara matematis tentang kekayaan 'adi luhung' bangsa Indonesia belum dapat direalisasikan. Kemampuan IPTEK di dalam kalkulasi sumber daya alam (SDA) kekayaan laut sudah dapat dihandalkan di negri kepulauan ini, padahal dahulu sebelum teori tersebut ada masih merupakan sesuatu yang 'ghaib' diwilayah alam bawah sadar. Sosok manusia dapat terbang Gatot Kaca yang hanya ada dalam cerita pewayangan, tersentak bahwa cerita itu bukan mitos melainkan teknos dengan kemampuan di dalam rekayasa teknologi kapal terbang (Dirgantara Indonesia).
Eksistensi heritage intelligence di dalam melakukan penelitian dan pendokumentasian, serta dapat juga melakukan 'audit' benda cagar budaya, merupakan pemecah dari kebekuan dan kerapuhan mengatasi permasalahan benda cagar budaya. Generasi kedepan perlu diberikan 'menu' visualitas bukan virtualitas. Melalaui intelijen benda cagar budaya sesuatu yang absurd menjadi rasional, investigasi tapak tilas untuk dapat mengumpulkan kembali serpihan sejarah yang tercecer dan hilang. Seperti analogi menjahit pakaian yang sudah usang termakan jaman, memerlukan sentuhan ketekunan penjahit handal. Semoga.***
BAROUSAI, BARUS, ATAU FANSUR: KISAH CEMERLANG DARI BERIBU TAHUN SILAM
BAROUSAI, BARUS, ATAU FANSUR:
KISAH CEMERLANG DARI BERIBU TAHUN SILAM
Kota bandar di tepian pantai barat Sumatra yang berabad lalu menjadi sebuah perkampungan multi-etnis yang penuh guyub, sarat daya tarik bagi para pedagang di hampir seluruh penjuru bumi, juga menjadi pintu masuknya berbagai peradaban dan agama-agama besar di bumi Nusantara itu kini telah sepi.
BARUS saat ini hanya sebuah ibukota Kecamatan, di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatra Utara. Posisinya berada di pinggir pantai barat Sumatera, sekitar 60 km sebelah utara Sibolga, atau sekitar 414 km dari
Dan boleh jadi, Barus adalah satu-satunya
Tapi apa gerangan yang menjadikan
Jawabnya tak lain adalah kapur barus (bhs Belanda: kamfer, dan mungkin dari kata kapur yang diucapkan kofur oleh bangsa Arab).[3] Konon, kapur barus asal kota barus inilah yang paling banyak dicari karena kualitasnya yang terbaik, paling laku dan harganya kurang lebih 8 kali lebih mahal daripada kapur-kapur barus asal tempat lain[4]. Dalam catatan pelancong Italia, Marco Polo bahkan disebutkan bahwa, harga kapur barus kala itu setara dengan harga emas dengan berat yang sama[5].
Seorang Belanda pernah menulis bahwa kemenyan dari Barus, telah dipakai sebagai salah satu bahan mengawetkan (membalsem) mayat raja-raja di Mesir sebelum Masehi[6]. Jika dugaan ini benar, maka berarti kota bandar Barus ini sudah ada sejak 5.000 tahun SM. Perkiraan akhir itu, didasarkan pada temuan bahan pengawet dari berbagai mummy Fir'aun Mesir Kuno salah satu pengawetnya menggunakan kanper atau kapur Barus. Sejarawan era kemerdekaan Moh. Yamin, bahkan memperkirakan bahwa, perdagangan rempah-rempah dan tentu saja kamfer, sudah dilakukan pedagang Nusantara sejak 6.000 tahun lalu ke berbagai penjuru dunia.
