Heritage Intelligence
Ketidak berdayaan pembuktian kekayaan dan kerugian Negara tentang peninggalan sejarah, yang telah hilang maupun masih ada merupakan 'titik lemah' untuk dapat menjelaskan dan mempertanggung jawabkan kepada publik.
Sebagaimana contoh hancurnya bangunan di proklamasi, dimana potret nyata detik-detik bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Pertanyaan kerugian apa saja yang diciptakan dari kehancuran bangunan proklamasi tersebut? Ternyata ketika di 'bedah' anatominya sungguh membuat kepala cekot-cekot, dari sisi Ilmu pengetahuan bukti nyata keberadaan fisik bangunan sudah tidak ada. Di dalam ranah berbeda seperti contoh ketika pulau Sipadan dan Ligitan diakui oleh Mahkamah Internasional di Belanda, fisik bangunan yang terdapat dikedua pulau tersebut adalah milik Malaysia. Pada akhirnya secara de jure maupun de fakto pulau Sipadan dan Ligitan milik sah Malaysia.
Terperanjat bahwa eksistensi fisik bangunan bukan persoalan sederhana, cara pandang melihat fisik bangunan selama ini hanya dilihat dari 'kaca mata kuda' yang melulu diukur dari perspektif estetika dan ekonomis semata. Padahal sebuah bangunan diciptakan melampaui tapal batas estetika dan ekonomi, sebagaimana masyarakat Jawa membangun rumah Panggang pe Ceregancet mirip dengan jasad hidup yang tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan kehidupan penghuninya.
Database Benda Cagar Budaya
Film petualangan Indiana Jones, National Treasure, dan Da Vinci Code, membuat adrenalin penonton terpacu. Kecerdasan mengumpulkan serpihan informasi yang tercecer, sehingga teka-teki dapat terpecahkan dan disusun ulang. Sungguh sebuah inspirasi. Tersebar dan terseraknya artefak benda cagar budaya dari berbagai wujud, baik dari sisa-sisa peninggalan kerajaan Nusantara sampai peninggalan kolonial. Sampai saat ini masih dalam 'terawangan' sebagai analogi berjalan dikegelapan tanpa cahaya. Keberadaan UU.No.5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya dan UU.No.26 Tahun 2007 Tentang Tata Ruang masih dalam tahap konsepsional, belum memasuki 'ranah' operasional di dalam pelestarian benda cagar budaya. Inventarisasi pendokumentasiaan sebagai database keberadaan benda cagar budaya dari berbagai ragam bentuk, sampai saat ini masih belum dapat direalisasikan. Padahal database tersebut merupakan 'peta hidup' sebagai alat deteksi dini, perihal kelangsungan pelestarian benda cagar budaya di Indonesia. Karena bila terwujud pendokumentasian tersebut, publik dapat mengetahui dan menjaga pelestarian dari benda cagar budaya yang dilindungi oleh Negara. Fungsi database dapat memberikan suguhan informasi, berapa jumlah benda cagar budaya yang dimiliki seperti Gedung, Benteng, Rumah, Masjid, Gereja, Vihara, Pusaka dan lain sebagainya. Dengan adanya informasi keberadaan artefak sejarah ini, penghancuran dan pencurian dapat maksimal dihindari.
Pendokumentasian mempunyai peran ganda di satu sisi dapat menjadi alat kontrol, disisi lain merupakan alat sosialisasi dari Undang-Undang tentang Benda Cagar Budaya yang murah dan efektif kepada warga Negara.
Benda Cagar Budaya dan Keamanan Nasional
Perjuangan panjang Vasco da Gama (1497-1499) mencapai India melalui Tanjung Harapan telah berhasil gilang gemilang, dari keberhasilan ini maka terbuka lebar pintu masuk pelayaran bangsa Eropa ke Asia. Setelah Tanjung Harapan ditundukkan, kini giliran Melaka dikuasai Portugal (1511).
