Heritage Intelligence

Mendengar intelijen ingatan langsung tertuju kepada James Bond 007, CIA, KGB, dan Mossad. Institusi intelijen Negara yang bekerja dalam ketertutupan dan menyeramkan seperti kisah Victor Ostrovsky atau novel Body of Lies karya David Ignatius. Intelijen Benda Cagar Budaya (Heritage Intelligence) bukan merupakan pengenjawantahan dari Lembaga Intelijen Negara, melainkan pekerjaan penelitian dan pendokumentasian tentang keberadaan benda cagar budaya yang ada di Indonesia. Banyaknya peninggalan kekayaan artefak sejarah yang telah lenyap atau musnah, sehingga menciptakan kerugian besar hampir disetiap sektor baik dari Ilmu pengetahuan, sosial-budaya, ekonomi dan pertahanan keamanan Negara.
Ketidak berdayaan pembuktian kekayaan dan kerugian Negara tentang peninggalan sejarah, yang telah hilang maupun masih ada merupakan 'titik lemah' untuk dapat menjelaskan dan mempertanggung jawabkan kepada publik.
Sebagaimana contoh hancurnya bangunan di proklamasi, dimana potret nyata detik-detik bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Pertanyaan kerugian apa saja yang diciptakan dari kehancuran bangunan proklamasi tersebut? Ternyata ketika di 'bedah' anatominya sungguh membuat kepala cekot-cekot, dari sisi Ilmu pengetahuan bukti nyata keberadaan fisik bangunan sudah tidak ada. Di dalam ranah berbeda seperti contoh ketika pulau Sipadan dan Ligitan diakui oleh Mahkamah Internasional di Belanda, fisik bangunan yang terdapat dikedua pulau tersebut adalah milik Malaysia. Pada akhirnya secara de jure maupun de fakto pulau Sipadan dan Ligitan milik sah Malaysia.
Terperanjat bahwa eksistensi fisik bangunan bukan persoalan sederhana, cara pandang melihat fisik bangunan selama ini hanya dilihat dari 'kaca mata kuda' yang melulu diukur dari perspektif estetika dan ekonomis semata. Padahal sebuah bangunan diciptakan melampaui tapal batas estetika dan ekonomi, sebagaimana masyarakat Jawa membangun rumah Panggang pe Ceregancet mirip dengan jasad hidup yang tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan kehidupan penghuninya.

Database Benda Cagar Budaya

Film petualangan Indiana Jones, National Treasure, dan Da Vinci Code, membuat adrenalin penonton terpacu. Kecerdasan mengumpulkan serpihan informasi yang tercecer, sehingga teka-teki dapat terpecahkan dan disusun ulang. Sungguh sebuah inspirasi. Tersebar dan terseraknya artefak benda cagar budaya dari berbagai wujud, baik dari sisa-sisa peninggalan kerajaan Nusantara sampai peninggalan kolonial. Sampai saat ini masih dalam 'terawangan' sebagai analogi berjalan dikegelapan tanpa cahaya. Keberadaan UU.No.5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya dan UU.No.26 Tahun 2007 Tentang Tata Ruang masih dalam tahap konsepsional, belum memasuki 'ranah' operasional di dalam pelestarian benda cagar budaya. Inventarisasi pendokumentasiaan sebagai database keberadaan benda cagar budaya dari berbagai ragam bentuk, sampai saat ini masih belum dapat direalisasikan. Padahal database tersebut merupakan 'peta hidup' sebagai alat deteksi dini, perihal kelangsungan pelestarian benda cagar budaya di Indonesia. Karena bila terwujud pendokumentasian tersebut, publik dapat mengetahui dan menjaga pelestarian dari benda cagar budaya yang dilindungi oleh Negara. Fungsi database dapat memberikan suguhan informasi, berapa jumlah benda cagar budaya yang dimiliki seperti Gedung, Benteng, Rumah, Masjid, Gereja, Vihara, Pusaka dan lain sebagainya. Dengan adanya informasi keberadaan artefak sejarah ini, penghancuran dan pencurian dapat maksimal dihindari.
Pendokumentasian mempunyai peran ganda di satu sisi dapat menjadi alat kontrol, disisi lain merupakan alat sosialisasi dari Undang-Undang tentang Benda Cagar Budaya yang murah dan efektif kepada warga Negara.

Benda Cagar Budaya dan Keamanan Nasional

Perjuangan panjang Vasco da Gama (1497-1499) mencapai India melalui Tanjung Harapan telah berhasil gilang gemilang, dari keberhasilan ini maka terbuka lebar pintu masuk pelayaran bangsa Eropa ke Asia. Setelah Tanjung Harapan ditundukkan, kini giliran Melaka dikuasai Portugal (1511).
Di dalam kurun waktu 11 tahun tepatnya pada tahun 1522 ekspedisi Ferdinand Magellan dari Spanyol berhasil mencapai Maluku, selisih waktu 57 tahun (1522-1579) Francis Drake dari Inggris datang menyusul ke kewilayah 'surga rempah-rempah' Maluku. Berawal dari rempah-rempah nafsu serakah untuk menguasai dalam wajah kolonialisme tertancap di bumi Maluku, gesekan kepentingan untuk saling menguasai antara Portugal dan Spanyol di Maluku pada abad XVI tidak dapat terhindarkan. Maka keluar perjanjian Tordesillas (1494) dan menyusul perjanjian Saragossa (1527) antara Spanyol dan Portugal. Hal hasil dari perjanjian tersebut Portugal dapat menguasai Maluku.
Kilasan sejarah tersebut merupakan 'rekam jejak' kolonialisme pertama kali hadir di bumi jamrud khatulistiwa, taktik dan strategi kolonial di dalam melakukan infiltrasi sampai menuju invasi dapat ketahui. Fakta penjajahan dapat ditelusuri melalui artefak seperti Benteng Victoria (1605) yang dibangun Portugal di Maluku, berfungsi sebagai benteng pertahanan. Juga Benteng Oranje (1607) di Ternate yang dibangun oleh Cornelis Matelief de Jonge (Belanda). Benteng ini pernah dijadikan pusat pemerintahan tertinggi Hindia Belanda (Gubernur Jenderal) Pieter Both, Herald Reynst, Laurenz Reaal, dan Jan Pieterszoon Coen.
Dari Benteng pertahanan sampai rute perjalanan alur laut kolonial memasuki Nusantara, sebagaimana diketemukannya beberapa artefak kapal laut kolonial yang karam di dasar laut. Dan legitimasi Mahkamah Internasional tentang batas kedaulatan wilayah Negara Kesatuan republik Indonesia (NKRI), mengacu pada peninggalan tanah jajahan Belanda. Dengan demikian 'patok batas' secara fisik peninggalan Belanda, kedepan menjadi sesuatu yang vital di dalam pembuktian wilayah kedaulatan Negara.
Walaupun bukan konteks benda cagar budaya, tetapi masih dalam 'satu tarikan nafas' peristiwa dikuasainya Pulau Sipadan dan Ligitan oleh Malaysia, karena lemahnya bukti otentik di Mahkamah Internasional. Merupakan pertanda urgensinya fisik bangunan dalam wilayah hukum Internasional. Serta perluasan pembangunan fisik didaratan Singapura melalui 'pasir laut', hampir saja mencaplok kedaulatan Indonesia khususnya pulau Nipa dan pulau lainnya disekitar wilayah propinsi kepulauan Riau. Satu lagi peristiwa penghancuran taman didepan stasiun Beos kota, dimana wilayah itu merupakan 'ring satu' zona benda cagar budaya. Kepentingan bisnis lebih penting daripada keamanan. Pembangunan shelter busway dan terowongan untuk pedestrian mengakibatkan dampak buruk bagi bangunan tua disekitarnya. Tercatat sedikitnya empat bangunan tua yang langsung terkena dampak negative yang diakibatkan dewatering saat pembangunan terowongan tersebut, keseimbangan air tanah disekitar lokasi terganggu. Dan keempat bangunan tua mengalami penurunan pondasi, dan dampak negatif apa yang akan tercipta kedepan? Tidak ada yang dapat mengatahui dan diperlukan kajian mendalam. Sampai saat ini kejelasan tentang barang sitaan Negara dari hasil penangkapan eksplorasi kapal VOC yang karam secara illegal, berapa jumlah dan nilai harta karun tersebut dan disimpan dimana masih dalam misteri.
Saksi bisu benda cagar budaya ternyata faktual dapat 'berbunyi' dan berkata jujur tanpa ada rekayasa maupun kebohongan.

Intelijen Benda Cagar Budaya (Heritage Intelligence)

Cegah tangkal di dalam pelestarian benda cagar budaya sudah waktunya diperkuat, perhitungan secara matematis tentang kekayaan 'adi luhung' bangsa Indonesia belum dapat direalisasikan. Kemampuan IPTEK di dalam kalkulasi sumber daya alam (SDA) kekayaan laut sudah dapat dihandalkan di negri kepulauan ini, padahal dahulu sebelum teori tersebut ada masih merupakan sesuatu yang 'ghaib' diwilayah alam bawah sadar. Sosok manusia dapat terbang Gatot Kaca yang hanya ada dalam cerita pewayangan, tersentak bahwa cerita itu bukan mitos melainkan teknos dengan kemampuan di dalam rekayasa teknologi kapal terbang (Dirgantara Indonesia).
Eksistensi heritage intelligence di dalam melakukan penelitian dan pendokumentasian, serta dapat juga melakukan 'audit' benda cagar budaya, merupakan pemecah dari kebekuan dan kerapuhan mengatasi permasalahan benda cagar budaya. Generasi kedepan perlu diberikan 'menu' visualitas bukan virtualitas. Melalaui intelijen benda cagar budaya sesuatu yang absurd menjadi rasional, investigasi tapak tilas untuk dapat mengumpulkan kembali serpihan sejarah yang tercecer dan hilang. Seperti analogi menjahit pakaian yang sudah usang termakan jaman, memerlukan sentuhan ketekunan penjahit handal. Semoga.***

BAROUSAI, BARUS, ATAU FANSUR: KISAH CEMERLANG DARI BERIBU TAHUN SILAM

BAROUSAI, BARUS, ATAU FANSUR:

KISAH CEMERLANG DARI BERIBU TAHUN SILAM

Kota bandar di tepian pantai barat Sumatra yang berabad lalu menjadi sebuah perkampungan multi-etnis yang penuh guyub, sarat daya tarik bagi para pedagang di hampir seluruh penjuru bumi, juga menjadi pintu masuknya berbagai peradaban dan agama-agama besar di bumi Nusantara itu kini telah sepi.

BARUS saat ini hanya sebuah ibukota Kecamatan, di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatra Utara. Posisinya berada di pinggir pantai barat Sumatera, sekitar 60 km sebelah utara Sibolga, atau sekitar 414 km dari Medan. Tidak ada yang istimewa. Begitu juga dengan Desa Lobutua, sekitar 4 km ke arah barat dari Barus. Juga layaknya sebuah desa, sepi. Meskipun sesekali para peziarah datang silih-berganti, menapaki sejarah sebuah kota banda yang jauh di awal abad masehi pernah begitu cemerlang dan menggemparkan sekujur bumi.

Dan boleh jadi, Barus adalah satu-satunya kota yang tercatat di dalam buku yang terbit di awal masehi, sehingga menempatkannya sebagai kota tertua di bumi Nusantara. Adalah Claudius Ptolomaios[1], seorang geograf Yunani yang dalam bukunya dari abad ke dua Masehi, Geographike Hyphegesis menuliskan nama negeri Barousai di Chryse Chora (Pulau Emas) yang antara lain oleh van der Meulen disimpulkan sebagai Sumatra[2].

Tapi apa gerangan yang menjadikan kota bandar ini begitu mempesona orang Yunani, China, India, dan bahkan juga para Pharao di Mesir kuno?

Jawabnya tak lain adalah kapur barus (bhs Belanda: kamfer, dan mungkin dari kata kapur yang diucapkan kofur oleh bangsa Arab).[3] Konon, kapur barus asal kota barus inilah yang paling banyak dicari karena kualitasnya yang terbaik, paling laku dan harganya kurang lebih 8 kali lebih mahal daripada kapur-kapur barus asal tempat lain[4]. Dalam catatan pelancong Italia, Marco Polo bahkan disebutkan bahwa, harga kapur barus kala itu setara dengan harga emas dengan berat yang sama[5].

Seorang Belanda pernah menulis bahwa kemenyan dari Barus, telah dipakai sebagai salah satu bahan mengawetkan (membalsem) mayat raja-raja di Mesir sebelum Masehi[6]. Jika dugaan ini benar, maka berarti kota bandar Barus ini sudah ada sejak 5.000 tahun SM. Perkiraan akhir itu, didasarkan pada temuan bahan pengawet dari berbagai mummy Fir'aun Mesir Kuno salah satu pengawetnya menggunakan kanper atau kapur Barus. Sejarawan era kemerdekaan Moh. Yamin, bahkan memperkirakan bahwa, perdagangan rempah-rempah dan tentu saja kamfer, sudah dilakukan pedagang Nusantara sejak 6.000 tahun lalu ke berbagai penjuru dunia.

Hasil penelitian Innis Miller terhadap naskah Historia Naturalis karya Plinius di abad pertama juga sudah menunjukkan bahwa, para pedagang Nusantara pun ternyata sudah menjajakan komoditas mereka sampai ke Asia Barat dan Afrika Timur sejak abad permulaan Masehi[7]. Sementara Prof. Kern[8] pernah menulis bahwa Kota “P’o-lu-chi” yang dimaksud I Tsing di abad ke-7, tidak lain dari Barus[9]. Seorang penyair Arab sebelum Islam, Amru al-Qais (meninggal tahun 530 Masehi), sangat memuji keharuman kafur dalam syair-syairnya[10].

Begitu pentingnya kota Barus ini—mungkin bisa disamakan dengan Paris pada abad modern yang terkenal dengan inovasi parfumnya—maka sejak zaman dulu dalam dunia dagang telah dikenal nama-nama Baros, Balus, Pansur, Fansur, Pansuri[11], Kalasaputra[12], Karpura-dwipa, Barusai, Waru-saka dan lain-lain.

Dan tentu, seperti kata pepatah, ada gula ada semut. Pesona kapur barus dari selatan ini menggoda banyak pendatang. Sebagaimana dicatatan Ptolomaios, selain para penjelajah dari Yunani, juga datang pedagang dari Venesia, India, Arab dan Tiongkok. Selain itu, sekelompok penyebar ajaran Kristen Sekte Nestorian dari Konstantinopel, pusat Kerajaan Byzantium Timur, juga menjejakkan kakinya di Barus. Kelompok itu diperkirakan datang sekira tahun 600 M dan mendirikan gereja pertama di Desa Pancuran, Barus.

Dewan Gereja-gereja di Indonesia juga memercayai sejak tahun 645 Masehi di daerah Barus telah masuk umat Kristen dari sekte Nestorian. Keyakinan tersebut didasarkan pada buku kuno tulisan Shaikh Abu Salih al-Armini. Sementara itu, penjelajah dari Armenia Mabousahl mencatat bahwa pada abad ke-12 telah terdapat Gereja Nestorian.

Lalu datanglah para pedagang Arab memasuki Barus sekira 627-643 M atau sekitar tahun 1 Hijriah, dan menyebarkan agama Islam di daerah itu. Di antaranya Wahab bin Qabishah mendarat di Pulau Mursala pada 627 M. Ada juga utusan Khulafaur Rasyidin, bernama Syekh Ismail akan ke Samudera Pasai dan singgah di Barus, sekira tahun 634 M. Dan sejak itu pula, tercatat bangsa Arab (Islam) mendirikan koloni di Barus. Bangsa Arab menamakan Barus dengan sebutan Fansur atau Fansuri, misalnya oleh penulis Sulaiman pada 851 M dalam bukunya "Silsilatus Tawarikh."

Kedatangan bangsa Arab yang kemudian menyebarkan agama Islam itu juga disebutkan dalam berita-berita Cina, Hsin-Tang-shu[13] (Catatan Dinasti Tang, 618-907), dan Chu-fan-chi[14] (Catatan Negeri-negeri Asing) yang ditulis Chau Ju-kua pada tahun 1225. Di dalam dua kronik Cina itu banyak bercerita tentang Ta-shi, istilah Cina untuk menyebut Arab. (Chu-fan-chi menerangkan bahwa Ta-shi mempunyai seorang Buddha (maksudnya Nabi) yang bernama Ma-ha-mat (Muhammad). Dalam sehari mereka lima kali sembahyang, dan setiap tahun berpuasa selama sebulan penuh. Dinasti Ta-shi ada dua macam, yaitu white-robed Ta-shi (Arab berjubah putih) atau Pon-ni-mo-huan (Bani Marwan, atau Bani Umayyah), serta black-robed Ta-shi (Arab berjubah hitam) yang didirikan raja A-po-lo-pa (Abul-Abbas)[15]. Pada tahun 651 Masehi, raja Ta-shi (Arab) bernama Han-mi-mo-mi-ni mengirimkan utusan ke istana Cina[16]. Hampir dapat dipastikan bahwa nama Han-mi-mo-mi-ni dalam ucapan Cina ini adalah untuk Amir al-Mu’minin, gelar resmi para khalifah Islam, dan “raja Ta-shi” yang mengirimkan utusan itu adalah Khalifah `Utsman ibn Affan yang memerintah dari tahun 644 sampai 656. Hsin-Tang-shu mencatat bahwa pada tahun 674 terdapat pemukiman pedagang Ta-shi (Arab) di Po-lu-shih, daerah pantai barat Sumatera.[17]

Tentu, dapat dibayangkan betapa makmurnya kota Barus pada awal abad masehi ini, dengan penduduk yang sebagian besar terdiri atas kaum pedagang. Pertanyaannya kemudian, siapakah yang menggerakkan semua perdagangan hingga jauh ke negeri seberang itu?