Hasil penelitian Innis Miller terhadap naskah Historia Naturalis karya Plinius di abad pertama juga sudah menunjukkan bahwa, para pedagang Nusantara pun ternyata sudah menjajakan komoditas mereka sampai ke Asia Barat dan Afrika Timur sejak abad permulaan Masehi[7]. Sementara Prof. Kern[8] pernah menulis bahwa
Begitu pentingnya
Dan tentu, seperti kata pepatah, ada gula ada semut. Pesona kapur barus dari selatan ini menggoda banyak pendatang. Sebagaimana dicatatan Ptolomaios, selain para penjelajah dari Yunani, juga datang pedagang dari
Dewan Gereja-gereja di Indonesia juga memercayai sejak tahun 645 Masehi di daerah Barus telah masuk umat Kristen dari sekte Nestorian. Keyakinan tersebut didasarkan pada buku kuno tulisan Shaikh Abu Salih al-Armini. Sementara itu, penjelajah dari Armenia Mabousahl mencatat bahwa pada abad ke-12 telah terdapat Gereja Nestorian.
Lalu datanglah para pedagang Arab memasuki Barus sekira 627-643 M atau sekitar tahun 1 Hijriah, dan menyebarkan agama Islam di daerah itu. Di antaranya Wahab bin Qabishah mendarat di Pulau Mursala pada 627 M. Ada juga utusan Khulafaur Rasyidin, bernama Syekh Ismail akan ke Samudera Pasai dan singgah di Barus, sekira tahun 634 M. Dan sejak itu pula, tercatat bangsa Arab (Islam) mendirikan koloni di Barus. Bangsa Arab menamakan Barus dengan sebutan Fansur atau Fansuri, misalnya oleh penulis Sulaiman pada 851 M dalam bukunya "Silsilatus Tawarikh."
Kedatangan bangsa Arab yang kemudian menyebarkan agama Islam itu juga disebutkan dalam berita-berita Cina, Hsin-Tang-shu[13] (Catatan Dinasti Tang, 618-907), dan Chu-fan-chi[14] (Catatan Negeri-negeri Asing) yang ditulis Chau Ju-kua pada tahun 1225. Di dalam dua kronik Cina itu banyak bercerita tentang Ta-shi, istilah Cina untuk menyebut Arab. (Chu-fan-chi menerangkan bahwa Ta-shi mempunyai seorang Buddha (maksudnya Nabi) yang bernama Ma-ha-mat (Muhammad). Dalam sehari mereka
Tentu, dapat dibayangkan betapa makmurnya
Seorang bekas kontrolir Belanda, G.J.J. Deutz, sewaktu bertugas di Barus,[18] menulis bahwa menurut rakyat setempat di Desa Lobutua pernah didapat penduduk sebuah batu bertulis pada dua bagian. Tetapi sayang, batu itu pada tahun 1857 dipecahkan oleh Raja Barus bernama Mara Pangkat. Pada tahun 1872 Deutz banyak menemukan pecahan batu peninggalan zaman Hindu yang telah dilupakan orang, telah berlumut. Dan baru pada tahun 1932, prasasti itu diterjemahkan Profesor Nila-kanti Sastri dari Universitas Madras.[19]
Prasasti itu menyebutkan bahwa paling sedikit sejak abad ke-11, telah bermukim di
Menurut Gnillout Claude[20], Barus adalah sebuah
Dan semua kemakmuran itu berkat aroma kapur barus yang diolah dari kayu kamfer. Hanya kini, komoditi yang begitu mempesona di masa silam itu, hingga konon juga dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5. 000 tahun sebelum Masehi itu, kini sudah lama tidak lagi diproduksi
Di komplek makam Syekh Machmud yang tertata rapi dan terletak di Bukit Papan Tinggi dan memang betul-betul tinggi sehingga harus melewati 710 anak tangga ini, menggantung sebuah tulisan, “Beri Salam dan Alas Kaki dibuka.” Seakan mengakhiri sebuah kisah perjalanan sebuah kota bandar di tepian pantai barat Sumatra yang berabad lalu menjadi sebuah perkampungan multi-etnis yang penuh guyub, sarat daya tarik bagi para pedagang di hampir seluruh penjuru bumi, juga menjadi pintu masuknya berbagai peradaban dan agama-agama besar di bumi Nusantara itu kini telah sepi.**