Di dalam kurun waktu 11 tahun tepatnya pada tahun 1522 ekspedisi Ferdinand Magellan dari Spanyol berhasil mencapai Maluku, selisih waktu 57 tahun (1522-1579) Francis Drake dari Inggris datang menyusul ke kewilayah 'surga rempah-rempah' Maluku. Berawal dari rempah-rempah nafsu serakah untuk menguasai dalam wajah kolonialisme tertancap di bumi Maluku, gesekan kepentingan untuk saling menguasai antara Portugal dan Spanyol di Maluku pada abad XVI tidak dapat terhindarkan. Maka keluar perjanjian Tordesillas (1494) dan menyusul perjanjian Saragossa (1527) antara Spanyol dan Portugal. Hal hasil dari perjanjian tersebut Portugal dapat menguasai Maluku.
Kilasan sejarah tersebut merupakan 'rekam jejak' kolonialisme pertama kali hadir di bumi jamrud khatulistiwa, taktik dan strategi kolonial di dalam melakukan infiltrasi sampai menuju invasi dapat ketahui. Fakta penjajahan dapat ditelusuri melalui artefak seperti Benteng Victoria (1605) yang dibangun Portugal di Maluku, berfungsi sebagai benteng pertahanan. Juga Benteng Oranje (1607) di Ternate yang dibangun oleh Cornelis Matelief de Jonge (Belanda). Benteng ini pernah dijadikan pusat pemerintahan tertinggi Hindia Belanda (Gubernur Jenderal) Pieter Both, Herald Reynst, Laurenz Reaal, dan Jan Pieterszoon Coen.
Dari Benteng pertahanan sampai rute perjalanan alur laut kolonial memasuki Nusantara, sebagaimana diketemukannya beberapa artefak kapal laut kolonial yang karam di dasar laut. Dan legitimasi Mahkamah Internasional tentang batas kedaulatan wilayah Negara Kesatuan republik Indonesia (NKRI), mengacu pada peninggalan tanah jajahan Belanda. Dengan demikian 'patok batas' secara fisik peninggalan Belanda, kedepan menjadi sesuatu yang vital di dalam pembuktian wilayah kedaulatan Negara.
Walaupun bukan konteks benda cagar budaya, tetapi masih dalam 'satu tarikan nafas' peristiwa dikuasainya Pulau Sipadan dan Ligitan oleh Malaysia, karena lemahnya bukti otentik di Mahkamah Internasional. Merupakan pertanda urgensinya fisik bangunan dalam wilayah hukum Internasional. Serta perluasan pembangunan fisik didaratan Singapura melalui 'pasir laut', hampir saja mencaplok kedaulatan Indonesia khususnya pulau Nipa dan pulau lainnya disekitar wilayah propinsi kepulauan Riau. Satu lagi peristiwa penghancuran taman didepan stasiun Beos kota, dimana wilayah itu merupakan 'ring satu' zona benda cagar budaya. Kepentingan bisnis lebih penting daripada keamanan. Pembangunan shelter busway dan terowongan untuk pedestrian mengakibatkan dampak buruk bagi bangunan tua disekitarnya. Tercatat sedikitnya empat bangunan tua yang langsung terkena dampak negative yang diakibatkan dewatering saat pembangunan terowongan tersebut, keseimbangan air tanah disekitar lokasi terganggu. Dan keempat bangunan tua mengalami penurunan pondasi, dan dampak negatif apa yang akan tercipta kedepan? Tidak ada yang dapat mengatahui dan diperlukan kajian mendalam. Sampai saat ini kejelasan tentang barang sitaan Negara dari hasil penangkapan eksplorasi kapal VOC yang karam secara illegal, berapa jumlah dan nilai harta karun tersebut dan disimpan dimana masih dalam misteri.
Saksi bisu benda cagar budaya ternyata faktual dapat 'berbunyi' dan berkata jujur tanpa ada rekayasa maupun kebohongan.
