Heritage Intelligence

Mendengar intelijen ingatan langsung tertuju kepada James Bond 007, CIA, KGB, dan Mossad. Institusi intelijen Negara yang bekerja dalam ketertutupan dan menyeramkan seperti kisah Victor Ostrovsky atau novel Body of Lies karya David Ignatius. Intelijen Benda Cagar Budaya (Heritage Intelligence) bukan merupakan pengenjawantahan dari Lembaga Intelijen Negara, melainkan pekerjaan penelitian dan pendokumentasian tentang keberadaan benda cagar budaya yang ada di Indonesia. Banyaknya peninggalan kekayaan artefak sejarah yang telah lenyap atau musnah, sehingga menciptakan kerugian besar hampir disetiap sektor baik dari Ilmu pengetahuan, sosial-budaya, ekonomi dan pertahanan keamanan Negara.
Ketidak berdayaan pembuktian kekayaan dan kerugian Negara tentang peninggalan sejarah, yang telah hilang maupun masih ada merupakan 'titik lemah' untuk dapat menjelaskan dan mempertanggung jawabkan kepada publik.
Sebagaimana contoh hancurnya bangunan di proklamasi, dimana potret nyata detik-detik bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Pertanyaan kerugian apa saja yang diciptakan dari kehancuran bangunan proklamasi tersebut? Ternyata ketika di 'bedah' anatominya sungguh membuat kepala cekot-cekot, dari sisi Ilmu pengetahuan bukti nyata keberadaan fisik bangunan sudah tidak ada. Di dalam ranah berbeda seperti contoh ketika pulau Sipadan dan Ligitan diakui oleh Mahkamah Internasional di Belanda, fisik bangunan yang terdapat dikedua pulau tersebut adalah milik Malaysia. Pada akhirnya secara de jure maupun de fakto pulau Sipadan dan Ligitan milik sah Malaysia.
Terperanjat bahwa eksistensi fisik bangunan bukan persoalan sederhana, cara pandang melihat fisik bangunan selama ini hanya dilihat dari 'kaca mata kuda' yang melulu diukur dari perspektif estetika dan ekonomis semata. Padahal sebuah bangunan diciptakan melampaui tapal batas estetika dan ekonomi, sebagaimana masyarakat Jawa membangun rumah Panggang pe Ceregancet mirip dengan jasad hidup yang tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan kehidupan penghuninya.

Database Benda Cagar Budaya

Film petualangan Indiana Jones, National Treasure, dan Da Vinci Code, membuat adrenalin penonton terpacu. Kecerdasan mengumpulkan serpihan informasi yang tercecer, sehingga teka-teki dapat terpecahkan dan disusun ulang. Sungguh sebuah inspirasi. Tersebar dan terseraknya artefak benda cagar budaya dari berbagai wujud, baik dari sisa-sisa peninggalan kerajaan Nusantara sampai peninggalan kolonial. Sampai saat ini masih dalam 'terawangan' sebagai analogi berjalan dikegelapan tanpa cahaya. Keberadaan UU.No.5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya dan UU.No.26 Tahun 2007 Tentang Tata Ruang masih dalam tahap konsepsional, belum memasuki 'ranah' operasional di dalam pelestarian benda cagar budaya. Inventarisasi pendokumentasiaan sebagai database keberadaan benda cagar budaya dari berbagai ragam bentuk, sampai saat ini masih belum dapat direalisasikan. Padahal database tersebut merupakan 'peta hidup' sebagai alat deteksi dini, perihal kelangsungan pelestarian benda cagar budaya di Indonesia. Karena bila terwujud pendokumentasian tersebut, publik dapat mengetahui dan menjaga pelestarian dari benda cagar budaya yang dilindungi oleh Negara. Fungsi database dapat memberikan suguhan informasi, berapa jumlah benda cagar budaya yang dimiliki seperti Gedung, Benteng, Rumah, Masjid, Gereja, Vihara, Pusaka dan lain sebagainya. Dengan adanya informasi keberadaan artefak sejarah ini, penghancuran dan pencurian dapat maksimal dihindari.
Pendokumentasian mempunyai peran ganda di satu sisi dapat menjadi alat kontrol, disisi lain merupakan alat sosialisasi dari Undang-Undang tentang Benda Cagar Budaya yang murah dan efektif kepada warga Negara.