[1] Barus telah disebut oleh Ptolomeus kira kira tahun 150 Masehi. (Kozok, 1991, 14)
[2] W. J. van der Meulen, “Suvarnadvipa and the Chryse Chersonesos”,
[3] Encyclopdeia van Nederlandsch Indie
[4] Ada tiga jenis kapur barus pada saat itu yaitu: Kapur barus dari Kalimantan dan Sumatera (Dryobalanops aromatica), Kapur barus dari China dan Jepang (Cinnamomum Camphora) yang banyak beredar dipasaran dan yang ketiga adalah Blumea balsami- fera, yang diproduksi di China dengan nama kapur barus Ngai. Harga dari kapur barus asal Sumatera ini kira-kira 138 kali lebih mahal dari kapur barus
[5] “Travel of Marco Polo,” Buku 3 Bab 9 dan Buku 2 Bab 8 by Marco Polo dan Rustichello of Pisa
[6]
[7] J. Innis Miller, The Spice Trade of the Roman Empire, Oxford University Press, London, 1969, terutama Bab “The Cinnamon Route”
[8] Verspreide Geschriften No VI, halaman 15
[9] Po-lu-chi atau Po-lu-suo terkadang sering keliru diterjemahkan dalam text
[10] Oliver W. Wolters, Early Indonesian Commerce, Cornell University Press,
[11] Dari Desa Pansur sedikit di utara Barus
[12] Dari kata Kalasan, daerah penghasil kapur barus antara Kota Barus dan Sungai Chenendang
[13] Diterjemahkan oleh Paul Pelliot, “Deux Itineraires de Chine en Inde a la Fin du VIIIe Siecle”, BEFEO, 4, 1904, hal. 132-413
[14] Diterjemahkan oleh Friedrich Hirth dan W. W. Rockhill, Chau Ju-kua: His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries, entitled CHU-FAN-CHI, Imperial Academy of Sciences, St.Petersburg, 1911
[15] Lihat: F. Hirth dan W.W.Rockhill, hh. 114-124
[16] Berita ini tercantum dalam kronik Tung-tien buku 193 nomor 22b. Lihat: F.Hirth dan W.W.Rockhill, h. 119
[17] Paul Pelliot, h. 297. Lihat juga W. P. Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources, Bhratara, Jakarta, cetak ulang 1960, h. 14.
[18] Barus, G.J.J. Deutz, Tijdschr No. 22 tahun 1875
[19] A Tamil Merchant-guild in Sumatera oleh Prof. N. Sastri dalam Tijdschr No 72 tahun 1932
[20] “Lobu Tua Sejarah Barus”, Obor, 2002
Selasa, 16 September 2008
"Peluang Indonesia Menang Hanya 50 persen"
______________________________________________________________
Pemerintah Indonesia dan Malaysia sepakat membawa sengketa Pulau
Sipadan-Ligitan ke Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda.
Sengketa pulau itu berlangsung sejak 1960, dan baru mulai
dirundingkan pertama kali setelah Orde Baru berdiri, pada 1969.
Dari puluhan kali perundingan bilateral, nampaknya belum membuahkan
hasil. Semula, kedua pulau itu merupakan warisan kolonial Belanda
dan Inggris. Belakangan, Malaysia memasukkan kedua pulau itu ke
dalam peta wilayahnya. Bahkan, lebih jauh, Malaysia telah mengelola
kedua pulau itu sebagai tujuan wisata, dan tercetak dalam
brosur-brosur untuk turis yang hendak melancong ke negeri jiran
itu.
Indonesia tetap bersikukuh mengklaim kedua pulau itu berdasarkan
hukum laut internasional yang menarik garis lurus dari pantai
sejauh 12 mil. Belum lagi faktor sejarah yang menyebutkan bahwa
keduanya sempat di bawah kendali Belanda. Sedangkan berdasarkan
buku "Daftar Nama Pulau di Indonesia" disusun Dinas Hidrografi TNI
Angkatan Laut, Pulau Sipadan yang luasnya hanya empat kilometer
persegi itu berada pada posisi 118 derajat, 37,5 menit Bujur Timur
dan 08,8 menit Lintang Utara. Sedangkan Pulau Ligitan berada
disebelah timur dengan posisi 4 derajat, 09,7 menit Lintang Utara.