Intelijen Benda Cagar Budaya (Heritage Intelligence)
Cegah tangkal di dalam pelestarian benda cagar budaya sudah waktunya diperkuat, perhitungan secara matematis tentang kekayaan 'adi luhung' bangsa Indonesia belum dapat direalisasikan. Kemampuan IPTEK di dalam kalkulasi sumber daya alam (SDA) kekayaan laut sudah dapat dihandalkan di negri kepulauan ini, padahal dahulu sebelum teori tersebut ada masih merupakan sesuatu yang 'ghaib' diwilayah alam bawah sadar. Sosok manusia dapat terbang Gatot Kaca yang hanya ada dalam cerita pewayangan, tersentak bahwa cerita itu bukan mitos melainkan teknos dengan kemampuan di dalam rekayasa teknologi kapal terbang (Dirgantara Indonesia).
Eksistensi heritage intelligence di dalam melakukan penelitian dan pendokumentasian, serta dapat juga melakukan 'audit' benda cagar budaya, merupakan pemecah dari kebekuan dan kerapuhan mengatasi permasalahan benda cagar budaya. Generasi kedepan perlu diberikan 'menu' visualitas bukan virtualitas. Melalaui intelijen benda cagar budaya sesuatu yang absurd menjadi rasional, investigasi tapak tilas untuk dapat mengumpulkan kembali serpihan sejarah yang tercecer dan hilang. Seperti analogi menjahit pakaian yang sudah usang termakan jaman, memerlukan sentuhan ketekunan penjahit handal. Semoga.***
BAROUSAI, BARUS, ATAU FANSUR: KISAH CEMERLANG DARI BERIBU TAHUN SILAM
BAROUSAI, BARUS, ATAU FANSUR:
KISAH CEMERLANG DARI BERIBU TAHUN SILAM
Kota bandar di tepian pantai barat Sumatra yang berabad lalu menjadi sebuah perkampungan multi-etnis yang penuh guyub, sarat daya tarik bagi para pedagang di hampir seluruh penjuru bumi, juga menjadi pintu masuknya berbagai peradaban dan agama-agama besar di bumi Nusantara itu kini telah sepi.
BARUS saat ini hanya sebuah ibukota Kecamatan, di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatra Utara. Posisinya berada di pinggir pantai barat Sumatera, sekitar 60 km sebelah utara Sibolga, atau sekitar 414 km dari
Dan boleh jadi, Barus adalah satu-satunya
Tapi apa gerangan yang menjadikan
Jawabnya tak lain adalah kapur barus (bhs Belanda: kamfer, dan mungkin dari kata kapur yang diucapkan kofur oleh bangsa Arab).[3] Konon, kapur barus asal kota barus inilah yang paling banyak dicari karena kualitasnya yang terbaik, paling laku dan harganya kurang lebih 8 kali lebih mahal daripada kapur-kapur barus asal tempat lain[4]. Dalam catatan pelancong Italia, Marco Polo bahkan disebutkan bahwa, harga kapur barus kala itu setara dengan harga emas dengan berat yang sama[5].
Seorang Belanda pernah menulis bahwa kemenyan dari Barus, telah dipakai sebagai salah satu bahan mengawetkan (membalsem) mayat raja-raja di Mesir sebelum Masehi[6]. Jika dugaan ini benar, maka berarti kota bandar Barus ini sudah ada sejak 5.000 tahun SM. Perkiraan akhir itu, didasarkan pada temuan bahan pengawet dari berbagai mummy Fir'aun Mesir Kuno salah satu pengawetnya menggunakan kanper atau kapur Barus. Sejarawan era kemerdekaan Moh. Yamin, bahkan memperkirakan bahwa, perdagangan rempah-rempah dan tentu saja kamfer, sudah dilakukan pedagang Nusantara sejak 6.000 tahun lalu ke berbagai penjuru dunia.