Benda Cagar Budaya dan Keamanan Nasional

Perjuangan panjang Vasco da Gama (1497-1499) mencapai India melalui Tanjung Harapan telah berhasil gilang gemilang, dari keberhasilan ini maka terbuka lebar pintu masuk pelayaran bangsa Eropa ke Asia. Setelah Tanjung Harapan ditundukkan, kini giliran Melaka dikuasai Portugal (1511).
Di dalam kurun waktu 11 tahun tepatnya pada tahun 1522 ekspedisi Ferdinand Magellan dari Spanyol berhasil mencapai Maluku, selisih waktu 57 tahun (1522-1579) Francis Drake dari Inggris datang menyusul ke kewilayah 'surga rempah-rempah' Maluku. Berawal dari rempah-rempah nafsu serakah untuk menguasai dalam wajah kolonialisme tertancap di bumi Maluku, gesekan kepentingan untuk saling menguasai antara Portugal dan Spanyol di Maluku pada abad XVI tidak dapat terhindarkan. Maka keluar perjanjian Tordesillas (1494) dan menyusul perjanjian Saragossa (1527) antara Spanyol dan Portugal. Hal hasil dari perjanjian tersebut Portugal dapat menguasai Maluku.
Kilasan sejarah tersebut merupakan 'rekam jejak' kolonialisme pertama kali hadir di bumi jamrud khatulistiwa, taktik dan strategi kolonial di dalam melakukan infiltrasi sampai menuju invasi dapat ketahui. Fakta penjajahan dapat ditelusuri melalui artefak seperti Benteng Victoria (1605) yang dibangun Portugal di Maluku, berfungsi sebagai benteng pertahanan. Juga Benteng Oranje (1607) di Ternate yang dibangun oleh Cornelis Matelief de Jonge (Belanda). Benteng ini pernah dijadikan pusat pemerintahan tertinggi Hindia Belanda (Gubernur Jenderal) Pieter Both, Herald Reynst, Laurenz Reaal, dan Jan Pieterszoon Coen.
Dari Benteng pertahanan sampai rute perjalanan alur laut kolonial memasuki Nusantara, sebagaimana diketemukannya beberapa artefak kapal laut kolonial yang karam di dasar laut. Dan legitimasi Mahkamah Internasional tentang batas kedaulatan wilayah Negara Kesatuan republik Indonesia (NKRI), mengacu pada peninggalan tanah jajahan Belanda. Dengan demikian 'patok batas' secara fisik peninggalan Belanda, kedepan menjadi sesuatu yang vital di dalam pembuktian wilayah kedaulatan Negara.
Walaupun bukan konteks benda cagar budaya, tetapi masih dalam 'satu tarikan nafas' peristiwa dikuasainya Pulau Sipadan dan Ligitan oleh Malaysia, karena lemahnya bukti otentik di Mahkamah Internasional. Merupakan pertanda urgensinya fisik bangunan dalam wilayah hukum Internasional. Serta perluasan pembangunan fisik didaratan Singapura melalui 'pasir laut', hampir saja mencaplok kedaulatan Indonesia khususnya pulau Nipa dan pulau lainnya disekitar wilayah propinsi kepulauan Riau. Satu lagi peristiwa penghancuran taman didepan stasiun Beos kota, dimana wilayah itu merupakan 'ring satu' zona benda cagar budaya. Kepentingan bisnis lebih penting daripada keamanan. Pembangunan shelter busway dan terowongan untuk pedestrian mengakibatkan dampak buruk bagi bangunan tua disekitarnya. Tercatat sedikitnya empat bangunan tua yang langsung terkena dampak negative yang diakibatkan dewatering saat pembangunan terowongan tersebut, keseimbangan air tanah disekitar lokasi terganggu. Dan keempat bangunan tua mengalami penurunan pondasi, dan dampak negatif apa yang akan tercipta kedepan? Tidak ada yang dapat mengatahui dan diperlukan kajian mendalam. Sampai saat ini kejelasan tentang barang sitaan Negara dari hasil penangkapan eksplorasi kapal VOC yang karam secara illegal, berapa jumlah dan nilai harta karun tersebut dan disimpan dimana masih dalam misteri.
Saksi bisu benda cagar budaya ternyata faktual dapat 'berbunyi' dan berkata jujur tanpa ada rekayasa maupun kebohongan.

