Heritage Intelligence

Mendengar intelijen ingatan langsung tertuju kepada James Bond 007, CIA, KGB, dan Mossad. Institusi intelijen Negara yang bekerja dalam ketertutupan dan menyeramkan seperti kisah Victor Ostrovsky atau novel Body of Lies karya David Ignatius. Intelijen Benda Cagar Budaya (Heritage Intelligence) bukan merupakan pengenjawantahan dari Lembaga Intelijen Negara, melainkan pekerjaan penelitian dan pendokumentasian tentang keberadaan benda cagar budaya yang ada di Indonesia. Banyaknya peninggalan kekayaan artefak sejarah yang telah lenyap atau musnah, sehingga menciptakan kerugian besar hampir disetiap sektor baik dari Ilmu pengetahuan, sosial-budaya, ekonomi dan pertahanan keamanan Negara.
Ketidak berdayaan pembuktian kekayaan dan kerugian Negara tentang peninggalan sejarah, yang telah hilang maupun masih ada merupakan 'titik lemah' untuk dapat menjelaskan dan mempertanggung jawabkan kepada publik.
Sebagaimana contoh hancurnya bangunan di proklamasi, dimana potret nyata detik-detik bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Pertanyaan kerugian apa saja yang diciptakan dari kehancuran bangunan proklamasi tersebut? Ternyata ketika di 'bedah' anatominya sungguh membuat kepala cekot-cekot, dari sisi Ilmu pengetahuan bukti nyata keberadaan fisik bangunan sudah tidak ada. Di dalam ranah berbeda seperti contoh ketika pulau Sipadan dan Ligitan diakui oleh Mahkamah Internasional di Belanda, fisik bangunan yang terdapat dikedua pulau tersebut adalah milik Malaysia. Pada akhirnya secara de jure maupun de fakto pulau Sipadan dan Ligitan milik sah Malaysia.
Terperanjat bahwa eksistensi fisik bangunan bukan persoalan sederhana, cara pandang melihat fisik bangunan selama ini hanya dilihat dari 'kaca mata kuda' yang melulu diukur dari perspektif estetika dan ekonomis semata. Padahal sebuah bangunan diciptakan melampaui tapal batas estetika dan ekonomi, sebagaimana masyarakat Jawa membangun rumah Panggang pe Ceregancet mirip dengan jasad hidup yang tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan kehidupan penghuninya.

Database Benda Cagar Budaya

Film petualangan Indiana Jones, National Treasure, dan Da Vinci Code, membuat adrenalin penonton terpacu. Kecerdasan mengumpulkan serpihan informasi yang tercecer, sehingga teka-teki dapat terpecahkan dan disusun ulang. Sungguh sebuah inspirasi. Tersebar dan terseraknya artefak benda cagar budaya dari berbagai wujud, baik dari sisa-sisa peninggalan kerajaan Nusantara sampai peninggalan kolonial. Sampai saat ini masih dalam 'terawangan' sebagai analogi berjalan dikegelapan tanpa cahaya. Keberadaan UU.No.5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya dan UU.No.26 Tahun 2007 Tentang Tata Ruang masih dalam tahap konsepsional, belum memasuki 'ranah' operasional di dalam pelestarian benda cagar budaya. Inventarisasi pendokumentasiaan sebagai database keberadaan benda cagar budaya dari berbagai ragam bentuk, sampai saat ini masih belum dapat direalisasikan. Padahal database tersebut merupakan 'peta hidup' sebagai alat deteksi dini, perihal kelangsungan pelestarian benda cagar budaya di Indonesia. Karena bila terwujud pendokumentasian tersebut, publik dapat mengetahui dan menjaga pelestarian dari benda cagar budaya yang dilindungi oleh Negara. Fungsi database dapat memberikan suguhan informasi, berapa jumlah benda cagar budaya yang dimiliki seperti Gedung, Benteng, Rumah, Masjid, Gereja, Vihara, Pusaka dan lain sebagainya. Dengan adanya informasi keberadaan artefak sejarah ini, penghancuran dan pencurian dapat maksimal dihindari.
Pendokumentasian mempunyai peran ganda di satu sisi dapat menjadi alat kontrol, disisi lain merupakan alat sosialisasi dari Undang-Undang tentang Benda Cagar Budaya yang murah dan efektif kepada warga Negara.