Hasil penelitian Innis Miller terhadap naskah Historia Naturalis karya Plinius di abad pertama juga sudah menunjukkan bahwa, para pedagang Nusantara pun ternyata sudah menjajakan komoditas mereka sampai ke Asia Barat dan Afrika Timur sejak abad permulaan Masehi[7]. Sementara Prof. Kern[8] pernah menulis bahwa
Begitu pentingnya
Dan tentu, seperti kata pepatah, ada gula ada semut. Pesona kapur barus dari selatan ini menggoda banyak pendatang. Sebagaimana dicatatan Ptolomaios, selain para penjelajah dari Yunani, juga datang pedagang dari
Dewan Gereja-gereja di Indonesia juga memercayai sejak tahun 645 Masehi di daerah Barus telah masuk umat Kristen dari sekte Nestorian. Keyakinan tersebut didasarkan pada buku kuno tulisan Shaikh Abu Salih al-Armini. Sementara itu, penjelajah dari Armenia Mabousahl mencatat bahwa pada abad ke-12 telah terdapat Gereja Nestorian.
Lalu datanglah para pedagang Arab memasuki Barus sekira 627-643 M atau sekitar tahun 1 Hijriah, dan menyebarkan agama Islam di daerah itu. Di antaranya Wahab bin Qabishah mendarat di Pulau Mursala pada 627 M. Ada juga utusan Khulafaur Rasyidin, bernama Syekh Ismail akan ke Samudera Pasai dan singgah di Barus, sekira tahun 634 M. Dan sejak itu pula, tercatat bangsa Arab (Islam) mendirikan koloni di Barus. Bangsa Arab menamakan Barus dengan sebutan Fansur atau Fansuri, misalnya oleh penulis Sulaiman pada 851 M dalam bukunya "Silsilatus Tawarikh."
Kedatangan bangsa Arab yang kemudian menyebarkan agama Islam itu juga disebutkan dalam berita-berita Cina, Hsin-Tang-shu[13] (Catatan Dinasti Tang, 618-907), dan Chu-fan-chi[14] (Catatan Negeri-negeri Asing) yang ditulis Chau Ju-kua pada tahun 1225. Di dalam dua kronik Cina itu banyak bercerita tentang Ta-shi, istilah Cina untuk menyebut Arab. (Chu-fan-chi menerangkan bahwa Ta-shi mempunyai seorang Buddha (maksudnya Nabi) yang bernama Ma-ha-mat (Muhammad). Dalam sehari mereka
Tentu, dapat dibayangkan betapa makmurnya
Seorang bekas kontrolir Belanda, G.J.J. Deutz, sewaktu bertugas di Barus,[18] menulis bahwa menurut rakyat setempat di Desa Lobutua pernah didapat penduduk sebuah batu bertulis pada dua bagian. Tetapi sayang, batu itu pada tahun 1857 dipecahkan oleh Raja Barus bernama Mara Pangkat. Pada tahun 1872 Deutz banyak menemukan pecahan batu peninggalan zaman Hindu yang telah dilupakan orang, telah berlumut. Dan baru pada tahun 1932, prasasti itu diterjemahkan Profesor Nila-kanti Sastri dari Universitas Madras.[19]
Prasasti itu menyebutkan bahwa paling sedikit sejak abad ke-11, telah bermukim di
Menurut Gnillout Claude[20], Barus adalah sebuah
Dan semua kemakmuran itu berkat aroma kapur barus yang diolah dari kayu kamfer. Hanya kini, komoditi yang begitu mempesona di masa silam itu, hingga konon juga dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5. 000 tahun sebelum Masehi itu, kini sudah lama tidak lagi diproduksi
Di komplek makam Syekh Machmud yang tertata rapi dan terletak di Bukit Papan Tinggi dan memang betul-betul tinggi sehingga harus melewati 710 anak tangga ini, menggantung sebuah tulisan, “Beri Salam dan Alas Kaki dibuka.” Seakan mengakhiri sebuah kisah perjalanan sebuah kota bandar di tepian pantai barat Sumatra yang berabad lalu menjadi sebuah perkampungan multi-etnis yang penuh guyub, sarat daya tarik bagi para pedagang di hampir seluruh penjuru bumi, juga menjadi pintu masuknya berbagai peradaban dan agama-agama besar di bumi Nusantara itu kini telah sepi.**