Seorang bekas kontrolir Belanda, G.J.J. Deutz, sewaktu bertugas di Barus,[18] menulis bahwa menurut rakyat setempat di Desa Lobutua pernah didapat penduduk sebuah batu bertulis pada dua bagian. Tetapi sayang, batu itu pada tahun 1857 dipecahkan oleh Raja Barus bernama Mara Pangkat. Pada tahun 1872 Deutz banyak menemukan pecahan batu peninggalan zaman Hindu yang telah dilupakan orang, telah berlumut. Dan baru pada tahun 1932, prasasti itu diterjemahkan Profesor Nila-kanti Sastri dari Universitas Madras.[19]

Prasasti itu menyebutkan bahwa paling sedikit sejak abad ke-11, telah bermukim di kota Barus sebuah koloni bangsa Tamil. Menurut batu Lobutua itu, mereka tergabung dalam sebuah perusahaan bernama “kelompok 500″ yang tidak asing lagi bagi orang-orang India waktu itu. Perusahaan swasta yang mereka wakili, merupakan perusahaan dagang cukup kuat, merdeka dalam tindakan dan tidak gampang tunduk pada salah satu raja yang berkuasa di sekitar Barus. Mereka yang berdiam di Barus inilah yang membeli beberapa hasil dari rakyat—utamanya kapur barus—untuk diekspor ke luar negeri.

Menurut Gnillout Claude[20], Barus adalah sebuah kota kuno di pantai barat Propinsi Sumatera Utara yang terkenal di seluruh Asia, sejak lebih dari seribu tahun, berkat hasil hutannya. Selain itu, nama Barus juga muncul dalam sejarah peradaban Melayu dengan Hamzah Fansuri, penyair mistik terkenal yang baru-baru ini ditemukan kembali makamnya di Mekkah. Sementara itu, tim arkeolog dari Ecole Francaise D’extreme-Orient (EFEO) Perancis bekerjasama dengan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua-Barus, menemukan bahwa pada sekitar abad 9-12 Masehi, Barus telah menjadi sebuah perkampungan multi-etnis dari berbagai suku bangsa seperti Arab, Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu, dan sebagainya. Tim tersebut juga menemukan banyak benda-benda berkualitas tinggi yang usianya sudah ratusan dan bahkan ribuan tahun dan ini menandakan dahulu kala kehidupan di Barus itu sangatlah makmur.

Dan semua kemakmuran itu berkat aroma kapur barus yang diolah dari kayu kamfer. Hanya kini, komoditi yang begitu mempesona di masa silam itu, hingga konon juga dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5. 000 tahun sebelum Masehi itu, kini sudah lama tidak lagi diproduksi

Di komplek makam Syekh Machmud yang tertata rapi dan terletak di Bukit Papan Tinggi dan memang betul-betul tinggi sehingga harus melewati 710 anak tangga ini, menggantung sebuah tulisan, “Beri Salam dan Alas Kaki dibuka.” Seakan mengakhiri sebuah kisah perjalanan sebuah kota bandar di tepian pantai barat Sumatra yang berabad lalu menjadi sebuah perkampungan multi-etnis yang penuh guyub, sarat daya tarik bagi para pedagang di hampir seluruh penjuru bumi, juga menjadi pintu masuknya berbagai peradaban dan agama-agama besar di bumi Nusantara itu kini telah sepi.**



[1] Barus telah disebut oleh Ptolomeus kira kira tahun 150 Masehi. (Kozok, 1991, 14)

[2] W. J. van der Meulen, “Suvarnadvipa and the Chryse Chersonesos”, Indonesia, 18, October 1974, h. 1

[3] Encyclopdeia van Nederlandsch Indie

[4] Ada tiga jenis kapur barus pada saat itu yaitu: Kapur barus dari Kalimantan dan Sumatera (Dryobalanops aromatica), Kapur barus dari China dan Jepang (Cinnamomum Camphora) yang banyak beredar dipasaran dan yang ketiga adalah Blumea balsami- fera, yang diproduksi di China dengan nama kapur barus Ngai. Harga dari kapur barus asal Sumatera ini kira-kira 138 kali lebih mahal dari kapur barus China dan Jepang. (Hobson-Jobson, Glossary of Anglo-Indian Words and Phares)

[5]Travel of Marco Polo,” Buku 3 Bab 9 dan Buku 2 Bab 8 by Marco Polo dan Rustichello of Pisa

[6] Sumatra Benzoe, Disertasi P.H. Brans

[7] J. Innis Miller, The Spice Trade of the Roman Empire, Oxford University Press, London, 1969, terutama Bab “The Cinnamon Route”

[8] Verspreide Geschriften No VI, halaman 15

[9] Po-lu-chi atau Po-lu-suo terkadang sering keliru diterjemahkan dalam text China dengan Bo-si atau Persia. Barus ini juga sering disebut sebagai Bon-cu, Bian-shu atau Bin-cuo. (Roderich Ptak, Possible Chinese Reference to the Barus Area (Ming to Tang) in Claude Guillot (ed.) Histoire de Barus, Sumatera: Le Site de Lobu Tua I, Etudes et Documents, Paris, Cahier d’Archipel 30, 1998, pp. 119-138)

[10] Oliver W. Wolters, Early Indonesian Commerce, Cornell University Press, Ithaca, New York, 1967, terutama Bab 8

[11] Dari Desa Pansur sedikit di utara Barus

[12] Dari kata Kalasan, daerah penghasil kapur barus antara Kota Barus dan Sungai Chenendang

[13] Diterjemahkan oleh Paul Pelliot, “Deux Itineraires de Chine en Inde a la Fin du VIIIe Siecle”, BEFEO, 4, 1904, hal. 132-413

[14] Diterjemahkan oleh Friedrich Hirth dan W. W. Rockhill, Chau Ju-kua: His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries, entitled CHU-FAN-CHI, Imperial Academy of Sciences, St.Petersburg, 1911

[15] Lihat: F. Hirth dan W.W.Rockhill, hh. 114-124

[16] Berita ini tercantum dalam kronik Tung-tien buku 193 nomor 22b. Lihat: F.Hirth dan W.W.Rockhill, h. 119

[17] Paul Pelliot, h. 297. Lihat juga W. P. Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources, Bhratara, Jakarta, cetak ulang 1960, h. 14.

[18] Barus, G.J.J. Deutz, Tijdschr No. 22 tahun 1875

[19] A Tamil Merchant-guild in Sumatera oleh Prof. N. Sastri dalam Tijdschr No 72 tahun 1932

[20] “Lobu Tua Sejarah Barus”, Obor, 2002

Senin, 15 September 2008

ITLOS Bisa Menjadi Altenatif Penyelesaian Sengketa Wilayah Laut
[9/3/05]

Selain waktu penyelesaian sengketa bisa lebih cepat, hakim-hakim yang ada di lembaga tersebut dinilai lebih mumpuni.

Batas antar negara yang dipisahkan oleh perairan berpotensi menimbulkan sengketa kelautan. Walaupun Konvensi Hukum Laut Internasional telah ditandatangani oleh 147 negara dan 1 organisasi, yaitu Komunitas Eropa, namun perselisihan batas negara yang mengarah pada sengketa hukum laut masih saja bisa terjadi. Seperti yang dialami Indonesia-Malaysia, yang tengah bersitegang mengenai blok Ambalat di perairan Sulawesi. Indonesia dan Malaysia adalah penandatangan konvensi tersebut.

Upaya penyelesaian konflik hukum laut umumnya berujung di meja perundingan. Dosen hukum internasional dari Universitas Indonesia, Sidik Suraputra mengemukakan, sengketa yang berhubungan dengan batas wilayah diselesaikan terlebih dahulu lewat jalur diplomasi.

”Perkara ini (batas wilayah-red) sangatlah sensitif,” ujar Sidik kepada hukumonline (8/3). Ia menyarankan agar perselisihan dua negara serumpun ini diselesaikan secara damai. Selain upaya bilateral, menurutnya dapat pula dilakukan dengan menempuh jalur arbitrase.

Pada kenyataannya, tidak sedikit sengketa batas laut yang diselesaikan melalui jalur litigasi. Seperti halnya perseteruan beberapa tahun lalu antara Indonesia-Malaysia mengenai pulau Sipadan Ligitan. Keduanya kemudian sepakat untuk menyelesaikan sengketa tersebut ke International Court of Justice (ICJ).

Mengenai sengketa Sipadan Ligitan ini, Direktur Perjanjian Politik, Keamanan dan Teritorial Departemen Luar Negeri, Ariv Havas Oegroseno, menuturkan pemilihan forum ICJ untuk menyelesaikan sengketa Sipadan Ligitan lebih ke arah politis.

Dalam pembicaraanya dengan hukumonline (8/3), Havas menyebutkan keputusan memilih forum ICJ datang dari mantan Presiden Suharto pada waktu itu. “Deplu dalam urusan tersebut tidak mengetahui atau berwenang memutuskan dimana sengketa itu harus diselesaikan,” jelas Havaz.

Selain ICJ, sebenarnya terdapat pengadilan internasional yang lebih khusus untuk menangani sengketa hukum laut. Pengadilan khusus tersebut adalah International Tribunal Law of The Sea (ITLOS) yang berkedudukan di Hamburg, Jerman.

Berbicara tentang ITLOS, pakar hukum laut dari Universitas Padjadjaran Etty Agoes mengatakan perkembangan dari pengadilan ini cukup bagus. Untuk beberapa hal, Etty menilai ITLOS memiliki kelebihan dibanding ICJ.

Ia mencontohkan sengketa Sipadan Ligitan yang penyelesaiannya di ICJ memakan waktu lama. Pada waktu itu, Indonesia harus menunggu giliran kasus lain di ICJ selesai diperiksa. Sedangkan di ITLOS, karena khusus menangani sengketa yang berhubungan dengan kelautan, maka otomatis penyelesaiannya akan lebih cepat.

Havaz juga mengakui, ITLOS memang merupakan badan penyelesaian sengketa yang seyogianya dipertimbangkan penyelesaian sengketa hukum laut. Hanya saja ia kembali mengingatkan, pemilihan forum penyelesaian sengketa batas wilayah juga dipengaruhi nuansa politis.

Zona Ekonomi Eksklusif

Disebutkan dalam situs www.itlos.org, ITLOS memiliki 21 hakim yang berasal dari berbagai negara. Jatah 21 hakim di ITLOS dibagi berdasarkan keterwakilan georafis. Dimana komposisinya adalah 5 berasal dari Asia, 5 dari Afrika, 3 dari Eropa Barat, 4 dari Amerika Latin dan Karibia serta 4 dari Eropa Timur dan negara lainnya. Sayangnya, sampai hari ini belum ada hakim yang berasal dari Indonesia untuk duduk di ITLOS.

Belum genap satu dekade berdiri, ITLOS sendiri sudah menerima 13 kasus sengketa hukum laut internasional. Malaysia pun pernah menyelesaikan sengketanya dengan Singapura soal land reclamation pada 2003.

Sampai saat ini, sengketa masuk ke ITLOS, lebih banyak mengenai masalah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Namun, tidak semua kasus hanya menyangkut soal ZEE saja. Misalnya ada kasus tentang eksploitasi ikan todak (swordfish) di Lautan Pasifik dimana kasus ini diajukan oleh Komunitas Eropa melawan Chili.

Sejumlah negara seperti Perancis, Inggris, Yaman, Jepang, Panama, New Zealand dan Australia memilih ITLOS untuk menyelesaikan sengketa kelautan mereka.

Melihat dari ragam kasus yang diselesaikan oleh ITLOS, maka menurut Etty, ITLOS bisa menjadi tempat penyelesaian sengketa pilihan untuk kasus Indonesia Malaysia dalam perebutan blok Ambalat. Termasuk apabila di dalam sengketa tersebut lebih banyak muatannya tentang landas kontinen.

(Gie)
Sengketa Ambalat: Indonesia Harus Berpatokan pada Landas Kontinen
[8/3/05]Hukumonline.com

‘Seandainya berada lebih dari 12 mil dari garis pantai Indonesia, blok Ambalat tetap dapat diklaim menjadi milik Indonesia dengan berpatokan pada landas kontinen’.

Perseteruan blok Ambalat yang berada di perairan karang Unarang Laut Sulawesi mulai memanas. Indonesia dan Malaysia sama-sama mengklaim sebagai pemilik blok yang diperkirakan kaya akan kandungan minyak. Pihak Indonesia mulai resah setelah Malaysia memberikan konsesi kepada perusahaan minyak Shell untuk mengeksplorasi wilayah perairan tersebut.

Dalam rapat kerja antara pemerintah dengan DPR kemarin (7/3), Ketua Komisi I DPR, Theo Sambuaga menyatakan bahwa kawasan Ambalat adalah milik Indonesia dan tidak dapat diganggu gugat. Oleh karena itu setiap pelanggaran di wilayah tersebut harus ditindak. Theo menegaskan, setiap pembicaraan dengan Malaysia haruslah berupa penegasan bahwa Ambalat adalah milik Indonesia.

Akankah ini artinya sulit bagi kedua negara untuk berunding damai, mengingat Indonesia sudah pernah kehilangan dua pulau Sipadan-Ligitan atau berbaik hati dengan memberikan landas kontinen di Tanjung Datu berdasarkan median line dan special circumstances?

Menanggapi memanasnya perseteruan ini, pakar hukum laut Universitas Padjadjaran Etty Agoes dalam pembicaraannya dengan hukumonline (7/3) menyarankan agar pemerintah Indonesia memilih jalur perundingan dalam perebutan blok Ambalat ini. Namun, kata Etty, pemerintah harus menentukan secara pasti terlebih dahulu koordinat geografis dari blok Ambalat. Penentuan koordinat geografis ini akan menjadi bekal yang berharga bagi Indonesia dalam proses perundingan, atau seandainya perseteruan ini harus diselesaikan melalui jalur litigasi.

Etty menambahkan, dilihat dengan kasat mata, blok Ambalat berjarak lebih dari 12 mil dari garis pantai Indonesia. Namun untuk menentukan garis pantai harus dilihat secara rinci. Kalaupun jaraknya lebih dari 12 mil, ujar Etty, Ambalat tetap bisa menjadi milik Indonesia dengan berpatokan pada landas kontinen. Oleh sebab itu, landas kontinen ini harus dibuktikan oleh Indonesia sebagai bekal untuk dibawa dalam meja perundingan.

Dikatakan Etty, Malaysia sendiri selama ini menggunakan dasar penarikan garis pangkal lurus untuk menetapkan batas wilayahnya. Namun, paparnya, penetapan batas wilayah tersebut bisa dipertanyakan. Pasalnya, penentuan garis pangkal sendiri sudah ditentukan dalam Pasal 7 Bab VI Konvensi Hukum Laut Internasional 1982. Dijelaskannya pula, Malaysia belum pernah menunjukan dimana garis pangkalnya sehingga menarik garis pangkal lurus bertentangan dengan pasal 7 Konvensi Hukum Laut Internasional.

Etty mengakui, Malaysia untuk urusan batas-batas kelautan dengan negara-negara ASEAN tergolong “anak nakal”. Bukan hanya Indonesia saja yang direpotkan dengan klaim-klaim batas teritorial di laut, negara lain seperti Brunei, Thailand dan Singapura juga mengalami hal serupa.

“Jalur diplomasi sudah banyak dilakukan tapi Malaysia sering tidak memberikan jawaban yang memuaskan,” ujar Etty yang pernah menjadi staf ahli di Departemen Kelautan.

Etty melihat, klaim terhadap blok Ambalat mungkin sebagai tindak lanjut kemenangan negeri jiran atas pulau Sipadan-Ligitan. Namun, tambahnya, tidak semudah itu mengklaim blok Ambalat menjadi milik Malaysia akibat beralihnya kepemilikan Sipadan-Ligitan dari Indonesia ke Malaysia. Letak Sipadan yang lebih kurang 30 mil dari pantai Malaysia, dari Pulau Sebatik (milik Indonesia) letak Sipadan kurang lebih sama jaraknya.

Walaupun Pulau Sipadan sudah beralih, Etty menjelaskan, tapi laut teritorial dan landas kontinen, tidak bisa ditarik dari garis pantai utama di pulau tersebut. Sebab, perhitungan landas kontinen dan laut teritorialnya harus memakai cara tersendiri mengingat Malaysia bukan termasuk negara kepulauan.

Celah Timor

Lebih jauh, Etty mengatakan seandainya setelah dihitung terjadi tumpang tindih antara landas kontinen Malaysia dengan Indonesia, maka tetap bisa diambil jalan tengah. Ia menambahkan, apabila sengketa disebabkan karena sumber minyak, maka bisa saja dibuat pengembangan bersama atau joined development antar dua negara ini. Hal tersebut lazim dalam dunia pertambangan.

Indonesia sendiri sudah pernah menyelesaikan sengketa landas kontinen dengan Australia yang berujung dengan perundingan. Sengketa tersebut adalah mengenai Celah Timor yang akhirnya ditandatangani melalui perjanjian 11 Desember 1989 silam. Selain Celah Timor, beberapa kasus tentang landas kontinen seperti Libya dan Tunisia bisa dijadikan contoh yang berakhir damai.

Etty menegaskan, Indonesia harus siap dengan jika membawa masalah ini ke jalur perundingan. Ditekankannya, Indonesia harus mulai menyiapkan posisi yang akan dipakai dan memprediksi posisi mereka. Selain itu apabila akhirnya perundingan deadlock, Indonesia sudah harus mempunyai ‘amunisi’ untuk tawar menawar.

(Gie/Zae)
Batas Landas Kontinen Perjanjian Indonesia-Vietnam Maksimal
[25/1/07]-Hukumonline.com

Perjuangan hampir selesai. Persetujuan antara Indonesia dengan Vietnam tentang Penetapan Batas Landas Kontinen pun sudah siap diratifikasi.

Perjuangan panjang sejak 1988 dalam menentukan batas landas kontinen antara Indonesia dan Vietnam, akhirnya mendekati penyelesaian setelah keduanya menyepakati perjanjian batas landas kontinen.



Dalam perjanjian tersebut, batas landas kontinen ditarik dari pulau besar ke pulau besar (main land to main land). Menurut ahli geologi Bob Yulian, Indonesia diuntungkan dengan perjanjian tersebut karena potensi minyak akan lebih banyak berada di Indonesia.



Komentar serupa juga dinyatakan oleh Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Prof. Hikmahanto Juwana di sela-sela pembahasan RUU Tentang Pengesahan Persetujuan antara RI dengan Vietnam tentang Penetapan Batas Landas Kontinen 2003 di DPR, Selasa (23/1).



“Dari segi politisnya kita diuntungkan, dengan selesainya masalah ini berarti hubungan bilateral antara Indonesia dengan Vietnam bisa lebih mulus lagi. Ini merupakan sesuatu yang maksimal yang bisa dicapai pemerintah,” ujar Hikmahanto.