Benda Cagar Budaya dan Keamanan Nasional

Perjuangan panjang Vasco da Gama (1497-1499) mencapai India melalui Tanjung Harapan telah berhasil gilang gemilang, dari keberhasilan ini maka terbuka lebar pintu masuk pelayaran bangsa Eropa ke Asia. Setelah Tanjung Harapan ditundukkan, kini giliran Melaka dikuasai Portugal (1511).
Di dalam kurun waktu 11 tahun tepatnya pada tahun 1522 ekspedisi Ferdinand Magellan dari Spanyol berhasil mencapai Maluku, selisih waktu 57 tahun (1522-1579) Francis Drake dari Inggris datang menyusul ke kewilayah 'surga rempah-rempah' Maluku. Berawal dari rempah-rempah nafsu serakah untuk menguasai dalam wajah kolonialisme tertancap di bumi Maluku, gesekan kepentingan untuk saling menguasai antara Portugal dan Spanyol di Maluku pada abad XVI tidak dapat terhindarkan. Maka keluar perjanjian Tordesillas (1494) dan menyusul perjanjian Saragossa (1527) antara Spanyol dan Portugal. Hal hasil dari perjanjian tersebut Portugal dapat menguasai Maluku.
Kilasan sejarah tersebut merupakan 'rekam jejak' kolonialisme pertama kali hadir di bumi jamrud khatulistiwa, taktik dan strategi kolonial di dalam melakukan infiltrasi sampai menuju invasi dapat ketahui. Fakta penjajahan dapat ditelusuri melalui artefak seperti Benteng Victoria (1605) yang dibangun Portugal di Maluku, berfungsi sebagai benteng pertahanan. Juga Benteng Oranje (1607) di Ternate yang dibangun oleh Cornelis Matelief de Jonge (Belanda). Benteng ini pernah dijadikan pusat pemerintahan tertinggi Hindia Belanda (Gubernur Jenderal) Pieter Both, Herald Reynst, Laurenz Reaal, dan Jan Pieterszoon Coen.
Dari Benteng pertahanan sampai rute perjalanan alur laut kolonial memasuki Nusantara, sebagaimana diketemukannya beberapa artefak kapal laut kolonial yang karam di dasar laut. Dan legitimasi Mahkamah Internasional tentang batas kedaulatan wilayah Negara Kesatuan republik Indonesia (NKRI), mengacu pada peninggalan tanah jajahan Belanda. Dengan demikian 'patok batas' secara fisik peninggalan Belanda, kedepan menjadi sesuatu yang vital di dalam pembuktian wilayah kedaulatan Negara.
Walaupun bukan konteks benda cagar budaya, tetapi masih dalam 'satu tarikan nafas' peristiwa dikuasainya Pulau Sipadan dan Ligitan oleh Malaysia, karena lemahnya bukti otentik di Mahkamah Internasional. Merupakan pertanda urgensinya fisik bangunan dalam wilayah hukum Internasional. Serta perluasan pembangunan fisik didaratan Singapura melalui 'pasir laut', hampir saja mencaplok kedaulatan Indonesia khususnya pulau Nipa dan pulau lainnya disekitar wilayah propinsi kepulauan Riau. Satu lagi peristiwa penghancuran taman didepan stasiun Beos kota, dimana wilayah itu merupakan 'ring satu' zona benda cagar budaya. Kepentingan bisnis lebih penting daripada keamanan. Pembangunan shelter busway dan terowongan untuk pedestrian mengakibatkan dampak buruk bagi bangunan tua disekitarnya. Tercatat sedikitnya empat bangunan tua yang langsung terkena dampak negative yang diakibatkan dewatering saat pembangunan terowongan tersebut, keseimbangan air tanah disekitar lokasi terganggu. Dan keempat bangunan tua mengalami penurunan pondasi, dan dampak negatif apa yang akan tercipta kedepan? Tidak ada yang dapat mengatahui dan diperlukan kajian mendalam. Sampai saat ini kejelasan tentang barang sitaan Negara dari hasil penangkapan eksplorasi kapal VOC yang karam secara illegal, berapa jumlah dan nilai harta karun tersebut dan disimpan dimana masih dalam misteri.
Saksi bisu benda cagar budaya ternyata faktual dapat 'berbunyi' dan berkata jujur tanpa ada rekayasa maupun kebohongan.

Intelijen Benda Cagar Budaya (Heritage Intelligence)

Cegah tangkal di dalam pelestarian benda cagar budaya sudah waktunya diperkuat, perhitungan secara matematis tentang kekayaan 'adi luhung' bangsa Indonesia belum dapat direalisasikan. Kemampuan IPTEK di dalam kalkulasi sumber daya alam (SDA) kekayaan laut sudah dapat dihandalkan di negri kepulauan ini, padahal dahulu sebelum teori tersebut ada masih merupakan sesuatu yang 'ghaib' diwilayah alam bawah sadar. Sosok manusia dapat terbang Gatot Kaca yang hanya ada dalam cerita pewayangan, tersentak bahwa cerita itu bukan mitos melainkan teknos dengan kemampuan di dalam rekayasa teknologi kapal terbang (Dirgantara Indonesia).
Eksistensi heritage intelligence di dalam melakukan penelitian dan pendokumentasian, serta dapat juga melakukan 'audit' benda cagar budaya, merupakan pemecah dari kebekuan dan kerapuhan mengatasi permasalahan benda cagar budaya. Generasi kedepan perlu diberikan 'menu' visualitas bukan virtualitas. Melalaui intelijen benda cagar budaya sesuatu yang absurd menjadi rasional, investigasi tapak tilas untuk dapat mengumpulkan kembali serpihan sejarah yang tercecer dan hilang. Seperti analogi menjahit pakaian yang sudah usang termakan jaman, memerlukan sentuhan ketekunan penjahit handal. Semoga.***

BAROUSAI, BARUS, ATAU FANSUR: KISAH CEMERLANG DARI BERIBU TAHUN SILAM

BAROUSAI, BARUS, ATAU FANSUR:

KISAH CEMERLANG DARI BERIBU TAHUN SILAM

Kota bandar di tepian pantai barat Sumatra yang berabad lalu menjadi sebuah perkampungan multi-etnis yang penuh guyub, sarat daya tarik bagi para pedagang di hampir seluruh penjuru bumi, juga menjadi pintu masuknya berbagai peradaban dan agama-agama besar di bumi Nusantara itu kini telah sepi.

BARUS saat ini hanya sebuah ibukota Kecamatan, di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatra Utara. Posisinya berada di pinggir pantai barat Sumatera, sekitar 60 km sebelah utara Sibolga, atau sekitar 414 km dari Medan. Tidak ada yang istimewa. Begitu juga dengan Desa Lobutua, sekitar 4 km ke arah barat dari Barus. Juga layaknya sebuah desa, sepi. Meskipun sesekali para peziarah datang silih-berganti, menapaki sejarah sebuah kota banda yang jauh di awal abad masehi pernah begitu cemerlang dan menggemparkan sekujur bumi.