[1] Barus telah disebut oleh Ptolomeus kira kira tahun 150 Masehi. (Kozok, 1991, 14)
[2] W. J. van der Meulen, “Suvarnadvipa and the Chryse Chersonesos”,
[3] Encyclopdeia van Nederlandsch Indie
[4] Ada tiga jenis kapur barus pada saat itu yaitu: Kapur barus dari Kalimantan dan Sumatera (Dryobalanops aromatica), Kapur barus dari China dan Jepang (Cinnamomum Camphora) yang banyak beredar dipasaran dan yang ketiga adalah Blumea balsami- fera, yang diproduksi di China dengan nama kapur barus Ngai. Harga dari kapur barus asal Sumatera ini kira-kira 138 kali lebih mahal dari kapur barus
[5] “Travel of Marco Polo,” Buku 3 Bab 9 dan Buku 2 Bab 8 by Marco Polo dan Rustichello of Pisa
[6]
[7] J. Innis Miller, The Spice Trade of the Roman Empire, Oxford University Press, London, 1969, terutama Bab “The Cinnamon Route”
[8] Verspreide Geschriften No VI, halaman 15
[9] Po-lu-chi atau Po-lu-suo terkadang sering keliru diterjemahkan dalam text
[10] Oliver W. Wolters, Early Indonesian Commerce, Cornell University Press,
[11] Dari Desa Pansur sedikit di utara Barus
[12] Dari kata Kalasan, daerah penghasil kapur barus antara Kota Barus dan Sungai Chenendang
[13] Diterjemahkan oleh Paul Pelliot, “Deux Itineraires de Chine en Inde a la Fin du VIIIe Siecle”, BEFEO, 4, 1904, hal. 132-413
[14] Diterjemahkan oleh Friedrich Hirth dan W. W. Rockhill, Chau Ju-kua: His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries, entitled CHU-FAN-CHI, Imperial Academy of Sciences, St.Petersburg, 1911
[15] Lihat: F. Hirth dan W.W.Rockhill, hh. 114-124
[16] Berita ini tercantum dalam kronik Tung-tien buku 193 nomor 22b. Lihat: F.Hirth dan W.W.Rockhill, h. 119
[17] Paul Pelliot, h. 297. Lihat juga W. P. Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources, Bhratara, Jakarta, cetak ulang 1960, h. 14.
[18] Barus, G.J.J. Deutz, Tijdschr No. 22 tahun 1875
[19] A Tamil Merchant-guild in Sumatera oleh Prof. N. Sastri dalam Tijdschr No 72 tahun 1932
[20] “Lobu Tua Sejarah Barus”, Obor, 2002
Selasa, 16 September 2008
PULAU BIDADARI DAN MASALAHNYA
06 Mar 2006
Akhir-akhir ini banyak pihak yang meributkan Pulau Bidadari di Kabupaten Mangarai Barat serta pulau-pulau terluar lainnya, seperti Pulau Mangkudu di pantai selatan Pulau Sumba dan Pulau Dana di sebelah selatan Pulau Roti.
Disebabkan bahawa pulau-pulau tersebut telah dijual dan dikuasai warga Negara asing. Dengan jalan demikian, trauma yang selalu muncul adalah Indonesia satu-satu mulai kehilangan pulau-pulau terluarnya seperti Pulau Sipadan dan Ligitan yang oleh Mahkamah Internasional di den Haag dinyatakan bukan milik Indonesia., melainkan milik Malaysian setelah diperkarakan sejak 1969.
Kerisuan kita atas kemungkinan pulau-pulau itu terlepas dan satu-satu mulai dikuasai pihak asing, baik negara maupun warga Negara asing, merupakan suatu hal yang patut dihargai dan mencerminkan kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Walupun begitu, tentunya sikap tersebut akan bermanfaat dan positif jika didasari suatu pengertian yang dalam menganai masalah-masalah hokum yang berkaitan dengan kedaulatan Negara atas wilayahnya dan hak-hak sipil warga Negara untuk memiliki hak milik dan memanfaatkannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan hokum yang berlaku di Negara tersebut.