Intelijen Benda Cagar Budaya (Heritage Intelligence)

Cegah tangkal di dalam pelestarian benda cagar budaya sudah waktunya diperkuat, perhitungan secara matematis tentang kekayaan 'adi luhung' bangsa Indonesia belum dapat direalisasikan. Kemampuan IPTEK di dalam kalkulasi sumber daya alam (SDA) kekayaan laut sudah dapat dihandalkan di negri kepulauan ini, padahal dahulu sebelum teori tersebut ada masih merupakan sesuatu yang 'ghaib' diwilayah alam bawah sadar. Sosok manusia dapat terbang Gatot Kaca yang hanya ada dalam cerita pewayangan, tersentak bahwa cerita itu bukan mitos melainkan teknos dengan kemampuan di dalam rekayasa teknologi kapal terbang (Dirgantara Indonesia).
Eksistensi heritage intelligence di dalam melakukan penelitian dan pendokumentasian, serta dapat juga melakukan 'audit' benda cagar budaya, merupakan pemecah dari kebekuan dan kerapuhan mengatasi permasalahan benda cagar budaya. Generasi kedepan perlu diberikan 'menu' visualitas bukan virtualitas. Melalaui intelijen benda cagar budaya sesuatu yang absurd menjadi rasional, investigasi tapak tilas untuk dapat mengumpulkan kembali serpihan sejarah yang tercecer dan hilang. Seperti analogi menjahit pakaian yang sudah usang termakan jaman, memerlukan sentuhan ketekunan penjahit handal. Semoga.***

BAROUSAI, BARUS, ATAU FANSUR: KISAH CEMERLANG DARI BERIBU TAHUN SILAM

BAROUSAI, BARUS, ATAU FANSUR:

KISAH CEMERLANG DARI BERIBU TAHUN SILAM

Kota bandar di tepian pantai barat Sumatra yang berabad lalu menjadi sebuah perkampungan multi-etnis yang penuh guyub, sarat daya tarik bagi para pedagang di hampir seluruh penjuru bumi, juga menjadi pintu masuknya berbagai peradaban dan agama-agama besar di bumi Nusantara itu kini telah sepi.

BARUS saat ini hanya sebuah ibukota Kecamatan, di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatra Utara. Posisinya berada di pinggir pantai barat Sumatera, sekitar 60 km sebelah utara Sibolga, atau sekitar 414 km dari Medan. Tidak ada yang istimewa. Begitu juga dengan Desa Lobutua, sekitar 4 km ke arah barat dari Barus. Juga layaknya sebuah desa, sepi. Meskipun sesekali para peziarah datang silih-berganti, menapaki sejarah sebuah kota banda yang jauh di awal abad masehi pernah begitu cemerlang dan menggemparkan sekujur bumi.

Dan boleh jadi, Barus adalah satu-satunya kota yang tercatat di dalam buku yang terbit di awal masehi, sehingga menempatkannya sebagai kota tertua di bumi Nusantara. Adalah Claudius Ptolomaios[1], seorang geograf Yunani yang dalam bukunya dari abad ke dua Masehi, Geographike Hyphegesis menuliskan nama negeri Barousai di Chryse Chora (Pulau Emas) yang antara lain oleh van der Meulen disimpulkan sebagai Sumatra[2].

Tapi apa gerangan yang menjadikan kota bandar ini begitu mempesona orang Yunani, China, India, dan bahkan juga para Pharao di Mesir kuno?

Jawabnya tak lain adalah kapur barus (bhs Belanda: kamfer, dan mungkin dari kata kapur yang diucapkan kofur oleh bangsa Arab).[3] Konon, kapur barus asal kota barus inilah yang paling banyak dicari karena kualitasnya yang terbaik, paling laku dan harganya kurang lebih 8 kali lebih mahal daripada kapur-kapur barus asal tempat lain[4]. Dalam catatan pelancong Italia, Marco Polo bahkan disebutkan bahwa, harga kapur barus kala itu setara dengan harga emas dengan berat yang sama[5].

Seorang Belanda pernah menulis bahwa kemenyan dari Barus, telah dipakai sebagai salah satu bahan mengawetkan (membalsem) mayat raja-raja di Mesir sebelum Masehi[6]. Jika dugaan ini benar, maka berarti kota bandar Barus ini sudah ada sejak 5.000 tahun SM. Perkiraan akhir itu, didasarkan pada temuan bahan pengawet dari berbagai mummy Fir'aun Mesir Kuno salah satu pengawetnya menggunakan kanper atau kapur Barus. Sejarawan era kemerdekaan Moh. Yamin, bahkan memperkirakan bahwa, perdagangan rempah-rempah dan tentu saja kamfer, sudah dilakukan pedagang Nusantara sejak 6.000 tahun lalu ke berbagai penjuru dunia.