Menurut Hikmahanto, dalam perjanjian tersebut Indonesia berhasil meyakinkan Vietnam untuk menggunakan dasar Konvensi Laut UNCLOS 1982. Dengan demikian prinsip Indonesia sebagai negara Kepulauan telah terakomodasi.



“Awalnya digunaakan Konvensi Laut 1958. Kalau 1958, kita belum diakui sebagai negara Kepulauan. Dengan menggunakan UNCLOS 1982, kita sudah diakui sebagai negara kepulauan. Kita sudah berada pada jalur yang tepat,” jelas Hikmahanto.



Hikmahanto menambahkan bahwa masalah sudah diminimalkan oleh para perunding. Pemerintah Indonesia pun sudah berhasil mempersempit wilayah yang dipersengketakan sampai wilayah yang dipersengketakan dibagi dengan adil 50:50.



Hikmahanto berharap agar batas-batas landas kontinen tersebut segera dibuatkan petanya sehingga ada kepastian batas di masa depan.



Siap mengamankan

Ditemui dalam acara yang sama, Wakil Asisten Operasional KSAL, Laksmana TNI Edhi Nuswantoro, mengatakan TNI siap mengamankan batas-batas wilayah hasil perjanjian tersebut. “Selama ini kita patroli secara reguler,” ujar Edhi.



Batas laut terdiri atas tiga jenis, yaitu batas laut wilayah atau teritorial, batas landas kontinen, dan batas zona ekonomi ekslusif (ZEE). Menurut Edhi, di laut, Indonesia sedikitnya berbatasan dengan 10 negara. Baru 5 di antaranya yang sudah ada kesepakatan batas kontinen dengan negara-negara tetangga yang diselesaikan secara tegas.



Batas landas kontinen Indonesia

Mengacu kepada Undang Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Batas Landas Kontinen Indonesia (BLKI) serta UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS, BLKI ditarik sama lebar dengan batas ZEE (200 mil laut) atau sampai dengan maksimum 350 mil laut dari garis pangkal kepulauan Indonesia. Hal ini berlaku di seluruh wilayah perairan Indonesia. Kecuali pada segmen-segmen wilayah tertentu dimana BLK dapat ditetapkan berdasarkan kesepakatan dengan negara-negara yang berhadapan langsung dengan Indonesia.



Negara-Negara Yang Berhadapan Langsung Dengan Indonesia

(1) India dan Thailand di Laut Andaman;

(2) Thailand di Selat Malaka bagian Utara;

(3) Malaysia di Selat Malaka bagian Selatan serta di Laut Natuna bagian Timur dan Barat;

(4) Vietnam di Laut Cina Selatan;

(5) Filipina di Laut Sulawesi;

(6) Palau di Samudera Pasifik;

(7) Australia di Laut Arafura, Laut Timor, Samudera Hindia, dan di wilayah perairan di sekitar Pulau Christmas;

(8) Timor Leste di Laut Timor.



Selain BLK diatas, terdapat titik-titik yang bersinggungan dengan tiga negara (three junction point) secara langsung, kesepakatan terhadap titik-titik ini dilakukan melalui pertemuan trialteral. Titik-titik tersebut termasuk antara Indonesia, dengan India, dan Thailand di Laut Andaman serta dengan Thailand, dan Malaysia di Selat Malaka Bagian Utara.



Konvensi Jenewa 1958 tentang Landas Kontinen menetapkan lebar Landas Kontinen berdasarkan kriteria kedalaman atau kemampuan eksploitasi. Sedangkan UNCLOS 1982 mendasarkannya pada berbagai kriteria jarak sampai 200 mil laut.



Selain itu, ditentukan juga kelanjutan alamiah wilayah daratan di bawah laut hingga tepian luar kontinen yang lebarnya tidak boleh melebihi 350 mil laut yang diukur dari garis dasar Laut Teritorial. Lebar tersebut juga ditentukan tidak boleh melebihi l00 mil laut dari garis kedalaman (isobath) 2.500 meter.



Kriteria itu akhirnya dapat diterima negara-negara bukan negara pantai setelah konvensi tersebut juga mewajibkan negara pantai memberi kontribusi sehubungan dengan eksploitasi sumber kekayaan non-hayati Landas Kontinen di luar 200 mil laut. Ini akan dilakukan melalui Otorita Dasar Laut Internasional yang kemudian akan membagikannya kepada negara peserta Konvensi didasarkan pada kriteria pembagian yang adil.

(M-1)
Eksistensi Batas Laut Indonesia Masih Lemah
[14/2/02] (Hukumonline.com)

Eksistensi perbatasan laut Indonesia masih lemah karena tidak adanya peraturan pelaksana khusus yang menjelaskan tentang koordinat lintang dan bujur batas-batas laut Indonesia. Seharusnya, ini menjadi tugas dari Dewan Maritim Indonesia untuk segera menentukan koordinat lintang dan bujur batas laut Indonesia.

"Ini penting, karena Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sudah mengakui batas 12 mil laut batas laut Indonesia dari titik terluar," papar Laksamana Madya TNI (Pur) Abu Hartono kepada hukumonline seusai konferensi pers tentang Penataan UU Maritim yang diselenggaran The Habibie Center (13/2).

Sejak PBB mengakui eksistensi perbatasan Indonesia dari 3 mil menjadi 12 mil dari garis pantai titik terluar atau dikenal dengan archipelago concept, wilayah laut Indonesia menjadi sangat luas. Namun, menurut Hartono, akan percuma saja kalau Indonesia tidak segera melapor kembali ke PBB tentang batas-batas wilayah lautnya.

Hartono menjelaskan bahwa memang sudah hampir 90 persen telah ditentukan batas-batasnya. Namun, masih ada titik-titik yang belum diselesaikan. "Misalkan, beberapa alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) yang masih memerlukan peraturan," jelas Hartono yang pernah menjabat Ketua Badan Koordinasi Pengamanan Laut (Bakortanal).

Sudah meratifikasi UNCLOSE

Pengakuan perbatasan maksimal 12 mil laut sudah tercantum dalam konvensi PBB tentang hukum laut dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOSE) yang ditandatangani oleh 117 negara, termasuk Indonesia, pada 10 Desember 1982. UNCLOSE melengkapi Konvesi Jenewa 1958 tentang Hukum Laut.

Dari segi isinya, UNCLOSE mengatur tentang lebar laut teritorial menjadi maksimum 12 mil laut, serta kodifikasi mengenai kebebasan di laut lepas dan lintas damai di laut teritorial. UNCLOSE juga melahirkan rezim-rezim hukum baru tentang asas Negara Kepulauan, ZEE, dan penambangan di dasar laut internasional.

Karena Indonesia sudah menandatangani UNCLOSE bersama 117 negara, maka pada 31 Desember 1985 Pemerintah Indonesia telah mengesahkan UNCLOSE menjadi UU yang tertuang dalam UU No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOSE. "Inilah bentuk pengakuan dunia Internasional terhadap archipelago concept," ujar Hartono.

Ketidakjelasan pengamanan laut

Selain perlunya pengaturan lebih lanjut tentang batas laut Indonesia, Hartono juga menilai kondisi pengamanan laut Indonesia sangat rendah. Pasalnya, tidak jelas siapa sebenarnya yang bertugas melakukan pengamanan laut. "Yang terjadi malah tumpang tindih tugas antar instansi, sehingga perompakan tidak ada yang mengurus," kata Hartono.

Kondisi rendahnya pengamanan laut Indonesia lebih disebabkan persoalan internal dalam penanganan pengamanan laut. Saat ini, pengamanan laut dikoordinasikan dalam suatu badan koordinasi pengamanan laut (Bakortanal) yang terdiri dari TNI AL, Bea cukai, polisi perairan (Pol-Air), dan beberapa instasi yang terkait.

Namun karena Bakortanal bentuknya koordinasi, inilah yang menjadi masalah karena masing-masing instansi sering berjalan sendiri-sendiri. Khususnya, yang menyangkut masalah logistik dan operasional. "Jadi yang ada malah tidak ada koordinasi dalam pengamanan laut," tuturnya.

Hartono menyarankan lebih baik Bakortanal tidak hanya sebatas koordinasi, tetapi juga diberikan tambahan kekuatan menjadi satuan komando, sehingga tugasnya lebih terintegrasi dalam operasional. Siapa saja bisa memimpin dan tidak harus TNI AL agar lebih terjamin kepastian hukum dalam pengamanan laut.

(Tri/APr)
PERLU PERHATIAN YANG SERIUS DARI PEMERINTAH TERHADAP PENGEMBANGAN KAWASAN PERBATASAN LAUT DI KEP. NATUNA PERLU PERHATIAN YANG SERIUS DARI PEMERINTAH TERHADAP PENGEMBANGAN KAWASAN PERBATASAN LAUT DI KEP. NATUNA
Senin, 19 Mei 2008

PERLU PERHATIAN YANG SERIUS
DARI PEMERINTAH TERHADAP PENGEMBANGAN
KAWASAN PERBATASAN LAUT DI KEP. NATUNA

Nenek Moyangku orang pelaut
Gemar mengarungi luas samudra
Tiada takut, menempuh badai sudah biasa ......

Syair lagu tersebut sudah jarang, bahkan tidak pernah lagi kita dengar dinyanyikan oleh anak-anak sekolah kalo kita simak lebih jauh, lagu tersebut mengandung makna yang sangat dalam akan kejayaan nenek moyang kita sebagai pelaut yang tangguh. Sejarah kebaharian bangsa Indonesia menunjukkan bahwa keberhasilan kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sriwijaya merebut dan mempertahankan kekuasaan di kepulauan nusantara adalah karena mereka mempunyai armada laut yang tangguh pada Jamannya yang mampu menguasai dan mengendalikan wilayah perairan nusantara. Kehadiran bangsa barat yaitu bangsa Portugis, Inggris dan Belanda menjajah bangsa kita kurang lebih 350 tahun melalui politik “Devide at Impera” telah melumpuhkan armada perdagangan antar pulau dan tanpa disadari telah mengubah pola kehidupan bangsa Indonesia yang semula sebagai bangsa bahari menjadi masyarakat agraris.

Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terdiri dari 17.504 buah pulau besar dan kecil, memiliki panjang garis pantai sekitar 81.900 km, berbatasan dengan 10 (sepuluh) negara baik perbatasan darat maupun perbatasan laut, Kawasan perbatasan darat Indonesia berbatasan langsung dengan Malaysia di pulau kalimantan, dengan Papua Nugini di Pulau papua dan dengan Timor Leste di pulau Timor.Demikian juga wilayah laut Indonesia berbatasan dengan 10 ( Sepuluh ) Negara yaitu India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Philipina, Palau, Papua Nugini, Australia dan Timor Leste.

Kawasan perbatasan laut Indonesia meliputi batas laut Teritorial, Batas laut Zona Ekonomi Eksklusif, dan batas Landas Kontinent. Batas laut tersebut diukur jaraknya ke arah luar dari titik dasar / titik pangkal serta dihubungkan oleh garis pangkal yang penetapannya tergantung pada keberadaan pulau-pulau terluar, sampai dengan saat ini terdapat ( Sembilan puluh dua) pulau,

Kawasan perbatasan laut antar Negara di Indonesia hingga saat ini sebagian besar masih merupakan kawasan yang tertinggal dan terisolir. Kebijakan pembangunan dimasa lampau yang bersifat sentralistik dan lebih menekankan kepada aspek keamanan, telah menyebabkan rendahnya intensitas pembangunan di kawasan perbatasan antar Negara.. Ketertinggalan ini didorong pula oleh suatu paradigma dalam pengelolaan kawasan perbatasan antar Negara saat itu, dimana kawasan perbatasan antar Negara masih dianggap sebagai “ halaman belakang “ wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Paradigma pengelolaan dimasa lalu tersebut , merupakan pandangan yang tidak relevan lagi, mengingat kawasan perbatasan antar negara memiliki peran yang sangat strategis bagi kedaulatan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, baik secara idiiologi, sosial budaya, ekonomi, politik maupun pertahanan keamanan.

Gagalnya bangsa Indonesia mengklaim pulau Sipadan dan Ligitan berdasarkan putusan Mahkamah Internasional ( International Court Of Justice ) No.102 tanggal 17 Desember 2002, telah menyadarkan para pemimpin bangsa, para ilmuwan dan masyarakat Indonesia akan pentingnya pengawasan dan pengembangan kawasan perbatasan dan pulau – Pulau terluar.

Untuk mengoptimalkan peran strategis kawasan perbatasan antar Negara , diperlukan upaya dan keberpihakan yang besar dari pemerintah maupun pemerintah daerah, mengingat kawasan perbatasan antar Negara memiliki permasalahan yang komplek dan multidimensional. Kawasan perbatasan antar negara merupakan kawasan yang rentan terhadap infiltrasi Idiologi, ekonomi maupun sosial budaya dari negara lain, disisi lain kawasan perbatasan antar negara di Indonesia masih dihadapkan pada permasalahan permasalahan yang sangat mendasar seperti rendahnya kualitas SDM, serta minimnya infrastruktur terutama perhubungan. Ketertinggalan dengan negara tetangga berbatasan secara social maupun ekonomi dikawatirkan dalam jangka panjang dapat berkembang menjadi kerawanan yang bersifat politis.

Kondisi tersebut diatas hampir dijumpai di setiap kawasan perbatasan di Indonesia termasuk Propinsi kepulauan Riau sebagai salah satu Propinsi termuda di Indonesia hasil pemekaran dengan Propinsi Induk yaitu Propinsi Riau.Terletak di jalur perlintasan perdagangan teramai di dunia yaitu selat Malaka dan selat Singapura , memiliki potensi ekonomi yang sangat besar berupa sumber daya alam hayati maupun non hayati, dengan luas wilayah 251.810,71 Km sebagian besar wilayahnya merupakan perairan laut yaitu sebesar 95,97 % atau 241.251,30 km, sedangkan luas daratannya hanya 4,21 % terdiri dari gugusan kepulauan sebanyak 1062 pulau. Di Wilayah Propinsi ini terdapat pulau - pulau terluar dan titik pangkal yaitu sebanyak 20 (dua puluh ) pulau dan 29 ( dua puluh sembilan ) titik pangkal koordinat geografis.

Posisi kawasan perbatasan laut antar negara di Propinsi Kepulauan Riau ini sangat strategis karena berbatasan langsung dengan Singapura dan Malaysia serta Vietnam dimana di beberapa bagian kawasan belum ada kesepakatan mengenai batas wilayah laut yaitu dengan Singapura mengenai batas laut territorial dan di beberapa bagian selat Singapura, demikian pula dengan Malaysia mengenai perbatasan ZEE di laut Cina selatan bagian timur pantai Serawak dan di Timur Malaysia Barat dan dengan Vietnam mengenai batas ZEE di Laut Cina Selatan antara P. Sekatung (Indonesia) dan Pulau Kondore (Vietnam).

Disamping kerawanan mengenai batas wilayah, pengaruh kemajuan dan keunggulan perekonomian negara tetangga maupun permasalahan lainnya yaitu kerawanan pelanggaran hukum seperti perampokan, penyelundupan, illegal Fishing maupun Illegang loging dan dijadikannya pulau-pulau terluar tersebut sebagai tempat persembunyian para pelaku tindak pidana dilaut serta masih banyak permasalahan lain yang sangat mendesak untuk mendapatkan penanganan baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

OLEH :
IDA KADE SADNYANA,SH
MHS. PROGRAM MAGISTER HUKUM UNTAG SBY
EMAIL ; KADE_SADNYANA@YAHOO.CO.ID
Konfrontasi Jilid Dua


Oleh: Ikrar Nusa Bhakti

PADA tahun 1960-an, sering berkumandang lagu Kalimantan Utara. Lagu itu untuk menyertai anggota ABRI dan sukarelawan menuju Kalimantan Utara, usai politik Konfrontasi Ganyang Malaysia dilontarkan Presiden Soekarno.

Konfrontasi terhadap Malaysia adalah "politik pengalihan" Bung Karno atas situasi sosial, ekonomi, dan politik domestik saat itu. Ini terjadi karena Inggris memasukkan Sabah dan Serawak (Kalimantan Utara) menjadi bagian Malaya.

Saat itu, perekonomian Indonesia sedang sulit akibat revolusi yang katanya belum selesai. Antara TNI AD dan PKI pun sedang terjadi bersaing. Dalam konfrontasi PKI mendukung Bung Karno, sedangkan ABRI "setengah hati".

Aneka kisah ada dalam dokumen sejarah pertempuran tentara Australia dan Inggris dalam membantu Malaysia. Di Australian War Memorial di Canberra, bisa dibaca nama-nama tentara Australia yang gugur di Borneo. Di Museum TNI Satria Mandala juga bisa dilihat diorama dwikora. Dalam bentuk ilmiah, konfrontasi itu dapat dibaca dalam tesis master ilmuwan Australia, Jamie Mackie.

Meski Indonesia menghadapi kesulitan ekonomi, ABRI memiliki peralatan tempur tercanggih di Asia Timur, dibeli dari Uni Soviet untuk merebut Irian Barat. Pada masa Trikora (merebut Irian Barat), Soviet mendukung Indonesia. Namun pada masa Dwikora (konfrontasi dengan Malaysia), Soviet enggan mendukung karena atas pengaruh PKI, Indonesia lebih condong ke RRC. Malaysia sendiri masih merupakan negeri muda usia, tetapi didukung Inggris, Australia, dan Selandia Baru sebagai sesama anggota Persemakmuran Inggris.

Hasil konfrontasi sudah kita ketahui. PKI digilas TNI AD, Soekarno jatuh. Dalam konfrontasi dengan Malaysia, Indonesia tidak mampu memainkan diplomasi antara Blok Barat dan Blok Timur. Indonesia sempat keluar dari PBB karena Malaysia terpilih sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan. Kekuatan-kekuatan Baru (New Emerging Forces/Nefos) yang dicanangkan Bung Karno juga mati, meski Jakarta sempat menjadi tempat bagi Conference of the New Emerging Forces (Conefo) dan Ganefo (Games of the New Emerging Forces). Saat itulah seorang ilmuwan AS, Russell Fifield, mencanangkan perlunya dibentuk organisasi regional di Asia Tenggara demi terciptanya stabilitas regional di Asia Tenggara sebagai pengganti ASA (Association of Southeast Asia) dan Maphilindo (Malaysia, Phillippines, Indonesia) yang dikenal sebagai ASEAN, berdiri 8 Agustus 1967, didahului penghentian politik konfrontasi Indonesia-Malaysia tahun 1966.