Untuk mengetahui seberapa jauh peluang Indonesia memenangkan
sengketa itu, berikut wawancara Ali Nur Yasin dari TEMPO Interaktif
melalui sambungan telepon dengan pakar hukum laut internasional
tamatan Universitas Leiden, Belanda, dan kini Guru Besar tetap
Universitas Ujungpandang, Prof. Dr. Frans Eduard Likadja, SH.
Berikut petikannya.
______________________________________________________________
Indonesia dan Malaysia sepakat, membawa sengketa Pulau Sipadan dan
Ligitan ke Mahkamah Internasional di Belanda. Apakah itu merupakan
penyelesaian yang tepat? Penyelesaian melalui Mahkamah
Internasional merupakan cara damai, dan sangat tepat.
berdasarkan landas kontinen, menurut Anda siapa yang lebih berhak
mengakui Sipadan-Ligitan ? Sebagai warga negara, saya katakan itu
hak Indonesia. Tapi, Malaysia juga punya bukti-bukti yang kuat,
sehingga mereka berani membangun di pulau itu.
Apakah ada kasus sejenis yang berhasil diselesaikan di Mahkamah
Internasional ? Banyak. Kasus yang menarik sengketa antara Inggris
dengan Norwegia, pada 1991, mengenai penarikan garis lurus dari
pantai. Dasar itu, yang digunakan Indonesia saat ini, bahwa negara
kepulauan boleh manarik garis lurus.
Mengapa di zaman kolonial, antara Inggris, yang menduduki Malaysia
dan Belanda, yang menjajah Indonesia tak pernah terjadi sengketa?
Karena saat itu konsep negara kepulauan belum dianut. Begitu pula
dengan penentuan garis pantai, masing-masing pulau menentukan
sendiri. Tapi dengan penentuan garis 12 mil dari pantai, itu dapat
menjangkau semua pulau.
Sekarang masalah ini telah diserahkan ke Mahkamah Internasional,
secara hukum apakah dibenarkan, salah satu negara masih mengelola
pulau itu ? Sejak masalah itu diserahkan ke Mahkamah Internasional,
sejak itu Sipadan dan Ligitan berada dalam status quo.
Tetapi Malaysia masih mengelola pulau itu ? Itu tidak dibenarkan.
Tapi, yang saya ketahui Perdana Menteri Malaysia telah melarang
pengelolaan kedua pulau itu.
Bila Mahkamah Internasional tidak dapat menyelesaikan sengketa ini,
cara apa yang tepat dilakukan ? Dengan membawa masalah itu ke
Mahkamah Internasional, menunjukkan adanya keinginan kedua negara
untuk menyelesaikan dengan jalan damai. Selain itu, mahkamah punya
kompetensi yang sifatnya voulenteer. Dengan menunjuk mahkamah,
beralihlah sifat voulenteer menjadi obligator. Sehingga semua pihak
wajib menerima apapun keputusan mahkamah.
Membawa sengketa ini ke Mahkamah Internasional, tentunya butuh
waktu yang lama. Adakah cara penyelesaian yang lebih efektif ?
Arbitrase. Mahkamah Internasional bisa cepat memutuskan, bila
bahan-bahan dan bukti yang disampaikan, lengkap. Di Mahkamah
Internasional ada 15 hakim yang memutuskan, dan keputusan mahkamah
berdasarkan suara terbanyak para hakim. Nantinya, apapun hasil yang
diputuskan harus dapat diterima kedua pihak.
Jika dengan diplomasi. Diplomasi bagaimana yang harus dilakukan
Indonesia ? Negosiasi, seperti yang dilakukan Prof. Dr. Mochtar
Kusumaatmadja (mantan Menlu) melalui perjanjian dengan beberapa
negara tetangga. Juga dengan memberikan pengertian, bahwa Indonesia
negara kepulauan. Sebenarnya, secara diam-diam negara tetangga
telah mengakui Indonesia sebagai negara kepulauan.