Dan boleh jadi, Barus adalah satu-satunya kota yang tercatat di dalam buku yang terbit di awal masehi, sehingga menempatkannya sebagai kota tertua di bumi Nusantara. Adalah Claudius Ptolomaios[1], seorang geograf Yunani yang dalam bukunya dari abad ke dua Masehi, Geographike Hyphegesis menuliskan nama negeri Barousai di Chryse Chora (Pulau Emas) yang antara lain oleh van der Meulen disimpulkan sebagai Sumatra[2].

Tapi apa gerangan yang menjadikan kota bandar ini begitu mempesona orang Yunani, China, India, dan bahkan juga para Pharao di Mesir kuno?

Jawabnya tak lain adalah kapur barus (bhs Belanda: kamfer, dan mungkin dari kata kapur yang diucapkan kofur oleh bangsa Arab).[3] Konon, kapur barus asal kota barus inilah yang paling banyak dicari karena kualitasnya yang terbaik, paling laku dan harganya kurang lebih 8 kali lebih mahal daripada kapur-kapur barus asal tempat lain[4]. Dalam catatan pelancong Italia, Marco Polo bahkan disebutkan bahwa, harga kapur barus kala itu setara dengan harga emas dengan berat yang sama[5].

Seorang Belanda pernah menulis bahwa kemenyan dari Barus, telah dipakai sebagai salah satu bahan mengawetkan (membalsem) mayat raja-raja di Mesir sebelum Masehi[6]. Jika dugaan ini benar, maka berarti kota bandar Barus ini sudah ada sejak 5.000 tahun SM. Perkiraan akhir itu, didasarkan pada temuan bahan pengawet dari berbagai mummy Fir'aun Mesir Kuno salah satu pengawetnya menggunakan kanper atau kapur Barus. Sejarawan era kemerdekaan Moh. Yamin, bahkan memperkirakan bahwa, perdagangan rempah-rempah dan tentu saja kamfer, sudah dilakukan pedagang Nusantara sejak 6.000 tahun lalu ke berbagai penjuru dunia.

Hasil penelitian Innis Miller terhadap naskah Historia Naturalis karya Plinius di abad pertama juga sudah menunjukkan bahwa, para pedagang Nusantara pun ternyata sudah menjajakan komoditas mereka sampai ke Asia Barat dan Afrika Timur sejak abad permulaan Masehi[7]. Sementara Prof. Kern[8] pernah menulis bahwa Kota “P’o-lu-chi” yang dimaksud I Tsing di abad ke-7, tidak lain dari Barus[9]. Seorang penyair Arab sebelum Islam, Amru al-Qais (meninggal tahun 530 Masehi), sangat memuji keharuman kafur dalam syair-syairnya[10].

Begitu pentingnya kota Barus ini—mungkin bisa disamakan dengan Paris pada abad modern yang terkenal dengan inovasi parfumnya—maka sejak zaman dulu dalam dunia dagang telah dikenal nama-nama Baros, Balus, Pansur, Fansur, Pansuri[11], Kalasaputra[12], Karpura-dwipa, Barusai, Waru-saka dan lain-lain.

Dan tentu, seperti kata pepatah, ada gula ada semut. Pesona kapur barus dari selatan ini menggoda banyak pendatang. Sebagaimana dicatatan Ptolomaios, selain para penjelajah dari Yunani, juga datang pedagang dari Venesia, India, Arab dan Tiongkok. Selain itu, sekelompok penyebar ajaran Kristen Sekte Nestorian dari Konstantinopel, pusat Kerajaan Byzantium Timur, juga menjejakkan kakinya di Barus. Kelompok itu diperkirakan datang sekira tahun 600 M dan mendirikan gereja pertama di Desa Pancuran, Barus.

Dewan Gereja-gereja di Indonesia juga memercayai sejak tahun 645 Masehi di daerah Barus telah masuk umat Kristen dari sekte Nestorian. Keyakinan tersebut didasarkan pada buku kuno tulisan Shaikh Abu Salih al-Armini. Sementara itu, penjelajah dari Armenia Mabousahl mencatat bahwa pada abad ke-12 telah terdapat Gereja Nestorian.

Lalu datanglah para pedagang Arab memasuki Barus sekira 627-643 M atau sekitar tahun 1 Hijriah, dan menyebarkan agama Islam di daerah itu. Di antaranya Wahab bin Qabishah mendarat di Pulau Mursala pada 627 M. Ada juga utusan Khulafaur Rasyidin, bernama Syekh Ismail akan ke Samudera Pasai dan singgah di Barus, sekira tahun 634 M. Dan sejak itu pula, tercatat bangsa Arab (Islam) mendirikan koloni di Barus. Bangsa Arab menamakan Barus dengan sebutan Fansur atau Fansuri, misalnya oleh penulis Sulaiman pada 851 M dalam bukunya "Silsilatus Tawarikh."

Kedatangan bangsa Arab yang kemudian menyebarkan agama Islam itu juga disebutkan dalam berita-berita Cina, Hsin-Tang-shu[13] (Catatan Dinasti Tang, 618-907), dan Chu-fan-chi[14] (Catatan Negeri-negeri Asing) yang ditulis Chau Ju-kua pada tahun 1225. Di dalam dua kronik Cina itu banyak bercerita tentang Ta-shi, istilah Cina untuk menyebut Arab. (Chu-fan-chi menerangkan bahwa Ta-shi mempunyai seorang Buddha (maksudnya Nabi) yang bernama Ma-ha-mat (Muhammad). Dalam sehari mereka lima kali sembahyang, dan setiap tahun berpuasa selama sebulan penuh. Dinasti Ta-shi ada dua macam, yaitu white-robed Ta-shi (Arab berjubah putih) atau Pon-ni-mo-huan (Bani Marwan, atau Bani Umayyah), serta black-robed Ta-shi (Arab berjubah hitam) yang didirikan raja A-po-lo-pa (Abul-Abbas)[15]. Pada tahun 651 Masehi, raja Ta-shi (Arab) bernama Han-mi-mo-mi-ni mengirimkan utusan ke istana Cina[16]. Hampir dapat dipastikan bahwa nama Han-mi-mo-mi-ni dalam ucapan Cina ini adalah untuk Amir al-Mu’minin, gelar resmi para khalifah Islam, dan “raja Ta-shi” yang mengirimkan utusan itu adalah Khalifah `Utsman ibn Affan yang memerintah dari tahun 644 sampai 656. Hsin-Tang-shu mencatat bahwa pada tahun 674 terdapat pemukiman pedagang Ta-shi (Arab) di Po-lu-shih, daerah pantai barat Sumatera.[17]