Hasil penelitian Innis Miller terhadap naskah Historia Naturalis karya Plinius di abad pertama juga sudah menunjukkan bahwa, para pedagang Nusantara pun ternyata sudah menjajakan komoditas mereka sampai ke Asia Barat dan Afrika Timur sejak abad permulaan Masehi[7]. Sementara Prof. Kern[8] pernah menulis bahwa Kota “P’o-lu-chi” yang dimaksud I Tsing di abad ke-7, tidak lain dari Barus[9]. Seorang penyair Arab sebelum Islam, Amru al-Qais (meninggal tahun 530 Masehi), sangat memuji keharuman kafur dalam syair-syairnya[10].

Begitu pentingnya kota Barus ini—mungkin bisa disamakan dengan Paris pada abad modern yang terkenal dengan inovasi parfumnya—maka sejak zaman dulu dalam dunia dagang telah dikenal nama-nama Baros, Balus, Pansur, Fansur, Pansuri[11], Kalasaputra[12], Karpura-dwipa, Barusai, Waru-saka dan lain-lain.

Dan tentu, seperti kata pepatah, ada gula ada semut. Pesona kapur barus dari selatan ini menggoda banyak pendatang. Sebagaimana dicatatan Ptolomaios, selain para penjelajah dari Yunani, juga datang pedagang dari Venesia, India, Arab dan Tiongkok. Selain itu, sekelompok penyebar ajaran Kristen Sekte Nestorian dari Konstantinopel, pusat Kerajaan Byzantium Timur, juga menjejakkan kakinya di Barus. Kelompok itu diperkirakan datang sekira tahun 600 M dan mendirikan gereja pertama di Desa Pancuran, Barus.

Dewan Gereja-gereja di Indonesia juga memercayai sejak tahun 645 Masehi di daerah Barus telah masuk umat Kristen dari sekte Nestorian. Keyakinan tersebut didasarkan pada buku kuno tulisan Shaikh Abu Salih al-Armini. Sementara itu, penjelajah dari Armenia Mabousahl mencatat bahwa pada abad ke-12 telah terdapat Gereja Nestorian.

Lalu datanglah para pedagang Arab memasuki Barus sekira 627-643 M atau sekitar tahun 1 Hijriah, dan menyebarkan agama Islam di daerah itu. Di antaranya Wahab bin Qabishah mendarat di Pulau Mursala pada 627 M. Ada juga utusan Khulafaur Rasyidin, bernama Syekh Ismail akan ke Samudera Pasai dan singgah di Barus, sekira tahun 634 M. Dan sejak itu pula, tercatat bangsa Arab (Islam) mendirikan koloni di Barus. Bangsa Arab menamakan Barus dengan sebutan Fansur atau Fansuri, misalnya oleh penulis Sulaiman pada 851 M dalam bukunya "Silsilatus Tawarikh."

Kedatangan bangsa Arab yang kemudian menyebarkan agama Islam itu juga disebutkan dalam berita-berita Cina, Hsin-Tang-shu[13] (Catatan Dinasti Tang, 618-907), dan Chu-fan-chi[14] (Catatan Negeri-negeri Asing) yang ditulis Chau Ju-kua pada tahun 1225. Di dalam dua kronik Cina itu banyak bercerita tentang Ta-shi, istilah Cina untuk menyebut Arab. (Chu-fan-chi menerangkan bahwa Ta-shi mempunyai seorang Buddha (maksudnya Nabi) yang bernama Ma-ha-mat (Muhammad). Dalam sehari mereka lima kali sembahyang, dan setiap tahun berpuasa selama sebulan penuh. Dinasti Ta-shi ada dua macam, yaitu white-robed Ta-shi (Arab berjubah putih) atau Pon-ni-mo-huan (Bani Marwan, atau Bani Umayyah), serta black-robed Ta-shi (Arab berjubah hitam) yang didirikan raja A-po-lo-pa (Abul-Abbas)[15]. Pada tahun 651 Masehi, raja Ta-shi (Arab) bernama Han-mi-mo-mi-ni mengirimkan utusan ke istana Cina[16]. Hampir dapat dipastikan bahwa nama Han-mi-mo-mi-ni dalam ucapan Cina ini adalah untuk Amir al-Mu’minin, gelar resmi para khalifah Islam, dan “raja Ta-shi” yang mengirimkan utusan itu adalah Khalifah `Utsman ibn Affan yang memerintah dari tahun 644 sampai 656. Hsin-Tang-shu mencatat bahwa pada tahun 674 terdapat pemukiman pedagang Ta-shi (Arab) di Po-lu-shih, daerah pantai barat Sumatera.[17]

Tentu, dapat dibayangkan betapa makmurnya kota Barus pada awal abad masehi ini, dengan penduduk yang sebagian besar terdiri atas kaum pedagang. Pertanyaannya kemudian, siapakah yang menggerakkan semua perdagangan hingga jauh ke negeri seberang itu?