Penghentian konfrontasi merupakan kebijakan Presiden Soeharto yang mengirim diplomat dan militer untuk melakukan perundingan dengan mitranya di Malaysia dengan caranya sendiri. Ini untuk melapangkan terbentuknya ASEAN dan dibukanya keran bantuan negara-negara Barat guna membangun ekonomi Indonesia, yakni terbentuknya IGGI.

Konfrontasi Jilid 2?

Kini, 42 tahun kemudian, akankah kita berkonfrontasi lagi dengan Malaysia karena Ambalat? Jika terjadi, para juru damai sipil-militer yang dulu aktif berdiplomasi (sebagian besar sudah wafat), akan kecewa, karena mereka bukan saja mampu menyelesaikan konfrontasi, tetapi mereka juga pahlawan pendiri ASEAN.

Kita bisa memahami emosi elite politik di pemerintahan dan parlemen karena kasus Ambalat, setelah kehilangan Sipadan-Ligitan tahun 2002 dan diusirnya para TKI Indonesia di Malaysia.

Tindakan Departemen Luar Negeri mengirim nota protes kepada Malaysia atas pemberian hak eksplorasi dan eksploitasi minyak oleh Malaysia kepada Shell adalah tindakan terpuji. Pengiriman kapal-kapal TNI AL ke Laut Sulawesi dekat Ambalat dan penyiapan pesawat-pesawat tempur TNI AU juga terpuji guna menunjukkan, itu adalah wilayah kedaulatan RI. Namun, untuk berkonfrontasi kembali dengan Malaysia dan membentuk sukarelawan seperti dulu, tampaknya kita harus membaca sejarah konfrontasi kembali. Politik pengalihan dari masalah kenaikan harga BBM hanya akan membakar dan memperpuruk ekonomi dan politik negeri ini. Kini, Malaysia bukan lagi anak bawang, memiliki kekuatan ekonomi dan tempur yang tangguh. Sekutu Malaysia juga lebih.

Kita memiliki perbatasan darat dengan Malaysia, Timor Leste, dan Papua Niugini (PNG), serta perbatasan laut dengan India, Thailand, China, Vietnam, Malaysia, Singapura, Timor Leste, Australia, Palau, dan PNG. Masalah Ambalat adalah perselisihan perbatasan. Ada empat bentuk perselisihan perbatasan: territorial boundary dispute, positional boundary dispute, resources boundary dispute dan functional boundary dispute.

Territorial boundary dispute pernah terjadi antara Indonesia dan Malaysia dalam kasus Sipadan dan Ligitan yang diselesaikan melalui Mahkamah Internasional di Den Haag pada tahun 2002. Positional boundary dispute pernah terjadi antara Indonesia dan PNG, diselesaikan pada tahun 1984/1985. Kita masih memiliki masalah ini dengan Malaysia dalam hal perbatasan darat antara Kalimantan Barat dan Timur dengan Sabah dan Serawak; antara Indonesia dan Vietnam dan China dalam kasus batas laut di kepulauan Natuna dan Laut China Selatan. Resources boundary dispute juga ada antara Indonesia dengan Malaysia dalam kasus Ambalat; Indonesia-Australia-Timor Timur dalam kasus Timor Gap; Indonesia-Vietnam, Indonesia-China dan Indonesia-Palau. Functional boundary Dispute terjadi antara Indonesia-PNG karena digunakannya wilayah perbatasan oleh OPM untuk melakukan gerakan sporadik menyerang TNI/Polri atau para pemukim di perbatasan, Indonesia-Malaysia dalam kasus jalur illegal logging dan penyelundupan barang, Indonesia-Singapura dalam penyelundupan dan bajak laut, dan sebagainya.

Mekanisme penyelesaian

Penyelesaian dengan cara-cara diplomasi dianggap lebih elegan, meski membutuhkan alat bargaining, antara lain, kekuatan militer. Hal penting yang harus diingat, Indonesia dan Malaysia adalah dua dari lima pendiri ASEAN. Cara-cara konfrontatif untuk menyelesaikan kasus Ambalat akan mencoreng kedua negara pendiri ASEAN di mata negara ASEAN lainnya, khususnya yang masuk ASEAN pasca 1967.

Paling sedikit ada lima cara penyelesaian. Pertama, perundingan bilateral. Jika cara pertama gagal, dapat dilakukan periode pendinginan (cooling down period) dan masuk cara kedua, yaitu freez atau status-quo selama lima tahun dan baru berunding kembali. Ketiga, melalui Dewan Agung (High Council) seperti termaktub dalam Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia atau dikenal sebagai Deklarasi Bali 1976. Malaysia enggan menggunakan ini karena tak mau dikeroyok anggota ASEAN lain yang juga memiliki persoalan perbatasan darat dan laut dengan Malaysia, seperti dengan Filipina, Singapura, dan Thailand. Keempat, melalui Jasa Baik (Good Office) negara yang menjadi Ketua ASEAN Regional Forum (ARF Chair). ARF dibentuk bukan hanya untuk confidence building measures dan preventive diplomacy tetapi juga untuk conflict resolution. Ini akan menjadi test case apakah ARF dapat berfungsi sebagai resolusi konflik anggotanya. Jika cara keempat tak berjalan, ada cara kelima yang dikenal dengan non-political legal solution melalui Mahkamah Internasional.

Kehilangan Sipadan dan Ligitan lewat Mahkamah Internasional tampaknya membuat Indonesia mungkin enggan memilih jalur ini. Namun, jika kita lebih siap, memiliki bukti-bukti dokumen, tetap melakukan patroli laut dan udara sebagai pernyataan de facto kepemilikan atas sumber-sumber di atas dan di bawah laut sekitar Ambalat, maka cara ini masih terbuka untuk dipilih.

Terlepas dari diplomasi yang dipilih, cara-cara penyelesaian perselisihan ini lebih baik, bermartabat, dan elegan dibanding cara-cara konfrontatif.

Ikrar Nusa Bhakti Ahli Peneliti Utama LIPI Bidang Kajian Asia Pasifik
Kamis, 24 Maret 2005

Rencana Kerja untuk Solusi Ambalat Disusun

Denpasar, Kompas - Pertemuan Indonesia dan Malaysia untuk membahas penyelesaian atas sengketa wilayah perairan laut Ambalat yang terletak di Laut Sulawesi berakhir Rabu (23/3), Denpasar, Bali. Pertemuan di antara tim teknis kedua negara menghasilkan rencana kerja untuk menyelesaikan sengketa wilayah tersebut.

"Pertemuan berlangsung fair, terbuka, dan bersahabat. Banyak hal yang mengalami kemajuan. Kita sempat membuat rencana kerja, dan akan bertemu rutin setiap dua bulan," jelas ketua tim teknis Indonesia, Arif Havas Oegroseno lewat telepon kepada Kompas.

Kemajuan yang dicapai, kata Havas, antara lain posisi kedua pihak menjadi jelas, terutama posisi Malaysia dalam mengukur garis batasnya yang selama ini menjadi pertanyaan bagi pihak Indonesia. "Posisi kita tetap kuat karena dasar hukum yang mendukung," kata Havas.

Ia menyebutkan bahwa cara Malaysia mengukur garis batas wilayah tidak banyak berbeda dengan apa yang sudah diketahui Indonesia selama ini. Dalam pertemuan dengan pihak Malaysia, Indonesia kembali menegaskan kembali posisi sesuai dengan ketentuan PBB soal Hukum Laut (UNCLOS).

Di Jakarta, Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda menegaskan posisi Indonesia tetap tidak bisa menerima penyelesaian Ambalat lewat pengelolaan bersama di kawasan itu. Indonesia tidak akan kompromi soal kedaulatan RI atas wilayah itu. Menlu juga menegaskan pertemuan di Bali tersebut belum menghasilkan apa-apa, karena perundingan untuk hal seperti ini memerlukan banyak pertemuan.

Dalam pernyataan pers bersama yang dikeluarkan kedua delegasi, dinyatakan bahwa pemecahan kasus Ambalat masih memakan waktu karena harus melewati serangkaian pertemuan lagi. Pertemuan menyepakati rencana kerja teknis dan pertemuan akan dilakukan kembali secara berkala.

Unjuk Rasa

Hari kedua pertemuan tim teknis Indonesia dan Malaysia membahas penyelesaian sengketa wilayah perairan Ambalat di Hotel Grand Mirage Resort, Tanjung Benoa, Nusa Dua (Bali), diwarnai aksi unjuk rasa di luar gedung hotel itu.

Belasan pengunjuk rasa, yang bergabung dalam Komando Bela Negara (KBN) Bali, mendatangi hotel tempat pertemuan itu. Melalui aksinya itu para pengunjuk rasa mengungkapkan kecaman mereka atas tuntutan sepihak, yang dilakukan Malaysia, terhadap bagian wilayah RI.

Aksi belasan pengunjuk rasa tersebut memancing perhatian sejumlah wisatawan asing yang menginap di hotel itu.

Para pengunjuk rasa membentangkan sejumlah spanduk dan poster yang berisikan kecaman terhadap Malaysia. Mereka juga menyampaikan bahwa tim teknis Indonesia bertugas menjelaskan posisi Ambalat bukan menjadi ajang bagi-bagi wilayah.

Aksi kemarin dijaga ketat aparat Kepolisian Sektor (Polsek) Bualu dan Satuan Pengamanan (Satpam) hotel. Para pengunjuk rasa, yang berasal dari organisasi kepemudaan dan mahasiswa di Bali, gagal masuk ke hotel dan hanya bisa berorasi di dekat hotel. Setelah menunggu sekitar dua jam, salah seorang perwakilan pengunjuk rasa akhirnya ditemui seorang staf Deplu RI.

Sementara itu, Juru Bicara Departemen Luar Negeri RI Marty Natalegawa, yang datang ke Bali, menyatakan belum dapat memberikan keterangan rinci mengenai proses dan hasil pertemuan tersebut.

“Saya belum bisa menyampaikan proses akhirnya karena pertemuan ini baru berlangsung antara kedua tim teknis. Sekali lagi, sulit kita membayangkan bahwa semua proses ini berakhir dalam satu kali pertemuan saja," kata Marty.

Marty berjanji bahwa Departemen Luar Negeri RI akan menyampaikan hasil-hasil pertemuan teknis tersebut dalam waktu dekat ini. “Mari kita berikan kesempatan bagi kedua tim teknis untuk diskusi dalam situasi yang kondusif, (sehingga) bisa bekerja untuk bertukar pandangan mengenai posisi masing-masing," ujar Marty.

Seperti halnya pertemuan hari pertama, pertemuan tim teknis Indonesia dan Malaysia kemarin juga berlangsung tertutup. Wartawan dilarang berada di dekat salah satu ruangan hotel, yang dipergunakan sebagai tempat pertemuan.

Dalam satu tahun

Duta Besar Indonesia untuk Malaysia Rusdihardjo sebelum pertemuan dengan DPR RI, kemarin, mengatakan, Malaysia sudah menyetujui untuk menyelesaikan masalah sengketa wilayah Ambalat dan Ambalat Timur dalam satu tahun. Malaysia juga setuju untuk mengadakan pertemuan setiap dua bulan sekali dengan Indonesia.

"Ini sinyal yang cukup positif. Tadinya, mereka mau berunding Mei, tapi akhirnya bersedia berunding 22-23 Maret di Indonesia," kata Rusdihardjo.

Komitmen untuk menyelesaikan sengketa Ambalat dalam satu tahun patut disambut gembira mengingat penyelesaian sengket perbatasan negara biasanya berlangsung panjang dan alot. Rusdi mencontohkan, penyelesaian sengketa perbatasan Indonesia-Vietnam berlangsung selama 25 tahun.

Dalam rapat kerja DPR, anggota Komisi I dari Fraksi Kebangkitan Bangsa AS Hikam mempertanyakan mengapa Indonesia tidak berupaya membawa masalah sengketa perbatasan ke tingkat ASEAN. "Yang bertikai dengan Malaysia soal perbatasan bukan hanya Indonesia, tetapi juga negara-negara ASEAN lainnya. Mengapa kita tidak menggalang kekuatan dengan negara-negara yang juga bersengketa dengan Malaysia soal perbatasan," ungkapnya.

Sekjen Sudjadnan Parnohadiningrat mengatakan, Pemerintah Indonesia memang tidak menghendaki masalah Ambalat menjadi masalah ASEAN yang berarti menjadi masalah Internasional. Indonesia ingin mengusahakan agar sengketa Ambalat diselesaikan secara bilateral berdasarkan kepiawaian diplomasi Indonesia dan kaidah-kaidah hukum internasional. "Kalau dibawa ke ASEAN justru lebih sulit untuk mengelolanya," kata Sudjadnan. (BSW/COK/OKI)
25/05/07 22:15
RI-Malaysia Kembali Bahas Sengketa Perbatasan Negara

Jakarta (ANTARA News) - Indonesia dan Malaysia akan kembali duduk bersama untuk membahas perbatasan kedua negara yang hingga kini masih menjadi sengketa.

"Kita akan bertemu lagi pada awal Juni mendatang. Terutama yang menyangkut hal-hal khususnya di wilayah perbatasan kedua negara di Selat Malaka," kata Direktur Perjanjian Politik Keamanan dan Kewilayahan Departemen Luar Negeri Havas Oegroseno, di Jakarta, Jumat.

Ia mengatakan, Indonesia memiliki perbatasan laut dengan Malaysia di Selat Malaka, Laut Cina Selatan, dan Laut Sulawesi. "Ketiga wilayah perbatasan itu memiliki posisi yang strategis hingga perlu dilakukan pembahasan intensif untuk menyelesaikan masalah perbatasan laut dengan Malaysia," kata Havas.

Sejak awal Indonesia melihat masalah perbatasan dengan Malaysia timbul akibat pembuatan sekaligus pendeklarasian Peta Wilayah Malaysia 1979.

Peta itu kontroversial karena tidak mengindahkan negara-negara lain di sekitarnya. Garis-garis batas yang dibuat Malaysia menabrak wilayah negara-negara tetangganya, yaitu Indonesia, Filipina, Thailand, Singapura, Republik Rakyat China, Vietnam, juga Inggris yang mewakili Brunei Darussalam.

Menurut rencana pembahasan tentang wilayah perbatasan RI-Malaysia, akan dilaksanakan pada 5-7 Juni 2007 di Jakarta.

Sementara itu, Panglima Komando Armada RI Kawasan Barat (Pangarmabar) Laksamana Muda Muryono mengatakan, pihaknya telah membuat kesepakatan dengan mitranya di Malaysia, untuk tidak melakukan pengejaran apalagi penembakan nelayan dari masing-masing negara di wilayah perbatasan RI-Malaysia yang masih menjadi "sengketa" atau "abu-abu".

"Siapa pun, baik Indonesia maupun Malaysia, tentu tidak ingin nelayannya ditangkap bahkan ditembak ketika secara tidak sengaja berada di wilayah salah satu negara karena belum adanya batas yang jelas," ujarnya.

Karena itu, sepanjang wilayah perbatasan RI-Malaysia khususnya di Selat Malaka belum diputuskan resmi oleh kedua negara maka angkatan laut kedua pihak memutuskan untuk tidak melakukan tindakan hukum apapun terhadap pelanggaran yang terjadi di wilayah yang masih dianggap sebagai wilayah "abu-abu".

Kesepakatan antara komando armada laut kedua negara itu, tambah Muryono, sudah dikonsultasikan dengan Mabes TNI dan dibahas pula dalam Pertemuan Tingkat Tinggi (High Level Committee/HLC) Malaysia-Indonesia (Malindo) di Kuala Lumpur, Malaysia, akhir pekan silam.

"Dengan begitu, tidak ada lagi nelayan kita yang ditangkap atau ditembak ketika berada di wilayah `abu-abu` Indonesia-Malaysia," katanya.(*)

COPYRIGHT © 2007
Belasan Pulau Terancam Hilang
Jum'at, 12 November 2004 | 21:01 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Belasan pulau terluar terancam hilang dari wilayah Indonesia. Hal ini terungkap dalam seminar "Perbatasan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas)" di Jakarta, Kamis (11/11).

Ke-12 pulau itu, yakni Pulau Rondo menjadi perbatasan Indonesia dengan India, Pulau Berhala menjadi perbatasan Indonesia dengan Malaysia, Pulau Nipah menjadi perbatasan Indonesia dengan Singapura, Pulau Sekatung di Laut China Selatan menjadi perbatasan Indonesia dengan Vietnam, Pulau Miangas, Marore dan Pulau Marampit menjadi perbatasan Indonesia dengan Filipina, Pulau Fani, Fanildo dan Pulau Bras menjadi perbatasan Indonesia dengan Negara Palau, Pulau Batek menjadi perbatasan Indonesia dengan Timor Leste, Pulau Dana menjadi perbatasan Indonesia dengan Australia.

Kolonel Laut Suwarno Karyosumito, Wakil Ketua Kelompok Perumus Lemhannas, mengungkapkan, “Pulau Nipah itu memang terancam hilang karena pasirnya dikeruk untuk reklamasi di Singapura, dia terancam tenggelam.”

Menurut Suwarno, hilangnya pulau-pulau Indonesia tidak hanya karena diambil oleh negara lain, seperti yang terjadi pada Pulau Sipadan dan Ligitan, yang akhirnya menjadi milik Malaysia setelah menang di Mahkamah Internasional. Tetapi, juga karena pulau-pulau itu tenggelam karena pasirnya dikeruk atau tidak mendapat perhatian pemerintah.

Suwarno menjelaskan, bentuk kehilangan dapat berupa hilang secara yuridis (kepemilikan) seperti Sipadan dan Ligitan, hilang secara fisik misalnya Pulau Nipah kalau pasirnya terus digeruk, dan hilang secara pengawasan atau tidak terawasi seperti Pulau Asmor yang berbatasan dengan Australia.

“Masih banyak pulau yang kalau tidak terawasi, mulai dari de facto dikuasai negara lain, akhirnya secara yuridis akan ditempatkan sebagai milik negara tersebut, terancam hilangnya itu di situ,” katanya mengingatkan.