Tentu, dapat dibayangkan betapa makmurnya kota Barus pada awal abad masehi ini, dengan penduduk yang sebagian besar terdiri atas kaum pedagang. Pertanyaannya kemudian, siapakah yang menggerakkan semua perdagangan hingga jauh ke negeri seberang itu?

Seorang bekas kontrolir Belanda, G.J.J. Deutz, sewaktu bertugas di Barus,[18] menulis bahwa menurut rakyat setempat di Desa Lobutua pernah didapat penduduk sebuah batu bertulis pada dua bagian. Tetapi sayang, batu itu pada tahun 1857 dipecahkan oleh Raja Barus bernama Mara Pangkat. Pada tahun 1872 Deutz banyak menemukan pecahan batu peninggalan zaman Hindu yang telah dilupakan orang, telah berlumut. Dan baru pada tahun 1932, prasasti itu diterjemahkan Profesor Nila-kanti Sastri dari Universitas Madras.[19]

Prasasti itu menyebutkan bahwa paling sedikit sejak abad ke-11, telah bermukim di kota Barus sebuah koloni bangsa Tamil. Menurut batu Lobutua itu, mereka tergabung dalam sebuah perusahaan bernama “kelompok 500″ yang tidak asing lagi bagi orang-orang India waktu itu. Perusahaan swasta yang mereka wakili, merupakan perusahaan dagang cukup kuat, merdeka dalam tindakan dan tidak gampang tunduk pada salah satu raja yang berkuasa di sekitar Barus. Mereka yang berdiam di Barus inilah yang membeli beberapa hasil dari rakyat—utamanya kapur barus—untuk diekspor ke luar negeri.

Menurut Gnillout Claude[20], Barus adalah sebuah kota kuno di pantai barat Propinsi Sumatera Utara yang terkenal di seluruh Asia, sejak lebih dari seribu tahun, berkat hasil hutannya. Selain itu, nama Barus juga muncul dalam sejarah peradaban Melayu dengan Hamzah Fansuri, penyair mistik terkenal yang baru-baru ini ditemukan kembali makamnya di Mekkah. Sementara itu, tim arkeolog dari Ecole Francaise D’extreme-Orient (EFEO) Perancis bekerjasama dengan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua-Barus, menemukan bahwa pada sekitar abad 9-12 Masehi, Barus telah menjadi sebuah perkampungan multi-etnis dari berbagai suku bangsa seperti Arab, Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu, dan sebagainya. Tim tersebut juga menemukan banyak benda-benda berkualitas tinggi yang usianya sudah ratusan dan bahkan ribuan tahun dan ini menandakan dahulu kala kehidupan di Barus itu sangatlah makmur.

Dan semua kemakmuran itu berkat aroma kapur barus yang diolah dari kayu kamfer. Hanya kini, komoditi yang begitu mempesona di masa silam itu, hingga konon juga dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5. 000 tahun sebelum Masehi itu, kini sudah lama tidak lagi diproduksi

Di komplek makam Syekh Machmud yang tertata rapi dan terletak di Bukit Papan Tinggi dan memang betul-betul tinggi sehingga harus melewati 710 anak tangga ini, menggantung sebuah tulisan, “Beri Salam dan Alas Kaki dibuka.” Seakan mengakhiri sebuah kisah perjalanan sebuah kota bandar di tepian pantai barat Sumatra yang berabad lalu menjadi sebuah perkampungan multi-etnis yang penuh guyub, sarat daya tarik bagi para pedagang di hampir seluruh penjuru bumi, juga menjadi pintu masuknya berbagai peradaban dan agama-agama besar di bumi Nusantara itu kini telah sepi.**



[1] Barus telah disebut oleh Ptolomeus kira kira tahun 150 Masehi. (Kozok, 1991, 14)

[2] W. J. van der Meulen, “Suvarnadvipa and the Chryse Chersonesos”, Indonesia, 18, October 1974, h. 1

[3] Encyclopdeia van Nederlandsch Indie

[4] Ada tiga jenis kapur barus pada saat itu yaitu: Kapur barus dari Kalimantan dan Sumatera (Dryobalanops aromatica), Kapur barus dari China dan Jepang (Cinnamomum Camphora) yang banyak beredar dipasaran dan yang ketiga adalah Blumea balsami- fera, yang diproduksi di China dengan nama kapur barus Ngai. Harga dari kapur barus asal Sumatera ini kira-kira 138 kali lebih mahal dari kapur barus China dan Jepang. (Hobson-Jobson, Glossary of Anglo-Indian Words and Phares)

[5]Travel of Marco Polo,” Buku 3 Bab 9 dan Buku 2 Bab 8 by Marco Polo dan Rustichello of Pisa

[6] Sumatra Benzoe, Disertasi P.H. Brans

[7] J. Innis Miller, The Spice Trade of the Roman Empire, Oxford University Press, London, 1969, terutama Bab “The Cinnamon Route”