Seorang bekas kontrolir Belanda, G.J.J. Deutz, sewaktu bertugas di Barus,[18] menulis bahwa menurut rakyat setempat di Desa Lobutua pernah didapat penduduk sebuah batu bertulis pada dua bagian. Tetapi sayang, batu itu pada tahun 1857 dipecahkan oleh Raja Barus bernama Mara Pangkat. Pada tahun 1872 Deutz banyak menemukan pecahan batu peninggalan zaman Hindu yang telah dilupakan orang, telah berlumut. Dan baru pada tahun 1932, prasasti itu diterjemahkan Profesor Nila-kanti Sastri dari Universitas Madras.[19]

Prasasti itu menyebutkan bahwa paling sedikit sejak abad ke-11, telah bermukim di kota Barus sebuah koloni bangsa Tamil. Menurut batu Lobutua itu, mereka tergabung dalam sebuah perusahaan bernama “kelompok 500″ yang tidak asing lagi bagi orang-orang India waktu itu. Perusahaan swasta yang mereka wakili, merupakan perusahaan dagang cukup kuat, merdeka dalam tindakan dan tidak gampang tunduk pada salah satu raja yang berkuasa di sekitar Barus. Mereka yang berdiam di Barus inilah yang membeli beberapa hasil dari rakyat—utamanya kapur barus—untuk diekspor ke luar negeri.

Menurut Gnillout Claude[20], Barus adalah sebuah kota kuno di pantai barat Propinsi Sumatera Utara yang terkenal di seluruh Asia, sejak lebih dari seribu tahun, berkat hasil hutannya. Selain itu, nama Barus juga muncul dalam sejarah peradaban Melayu dengan Hamzah Fansuri, penyair mistik terkenal yang baru-baru ini ditemukan kembali makamnya di Mekkah. Sementara itu, tim arkeolog dari Ecole Francaise D’extreme-Orient (EFEO) Perancis bekerjasama dengan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua-Barus, menemukan bahwa pada sekitar abad 9-12 Masehi, Barus telah menjadi sebuah perkampungan multi-etnis dari berbagai suku bangsa seperti Arab, Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu, dan sebagainya. Tim tersebut juga menemukan banyak benda-benda berkualitas tinggi yang usianya sudah ratusan dan bahkan ribuan tahun dan ini menandakan dahulu kala kehidupan di Barus itu sangatlah makmur.

Dan semua kemakmuran itu berkat aroma kapur barus yang diolah dari kayu kamfer. Hanya kini, komoditi yang begitu mempesona di masa silam itu, hingga konon juga dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5. 000 tahun sebelum Masehi itu, kini sudah lama tidak lagi diproduksi

Di komplek makam Syekh Machmud yang tertata rapi dan terletak di Bukit Papan Tinggi dan memang betul-betul tinggi sehingga harus melewati 710 anak tangga ini, menggantung sebuah tulisan, “Beri Salam dan Alas Kaki dibuka.” Seakan mengakhiri sebuah kisah perjalanan sebuah kota bandar di tepian pantai barat Sumatra yang berabad lalu menjadi sebuah perkampungan multi-etnis yang penuh guyub, sarat daya tarik bagi para pedagang di hampir seluruh penjuru bumi, juga menjadi pintu masuknya berbagai peradaban dan agama-agama besar di bumi Nusantara itu kini telah sepi.**



[1] Barus telah disebut oleh Ptolomeus kira kira tahun 150 Masehi. (Kozok, 1991, 14)

[2] W. J. van der Meulen, “Suvarnadvipa and the Chryse Chersonesos”, Indonesia, 18, October 1974, h. 1

[3] Encyclopdeia van Nederlandsch Indie

[4] Ada tiga jenis kapur barus pada saat itu yaitu: Kapur barus dari Kalimantan dan Sumatera (Dryobalanops aromatica), Kapur barus dari China dan Jepang (Cinnamomum Camphora) yang banyak beredar dipasaran dan yang ketiga adalah Blumea balsami- fera, yang diproduksi di China dengan nama kapur barus Ngai. Harga dari kapur barus asal Sumatera ini kira-kira 138 kali lebih mahal dari kapur barus China dan Jepang. (Hobson-Jobson, Glossary of Anglo-Indian Words and Phares)