Selain pulau, Indonesia masih menghadapi masalah perbatasan laut, yaitu penetapan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di perairan selatan Laut Andaman dengan Thailand. Walaupun demikian, Indonesia sampai saat ini belum memiliki undang-undang yang mengatur kepastian batas wilayah Indonesia, baik wilayah darat, laut maupun udara.

Indonesia hanya mengacu pada UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang dan UU No. 6 Tahun 1996 tentang Peta Wilayah Perairan Indonesia. Tidak adanya UU yang mengatur secara pasti tentang wilayah perbatasan menyebabkan pengawasan dan pengamanan di wilayah perbatasan lemah, sehingga sampai saat ini masih ada batas wilayah yang belum disepakati dengan negara tetangga.

Sunariah – Tempo
Upaya Terpadu Indonesia Membangun Pulau Terluar

15 Juni 2007 | 15:08 WIB

Pemerintah Indonesia terus memperkokoh kedaulatannya atas pulau-pulau terluarnya dengan mengembangkan pembangunan yang terpadu di bidang ekonomi, hankam, dan lingkungan. Terdapat 12 pulau-pulau kecil terluar yang mendapatkan prioritas, yakni Pulau Rondo, Pulau Sekatung, Pulau Nipa, Pulau Berhala, Pulau Marore, Pulau Miangas, Pulau Marampit, Pulau Dana, Pulau Fani, Pulau Fanildo, Pulau Bras dan Pulau Batek.

Strategi pembangunan pulau-pulau terluar yang berbatasan dengan negara-negara tetangga itu –seperti Singapura, Timor Leste, Malaysia, dan Filipina– adalah membuka beberapa simpul akses wilayah perbatasan laut sebagai pintu gerbang internasional, serta menyatupadukan program ekonomi, lingkungan, dan hankam di pulau-pulau perbatasan.

Kebijakan itu juga disinergikan dengan peningkatan kerjasama internasional dalam berbagai sektor, menghidupkan pusat-pusat pertumbuhan kepulauan di perbatasan sesuai dengan potensinya, mengembangkan transportasi dan telekomunikasi, memberikan kemudahan investasi, serta menata ruang, bea cukai, karantina, dan keimigrasian secara baik.

Agar pengembangan dan pengelolaan pulau-pulau terluar itu terpadu, maka telah dikeluarkan Peraturan Presiden No 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar.

Pemerintah Indonesia dalam berbagai kesempatan menyebutkan bahwa pulau-pulau terluarnya memiliki potensi kerawanan, baik di bidang ekonomi, keamanan, dan geopolitik.

Menurut Menkopolhukam Widodo AS, di antara pulau yang rawan itu adalah Pulau Rondo yang berbatasan dengan Samudera Hindia, Pulau Berhala yang berbatasan dengan Selat Malaka, dan Pulau Nipah yang berbatasan dengan Singapura

“Ketiganya memiliki potensi kerawanan baik secara geopolitik, ekonomi dan keamanan,” katanya.

Pulau-pulau terluar itu memiliki permasalahan tersendiri, yang umumnya menyangkut tapal batas, pertahanan-keamanan, dan potensi ekonomi.

Sebagai contoh adalah Pulau Batek yang berbatasan dengan negara Timor Leste. Pulau itu terletak di perbatasan antara Kupang NTT dengan enclave Oekusi Timor Leste.

Pulau yang luasnya 25 Ha itu memiliki panjang garis pantai 1680 m dengan kedalaman 72 m. Akses ke Pulau Batek cukup mudah karena perairan di sebelah utara pulau itu adalah Alur Kepulauan Indonesia III (ALKI III) yang merupakan jalur strategis untuk pelayaran internasional.

Pulau Batek dapat dicapai dari daratan Timor dengan menggunakan perahu, kecuali pada musim barat karena gelombang laut yang besar.

Jarak pulau Batek dari pantai Oekussi Timor Leste sekitar 100 m, sedang jarak pantai Kupang-Pulau Batek sekitar 1.150 meter. Potensi perikanan Pulau Batek cukup besar dan memiliki pasir putih yang sangat potensial dikembangkan sebagai daerah wisata.

Permasalahan Pulau Batek; belum ditetapkannya titik dasar baru di pulau-pulau sebelah utara Timor Leste karena 5 titik dasar lama sudah tidak berlaku, batas Oekusi perlu diperjelas, dan perlunya ditentukan batas wilayah secara Trilateral (Indonesia-Australia-Timor Leste).

Selain kedua belas pulau terluar itu, pulau luar lainnya yang rawan akan sengketa adalah Pulau Sekatung yang berbatasan dengan RRC, Vietnam, dan Thailand.

Indonesia sebenarnya memiliki 92 pulau terluar yang berbatasan langsung dengan sejumlah negara seperti Malaysia, Vietnam, Singapura, Philipina, Australia, Timor Leste, India dan PNG.

Pulau-pulau yang berbatasan dengan negara lain tentunya memiliki kerawanan.

Masalah perbatasan dan pulau-pulau terluar merupakan salah satu penyebab utama terjadinya konflik antar negara di berbagai belahan dunia.

Contoh terkini yang dialami Indonesia adalah sengketa perbatasan di Blok Ambalat dengan pihak Malaysia, setelah kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan diraih Malaysia melalui Mahkamah Internasional.

Indonesia juga memiliki masalah perbatasan dengan Singapura,negara kota yang luasnya bertambah 117,5 kilometer pesegi dalam kurun 40 tahun terakhir. Akibatnya, perbatasan kedua negara semakin menyempit atau nyaris bersinggungan, dan berpotensi menimbulkan sengketa.

Singapura telah mereklamasi delapan pulau kecilnya yaitu Pulau Seraya, Merbabu, Merlimau, Ayer, Chawan, Sakra, Pesek, Masemut Laut dan Pulau Meskol sehingga menjadi Pulau Jurong. Pengurugan pulau- pulau itu menggunakan pasir-pasir dari Indonesia sehingga menambah luas daratan Singapura.

Pulau Jorong kini telah maju semakin dekat ke wilayah Indonesia. Menurut hukum laut internasional, batas laut diukur 12 mil dari titik terluar dari teritorial negara, sehingga perbatasan Indonesia- Singapura kini nyaris bersinggungan.

Reklamasi itu menggunakan pasir Indonesia yang berakibat hilangnya pulau-pulau kecil milik Indonesia. Pulau Sebaik, Karimun, Bintan, dan Pulau Nipah adalah korban kebijakan ekspor pasir ke Singapura.

Suatu ironi ditengah gencarnya negara-negara lain mengembangkan pulau-pulau terluarnya, Indonesia bahkan belum diberikannya nama atas seluruh pulau yang dimiliki Indonesia.

Mengelola dan memberikan nama identik dengan klaim kedaulatan atas suatu wilayah. Menyadari kekeliruan yang terjadi selama ini, Indonesia bertekad memberikan nama atas seluruh pulaunya dalam tahun 2007.

Sebanyak 92 pulau terluar telah diberikan nama, meski pulau itu luasnya hanya berkisar 0,01 - 400 kilometer pesegi dan sebagian besar tidak ada penduduknya.

Setelah memberikan nama atas 1.466 pulaunya di tahun 2006, Indonesia berupaya memberikan nama atas 6.702 pulau lainnya di tahun 2007. Dengan demikian, sekitar 17.500 ribu pulau yang dimiliki Indonesia sudah memiliki nama tahun 2007.

Dalam rangka mengembangkan pulau- pulau terluar sekaligus memperkuat kedaulatan atasnya, pemerintah Indonesia kini bertekad melaksanakan pembangunan yang berdasarkan “security”, “prosperity” dan lingkungan. (ant/ Hisar Sitanggang)
Soal Perbatasan di Wilayah Laut Cina Selatan

Ganjalan Bagi Hubungan Indonesia-Vietnam
23 Agustus 2001

TEMPO Interaktif, Jakarta:Tertundanya penyelesaian batas landas kontinen antara Indonesia dan Vietnam di wilayah Laut Cina Selatan menjadi ganjalan dalam peningkatan hubungan bilateral antara kedua negara dikawasan asia tersebut. Hal itu terungkap dalam pembicaraan antara Presiden Megawati dan Presiden Vietnam, Tran Duc Luong, di Hanoi, Rabu (22/8).

Presiden Megawati pada pertemuan itu, seperti disampaikan oleh Menteri Sekretaris Negara/Sekretaris Kabinet, Bambang Kesowo, meminta agar persoalan yang terkatung-katung selama 20 tahun itu bisa segera diakhiri. Hal ini, menurut Megawati, sangat penting dalam rangka mewujudkan perdamaian dan ketertiban di kawasan Asia Tenggara.

“Hal itu sangat penting karena presiden berpendapat berdasarkan
pengalaman di dalam negeri, tidak mungkin akan ada upaya pembangunan
apabila tidak ada keamanan dan ketentraman di wilayah bersangkutan,"
ujar Bambang.

Di wilayah perbatasan di laut, menurut Bambang, memang sering terjadi pelanggaran batas wilayah terutama oleh nelayan tradisional karena kurangnya peralatan atau belum jelasnya batas wilayah. Sementara Presiden Vietnam menegaskan bahwa ia akan segera memerintahkan pembicaraan di tingkat menteri untuk segera merundingkan dan segera menyelesaikan persoalan itu dalam rangka semangat ASEAN.

Di bidang ekonomi, kata Bambang Kesowo, Vietnam memang bersedia membantu Indonesia jika Indonesia mengalami problem dengan masalah beras. "Tadi kesediaan itu ditandai dengan perjanjian pmbelian beras atau pengadaan beras sebanyak 500.000 ton untuk selama tahun 2002," kata dia.

Namun Bambang Kesowo menegaskan bahwa jumlah sebesar 500 ribu ton itu hanya berupa plafon, sehingga pelaksanaan pembayaran hanya dilakukan sesuai dengan jumlah yang diimpor. "Kalau misalnya diminta pertama 100 ribu ton itulah yang dibayar, tetapi pembayaran dilakukan dua tahun kemudian, dengan tingkat bunga dihitung satu tahun," tambah Kesowo.

Sehubungan dengan persoalan ini, Presiden Megawati, menurut Bambang Kesowo, juga menjelaskan bahwa Indonesia punya program untuk memperkuat ketahanan pangannya, dan akan mengusahakan swasembada pangan, sehingga kebutuhan beras dari Vietnam akan bisa dipenuhi sekiranya Indonesia memang perlu memperkuat cadangan yang diperlukan dalam rangka stabilitas beras. (Deddy Sinaga/Ant)
Deplu dan Diplomasi Perbatasan

TEMA: PERAN STRATEGIS DEPLU DALAM MENJAGA KEUTUHAN NKRI
Oleh: Ali M. Sungkar*)

“Frontiers are the chief anxiety of nearly every Foreign Office in the civilized world”, demikian tukas Lord Curzon dalam kuliahnya yang termasyhur di Universitas Oxford pada tahun 1907, genap seratus tahun yang silam. Pernyataan mantan Wakil Kerajaan Inggris yang menyelia lima komisi perbatasan di anak benua India sebelum menjadi Menteri Luar Negeri itu mengandung kebenaran profetis. Dua Perang Dunia yang berkecamuk sesudahnya tidak lepas dari ambisi teritorial sejumlah aktor penting percaturan politik dunia pada masa itu. Konflik-konflik internasional paling serius dalam sejarah umat manusia seringkali berpangkal dari klaim wilayah yang tumpang tindih di sepanjang garis perbatasan. Penelitian empiris di kemudian hari bahkan menunjukkan bahwa dibandingkan isu lainnya, masalah perbatasan berpotensi dua kali lipat lebih besar untuk tereskalasi menjadi konflik bersenjata.

Di berbagai penjuru dunia, kontrol atas wilayah merupakan sesuatu yang diperebutkan tanpa ragu mengorbankan nyawa manusia. Kashmir, Dataran Tinggi Golan, Kepulauan Falkland/Malvinas dan Balkan, adalah beberapa saksi sejarah pertumpahan darah akibat perebutan wilayah. Peta dunia kontemporer seperti sekarang ini bukanlah sesuatu yang statis. Pecahnya Uni Soviet dan Yugoslavia menjadi ilustrasi nyata betapa garis-garis perbatasan dalam peta dunia dapat berubah cepat.

International Boundaries Research Unit (IBRU) di Universitas Durham mengidentifikasi bahwa dewasa ini masih terdapat berpuluh-puluh perbatasan darat dan laut serta klaim kedaulatan atas sejumlah pulau yang secara aktif dipersengketakan. Bahkan masih terdapat ratusan perbatasan maritim internasional yang belum disepakati oleh negara-negara yang berbatasan. Memang, banyak di antara pertentangan yang terjadi baru berlangsung di tataran diplomasi, namun tidak tertutup kemungkinan hal itu memburuk menjadi konflik yang berujung perang: war starts where diplomacy ends.

Sejarah dunia hanya mengenal tiga cara untuk mensahkan perbatasan antarnegara: negosiasi, litigasi, atau kekuatan bersenjata. Dalam studi konflik internasional, dengan mudah terlihat bahwa sengketa wilayah masih merupakan sumber pertentangan yang paling potensial.

Dengan demikian, masalah perbatasan antarnegara adalah suatu ancaman yang konstan bagi perdamaian dan keamanan internasional. Karena menyangkut kedaulatan yang seringkali sifatnya tidak dapat dinegosiasikan (non-negotiable), konflik teritorial tergolong pertentangan yang paling sulit dipecahkan.

Perbatasan internasional juga merupakan faktor penting dalam upaya identifikasi dan pelestarian kedaulatan nasional. Bahkan negara-negara bertetangga yang menikmati hubungan yang paling bersahabat pun perlu mengetahui secara persis lokasi perbatasan mereka guna menegakkan hukum dan peraturan masing-masing negara. Oleh karena itu, penetapan perbatasan antarnegara secara jelas tidak hanya dapat mengurangi resiko timbulnya konflik perbatasan di kemudian hari, tetapi juga dapat menjamin pelaksanaan hukum di masing-masing sisi perbatasan.

Peran Deplu dalam Diplomasi Perbatasan
Perbatasan identik dengan wilayah teritorial dan kedaulatan suatu negara. Bagi sebuah negara yang terdiri dari sekitar 17.500 pulau seperti Indonesia, persoalan penetapan perbatasan negara sangat tinggi relevansi dan urgensinya terhadap upaya pemeliharaan integritas wilayah. Dewasa ini, salah satu agenda utama Pemerintah Indonesia adalah memperkokoh keutuhan NKRI melalui penetapan garis batas wilayah dengan negara-negara tetangga.

Sebagai negara maritim terbesar di dunia, Indonesia mempunyai perbatasan laut dengan 10 negara, yaitu Australia, Filipina, India, Malaysia, Palau, Papua Nugini, Singapura, Thailand, Timor Leste dan Vietnam. Adapun wilayah darat Indonesia berbatasan dengan Malaysia, Papua Nugini dan Timor Leste.

Sejauh ini, penetapan batas wilayah Indonesia dengan negara tetangga belum sepenuhnya tuntas. Dari semua wilayah perbatasan Indonesia, baru perbatasan dengan Australia dan Papua Nugini saja yang sudah selesai. Dengan demikian, perbatasan Indonesia yang sangat panjang masih menyimpan banyak potensi persoalan di kemudian hari, mengingat garis perbatasan tidak dapat ditetapkan melalui klaim unilateral suatu negara, melainkan melalui perjanjian di antara negara-negara yang berbatasan langsung. Oleh karena itu, Deplu terus melakukan upaya penetapan perbatasan secara komprehensif dengan negara-negara tetangga melalui diplomasi perbatasan. Adanya penetapan garis batas wilayah secara lengkap akan dapat memperkecil kemungkinan terjadinya sengketa perbatasan. Sebaliknya, ketidakpastian batas wilayah dapat berakibat timbulnya klaim teritorial yang tumpang-tindih.

Langkah terbaru dalam diplomasi perbatasan Indonesia adalah pembukaan hubungan diplomatik dengan Palau pada awal Juli lalu. Alasan pembukaan hubungan diplomatik dengan negara kepulauan yang terletak di sebelah utara Papua ini, salah satunya - kalau bukan yang utama - adalah kenyataan bahwa Indonesia dan Palau mempunyai perbatasan maritim yang belum pernah dirundingkan.

Salah satu pencapaian terakhir dalam bidang diplomasi perbatasan Indonesia adalah ditandatanganinya perjanjian sementara yang meliputi 96% garis perbatasan darat dengan Timor Leste pada April 2005. Sebelumnya, Filipina menegaskan kembali kedaulatan Indonesia atas Pulau Miangas dalam Sidang Working Group on Maritime and Oceans Concerns di Manila awal Desember 2003.

Upaya diplomasi perbatasan untuk menentukan batas wilayah dengan negara lain tidaklah mudah, karena seringkali harus melalui negosiasi yang mensyaratkan proses yang cukup lama. Sebagai ilustrasi, perundingan Indonesia-Vietnam tentang garis batas landas kontinen sejak tahun 1978, misalnya, baru membuahkan kesepakatan pada bulan Juni 2003 setelah melalui 32 kali pertemuan. Pertukaran instrumen pengesahan yang menandai mulai diberlakukannya perjanjian tersebut berlangsung pada akhir Mei lalu.

Pada tahun 1997, Indonesia dan Malaysia sepakat untuk memasukkan kasus Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan yang sejak tahun 1969 menjadi sengketa antara kedua negara ke Mahkamah Internasional. Kedua pemerintah juga setuju untuk menerima putusan Mahkamah Internasional sebagai sesuatu yang final dan mengikat. Meskipun Indonesia telah memperjuangkan kasus ini secara maksimal, pada tanggal 17 Desember 2002 Mahkamah Internasional menetapkan bahwa kedua pulau tersebut adalah milik Malaysia.

Lantas, apakah hasil penyelesaian kasus Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan ini merupakan suatu kekalahan diplomasi perbatasan Indonesia? Keberhasilan setiap kegiatan diplomasi bergantung kepada modal diplomasi yang dimiliki. Dalam kasus ini, Malaysia mempunyai modal diplomasi yang lebih kuat karena didukung oleh fakta sejarah bahwa pemerintah kolonial Inggris -selaku negara pendahulu (predecessor state) Malaysia - lebih aktif daripada pemerintah kolonial Belanda dalam melaksanakan tindakan kedaulatan hukum terhadap kedua pulau itu. Akibatnya, setelah melalui suatu proses hukum yang berlangsung secara transparan, terhormat dan berwibawa, Mahkamah Internasional memutuskan bahwa Malaysia berhak atas kedua pulau tersebut.