Cara lainnya ? Dengan melibatkan pihak ketiga. Pihak ketiga
mengajak pihak yang bersengketa untuk duduk di meja perundingan.
Atau, pihak ketiga punya andil dalam memberikan saran-saran. Selain
itu, dapat dilakukan dengan cara arbitrase. Dan terakhir, cara
judifikasi melalui mahkamah internasional, atau dengan
menandatangani piagam yang disepakati kedua pihak. Seperti
Indonesia menyelesaikan kemelut Kamboja melalui Jakarta Informal
Meeting (JIM).
Apakah perlu, adanya campur tangan Belanda-Inggris untuk
menyelesaikan sengketa ini ? Ya, karena Belanda-Inggris sebagai
negara yang tahu sejarah pulau itu. Kebetulan kedua pulau yang
disengketakan, berada dekat perbatasan kedua negara. Berdasarkan
perkembangan hukum laut internasional, kedua pulau masuk dalam
jangkauan Indonesia dan Malaysia. Jadi perlu saksi hidup untuk
menyelesaikan masalah ini.
Berdasarkan konsep Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, yang menyatakan
lebar laut teritorial 12 mil, apakah Indonesia dapat mengklaim
kedua pulau itu miliknya ? Bisa, tapi kita harus mengakui hak-hak
tradisonal perikanan yang dimiliki Malaysia. Artinya, Malaysia
boleh mengelola hasil laut yang ada di sekitar pulau itu.
Dalam sengketa ini, apakah ada peluang Indonesia untuk menang ?
Secara subjektif, saya ingin Indonesia menang. Tapi, semuanya kita
serahkan kepada mahkamah yang menyidangkan Sipadan-Ligitan.
Tepatnya, berapa persen peluang Indonesia menang di Mahkamah
Internasional ? 50 persen.
Kenapa hanya 50 persen ? Karena Indonesia tidak tidak sejak dahulu
mengelola (membangun) pulau itu, dan kalah cepat dengan Malaysia.
Andaikan, Indonesia telah lebih dahulu membangunnya, Malaysia tidak
akan mengelolanya.
Jika hanya 50 persen peluang Indonesia, cara apa yang harus
ditempuh Indonesia untuk memenangkannya ? Sesuai dengan hukum laut
imtermasional, bahwa kita berhak menarik garis lurus dari ujung
pantai ke arah laut lepas sejauh 12 mil. Ini dapat dijadikan dasar
hukum, bahwa pulau itu masuk wilayah kita.
Berdasarkan tinjauan sejarah, siapa yang paling berhak atas kedua
pulau itu ? Jika bersandar pada sejarah, Indonesia yang paling
berhak.
Bila gagal di mahkamah, apakah ada cara lain ? Ke mahkamah adalah
jalan terbaik dan terakhir, atas kesepakatan bersama. Walau
nantinya Indonesia kalah.
Apakah bisa, Indonesia-Malaysia manandatangani perjanjian semacam
Timor Gap, misalnya ? Sudah terlambat, karena sudah diajukan ke
Mahkamah Internasional. Perjanjian semacam Timor Gap (Celah Timor,
antara RI-Australia) bisa dilakukan, apabila kedua negara sepakat
menarik kembali sengketa itu dari Mahkamah Internasional.
Anda lebih setuju yang mana ? Sambil menunggu bukti-bukti yang
kuat, saya setuju diadakan perjanjian semacam Celah Timor. Sebagai
sesama anggota ASEAN, Indonesia-Malaysia dapat mengusahakannya
secara bersama. Toh, kedua pulau berada di perbatasan. Lain halnya,
bila salah satu negara memiliki bukti-bukti yang kuat, itu dapat
diselesaikan di mahkamah internasional.
X-within-URL: http://www.tempo.co.id/mingguan/35/n_nas7.htm
[ISMAP]-[USEMAP] Edisi 35/01 Nasional
0 komentar:
Posting Komentar