[5]Travel of Marco Polo,” Buku 3 Bab 9 dan Buku 2 Bab 8 by Marco Polo dan Rustichello of Pisa

[6] Sumatra Benzoe, Disertasi P.H. Brans

[7] J. Innis Miller, The Spice Trade of the Roman Empire, Oxford University Press, London, 1969, terutama Bab “The Cinnamon Route”

[8] Verspreide Geschriften No VI, halaman 15

[9] Po-lu-chi atau Po-lu-suo terkadang sering keliru diterjemahkan dalam text China dengan Bo-si atau Persia. Barus ini juga sering disebut sebagai Bon-cu, Bian-shu atau Bin-cuo. (Roderich Ptak, Possible Chinese Reference to the Barus Area (Ming to Tang) in Claude Guillot (ed.) Histoire de Barus, Sumatera: Le Site de Lobu Tua I, Etudes et Documents, Paris, Cahier d’Archipel 30, 1998, pp. 119-138)

[10] Oliver W. Wolters, Early Indonesian Commerce, Cornell University Press, Ithaca, New York, 1967, terutama Bab 8

[11] Dari Desa Pansur sedikit di utara Barus

[12] Dari kata Kalasan, daerah penghasil kapur barus antara Kota Barus dan Sungai Chenendang

[13] Diterjemahkan oleh Paul Pelliot, “Deux Itineraires de Chine en Inde a la Fin du VIIIe Siecle”, BEFEO, 4, 1904, hal. 132-413

[14] Diterjemahkan oleh Friedrich Hirth dan W. W. Rockhill, Chau Ju-kua: His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries, entitled CHU-FAN-CHI, Imperial Academy of Sciences, St.Petersburg, 1911

[15] Lihat: F. Hirth dan W.W.Rockhill, hh. 114-124

[16] Berita ini tercantum dalam kronik Tung-tien buku 193 nomor 22b. Lihat: F.Hirth dan W.W.Rockhill, h. 119

[17] Paul Pelliot, h. 297. Lihat juga W. P. Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources, Bhratara, Jakarta, cetak ulang 1960, h. 14.

[18] Barus, G.J.J. Deutz, Tijdschr No. 22 tahun 1875

[19] A Tamil Merchant-guild in Sumatera oleh Prof. N. Sastri dalam Tijdschr No 72 tahun 1932

[20] “Lobu Tua Sejarah Barus”, Obor, 2002

Senin, 15 September 2008

Selasa, 15 Maret 2005 WACANA-suara merdeka

Ambalat, Buntut Sipadan - Ligitan
Oleh: Sudijono

KONFLIK Ambalat merupakan dampak kekalahan Indonesia pada sidang Mahkamah Internasional yang mengadili status kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan 18 Desember 2002. Pemilikan dua pulau itu diputuskan jatuh ke tangan Malaysia.

Konflik Sipadan - Ligitan bermula ketika Malaysia menerbitkan peta 21 Desember 1979 yang mencantumkan Pulau Sipadan dan Ligitan termasuk wilayahnya, yang dijawab Indonesia dengan protes diplomatik 8 Februari 1980 dan 15 April 1992. Konflik ini setelah mengalami jalan buntu, dibawa ke Mahkamah Internasional.

Setelah Malaysia memenangkan kepemilikan P. Sipadan dan P. Ligitan, negara itu mengklaim sepihak perairan Ambalat sebagai miliknya. Di sinilah arogansi Malaysia, menentukan tapal batas tanpa melihat kepemilikan negara tetangga.

Pengalaman penulis sebagai anggota Komisi Kerja Sama Militer dan Perbatasan Malindo, Malaysia sangat "licin", tidak satunya kata dan perbuatan yang dalam istilah Jawa ambuntut arit. Inilah suatu siasat yang harus disikapi delegasi Indonesia dalam perundingan, hendaknya waspada karena "di atas" boleh bilang setuju, "di bawah" pendudukan (occupation) jalan terus dan selalu mengulur waktu menunggu saat kita lengah.

Masa Lalu

Konvensi London (1891) antara pemerintahan Hindia-Belanda dan Protektorat Inggris, Pasal I menyebutkan batas wilayah yang dikuasai Hindia Belanda dan wilayah protektorat Inggris di Kalimantan Timur, didasarkan atas garis lintang 40 10` Utara. Pasal IV, selanjutnya perbatasan pulau-pulau yang terletak di sebelah timur Kalimantan yang meliputi P.Sebatik berdasarkan garis lintang 40 10` Utara.