Adapun persoalan sengketa Blok Ambalat yang mengemuka sejak awal tahun 2005 sesungguhnya sudah dapat diperkirakan akan terjadi, mengingat ajudikasi sengketa Sipadan-Ligitan di Mahkamah Internasional hanya membahas kedaulatan teritorial atas kedua pulau tersebut dan tidak mencakup delimitasi batas maritim di sekitarnya. Gelombang histeria nasionalisme di tanah air menyusul mencuatnya isu Ambalat menunjukkan betapa isu klaim tumpang tindih wilayah mempunyai reperkusi politik yang besar di dalam negeri dan, dengan demikian, mendapat perhatian langsung dari pimpinan nasional.

Kontribusi diplomasi perbatasan Indonesia tidak hanya berdampak dalam kerangka bilateral, tetapi juga berskala multilateral. Terbukti, setelah melalui perjuangan diplomasi sejak tahun 1958, prinsip negara kepulauan yang digagas Indonesia akhirnya mendapatkan pengakuan internasional dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) pada tahun 1982. Sebelumnya, batas laut wilayah negara kepulauan hanya 3 mil laut dari titik pulau terluar. Hal ini berakibat, misalnya, perairan antara Pulau Kalimantan dan Pulau Sulawesi termasuk perairan internasional. Namun, dengan diterimanya prinsip negara kepulauan maka laut-laut di tengah kepulauan Indonesia tidak dihitung sebagai laut internasional lagi, melainkan sebagai laut pedalaman. Dengan demikian, keberhasilan mengukuhkan kesatuan wilayah daratan dan lautan NKRI di mata dunia tidak terlepas dari kontribusi diplomasi perbatasan.

Selain delimitasi garis perbatasan dengan negara-negara tetangga, salah satu tugas diplomasi perbatasan Indonesia ke depan adalah penetapan batas terluar landas kontinen di luar 200 mil laut. Wilayah landas kontinen Indonesia yang berpotensi untuk diperluas hingga 350 mil laut dari garis pangkal adalah yang terletak di sebelah barat Pulau Sumatera. Ekstensi hak berdaulat Indonesia atas wilayah maritim yang bahkan bisa mencapai sekitar dua kali luas Pulau Sumatera tersebut perlu dilakukan, mengingat dalam hal ini the expansion of territory is the name of the game. Untuk itu, Indonesia perlu memasukkan submisi yang didukung dengan data hasil survei martim ke Commission on the Limits of the Continental Shelf sebelum tenggat waktu klaim bulan November 2009.

Kompleksitas Masalah Perbatasan
Masalah perbatasan jauh lebih kompleks daripada semata-mata penetapan (delimitasi) garis batas wilayah internasional dari sisi legal dan penandaannya (demarkasi), melainkan juga mencakup pemeliharaan perbatasan, pembangunan sosial-ekonomi, pengamanan dan pengelolaan wilayah perbatasan antarnegara.
Persoalan pemeliharaan perbatasan wilayah negara, misalnya, adalah suatu proses tanpa akhir. Sebagai contoh, garis perbatasan darat Indonesia dengan Malaysia dan Papua Nugini dapat menjadi kabur karena rusak, hilang atau bergesernya posisi patok-patok wilayah. Untuk itu, upaya pemeliharaan perbatasan oleh komisi perbatasan bersama antara Indonesia dengan masing-masing negara perlu dilakukan secara periodik.

Timpangnya tingkat sosial-ekonomi di sekitar daerah perbatasan dengan negara tetangga dapat memicu persoalan baru, antara lain berupa munculnya keinginan sebagian masyarakat untuk berpindah ke wilayah negara tetangga karena alasan kesejahteraan. Secara natural, penduduk akan cenderung menyeberang ke wilayah yang kondisi ekonominya lebih makmur. Oleh karena itu, pembangunan sosial-ekonomi kawasan perbatasan - termasuk pulau-pulau terluar - perlu mendapat perhatian ekstra.
Wilayah perbatasan juga rawan terhadap berbagai ancaman kejahatan transnasional, antara lain migrasi ilegal, penyelundupan, pencurian kekayaan alam dan terorisme. Sehubungan dengan sifat lintas negara dari ancaman tersebut, maka upaya pengamanan kawasan perbatasan melalui kerjasama dengan negara-negara tetangga perlu dikembangkan.

Belakangan ini, Pemerintah Indonesia memprioritaskan upaya pembangunan sosial-ekonomi dan pengamanan pulau-pulau terluar serta daerah perbatasan antarnegara yang merupakan “halaman depan” Indonesia. Mengingat kompleksitas masalahnya, maka pengelolaan wilayah perbatasan semacam ini perlu dilakukan secara terkoordinasi dengan melibatkan semua pihak terkait baik di pusat maupun di daerah, termasuk masyarakat setempat. Pengelolaan kawasan perbatasan secara terpadu lintas sektoral dengan disertai kegiatan diplomasi perbatasan akan memainkan peranan penting dalam membangun pagar integritas wilayah NKRI, sebagaimana diungkapkan Lord Curzon satu abad yang lampau: “Just as the protection of the home is the most vital care of the private citizen, so the integrity of her borders is the condition of existence of the State.”

*) Penulis adalah Kepala Seksi Pembiayaan Pembangunan pada Direktorat Pembangunan Ekonomi dan Lingkungan Hidup

Disclaimer: tulisan ini merupakan pembaruan dari karya penulis berjudul “Diplomasi Perbatasan Indonesia” yang pernah diikutsertakan dalam lomba karya tulis HUT RI/Deplu tahun 2004.
Feb 5, '08 8:50 PM (biSot 182)

Resume Perbatasan Indonesia




Gambar diambil dari: Andri Irawan Fotopages.com

Negara KesatuanRepublik Indonesia secara geografis memiliki posisi yang sangat strategis, terletak diantara 2 benua yaitu benua Asia-Australia dan 2 lautan, yaitu lautan Pasifik dan lautan India. Wilayah Teritorial darat Republik Indonesia (RI) berbatasan langsung dengan tiga negara, yaitu Malaysia, Papua New Guinea (PNG) dan Timor Leste. Kawasan perbatasan kontinen tersebut tersebar di tiga pulau, empat propinsi dan 15 kabupaten/kota yang masing-masing wilayah memiliki karakteristik kawasan perbatasan berbeda-beda. Demikian pula negara tetangga yang berbatasan dengan RI, memiliki karakteristik sosial, ekonomi, politik danbudaya berbeda.

Sedangkan wilayah maritim Indonesia berbatasan dengan 10 negara, yaitu; India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Republik Palau, Australia, Timor Leste dan PNG. Kawasan-kawasan perbatasan maritim umumnya berupa pulau-pulau terluar yang berjumlah 92 pulau, yang beberapa di antaranya adalah pulau-pulau keci lyang hingga kini masih perlu ditata dan dikelola lebih intensif, karena ada kecenderungan mempunyai masalah dengan negara tetangga.
Posisi Wilayah NKRI sangat srategis dan merupakan jalur lintas aktifitas dunia. Telah lama Indonesia menyadari bahwa wilayah perbatasan merupakan koridor pertahanan negara, akibat paradigma ini aspek pembangunan sosial ekonomi kurang diperhatikan, karena lebih fokus kepada faktor keamanan dan pertahanan negara. Namun saat ini pemerintah indonesia telah merubah pandangan tersebut dan memandang wilayah perbatasan lebih sebagai beranda depan NKRI sehingga banyak agenda mengenai aspek pembangunan dibidang sosial ekonomi.

Melalui Peraturan Presiden Nomor 7/2004 tentang Rencana Pembangunan jangka menengah 2004-2009 telah dimuat tujuan pembangunan wilayah perbatasan yang mencakup; menjaga keutuhan NKRI, memanfaatkan Sumber Daya Alam dan memberdayakan masyarakat untuk kesejahteraan.

Perpres no. 78/2005 tentang pengelolaan Pulau-pulau kecil terluar juga berhubungan dengan pengelolaan wilayah perbatasan. Saat ini telah diidentifikasi terdapat 92 pulau terluar yang perlu diperhatikan. Diantara 92 pulau tersebut terdapat 12 pulau terluar yang perlu mendapat perhatian serius karena berbatasan langsung dengan negara tetangga dan merupakan titik terluar yang akan mempengaruhi luas wilayah teritorial Indonesia dan berpotensi menjadi konflik teritorial dengan negara tetangga.


Pulau-pulau tersebut adalah:



1. Pulau Rondo

Pulau Rondo terletak di ujung barat laut Propinsi Nangro Aceh Darussalam (NAD). Disini terdapat Titik dasar TD 177. Pulau ini adalah pulau terluar di sebelah barat wilayah Indonesia yang berbatasan dengan perairan India.

2. Pulau Berhala

Pulau Berhala terletak di perairan timur Sumatera Utara yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Di tempat ini terdapat Titik Dasar TD 184. Pulau ini menjadi sangat penting karena menjadi pulau terluar Indonesia di Selat Malaka, salah satu selat yang sangat ramai karena merupakan jalur pelayaran internasional.

3. Pulau Nipa

Pulau Nipa adalah salah satu pulau yang berbatasan langsung dengan Singapura. Secara Administratif pulau ini masuk kedalam wilayah Kelurahan Pemping Kecamatan Belakang Padang Kota Batam Propinsi Kepulauan Riau. Pulau Nipa ini pernah menjadi terkenal karena beredarnya isu mengenai hilangnya/tenggelamnya pulau ini atau hilangnya titik dasar yang ada di pulau tersebut. Hal ini memicu anggapan bahwa luas wilayah Indonesia semakin sempit. Pada kenyataanya, Pulau Nipa memang mengalami abrasi serius akibat penambangan pasir laut disekitarnya. Pasir pasir ini kemudian dijual untuk reklamasi pantai Singapura. Kondisi pulau yang berada di Selat Philip serta berbatasan langsung dengan Singapura disebelah utaranya ini sangat rawan dan memprihatinkan. Pada saat air pasang maka wilayah Pulau Nipa hanya tediri dari Suar Nipa, beberapa pohon bakau dan tanggul yang menahan terjadinya abrasi. Pulau Nipa merupakan batas laut antara Indonesia dan Singapura sejak 1973, dimana terdapat Titik Referensi (TR 190) yang menjadi dasar pengukuran dan penentuan media line antara Indonesia dan Singapura. Hilangnya titik referensi ini dikhawatirkan akan menggeser batas wilayah NKRI. Pemerintah melalui DISHIDROS TNI telah menanam 1000 pohon bakau, melakukan reklamasi dan telah melakukan pemetaan ulang di pulau ini, termasuk pemindahan Suar Nipa (yang dulunya tergenang air) ke tempat yang lebih tinggi.

4. Pulau Sekatung

Pulau ini merupakan pulau terluar Propinsi Kepulauan Riau di sebelah utara dan berhadapan langsungdengan Laut Cina Selatan. Di pulau ini terdapat Titik Dasar TD 030 yang menjadi Titik Dasar dalam pengukuran dan penetapan batas Indonesia dengan Vietnam.

5. Pulau Marore

Pulau ini terletak dibagian utara Propinsi Sulawesi Utara, berbatasan langsung dengan Mindanau Filipina. Di pulau ini terdapat Titik Dasar TD 055.

6. Pulau Miangas

Pulau ini terletak dibagian utara Propinsi Sulawesi Utara, berbatasan langsung dengan Pulau Mindanau Filipina. Di pulau ini terdapat Titik Dasar TD 056.



7. Pulau Fani

Pulau ini terletak Kepulauan Asia, Barat Laut Kepala Burung Propinsi Irian Jaya Barat, berbatasan langsung dengan Negara kepulauan Palau. Di pulau ini terdapat Titik Dasar TD066.

8. Pulau Fanildo

Pulau ini terletak di Kepulauan Asia, Barat Laut Kepala Burung Propinsi Irian Jaya Barat, berbatasan langsung dengan Negara kepulauan Palau. Di pulau ini terdapat Titik Dasar TD072.

9. Pulau Bras

Pulau ini terletak di Kepulauan Asia, Barat Laut Kepala Burung Propinsi Irian Jaya Barat, berbatasan langsung dengan Negara Kepualuan Palau. Di pulau ini terdapat Titik Dasar TD072A.

10. Pulau Batek

Pulau ini terletak diSelat Ombai, Di pantai utara Nusa Tenggara Timur dan Distrik Oecussi Timor Leste. Dipulau ini belum ada Titik Dasar.

11. Pulau Marampit

Pulau ini terletak dibagian utara Propinsi Sulawesi Utara, berbatasan langsung dengan Pulau Mindanau Filipina. Di pulau ini terdapat Titik Dasar TD 057.

12. Pulau Dana

Pulau ini terletak di bagian selatan Propinsi Nusa Tenggara Timur, berbatasan langsung dengan Pulau Karang Ashmore Australia. Di pulau ini terdapat Titik Dasar TD 121.



Sebagai negara kepulauan yang berwawasan nusantara, maka Indonesia sudah seharusnya menjaga keutuhan wilayahnya. Pulau-pulau terluar biasanya adalah daerah terpencil, miskin bahkan tidak berpenduduk dan jauh dari perhatian Pemerintah.

Keberadaan pulau-pulau ini secara geografis sangatlah strategis, karena berdasarkan pulau inilah batas negara kita ditentukan. Pulau-pulau ini seharusnya mendapatkan perhatian dan pengawasan serius agar tidak menimbulkan permasalahan yang dapat menggangu keutuhan wilayah Indonesia, khususnya pulau yang terletak di wilayah perbatasan dengan negara negara yang tidak/ belum memiliki perjanjian (agreement) dengan Indonesia.
--------------------------------------------
Sebagai referensi, bagus juga untuk membandingkan apa kata CIA world factbook tentang Indonesia:
https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/id.html
Indonesia Punya Banyak PR Masalah Garis Perbatasan

JAKARTA--MIOL: Indonesia masih memiliki banyak pekerjaan rumah (PR) menyoal garis perbatasan, khususnya perbatasan laut, mengingat sedikitnya masih terdapat 12 pulau yang perlu mendapat perhatian dan menjadi titik dasar penarikan garis perbatasan teritorial serta terletak di wilayah perbatasan yang hingga kini belum diselesaikan dengan negara tetangga.

"Misalnya Pulau Batek yang terletak di perbatasan Indonesia-Timor Timur. Hingga kini masih belum ada pembicaraan di antara kedua negara mengenai bagaimana kesepakatan yang diambil untuk mengelola wilayah tersebut, karena seperti Blok Ambalat yang kini menjadi wilayah sengketa RI-Malaysia, kawasan itu juga kaya akan kandungan minyak," kata mantan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Bernard Kent Sondakh dalam satu wawancara dengan salah satu televisi Indonesia baru-baru ini.

Sumber di Departemen Luar Negeri RI menyatakan, 12 pulau yang dimaksud oleh Bernard antara lain Pulau Rondo (NAD) berbatasan dengan India, Pulau Berhala (Sumut) berbatasan dengan Malaysia, Pulau Sebatik (Kaltim) berbatasan dengan Malaysia, Pulau Nipa (Riau) berbatasan dengan Singapura, Pulau Sekatung (Riau) berbatasan dengan Vietnam.

Pulau Miangas dan Pulau Marore (Sulut) berbatasan dengan Filipina, Pulau Fani, Pulau Fanildo, Pulau Bras (Papua) berbatasan dengan Palau, Pulau Asutubun dan Pulau Wetar (Maluku Tenggara) berbatasan dengan Timor Timur dan Pulau Batek (NTT) berbatasan dengan Timor Timur.

Namun Direktur Pemberdayaan Pulau-pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan, Alex SW Retraubun dalam satu artikelnya yang dimuat sebuah media massa menyebutkan jumlah pulau yang berpotensi konflik karena potensial diduduki dan bersinggungan dengan wilayah internasional, jauh lebih besar lagi.

Pulau-pulau itu tersebar di 18 provinsi dan 34 kabupaten meliputi Kepulauan Riau (20 pulau), Maluku (18 pulau), Sulawesi Utara (11 pulau), Papua (19 pulau), Nanggroe Aceh Darussalam (6 pulau), NTT (5 pulau), Kalimantan Timur (4 pulau), Sulawesi Tengah, Sumatera Utara, dan Jawa Timur (3 pulau), Bengkulu dan Sumatera Barat (2 pulau), NTB, Maluku Utara, Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, dan Lampung (masing-masing satu pulau). Luas pulau-pulau itu berkisar antara 0,02-200 Km2 dan hanya 50 persen di antaranya yang berpenghuni.

Menurut Alex, sebetulnya akar permasalahan dari kasus-kasus perbatasan adalah kepentingan terhadap sumber daya alam, baik hayati maupun nonhayati yang terbentang di wilayah itu. Karena di laut, penanganannya pun akan menjadi lebih sulit dan mahal ketimbang di darat.

Di wilayah darat, Indonesia hanya berhubungan dengan tiga negara, yakti Papua Nugini, Malaysia, dan Timor Timur. Sementara di laut, Indonesia berhadapan dengan 10 negara, yakni India, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Australia, Timor Timur, Palau, Papua Nugini, dan Thailand.

Menurut Alex, untuk menangani batas laut upaya harus diarahkan pada peningkatan pemberdayaan 92 pulau kecil terluar karena pada pulau-pulau itulah negara meletakkan titik dasar yang dilegalkan melalui Peraturan Pemerintah No 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografi Titik-titik Pangkal Kepulauan Indonesia, namun PP itu harus diubah sebab masih memuat Pulau Sipadan dan Ligitan.

Hal itu berarti, pulau-pulau tersebut menjadi batas penentu kepastian tiga jenis batas di laut, yaitu batas teritorial laut (berhubungan dengan kepastian garis batas di laut), batas landas kontinen (berhubungan dengan sumber daya alam nonhayati di dasar laut), dan Zona Ekonomi Eksklusif (berhubungan dengan sumber daya perikanan).