Pertama berkaitan dengan kedaulatan Negara atas wilayahnya. Suatu Negara dapat memperoleh atau kehilangan sesuatu wilayah melalui bermacam-macam cara, misalnya kerena perubahan yang disebabkan oleh factor-faktor alam yang menyebabkanmunculnya atau hilangnya pulau dan lain-lain.
Di samping itu, suatu Negara juga dapat kehilangan atau memperoleh suatu wilayah dengan ‘membelinya’ secara sah dari Negara lain, ataupun karena ‘penyesuaian-penyesuaian perbatasan’ yang disebabkan oleh factor-faktor etnologis dan lain-lain.
Di masa lalu, perubahan wilayah sesuatu Negara bisa pula terjadi karena akibat,’penaklukan atau peprangan’, ataupun karena ditemukannya pulau-pulau atau daerah baru yang belum menjadi wilayah Negara lain sebagaimana halnya dengan penemuan (discovery) pulau-pulau di zaman colonial.
Memerhatikan hal diatas, maka permasalahan perbatasan Indonesia sesungguhnya sudah cukup jelas. Perbatasan darat Indonesia adalah sebagaimana yang sudah ditetapkan dalam berbagai-bagai perjanjian perbatasan sejak abad-19 antara pemerintah Hindia Belanda dan pemerintah Inggris ( di Kalimantan dan di Papua) serta pemerintah Portugis (Timor Leste).
Batas Indonesia adalah batas yang diwariskan dari Hindia Belanda sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Bahwa memang kemudian terjadi permasalahan perbatasan di Kalimantan, papua dan Timor. Masalah itu bukannya karena tidak ada kesepakatan tentang garis batas, tetapi lebih disebabkan ketidakmampuan’ dalam menentukan batas pasti dilapangan dan mengurus masalah yang berkaitan dengan lintas batas, baik untuk keperluan perdagangan, kebudayaan, maupun keamanan dan pertahanan. Masalah inilah yang harus menjadi perhatian utama dewasa ini.
Di laut, masalah perbatasan berkembang dengan perkembangan yang terjadi di bidang hokum laut internasional yang selama 48 tahun telah diperjuangkan Indonesia. Perkembangan itu, antara lain diakuinya seluruh laut yang terletak di antara pulau-pulau Indonesia. Yakni, pulau yang berada di bawah kewenangan Hindia Belanda menjadi wilayah republic Indonesia yang berada di bawah kedaulatan Indonesia, termasuk wilayah atas udara dan dasar lautnya.
Menurut hokum laut 1982, yang berhak atas laut itu, serta seleuruh pulau-pulau (daratan) yang berada di dalamnya, udara di atasnya, dasar lautnya dan seluruh kekayaannya berada di bawah kedaulatan Negara Nuasantara Indonesia (Pasal 49 Konvensi Hukum Laut 1982). Tidak ada yang boleh menjualnya kepada Negara lain atau orang lain, kecuali Negara Republik Indonesia, andaikata karena satu dan lain hal merasa perlu ‘menjual’ suatu bagian dari wilayah Indonesia, baik darat, laut maupun udaranya kepada Negara lain haruslah memperoleh penegasan terlebih dahulu oleh DPR dengan UU, sesuai Pasal 10 UU No.24 /2000 tentang Perjanjian Internasonal , karena penjualan itu akan berakibat perubahan Indonesia.
Dengan demikian, yang pertama kali harus diperhatikan, apakah Pulau Bidadari, Pulau Mangkudu, dan Pulau Dana termasuk dalam wilayah Indonesia. Sesungguhnya sejak zaman Hindia Belanda pulau-pulau itu berada dalam wilayah Hindia Belanda dan kemudian diwarisi Indonesia. Pulau Bidadari malah berada di gugusan kepulau Komando dan tidak ada satu Negara pun di dunia yang meragukan kedaulatan Indonesia atas pulau tersebut.