Dalam Pasal V, disebutkan garis batas yang tersebut dalam Pasal I dan IV diatur oleh kedua belah pihak dan ditentukan kemudian. Sebagai tindak lanjut dalam Protokol London yang ditandatangani oleh kedua belah pihak 26 September 1915, ditetapkan perbatasan wilayah yang dikuasai Hindia Belanda berdasarkan Pasal I dan IV Konvensi London (1891) adalah garis batas yang ditarik pada lintang 40 10` Utara ke arah timur. P.Sipadan dan P.Ligitan berada di sebelah selatan lintang 40 10`Utara, berarti milik pemerintah Hindia Belanda.

Nelayan Indonesia dari P.Sebatik dan P.Nunukan apabila pulang atau akan berangkat mencari ikan di perairan Kalimantan Timur singgah beberapa saat di P.Ligitan dan P.Sipadan untuk mengambil air. Hal ini dibuktikan oleh survei Indonesia pada tahun 1990-an, di sana ada gubuk nelayan Indonesia.

Kepemilikan P.Sipadan dan P.Ligitan oleh Malaysia berdasarkan kepemilikan Kesultanan Sabah sebelum penjajahan Inggris. Dengan tidak memperhatikan kepentingan negara tetangga, Malaysia mengklaim P.Sipadan dan P.Ligitan sebagai miliknya.

Lemahnya diplomasi Indonesia dengan dalih "semangat ASEAN" dalam berbagai perundingan yang mengalami jalan buntu, sepakat menjalin status quo. Dalam kondisi status quo ini Malaysia menjadikan P.Sipadan sebagai daerah wisata dengan paket wisata Kinabalu, bahkan Malaysia membuat "pulau buatan" di Karang Rough di utara lintang 40 10` Utara berdekatan dengan P.Sipadan.

Suatu hal yang perlu dicatat, pemerintahan Protektorat Inggris sejak zaman penjajahan menempatkan pos pengawas, polisi hutan, untuk memelihara kelestarian lingkungan. Sedangkan pemerintah Hindia Belanda tidak ada perhatian dan tidak berbuat sesuatu.

Unclos 1982, Hukum Laut Internasional telah diratifikasi oleh 60 negara peserta termasuk Indonesia dan Malaysia, konsep negara kepulauan telah diakui dalam konvensi tersebut, berarti Indonesia sebagai negara kepulauan dapat menentukan laut teritorial diukur 12 mil dan ZEE 200 mil dari garis pangkal (straight base line). Sedangkan Malaysia sebagai negara kontinental diukur dari garis pantai (coastal line). Hal ini mengakibatkan penentuan batas wilayah RI-Malaysia semakin kompleks dan rawan terjadi konflik.

Krisis Ambalat

Tumpang tindih wilayah dengan Malaysia ini terungkap pada tahun 1979, saat dua negara membicarakan batas wilayah perairan di sebelah timur Kalimantan Timur. Kedua belah pihak sepakat menunda perundingan karena menemui jalan buntu. Pada kesempatan ini Malaysia menerbitkan peta 21 Desember 1979 tentang wilayah Malaysia di Kalimantan Timur.

Indonesia melayangkan protes ke Kedutaan Besar Malaysia 8 Februari 1980 dan 15 April 1992. Demikian juga pihak Malaysia melayangkan protes terhadap kehadiran kapal perang Indonesia di perairan P.Sipadan dan P.Ligitan. Protes ini telah dijawab oleh pemerintah Indonesia dengan nota diplomatik 30 Juni 1992. Dengan demikian kepemilikan kedua pulau tersebut menjadi sengketa perbatasan yang serius.

Untuk penyelesaian masalah tersebut kedua belah pihak membuka perundingan baru dan 7-11 Oktober 1991 membentuk Joint working group on Sipadan and Ligitan.

Kedua belah pihak mengumpulkan dokumen dan data tersebut untuk dilaporkan dalam sidang berikutnya. Dalam pertemuan keempat 6-9 Juni 1995 mengalami jalan buntu, akhirnya sengketa tersebut sepakat dibawa ke Mahkamah Internasional.

Pihak Indonesia begitu yakin akan dokumen yang dimiliki secara otentik serta kredibelitas Presiden Soeharto sebagai pemimpin ASEAN pada waktu itu dan optimistis akan menang. Malaysia dengan bukti kepemilikan kedua pulau tersebut oleh Kesultanan Sabah sebelum penjajahan Inggris (pemerintahan Protektorat) serta kepedulian pemerintah protektorat Inggris dengan menempatkan polisi hutan untuk mengawasi kelestarian P. Sipadan, serta mengabaikan Konvensi London 1891. Apa yang terjadi dari 1995 sampai 2002 ?, Suharto jatuh, pemimpin penggantinya kredibilitasnya "lemah", dan posisi Mahatir Muhammad menjadi Leader of ASEAN menggantikan Suharto, kredibilitasnya menjadi kuat. Disamping itu lobi Malaysia di Eropa yang kuat, bukan mustahil menjadikan isu ini masuk dalam konspirasi global negara maju.