Mengambil pelajaran

Pemerintah Indonesia, kata AM Fatwa, anggota DPR yang juga Wakil Ketua MPR RI, menekankan agar belajar dari pengalaman sengketa perbatasan itu. "Pemerintah agar lebih memperhatikan pulau-pulau atau wilayah wilayah perbatasan yang rawan konflik teritorial," katanya.

Lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan, lanjutnya, merupakan pelajaran berharga bagi Indonesia akibat dari tidak adanya kepedulian pemerintah di dalam menangani pulau tersebut, mengingat bila acuan awalnya pada perjanjian tanggal 20 Juni 1891 antara Belanda-Inggris yang membelah Pulau Sebatik, Indonesia mempunyai hak atas kedua pulau itu.

Indonesia memang harus melepas Pulau Sipadan dan Ligitan kepada Malaysia berdasarkan keputusan Mahkamah Internasional pada 17 Desember 2002, bukan atas dasar hukum ataupun sejarah yang kurang kuat dan mendukung, melainkan alasan politik karena Indonesia dianggap tidak menunjukkan keinginan untuk menguasai kedua pulau itu dengan bukti tidak ada penguasaan secara efektif (effectivites/effective occupation).

Senada dengan AM Fatwa, pengacara senior Adnan Buyung Nasution mengatakan, proses Mahkamah Internasional adalah pelajaran pahit bagi Indonesia.

"Lagi pula, itu merupakan nilai yang harus dibayar dari keteledoran kita yang selama ini cenderung menelantarkan dan malas mengurus daerah batasan terluar, terutama perairan."

Oleh karena itu pemerintah hendaknya tidak menunda atau mengulur waktu lagi untuk membenahi berbagai macam masalah yang hingga kini masih melilit daerah tapal batas yang masih berpotensi lepas ke negara lain.

Alex SW Retraubun menyatakan salah satu upaya yang telah diusulkan departemennya adalah mengusulkan penerbitan Keputusan Presiden (Keppres) tentang pengelolaan ke-92 pulau kecil terluar Indonesia.

Rancangan Keppres itu telah diajukan Departemen Kelautan dan Perikanan sejak pemerintahan Megawati, saat kasus Sipadan dan Ligitan menghangat. Namun hingga pemerintahan yang sekarang pun Keppres itu belum diterbitkan.

Ditandaskan Alex, Keppres itu merupakan landasan sekaligus aksi nasional pengembangan pulau kecil terluar. Harus disadari, katanya, masalah pulau kecil terluar memiliki spektrum luas tidak hanya sebatas aspek ekonomis, tapi yang terpenting adalah aspek politis yang terkait dengan batas wilayah dan keutuhan negara kesatuan RI.

Artinya, penanganannya harus lintas departemen. Hal inilah yang menjadi urgensi perlunya kehadiran keppres itu. Tujuannya untuk mengikat komitmen pemerintah dalam membangun kawasan melalui perencanaan, pengendalian dan pemanfaatan secara terpadu. (Ant/O-1)
09/06/2002 08:55 - Sengketa Sipadan-Ligitan
Malaysia-Indonesia Bersikukuh Mengakui Sipadan-Ligitan

Liputan6.com, Den Haag: Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan antara Indonesia dan Malaysia disidangkan di Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda [baca: Pemerintah Dinilai Tak Serius Menangani Persoalan Sipadan-Ligitan]. Sejauh ini, masing-masing pihak telah melontarkan argumentasinya secara baik. Namun, keduanya tetap bersikukuh mengakui bahwa kedua pulau tersebut berada dalam wilayahnya. Menurut Delegasi Indonesia, Pulau Sipadan-Ligitan didapat berdasarkan daerah-daerah yang pernah dikuasai Hindia Belanda. Sedangkan Malaysia mengklaim kedua pulau itu didapat dari Kerajaan Suluh yang diambil Inggris. "Kita masih memperdebatkan itu," ujar anggota Komisi I DPR Amri Hasan yang ikut dalam rombongan Delegasi Indonesia saat dihubungi via telepon dari Den Haag, Belanda, Ahad (9/6) pagi.

Menurut Amri, kekuatan yang dimiliki Indonesia dalam pengadilan ini sebenarnya cukup buat memenangkan sengketa tersebut. Sebab, berdasarkan perjanjian antara Belanda dan Inggris pada 1891, secara jelas digambarkan bahwa garis batas antara Inggris dan Belanda adalah 4 derajat lintang utara. Dari sini, kedua pulau itu masuk wilayah Indonesia. Sayangnya, Malaysia mematahkan konvensi tersebut dengan menyebutkan bahwa perjanjian itu hanya untuk batas daratan (Borneo) saja, bukan batas perairan.

Uniknya, Amri menambahkan, saat konvensi ini diratifikasi, Pulau Sipadan tak masuk dalam wilayah Inggris. Di mata Amri, celah ini bisa dijadikan peluang buat merebut kedua pulau tersebut. Menurut rencana, persidangan pada Senin pekan depan diisi dengan bantahan atau counter Indonesia atas keterangan Malaysia. Sebaliknya, Malaysia akan meng-counter Indonesia pada Rabu pekan depan.(SID)
18/12/2002 08:59 - Sengketa Sipadan-Ligitan
Sipadan-Ligitan Lepas, Pemerintah Kecewa

Liputan6.com, Jakarta: Pemerintah dapat menerima keputusan Mahkamah Internasional yang memutuskan Pulau Sipadan dan Ligitan masuk ke dalam kedaulatan Malaysia. Namun, tetap tak bisa dipungkiri pemerintah kecewa dengan keputusan yang mengikat dan tak bisa dibanding lagi itu. Demikian dikemukakan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda dalam konferensi pers seusai keputusan itu ditetapkan di Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda, Selasa (17/12) sekitar pukul 17.00 WIB atau pukul 11.00 waktu setempat [baca: Malaysia Memenangkan Sengketa Sipadan dan Ligitan].

Keputusan yang dibacakan Ketua Pengadilan Gilbert Guillaume, diambil melalui pemungutan suara. Mahkamah Internasional menerima argumentasi Indonesia bahwa Pulau Sipadan dan Ligitan tidak pernah masuk dalam Kesultanan Sulu seperti yang diklaim Malaysia. Di sisi lain, Mahkamah Internasional juga mengakui klaim-klaim Malaysia bahwa mereka telah melakukan administrasi dan pengelolaan konservasi alam di kedua pulau yang terletak di sebelah timur Kalimantan itu.

Namun, pada babak akhir Mahkamah Internasional menilai, argumentasi yang diajukan Indonesia mengenai kepemilikan Sipadan dan Ligitan yang terletak di sebelah timur Pulau Sebatik, Kalimantan Timur, tidak relevan. Karena itu secara defacto dan dejure dua pulau yang luasnya masing-masing 10, 4 hektare dan 7,4 ha untuk Ligitan menjadi milik Malaysia.

Delegasi Indonesia memang mengakui, argumen Malaysia lebih kuat. Negeri Jiran diuntungkan dengan alasan change of title atau rantai kepemilikan dan argumen effectivit�s (effective occupation) yang menyatakan kedua pulau itu lebih banyak dikelola orang Malaysia. Jurus effective occupation juga secara tidak langsung menunjukkan kedua pulau itu sebagai terra nulius (tanah tak bertuan). Mahkamah Internasional juga memandang situasi Pulau Sipadan-Ligitan lebih stabil di bawah pengaturan pemerintahan Malaysia.(YYT/Tim Liputan 6 SCTV)
Jumat, 29 Agustus 2003

DPR Jadwalkan Hak Interpelasi soal Sipadan-Ligitan 24 September

Jakarta, Kompas - Dewan Perwakilan Rakyat menjadwalkan akan menggunakan hak interpelasi (hak meminta keterangan) kepada Presiden mengenai kasus Pulau Sipadan-Ligitan pada 24 September mendatang. Jika dalam interpelasi tersebut jawaban presiden dianggap kurang memuaskan, DPR dapat melanjutkan dengan mengajukan hak lainnya, yaitu hak angket atau hak menyatakan pendapat.

Demikian diungkapkan Ketua Fraksi Kebangkitan Bangsa Amin Said Husni usai pertemuan konsultasi antara pimpinan DPR dengan pimpinan fraksi-fraksi di Ruang Nusantara III Gedung MPR/DPR, Kamis (28/8).

"Kalau jawaban presiden dianggap memuaskan, ya, selesai. Jadi tergantung pada bagaimana pemerintah menjawab pertanyaan Dewan," kata Amin.

Anggota Dewan ingin meminta keterangan Presiden soal kebijakannya menjaga keutuhan kedaulatan negara RI. "Kita juga ingin tanya seberapa besar kerugian ekonomi, politik, dan keamanan akibat lepasnya Sipadan dan Ligitan," kata Amin. DPR akan menanyai Presiden sejauh mana langkah-langkah pencegahan yang diambil pemerintah untuk mempertahankan kedaulatan kedua pulau yang kini dikuasai Malaysia. "Mengapa Indonesia sampai kalah telak," kata Amin.

Penjadwalan hak interpelasi kasus Sipadan-Ligitan tersebut merupakan kelanjutan dari keputusan DPR dalam Rapat Paripurna Juni lalu, yang diputuskan melalui voting. Saat itu, sebanyak 117 orang menyetujui hak interpelasi, 105 orang menolak, dan 1 orang abstain. Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan telah diputuskan Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) sebagai milik Malaysia, pertengahan Desember 2002. Putusan itu diambil ICJ dengan pertimbangan asas effectivitee/effective occupation atau bukti penguasaan efektif.

Anggota Komisi Konstitusi

Sementara itu, mengenai Komisi Konstitusi (KK), hingga kemarin telah lima orang mendaftar sebagai bakal calon anggota komisi tersebut. Kepala Biro Majelis Setjen MPR Janedjri M Gaffar di Gedung MPR/DPR mengungkapkan, seorang di antaranya dicalonkan oleh institusi dan organisasi nonpemerintah, yaitu Dr HA Pangerang Moenta SH MH, dosen di Fakultas Hasanuddin. Dia diusulkan melalui surat oleh Forum Informasi dan Komunikasi Makassar, sebuah lembaga swadaya masyarakat.

"Hari ini animo peminat cukup besar, banyak yang menelepon menanyakan persyaratan anggota KK. Tetapi kami baru bisa beriklan besok (Jumat ini -Red)," kata Janedjri.

Dalam kaitan keanggotaan KK, Kepala Biro Administrasi Setjen MPR Sjiaruddin mengungkapkan, uang insentif yang diberikan kepada anggota KK adalah sebesar Rp 3 juta per bulan. Jumlah itu ditambah uang akomodasi dan transportasi Rp 3 juta per bulan bagi yang berdomisili di Jakarta. Sementara bagi yang di tinggal di luar Jakarta sebesar Rp 8 juta per bulan.

"Uang transpor dan akomodasi bagi yang berasal dari luar Jakarta lebih besar karena kami tidak menyediakan mobil dinas atau rumah dinas sementara," kata Sjiaruddin. Dia menambahkan, seperti anggota Dewan, setiap anggota KK juga akan mendapat uang sidang Rp 125.000 setiap sidang sesuai dengan kehadirannya. (B14)
Kasus Sipadan-Ligitan Tak Pengaruhi Hubungan Tentara Indonesia dan Malaysia

Masalah Sipadan dan Ligitan tidak berpengaruh pada hubungan TNI AL dengan Tentara Diraja Malaysia (TDM) mengenai kasus perbatasan. Demikian diungkap Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto, usai mengikuti konfrensi pers mengenai sidang ke-31 General Boarder Committee (GBC) antara Malaysia dan Indonesia (Malindo) Tahun 2002, di Jakarta, Senin (23/12). Seperti diketahui, hari ini telah dilangsungkan sidang ke-31, yang membahas masalah keamanan di wilayah perbatasan kedua negara. Delegasi Malaysia dipimpin oleh Menteri Pertahanan YB Datu’ Sri Mohd Najib bin Tun Haji Abdul Razak, sedangkan delegasi Indonesia dipimpin Panglima TNI Jendral Endriartono Sutarto. Menurut Panglima, kerja sama pertahanan dan keamanan yang selama ini sudah terjalin antara Malaysia dan Indonesia tidak ada hubungannya dengan kasus Sipadan-ligitan. “Tidak ada penarikan pasukan dari Indonesia karena sebelumnya tidak ada konsentrasi pasukan di sana,” kata dia. Ia menambahkan, setelah daerah Sipadan-Ligitan menjadi milik Malaysia, tanda-tanda perbatasan kawasan tersebut ditangani dengan baik dengan melihat kembali kesepakatan yang ada. “Kalau di situ ada tanda batas, kita letakkan perbatasan bersama,” kata Sutarto. Dalam urusan ini, Panglima TNI dan Menteri Pertahanan Malaysia berpendapat, kedua pihak telah menang karena berhasil menempatkan penyelesaian Sipadan dan Ligitan dalam suatu sistem yang benar, yaitu Mahkamah Internasional. Seperti diketahui, pada 17 Desember lalu, Sipadan-Ligitan resmi menjadi milik Malaysia, berdasar keputusan Mahkamah Internasional. Keputusan itu merupakan keputusan final. Pihak yang kalah, sebagaimana aturan yang berlaku di MI, tidak boleh mengajukan banding atas keputusan tersebut. Sengketa kedua pulau itu sendiri dibawa ke mahkamah berdasar kesepakatan yang ditandatangani pada 31 Mei 1997 silam.

sumber: Tempo.co.id
Selasa, 08 Maret 2005

Batas Laut Indonesia-Malaysia Pasca-Sipadan dan Ligitan

SOAL perbatasan antara Indonesia dan Malaysia akhir-akhir ini kembali menghangat setelah Malaysia melalui perusahaan minyaknya, Petronas, memberikan hak eksplorasi kepada perusahaan Shell untuk melakukan eksplorasi di wilayah perairan laut di sebelah timur Kalimantan Timur yang mereka beri nama Blok ND6 (Y) dan ND7 (Z).

INDONESIA yang telah lebih dulu mengklaim wilayah itu sebagai kedaulatannya tentu saja protes atas kebijakan Malaysia tersebut karena di blok yang dinamai Indonesia sebagai blok Ambalat dan Ambalat Timur tersebut, Indonesia sudah terlebih dulu melakukan eksplorasi minyak bumi dan gas (migas). Selama itu pula Malaysia tidak pernah meributkannya sebagai cerminan dari pengakuan Malaysia bahwa wilayah itu adalah wilayah Indonesia.

Kini, berbekal kemenangan di Mahkamah Internasional atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, Malaysia kembali "memperkuat" klaimnya sesuai dengan peta tahun 1979 yang mereka buat sendiri, yang memang sudah memasukkan Sipadan dan Ligitan sebagai wilayah kedaulatannya. Pemberian hak eksplorasi kepada Shell itu, mereka nyatakan sebagai bentuk dari pelaksanaan hak kedaulatan mereka di perairan sebelah timur Kalimantan Timur tersebut.

WILAYAH perairan di sekitar Laut Sulawesi memang sejak lama menjadi "konflik" antara Indonesia dan Malaysia. Berbagai dialog untuk menyelesaikannya tidak pernah membuahkan hasil. Praktis setelah September 1969, pembicaraan serius mengenai batas landas kontinen Indonesia-Malaysia di "dagu" kepala Pulau Kalimantan itu tidak pernah ada lagi karena menemui jalan buntu.

Banyaknya kasus-kasus klaim wilayah laut yang tumpang tindih seperti dialami Indonesia dan Malaysia itulah yang kemudian mendorong sejumlah pakar hukum dunia menyusun sebuah ketentuan baru sebagai tuntunan untuk penyelesaian masalah-masalah tersebut. Sejak awal tahun 1970-an, apa yang dikenal sebagai Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) sekarang ini sudah mulai dibahas. Di tengah pembahasan konvensi itulah, pada tahun 1979 Malaysia mengumumkan peta wilayahnya, yang langsung mendapat protes dari banyak negara di sekitarnya karena dengan seenaknya mencaplok wilayah negara lain.

Menurut kebiasaan hukum internasional, jika klaim atas sebuah wilayah oleh sebuah negara tidak mendapatkan protes dari negara lain, maka setelah dua tahun klaim tersebut dinyatakan sah. Dalam kasus peta Malaysia 1979 tersebut, Indonesia, Filipina, Singapura, dan banyak lagi negara lainnya langsung mengajukan protes atas peta itu sehingga praktis sesungguhnya Peta 1979 tersebut tidak punya kekuatan berlaku secara internasional. Atas protes-protes tersebut, menurut Direktur Perjanjian Politik, Keamanan, dan Kewilayahan Departemen Luar (Deplu) Negeri RI Arif Havas Oegroseno, Pemerintah Malaysia belum menyelesaikannya dengan negara-negara yang mengajukan protes tersebut.

Prosedur untuk penyelesaian perbatasan di laut mendapatkan angin segar ketika akhirnya pada 10 Desember 1982 Konvensi Hukum Laut secara resmi ditandatangani. Meski demikian, Konvensi Hukum Laut PBB (UN Convention on the Law of the Sea/ UNCLOS) itu baru secara resmi berlaku 16 November 1994 setelah jumlah negara yang meratifikasi konvensi ini mencapai 60 negara.

Dalam Konvensi Hukum Laut PBB itu sebenarnya terdapat sejumlah petunjuk yang bisa digunakan untuk menyelesaikan masalah perbatasan antara berbagai negara, termasuk antara Indonesia dan Malaysia terkait perbatasan di Laut Sulawesi. Apalagi baik Indonesia maupun Malaysia adalah negara yang sama-sama meratifikasi Konvensi Hukum Laut tersebut.

Dalam cukup banyak hal, Konvensi Hukum Laut PBB itu menguntungkan Indonesia yang berstatus sebagai negara kepulauan atau archipelagic state. Sebagai negara kepulauan, menurut konvensi itu, Indonesia berhak menarik garis di pulau-pulau terluarnya sebagai patokan untuk garis batas wilayah kedaulatannya, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 47 UNCLOS.

Agaknya, "keuntungan" Indonesia karena statusnya sebagai negara kepulauan itulah yang ingin diikuti oleh Malaysia sehingga negara jiran itu pun melakukan cara yang serupa dalam menarik garis batas wilayahnya. Padahal, menurut UNCLOS, sebagai negara pantai, Malaysia hanya berhak menarik garis tersebut dari wilayah pantainya sendiri, bukan dari pulau terluarnya.