Begitu juga halnya dengan Pulau Mengkudu dan Pulau Dana yang sudah sejak dahulu menjadi pulau Indonesia malah telah menjadi ‘titik-titik luar’ dan ‘titik pangkal’ untuk mengukuran wilayah Nusantara Indonesia sejak Deklarasi Juanda tahun 1957, yang kemudian diundangkan dalam UU no. 4/Prp/1960, dan dikukuhkan dalam UU No. 6/1996, dan dalam PP No.38/2002 tentang daftar koordinat titik-titik terluar garis pangkal kepuluan Indonesia. Dalam PP No.38/2002 di Pulau Dana terdapat titik dasar 121 dan 123, dan Pulau Mangkudu merupakan titik dasar nomor 125. Pulau Bidadari yang terletak di gugusan Pulau Komodo di sebelah barat Labuhan Bajo memang tidak dijadikan titik dasar karena bukan merupakan titik terluar dari pulau-pulau terluar Indonesia, karena Pulau Bidadari terdapat jauh dalam perairan Nusantara Indonesia.
Memerhatikan hal-hal di atas dan ketentuan hokum Indonesia maupun hokum internasional yang berlaku, maka tidak mungkin kiranya Pulau Bidadari telah dijual, karena pemerintah Indonesia tidak pernah menjualnya. Dan kalau pemerintah pernah menjualnya, penjualan tersebut setahu saya tidak pernah disetujui DPR dengan UU sesuai dengan Pasal 10 ayat huruf 2 b dan c UU No. 24/2000.
Dengan demikian, maka yang mungkin terjadi adalah bahwa orang yang mengaku pemilik lahan di pualau tersebut menjual haknya kepada orang lain. Dalam hal ini, maka persoalannya adalah menjadi masalah hokum agrarian dan masalah hokum perdata tentang jual beli hak atas tanah. Karena itu, yang perlu diselidiki adalah apakah Yusuf Mahmud, yang dikatakan telah menjual sebagaian dari pulau Bidadari kepada warga Negara asing (bukan Negara asing), adalah orang yang berhak atas tanah tersebut, apakah yang bersangkutan mempunyai sertifikat hak milik tanah atau tidak. Andaikata hak atas tanah di Pulau Bidadari adalah hak tanah adapt/ulayat, maka tanah hak ulayat tidak bisa diperjualbelikan.
Andaikata masyarakat adapt yang mempunyai hak ulayat atas pulau Bidadari membolehkan Yusuf Mahmud menjualnya, maka yang harus diperhatikan apakah si pembelinya, menuerut UU Indonesia, diperkenankan membeli tanah di Indonesia. Sebab, warga Negara asing tidak boleh mempunyai hak milik atas tanah di Indonesia, walaupun mereka diperkenankan memperoleh hak pakai atau hak guna bangunan atau hak untuk mengusahakannya untuk waktu terbatas. Dalam hubungan ini perlu di catat bahwa hak milik pun terbatas waktunya (30 tahun di Indonesia dan 90 tahun di Singapura).
Perolehan hak pakai, hak guna bangunan, ataupun hak milik sama sekali tidak memengaruhi, menghilangkan, atau merugikan kedaulatan Negara Republik Indonesia atas wilayahnya, termasuk haknya atas pertahanan dan penegakan hokum atas tanah tersebut.
Karena itu yang apaling mungkin dalam hal ini adalah memberikan kemungkinan hak pakai dan hak guna bangunan terhadap siapa saja yang ingin melakukan investasi untuk memanfaatkan lahan dalam wilayah Republik Indonesia. Izin berinvestasi memang diharapkan di Indonesia bukan saja di bidang pariwisata, melainkan juga di bidang-bidang lain termasuk di bidang pertambangan, perhubungan, prasarana dan lain-lain. Media Indonesia (6/6).
0 komentar:
Posting Komentar