[8] Verspreide Geschriften No VI, halaman 15

[9] Po-lu-chi atau Po-lu-suo terkadang sering keliru diterjemahkan dalam text China dengan Bo-si atau Persia. Barus ini juga sering disebut sebagai Bon-cu, Bian-shu atau Bin-cuo. (Roderich Ptak, Possible Chinese Reference to the Barus Area (Ming to Tang) in Claude Guillot (ed.) Histoire de Barus, Sumatera: Le Site de Lobu Tua I, Etudes et Documents, Paris, Cahier d’Archipel 30, 1998, pp. 119-138)

[10] Oliver W. Wolters, Early Indonesian Commerce, Cornell University Press, Ithaca, New York, 1967, terutama Bab 8

[11] Dari Desa Pansur sedikit di utara Barus

[12] Dari kata Kalasan, daerah penghasil kapur barus antara Kota Barus dan Sungai Chenendang

[13] Diterjemahkan oleh Paul Pelliot, “Deux Itineraires de Chine en Inde a la Fin du VIIIe Siecle”, BEFEO, 4, 1904, hal. 132-413

[14] Diterjemahkan oleh Friedrich Hirth dan W. W. Rockhill, Chau Ju-kua: His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries, entitled CHU-FAN-CHI, Imperial Academy of Sciences, St.Petersburg, 1911

[15] Lihat: F. Hirth dan W.W.Rockhill, hh. 114-124

[16] Berita ini tercantum dalam kronik Tung-tien buku 193 nomor 22b. Lihat: F.Hirth dan W.W.Rockhill, h. 119

[17] Paul Pelliot, h. 297. Lihat juga W. P. Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources, Bhratara, Jakarta, cetak ulang 1960, h. 14.

[18] Barus, G.J.J. Deutz, Tijdschr No. 22 tahun 1875

[19] A Tamil Merchant-guild in Sumatera oleh Prof. N. Sastri dalam Tijdschr No 72 tahun 1932

[20] “Lobu Tua Sejarah Barus”, Obor, 2002

Jumat, 12 September 2008

Saturday, June 07, 2008
100 Tahun Kebangkitan Nasional - Sebuah Refleksi Kewaspadaan

Tahun ini Rekiblik Ndonez sedang merayakan peristiwa 100 tahun kebangkitan nasional. Sebuah titik balik yang seharusnya bisa membuat bangsa ini lebih dewasa dalam bersikap dan bertindak. Euforia pesta kebangkitan nasional yang dicanangkan pemerintah, seakan menjadi sindrom baru bagi masyarakat. Media cetak dan elektronika terus menerus mensosialisasikan program yang dicanangkan pemerintah untuk bangkit.

Karena momentum ini kebetulan juga mendekati Pemilu 2009 maka tak luput beberapa tokoh politik memakai dan mempolitisir momentum ini sebagai momen politik dengan menggunakan “iklan sabun” penggalangan dan penarikan simpati masa melalui slogan-slogan mereka di berbagai media masa dan spanduk di jalan-jalan. Mencoba menjual janji tentang pengharapan akan adanya sebuah perubahan atas kondisi bangsa. “Hidup adalah perbuatan…”

Di sisi lain “kampanye motivasi” yang dicanangkan pemerintah supaya Indonesia bisa bangkit dari keterpurukan menjadi sebuah ironi ketika harga BBM dinaikan sehingga memicu ekonomi berbiaya tinggi yang harus ditanggung rakyat. Sementara negara-negara pengekspor minyak sedang menikmati “petro dollar” karena harga minyak dunia yang tinggi, negara kita harus puas dengan stagnasi pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi kita yang dicanangkan melebihi angka 6,3 % untuk tahun ini, terjun bebas karena imbas kenaikan harga BBM.

Bagaimana kita menyikapi momentum tersebut tergantung kita tentunya. Kaum sinistis berkata, “toh itu hanyalah sebuah peringatan”. Yang lain berkata bahwa kita tidak mungkin bisa bangkit dari keterpurukan karena pemerintahnya tidak konsekuen antara kebijakan yang satu dengan yang lainnnya. Sementara pemerintah mati-matian mencanangkan dan mendorong masyarakatnya untuk bangkit dengan harapan “BISA”. Terlepas dari itu semua, setiap kita yang sudah dianugerahi dengan akal pikiran, tentunya bisa menjadikan momentum ini sebuah refleksi, dalam bentuk apapun itu.

Bagaimana refleksi tersebut harus dilakukan dilihat dari sudut pandang intelijen ? Sebuah kaum yang konon katanya menyaring semua permasalahan yang terjadi di dunia ini hanya dengan satu kalimat “Apa untungnya bagi Rekiblik Ndonez ?” (untuk senopati yang masih berpegang pada prinsip ini selamat, untuk yang sudah berubah coba refleksikan lagi). Terlepas dari apapun pandangan anda tentang intelijen, mereka dituntut untuk selalu melihat segala sesuatu dari sudut pandang kewaspadaan karena negara yang jaya adalah negara yang waspada, “indera waskita negara raharja”.

Tulisan ini tidak merepresentasikan pandangan seorang intel, tetapi lebih pada pandangan seorang warga negara. Karena bagi saya intelijen itu bukan profesi tetapi lebih merupakan “the way of life”. Intelijen itu bicara masalah “fungsi” bukan “posisi”. Mereka-mereka yang ditunjuk negara untuk menempati “posisi” di institusi intelijen tapi tidak “berfungsi”, bagi saya mereka tetap bukan intel. Dan bagi saya semua warga negara itu memiliki tanggung jawab sebagai intel. Silahkan bayangkan sebuah negara yang semua warga negaranya memiliki kewaspadaan tinggi, betapa kuatnya ketahanan nasional bangsa tersebut. Demikian pula seharusnya Rekiblik Ndonez.