Alasan yuridis inilah yang disampaikan Indonesia, dan juga diperkuat dalam putusan hakim pada kasus Sipadan-Ligitan yang diputuskan 17 Desember 2002.

Alasan itu juga selaras dengan pandangan Hakim Shigeru Oda dalam putusan Mahkamah Internasional atas kasus Ligitan dan Sipadan yang menegaskan, "It is important to keep in mind that sovereignty over two tiny, uninhabited islands, on the one hand, and those islands' influence on the delimitation of the continental shelf, on the other, are two quite different matters. Though Malaysia has been awarded sovereignty over the islands, the impact of the Court’s Judgement on the delimitation of the continental shelf-which has been the leading issue in the negotiations between two states since 1960s-should be considered from a different angle. Today, the rule concerning the delimitations of the continental shelf is set out in Article 83 of the UNCLOS calling for ’an equitable solution’. The main question remain how ’equitable’ consideration apply to the tiny islands for the purpose of the delimitation of the continental shelf. In conclusion, I submit that the present judgement determining sovereignty over islands does not necessarily have a direct bearing on the delimitation of the continental shelf, which has been a subject of dispute between two states since tela late 1960s."

BERBEDA dengan kasus persengketaan atas Pulau Sipadan dan Ligitan, pada kasus kedaulatan di wilayah Laut Sulawesi panduan hukumnya, yaitu dari UNCLOS, bisa dijadikan patokan dengan cukup mudah. Apalagi batas Malaysia-Indonesia di atas Pulau Sebatik sudah tidak diperdebatkan lagi sehingga penarikan garis batas territorial kedua negara sebenarnya sudah sangat jelas.

Persoalannya adalah Malaysia membuat peta pada tahun 1979, sebelum UNCLOS dilahirkan dan secara resmi berlaku. Selayaknya, ketika UNCLOS berlaku, Malaysia yang juga meratifikasi konvensi itu segera menyesuaikan kembali peta wilayahnya dengan aturan baru itu, terlebih lagi Peta 1979 juga "tidak diakui" karena menuai protes dari banyak negara tetangganya. Hal inilah yang tidak dilakukan Malaysia, dan mereka bahkan semakin mempertegas pendirian bahwa peta itu sudah "diakui" dunia dengan telah dimenangkannya Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Padahal, itu adalah dua hal yang berbeda. Kepemilikan kedua pulau itu tidak ada kaitannya dengan Peta 1979 sebagaimana diuraikan dalam paparan pertimbangan di keputusan Mahkamah Internasional atas kasus Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan tersebut.

Dari sudut pandang lain, secara de facto Malaysia sebelum-sebelumnya juga tak pernah mempersoalkan pemberian hak eksplorasi oleh Indonesia untuk eksplorasi minyak dan gas di wilayah yang kemudian disebut Bukat, Ambalat dan Ambalat Timur itu. "Pengakuan" dari Malaysia yang tidak mempersoalkan penambangan oleh Indonesia di wilayah itu bukan hanya terjadi sebelum pengumuman Peta 1979 itu, tetapi juga setelah Peta 1979 dijadikan pegangan Malaysia. Artinya, pasca-tahun 1979 pun Malaysia tidak berani mengatakan wilayah Ambalat itu sebagai wilayahnya.

Baru belakangan setelah ada putusan atas Ligitan (4 derajat 09 menit lintang utara - 118 derajat 53 menit bujur timur) dan Sipadan (4 derajat 06 menit lintang utara - 118 derajat 37 menit bujur timur), mereka mulai mempertanyakan pemberian hak eksplorasi baru oleh Indonesia di wilayah Ambalat Timur. Alasan kepemilikan Sipadan dan Ligitan serta Peta 1979 itu pula yang sekarang digunakan Malaysia sehingga mereka berani memberikan hak eksplorasi di kawasan tersebut kepada perusahaan Inggris/Belanda, BP Shell.

Dari uraian di atas, wajarlah bila Pemerintah Indonesia bersikap tegas untuk mempertahankan kedaulatan di perairan Laut Sulawesi itu. Selain sudah sepatutnya dilakukan, berbagai upaya perundingan selama beberapa tahun dengan Malaysia terkait wilayah tersebut, sebagaimana disampaikan Havas, belum membuahkan hasil karena Malaysia tampaknya enggan untuk menyelesaikan persoalan perbatasan itu.

Berbeda dengan Ligitan dan Sipadan yang disikapi Malaysia dengan tegas karena mereka yakin menang, dalam soal wilayah laut di sekitar Ambalat itu agaknya Malaysia setidaknya sudah mengetahui fakta dan pertimbangan yuridis yang disampaikan Indonesia.

Bagaimana jika sengketa perbatasan ini tak juga bisa diselesaikan secara bilateral melalui jalan dialog? Di sinilah potensi persoalan akan muncul. Dalam UNCLOS ditegaskan bahwa penyelesaian sengketa, utamanya harus melalui dialog dua pihak yang bersengketa. Jika tak juga diperoleh kata sepakat, persoalan itu dapat diajukan ke Tribunal (Pengadilan) Khusus UNCLOS, atau upaya lainnya ke Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ).

Namun, kedua upaya hukum tersebut hanya bisa dilakukan apabila kedua belah pihak bersepakat untuk menyelesaikan persoalan itu melalui jalur hukum formal.

Indonesia, sebagaimana disampaikan pihak Deplu Negeri RI, sangat siap untuk menyelesaikan persoalan perbatasan di Laut Sulawesi itu melalui jalur hukum formal, baik ke Tribunal UNCLOS maupun ke ICJ.

Bagaimana dengan Malaysia? Inilah yang menjadi tanda tanya besar. Kesan yang tertangkap selama ini, Malaysia berusaha tidak membawa persoalan ini sampai ke UNCLOS atau ICJ. Dalam kondisi seperti itu, tidak mungkin bagi Indonesia membawa masalah ini sendirian ke UNCLOS atau ICJ karena syaratnya memang harus kesepakatan kedua belah pihak.

Kita berharap Malaysia akhirnya mau membawa masalah perbatasan laut ini ke Mahkamah Internasional sebagaimana harapan Indonesia selama ini. (Rakaryan S)
Pemerintah Bantah Gagal Soal Sipadan-Ligitan

Jakarta, Sinar Harapan
Wakil Presiden Hamzah Haz mengatakan Indonesia sudah sepakat menyelesaikan masalah Sipadan dan Ligitan melalui Mahkamah Internasional (ICJ). Oleh karena itu Indonesia harus konsisten dengan keputusan Mahkamah Internasional, dan keputusan itu bukan merupakan kegagalan Pemerintah Indonesia.

”Keputusan itu tak terkait dengan kegagalan pemerintah, tetapi itu merupakan kemauan kita bersama,” kata Wapres, usai membuka ”Seminar Wajah Politik dan Ekonomi Indonesia 2003” di Wisma Antara, Jakarta, Rabu (18/12).
Dia mengingatkan, untuk mengantisipasi keputusan seperti ini, Pemerintah sudah memberikan peringatan agar semua pihak menerima apapun Keputusan Mahkamah Internasional. Selain itu, menurutnya, Pemerintah sudah maksimal dalam memberikan argumen mengenai Sipadan-Ligitan dalam persidangan di Mahkamah Internasional. Jadi keputusan itu tidak terkait dengan kegagalan Pemerintah, apalagi penyerahan kasus ini ke ICJ kasus itu sudah berlangsung tahun 1996.
Dengan adanya keputusan itu Wapres mengajak agar dibina kesatuan pulau-pulau dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), jangan sampai keputusan Sipadan-Ligitan itu membawa persoalan baru bagi Indonesia. ”Jangan sampai kita habiskan energi untuk Sipadan-Ligitan. Keputusan itu sudah merupakan konsekuensi internasional antara dua negara (Indonesia-Malaysia),” ia mengingatkan.

Ajukan Interpelasi
Sementara itu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dapat mengajukan hak interpelasi kepada Presiden Megawati Soekarnoputri selaku Kepala Pemerintahan karena dinilai tidak mampu dalam menjaga integritas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), khususnya setelah Mahkamah Internasional di Denhaag mengalahkan Indonesia dalam sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan dengan negara Malaysia.
”Harus ada pertanggungjawaban politik dari pemerintahan sekarang ini atas lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan. Meski keputusan itu telah diambil oleh Mahkamah Internasional, tetapi DPR tidak bisa menerima begitu saja kekalahan tersebut,” tegas Wakil Ketua Komisi I DPR Effendy Choirie kepada SH, Rabu (18/12) pagi.
Lebih lanjut Effendy menyatakan pengajuan hak interpelasi ini sangat penting agar Kepala Pemerintahan dalam hal ini Presiden Megawati bisa menjelaskan langsung masalah Sipadan dan Ligitan kepada rakyat Indonesia lewat forum rapat paripurna DPR. Namun demikian, Effendy Choirie mengakui kekalahan Indonesia dalam sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan tidak bisa dilepaskan dari warisan politik Pemerintahan Orde Baru yang memutuskan menyerahkan sengketa kedua pulau tersebut kepada Mahkamah Internasional.
Permintaan pertanggungjawaban terhadap Kepala Pemerintahan atas kekalahan Indonesia di Mahkamah Internasional dalam sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan ini juga diungkapkan Ketua Komisi I DPR Ibrahim Ambong.

Kepada SH, Rabu pagi. Ketua Komisi yang membidangi masalah luar negeri dan pertahanan ini menegaskan Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan kepada Kepala Pemerintahan untuk menjaga integritas wilayah NKRI.
Jika dilihat dari Pembukaan UUD 1945 tersebut maka usul pengajuan hak interpelasi DPR kepada Presiden bisa saja dilakukan sehingga seluruh rakyat Indonesia bisa mengerti mengapa Indonesia tidak bisa memenangkan sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan.
”Bukan tidak mungkin beberapa wilayah atau pulau yang kini dikuasai akan terlepas dari Indonesia jika Pemerintah tidak sungguh-sungguh menjaga integritas wilayah kita,” ujarnya.

Harus Diterima
Sementara itu Ketua Komisi II DPR Agustin Teras Narang kepada SH menyatakan keputusan Mahkamah Internasional yang memenangkan Malaysia harus diterima, sebab itu diambil berdasarkan penelitian, data-data, dokumen dan sumber historis menyangkut kedua pulau itu, mengerahkan hakim-hakim yang sangat independen sehingga keputusan tersebut sudah berdasarkan analisa dan penelitian yang cukup mendalam.
”Sebagai bangsa, kita harus menerima apa yang diputuskan Mahkamah Internasional. Sebab Pemerintah kita pada masa lalu telah memutuskan menyerahkan masalah ini pada mereka,” katanya
Menurutnya, kita harus melihat masalah Sipadan dan Ligitan ini bukan dari kacamata kelemahan atau kekuatan diplomasi Indonesia. Tetapi masalah ini sudah diserahkan ke Mahkamah Internasional dan artinya masalah ini ditangani secara hukum. Oleh karena itu apapun keputusannya harus diterima.
Menyangkut integritas wilayah NKRI, Teras Narang juga menyarankan kepada Pemerintahan saat ini untuk sungguh-sungguh dan seoptimal mungkin menjaga dan memelihara keutuhan wilayah. Pengalaman Sipadan-Ligitan harus dijadikan pegangan di masa mendatang.

Tidak Ganggu Hubungan
Sementara itu, dari Malaysia, pemerintah di Kuala Lumpur menilai hubungan bilateral dengan Indonesia tidak akan terganggu oleh hasil putusan Mahkamah Internasional (ICJ) atas sengketa Sipadan dan Ligitan, bahkan dia mengupayakan untuk terjalin lebih erat.
PM Mahathir Mohamad mengatakan Malaysia juga akan menerima putusan tersebut bila klaim atas Sipadan dan Ligitan memenangkan Indonesia.
”Saat itu bisa saja ada kemungkinan bahwa putusan Mahkamah tidak akan menguntungkan kita. (Bahkan) bila tidak menguntungkan, kita akan menerimanya,” kata Mahathir setibanya di Kuala Lumpur setelah berkunjung ke Jepang pada Selasa malam (17/12).
Meski begitu, Mahathir juga mengatakan bahwa Malaysia sejak lama yakin atas kepemilikian kedua pulau tersebut dan memiliki semua bukti yang kuat. ”Namun kita bersyukur bahwa masalah ini akhirnya diselesaikan secara damai,” kata Mahathir seperti yang dikutip kantor berita Malaysia, Bernama
Kendati bersyukur atas keputusan Mahkamah Internasional yang memenangkan Malaysia dalam kepemilikan Sipadan dan Ligitan, Deputi PM Abdullah Badawi mengimbau semua pihak di negaranya agar tidak larut dalam kemenangan. Justru dia menekankan nilai penting hubungan dengan Indonesia.
”Apa yang penting saat ini yaitu memastikan bahwa hubungan bilateral dengan Indonesia selalu tetap erat,” kata calon pengganti PM Mahathir tersebut. ”Ini tidak akan mengganggu hubungan dengan Indonesia. Kita menunjukkan telah menyelesaikan sengketa secara damai sebagai negara bertetangga,” kata Badawi.

Dinilai Adil
Di lain pihak kendati mengalami kekecewaan yang mendalam, Pemerintah Indonesia, seperti diutarakan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda, percaya bahwa keseluruhan proses peradilan penyelesaian sengketa tersebut telah berlangsung secara adil, transparan, bertanggung jawab, dan berwibawa. ”Oleh karena itu Pemerintah Indonesia menerima keputusan Mahkamah Internasional tersebut sebagai final dan mengikat,” kata Hassan.
Dia juga mengambil hikmah dari putusan Mahkamah Internasional tersebut dengan mengatakan bahwa itu memiliki arti penting dalam konteks hubungan bilateral antara Indonesia dan Malaysia maupun interaksi regional antara negara-negara di kawasan Asia Tenggara. ”Fakta bahwa Indonesia dan Malaysia pada tahun 1997 bersepakat untuk mengajukan kasus Sipadan-Ligitan pada proses ajudikasi melalui Mahkamah Internasional telah secara jelas merefleksikan komitmen politik kedua negara untuk menyelesaikan sengketa secara damai,” kata Hassan Selasa lalu (17/12).
Dia juga mengatakan bahwa upaya penyelesaian sengketa Sipadan-Ligitan melalui Mahkamah Internasional merupakan yang pertama kali di kawasan Asia Tenggara. ”Ini merupakan preseden dan contoh bagi interaksi diantara negara-negara di kawasan untuk masa-masa mendatang,” kata Hassan.
Kasus ini sudah menjadi obyek sengketa pada tahun 1989 dan pemerintahan Megawati mewarisi masalah ini dari pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. ”Jadi suatu proses yang panjang, suatu rangkaian yang tidak fair untuk dipotong pada bagian ujungnya,” kata Hassan. Dari segi prosedur pemerintah Indonesia telah melakukan yang terbaik dan secara maksimal.
Berdasarkan komposisi suara 16 banding 1, sebanyak 17 hakim Mahkamah Internasional yang diketuai hakim asal Prancis, Gilbert Guillaume, Selasa lalu (17/12) memutuskan bahwa Malaysia memiliki kedaulatan atas Sipadan dan Ligitan berdasarkan pertimbangan efektivitas, yaitu bahwa Pemerintah Inggris telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak atas pengumpulan telur penyu sejak 1930-an, dan operasi mercu suar sejak 1960-an.
Mahkamah Internasional menolak argumentasi Indonesia yang bersandar pada Konvensi 1891 yang dinilai hanya mengatur perbatasan dari kedua negara, yaitu Indonesia yang masih di bawah jajahan Belanda dan Malaysia yang masih di bawah kolonial Inggris, di Kalimantan. Garis paralel 4 derajat 10 menit Lintang Utara ditafsirkan hanya menjorok ke laut sejauh tiga mil dari titik pantai timur Pulau Sebatik sesuai ketentuan hukum laut internasional pada waktu itu yang menetapkan wilayah laut sejauh tiga mil.
Di lain pihak, Mahkamah Internasional juga menolak argumentasi Malaysia mengenai perolehan kepemilikan atas kedua pulau tersebut berdasarkan rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu. Mahkamah juga menolak klaim Malaysia berdasarkan pertimbangan bahwa mereka telah mengadakan kegiatan pariwisata dalam 15 tahun terakhir.

Jangan Terulang
Sementara itu, pakar hukum laut yang juga mantan duta besar RI, Profesor Dr Hasjim Djalal, ketika dihubungi di lewat telepon, Rabu (18/12) di Singapura, menilai peranan effective occupation (penguasaan secara efektiv), seperti dilakukan Malaysia dalam kasus Sipadan-Ligitan ini, memang sangat menentukan. Dia memberi contoh ketika terjadi perundingan memperebutkan Kepulauan Miangas antara Belanda dan Amerika Serikat tahun 1928, pihak arbitrase akhirnya memutuskan kepemilikan pulau tersebut kepada Belanda karena faktor effective occupation. ”Belanda yang melakukan effective occupation sehingga arbitrase menyerahkan kepadanya, dan sekarang kepulauan itu menjadi bagian dari Sulawesi Utara,” jelas Hasjim.
Dalam catatannya, ke depan memang sudah tidak ada lagi pulau-pulau terluar yang berada dalam status sengketa dengan para tetangga kita di Asia Tenggara, namun dia menegaskan meski demikian unsur effective occupation tersebut haruslah diperhatikan dengan sangat seksama. Dia hanya mengingatkan agar pulau-pulau kecil yang berbatasan dengan negara Timor Lorosae kini harus diperhatikan agar tidak terulang kejadian seperti kasus Sipadan dan Ligitan.
Mengenai sampai berapa jauh Indonesia harus menarik mundur perbatasannya pasca keputusan itu, Hasjim mengatakan hal itu jangan dikatakan dari sekarang namun harus segera dirundingkan. ”Kalau dari sekarang sudah dikatakan demikian maka hal itu akan menguntungkan Malaysia,” ujar Hasjim yang juga Presiden International Seabed Authority.
Menurut dia perundingan mendatang harus mengagendakan masalah garis batas, faktor kedudukan, letak geografis, peranannya dalam hal sosial ekonomi, topografi, batas laut dll. ”Harus diingat hal ini tidak sama dengan penarikan zona ekonomi eksklusif,” tegasnya. (sur/ren/xha)