Mari kita perhatikan, keterpurukan ekonomi kita adalah fakta yang tidak mungkin bisa dipungkiri lagi. Harga-harga melambung, daya beli masyarakat menurun, standar gizi masyarakat rendah, angka kemiskinan bertambah, angka pengangguran tinggi, banyak industri gulung tikar, angka pertumbuhan ekonomi terjun bebas, itu semua adalah konsekuensi yang sudah terjadi. Langkah paling urgent yang harus dilakukan untuk tidak memperparah hal tersebut adalah perubahan sikap dan pola pikir kita.

Sebagai bangsa yang sudah 100 tahun memiliki wawasan kebangkitan, maka sudah selayaknya kita memiliki wawasan dan pola pikir yang dewasa terhadap permasalahan bangsa. Bentuk kedewasaan tersebut yang mungkin paling sederhana adalah sikap arif untuk tidak saling menyalahkan satu sama lain akan penyebab keterpurukan bangsa, melainkan lebih memfokuskan ke arah penyebab keterpurukan ini terjadi.

Sudah cukup akhir-akhir ini kita diadu domba. Entah adu domba antara FPI dengan NU lah, antara golongan ini dengan golongan itu lah, atau yang lainnya. Sadarlah kawan-kawan, cukupkanlah pertempuranmu sampai hari ini saja. Sarungkan pedangmu, masih ada pertempuran yang lebih besar yang harus kita hadapi. Potensi kalian terlalu besar kalau disia-siakan hanya untuk hal-hal seperti itu. Ini waktunya untuk rukun dalam persatuan.

Sikap waspada kiranya menjadi dasar utama dalam kita memandang segala sesuatu. Harus disadari bahwa ekonomi kita terpuruk karena sikap kurang waspada yang kita lakukan terhadap kepentingan asing di negara ini. Janganlah kita mengulangi sejarah, bahwa karena sikap kurang waspada leluhur kita, maka mereka harus membayarnya dengan harga yang sangat mahal, yaitu hidup menderita di bawah penjajahan oleh bangsa kolonial selama berabad-abad.

Ekonomi kita amburadul, diacak-acak oleh kepentingan asing yang memakai tangan-tangan rakus mereka-mereka yang sebenarnya adalah putra-putra terbaik bangsa tetapi “keblinger”. Saya tidak akan menyalahkan mereka karena ini bukan waktunya untuk saling menyalahkan tetapi waktu untuk rekonsiliasi nasional demi bangsa dan negara, toh sudah banyak yang menyalahkan mereka. Saya tidak akan menyebutkan secara spesifik di sini karena tulisan ini sifatnya bukan merupakan assessment tetapi sebuah refleksi. Himbauan saya cuma satu, sadarlah kawan !

Saya juga ingin menyerukan kepada segenap elemen bangsa untuk waspada dan mengingat kembali, bahwa sejarah penjajahan atas negeri kita berabad-abad yang lalu tidak semata-mata dimulai dengan penaklukan militer secara besar-besaran tetapi melalui sisi ekonomi, sebuah hal yang sederhana yaitu perdagangan yang kita lakukan dengan perusahaan dagang Belanda, Verenigde Oostindische Compagnie (VOC). Karena leluhur kita kurang waspada waktu itu, maka VOC berhasil menguasai wilayah kita satu demi satu. Baru setelah mereka terbukti korup, maka Pemerintah Kerajaan Belanda mengambil alih kekuasaan tersebut. Tetapi penetrasi awalnya hanyalah melaui perekonomian, yang merupakan lubang vital untuk neo-imperalisme.

Saya cuma memberikan gambaran bahwa, bahkan sampai hari ini, bangsa kita masih terlalu kuat kalau untuk ditaklukkan secara militer. Saya pikir negara sekaliber Amerika sekalipun pasti berpikir ribuan kali untuk melakukan agresi militer untuk menginvasi Indonesia. Betapa tidak, negara dengan penduduk lebih dari 220 juta jiwa, dengan garis pantai terpanjang di dunia yakni 81.000 kilometer, dan terdiri dari 17.504 pulau, merupakan resistensi besar untuk penguasaan secara militer atau bahkan secara geopolitik sekalipun. Diperlukan angkatan perang yang sangat besar utuk melakukan hal tersebut. Dalam hal ini mbak Connie Rahakundini Bakrie yang saya hormati mungkin lebih bisa menjelaskan karena beliau adalah pakarnya.

Karena itulah maka sisi perekonomian di negara kita adalah lubang yang sangat rentan untuk masuknya kepentingan-kepentingan asing. Sekali lagi saya tekankan, mari waspada. Rencana privatisasi 30 BUMN pada tahun 2008 ini adalah salah satu langkah bunuh diri ekonomi, karena hal ini berarti membuka lubang yang lain untuk masuknya kembali kepentingan-kepentingan asing di negeri ini, sementara lubang-lubang yang sudah ada belum ditutup.

Dan saya menghimbau kepada segenap senopati dimana pun engkau berada, kaum ronin maupun yang masih terikat kedinasan. Yang mengaku tunduk atau pun yang tidak mau tunduk kepada Seno Raya. Dengan momentum 100 tahun kebangkitan nasional ini marilah kita berekonsiliasi, mengubur semua luka-luka lama. Kalau bangsa ini ingin bertahan, maka bentengnya harus rapat, tidak boleh ada lubang. Engkau harus berada di garda terdepan dan suri tauladan dalam kewaspadaan. Engkau yang sudah bersumpah menjadi Bhayangkara Negeri, benteng NKRI, berjuanglah kawan, pekerjaan rumah kita menumpuk. Ingatlah sumpah yang telah engkau ucapkan dahulu di bawah Sang Saka Merah Putih :

DOKTRIN PRAJURIT INTELIJEN

1. Sebagai prajurit perang fikiran Negara Republik Indonesia aku lahir.

2. Sebagai prajurit perang fikiran aku berusaha menjamin keselamatan dan kemakmuran rakyat Indonesia.

3. Sebagai prajurit perang fikiran aku bertempat luas dan dalam.

4. Sebagai prajurit perang fikiran aku bekerja dan berjuang di mana saja aku berada.

5. Sebagai prajurit perang fikiran aku hilang.

SUMPAH PRAJURIT INTELIJEN

1. Setia kepada Pemerintah Negara Republik Indonesia yang demokratis, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

2. Memegang teguh disiplin, patuh dan taat pada pimpinan, dengan tidak membantah perintah atau putusan dinas.

3. Menjunjung kehormatan korps intelijen setinggi-tingginya di setiap tempat, waktu, dan dalam keadaan bagaimanapun juga.

4. Meningkatkan kemampuan intelijen, dan pantang menyerah dalam melaksanakan segala tugas dan kewajiban jabatan.

5. Memegang rahasia negara sekeras-kerasnya.

Semoga semua indera para senopati tetap waskita…

“Nations, like men, have their own infancy.”

-Henry Bolingbroke (1678 - 1751)-
Menafsir Ulang Makna Intelijen

sumber : http://indonesiafile.com/index.php?option=com_content&task=view&id=255

Sabtu, 14 Juni 2008
Mendengar kata 'intelijen', pertama kali yang tergambar dan terlintas dalam benak kebanyakan orang, hampir bisa dipastikan adalah sesuatu yang berhubungan dengan mata-mata atau spionase, militer, keamanan dan stereotip lainnya. Padahal intelijen tidak hanya urusan spionase, militer, dan keamanan. Memang kegiatan mata-mata merupakan salah satu bagian dari aktifitas intelijen. Sangat tidak utuh dan terlalu naif kalau kita melihat intelijen hanya sekedar urusan mata-mata atau nginteli (dalam bahasa Jawa red).

Distorsi pemaknaan terhadap intelijen di masyarakat kita, terutama bagi mereka yang pernah mempunyai pengalaman kurang baik (korban) akibat ekses dari kegiatan intelijen dimasa lalu (lebih khusus di era Orde Baru) dapat dimaklumi. Mereka mungkin pernah mengalami trauma akibat tindakan represif aparat dilapangan. Selain urusan mata-mata, asumsi umum juga mengatakan, intelijen tidak lebih hanya sebagai alat penguasa untuk mengawasi dan mematai-matai kelompok-kelompok kritis, seperti mahasiswa, LSM, aktifis partai, organisasi buruh dan belakangan kelompok keagamaan yang dicurigai sebagai kelompok teroris.



Hal ini berbeda dengan persepsi masyarakat di berbagai negara lain. Seperti Amerika Serikat, China, Singapura, Israel, Inggris dan negara-negara di Eropa lainnya. Bahkan kurikulum pelajaran anak Sekolah Dasar di Singapura, 25 persennya intelijen minded. Di AS, banyak dijumpai film dengan latar belakang lika-liku kehidupan seorang agen intelijen, di Inggris ada James Bond, di China ada ahli strategi perang legendaris Sun Tzu yang banyak mengilhami doktrin-doktrin intelijen. Pendeknya, di negara-negara maju dan kuat, intelijen tidak dipandang sebelah mata. Intelijen merupakan faktor penting untuk membangun negara bangsa agar kuat dan mampu berkompetisi serta eksis ditengah persaingan global.

Tidak heran bila ada ungkapan; kuat dan tidaknya negara tergantung pada dari kuat dan tidaknya institusi intelijen yang dimiliki oleh negara tersebut. AS mempunyai Central Intelligence Agency (CIA) yang kegiatan intelijennya hampir 90 persen diluar negeri. Itu berarti, sasaran attacking intelligence CIA adalah negara kompetitor dan penggalangannya dilakukan ke berbagai negara dibelahan dunia demi kepentingan nasional AS. Isarael mempunyai Mossad yang diakui kehebatannya oleh dunia. Bayangkan, negara kecil yang hidup dikelilingi oleh musuh-musuhnya (negara-negara Arab) bisa eksis sampai sekarang. Lalu bagaiamana dengan intelijen kita?


Perlu Penafsiran Ulang

Persepsi yang kurang tepat terhadap istilah intelijen saya kira perlu diluruskan, agar intelijen ditempatkan pada kerangka pemahaman yang sesuai dengan proporsinya. Sehingga ketika mendengar kata intelijen, tidak lagi dipandang secara sinis dan negative thinking. Pemahaman yang benar atas makna intelijen sangat penting dalam rangka membangun iklim yang kondusif dan sinergis antara masyarakat dan komunitas intelijen negara. Sebab intelijen itu hanya untuk mengabdi kepada negara yang berkewajiban untuk menSejatinya, intelligence attacking hanya ditujukan kepada pihak lawan, musuh dan kompetitor yang dipandang berpotensi dan dapat mengancam keselamatan serta kepentingan nasional negara. Rakyat, mahasiswa dan masyarakat pada umumnya bukanlah musuh negara, namun sebaliknya warga negara yang harus dilindungi hak-haknya.

Lalu makhluk apa sebenarnya intelijen itu? Dari segi bahasa, kata intelijen berasal dari bahasa Inggris yaitu intelligence yang artinya kecerdasan. Jadi intelijen sebenarnya lebih dekat dengan wilayah kecerdasan, pikiran atau otak, bukan hanya mengandalkan kekuatan otot semata. Jadi kalau kita mendengar kata-kata perang intelijen, berarti yang dimaksud tidak jauh dari sekitar perang urat syaraf, perang pikiran, perang psikologis dan perang secara tidak kelihatan atau perang yang tidak nampak (silent warfare). Kesemua jenis perang tersebut, tidak mengandalkan pada perang fisik dengan melakukan penggelaran militer, namun kesemuanya menggandalkan taktik dan strategi pikiran yang membutuhkan kecerdasan (meski perang militer juga menggunakan taktik dan strategi).

Jadi, intelijen bisa didefinisikan sebagai kegiatan mengumpulkan informasi, data, fakta, dan bahan keterangan baik secara terbuka maupun tertutup (namun kebanyakan dengan cara tertutup atau rahasia). Setelah informasi tersebut diperoleh, kemudian dianalisa, dievaluasi dan difafsirkan untuk disajikan kepada end user atau pengambil kebijakan sebagai pihak pengguna jasa intelijen. Informasi yang sudah dianalisa disebut merupakan produk intelijen, yang berupa prediksi atau prakiraan terhadap situasi dan kondisi yang akan terjadi dimasa datang dalam jangka pendek dan menengah. Selain prediksi, produk intelijen juga berisi saran tentang problem solving atas suatu persoalan.

Dari sinilah analisa intelijen itu sangat penting sekali. Seorang analis intelijen harus benar-benar menguasai persoalan dan mempunyai kapasitas intelektual yang multidisplin agar menghasilkan produk intelijen yang baik. Produk intelijen yang dihasilkan pada dasarnya adalah peringatan dini terhadap ancaman (early warning system) sebagai langkah untuk menghindari apa yang disebut pendadakan strategis (strategic surprise). Muatan dari produk intelijen yang kedua adalah bagaimana memenangkan sebuah persaingan, hal ini banyak dipergunakan dalam intelijen bisnis atau competitive intelligence.


Membumikan Intelijen Minded

Makna filosofis yang dapat ambil dari definisi intelijen secara proporsional dan tepat adalah adanya cara pandang dan cara berfikir yang berwujud dalam sebuah tindakan yang berlandaskan pada nalar intelijen yaitu antisipatif dan prediktif dan pola laku intelijen yaitu cepat dan tepat (velox et exactus). Disaat kita mampu memprediksi suatu keadaan yang akan terjadi dimasa datang dengan berbagai data, fakta dan informasi yang kita peroleh, maka kita harus melakukan antisipasi. Perkiraan terhadap kondisi dimasa datang akan sangat tergantung sejauhmana kita mampu memahami dan mengetahui pada masa lalu dan masa kini. Sedang pola laku yang cepat dan tepat, harus melekat dalam diri insan intelijen karena ia sangat berhubungan dengan masalah informasi. Disinilah saya kira pentingnya membumikan intelligence minded dalam masyarakat kita yang bertumpu pada peringatan dini, penyelematan dan memenangkan persaingan.

Mengapa intelligence minded perlu dibumikan dalam masyarakat kita. Pertama; karena bicara intelijen tidak hanya urusan mata-mata saja (spy), tetapi lebih dari sekedar itu. Yakni, keberadaan intelijen karena dibutuhkan untuk mensupport pengambil kebijakan yang berdampak pada kepentingan publik. Kedua; seiring perkembangan zaman, para pengguna jasa intelijen tidak hanya sebatas negara saja (state intelligence), tetapi berbagai perusahaan swasta dan organisasi lainnya. Ketiga; intelijen merupakan sebuah ilmu pengetahuan. Memasuki abad 21 ini, intelijen dimasukkan dalam disiplin ilmu tersendiri, setelah sebelumnya hanya dilihat sebagai proses dan kegiatan didalam dunia yang gelap, tertutup dan serba rahasia. Sebagai ilmu pengetahuan, intelijen secara spesifik meneliti pada empat variabel pokok yaitu; organisasi intelijen, tingkah laku agen atau aktor intelijen, kegiatan intelijen dan produk intelijen. Namun belakangan, sesuatu yang terkait dengan ancaman dan penyelematan sebuah perusahaan atau koorporasi dan organisasi swasta lainnya dapat dimasukkan dalam penelitian intelijen.

Keempat; kondisi bangsa dan masyarakat kita yang akhir-akhir ini mudah untuk diadu domba, lemah secara ekonomi dan politik, susah berasatu, saling menyalahkan, miskin nasionalisme, mudah mengadopsi ide-ide dari luar, kehilangan jati diri dan masih banyak lagi yang berhubungan dengan mental dan karakter masyarakat kita, terutama elit penguasa pengambil kebijakan yang tidak juga membuat tanda-tanda bangsa kita akan menjadi bangsa kuat, maju, memenangkan persaingan, melindungi segenap tumpah darahnya. Disinilah pentingnya membumikan intelijen minded dalam masyarakat kita, terutama pada level akar rumput. Sebab siapa tahu, saat ini para elit penguasa kita, kelompok menengah kita, intelektual kita, pengusaha kita dan bahkan aparat kita sendiri telah menjadi agen dari kepentingan bangsa dan negara lain. Kenapa Malaysia, Singapura, Australia, dan tentu AS berani semena-mena dan meremehkan kita, dan mengapa pula bangsa kita selalu rebut di dalam ibarat katak dalam tempurung?


Ayam berkokok, curiga

Ayam tidak berkokok, curiga juga

Wallahul?alam Bishshawab.

Oleh : Ahmad Rouf Qusyairi: sayrouf@yahoo.com
Penulis adalah Sekretaris Lembaga Pengembangan Intelektual Muda PP. GP Ansor dan Mahasiswa Pasca Sarjana Kajian Intelijen Stratejik Universitas Indonesia.