Akhirnya setelah mendengarkan laporan kedua belah pihak dan atas pertimbangan de facto kepedulian pemerintahan protektorat Inggris yang telah hadir dan memelihara kelestarian P.Sipadan, Mahkamah Internasional memutuskan P.Sipadan dan P.Ligitan menjadi wilayah Malaysia.

Konsekuensi dari keputusan ini Malaysia secara sepihak menarik batas laut teritorial 12 mil dan ZEE 200 mil yang tumpang tindih dengan ZEE RI, tanpa pemberitahuan kepada Indonesia langsung menghadirkan kapal perangnya di wilayah tersebut, menghardik nelayan Indonesia, menghalangi pembuatan Menara Suar Unarang dan memasang tanda-tanda di perairan Ambalat.

Klaim Ambalat menjadi wilayah Malaysia secara resmi baru diumumkan 6 Maret 2005. Itulah siasat Malaysia sebagai bangsa yang bertetangga baik dengan "semangat ASEAN". Taktik ini perlu dijawab dengan berbagai cara sesuai eskalasi ancaman mulai dari diplomasi, negosiasi, patroli laut-udara dan yang paling keras adalah konflik bersenjata.

Menurut Konvensi London (1891) dan Protokol London yang ditandatangani kedua belah pihak 26 September 1915, batas wilayah RI dengan Malaysia secara tegas dinyatakan lintang 40 10` Utara , dengan demikian daerah sebelah selatan lintang 40 10`Utara adalah wilayah RI. Namun putusan Mahkamah Internasional 18 Desember 2002 memasukkan P.Sipadan dan P.Ligitan masuk menjadi wilayah Malaysia. Yang dapat diambil oleh Malaysia paling mungkin adalah laut teritorial sekitar P.Sipadan dan P.Ligitan sejauh 12 mil. Itu pun tidak otomatis, harus dirundingkan dahulu dengan pemerintah RI yang telah menguasai wilayah tersebut.

Sesuai Hukum Laut Internsional (Unclos 1982) Indonesia sebagai negara kepulauan pada tahun 1981 telah mendeklarasikan sebagai negara kepulauan meliputi garis pangkal, perairan kepulauan, laut teritorial dan ZEE. Indonesia telah merundingkan batas landas kontinental dengan berbagai negara tetangga. Penentuan batas ini ada yang belum selesai dan ada yang sudah selesai. Karang Unarang di timur P.Sebatik masih dalam wilayah yurisdiksi nasional RI. Pulau Sebatik bagian selatan, P.Nunukan, P.Bunyu, Ambalat dan Bukat masih juga dalam perairan yurisdiksi nasional RI.

Dengan jatuhnya P.Sipadan dan P.Ligitan Indonesia kehilangan 1300 mil persegi, laut teritorial di sekitar P. Sipadan dan P. Ligitan dan wilayah ZEE yang masih harus dirundingkan dengan Indonesia sebelum diumumkan.

Menara suar Unarang yang sedang dibangun RI, sesungguhnya akan dibuat 1991 tetapi dicegah oleh "pihak atasan". Sebagai gantinya dibuat pelampung suar berjangkar, namun dirusak oleh pihak Malaysia, demikian juga apabila diperbaiki selalu dirusak pula.

Kita bangga atas keputusan pemerintah RI sekarang untuk melanjutkan pemasangan menara suar di Unarang secara berani dengan pengawalan TNI-AL. Lain halnya Malaysia sebagai negara kontinental, batas laut teritorial diukur 12 mil dari garis pantai (coastal line), dalam hal ini garis pantai P.Sipadan dan P.Ligitan.

Penentuan ZEE dan laut teritorial ini tidak otomatis berlaku, harus dideklarasikan. Apabila berbatasan dengan perairan negara tetangga harus dirundingkan terlebih dahulu, tidak diklaim secara sepihak seperti Ambalat pada tanggal 6 Maret 2005, Malaysia langsung menghadirkan kapal perang, kapal polisi, dan menghardik nelayan Indonesia yang mempunyai hak turun - temurun menangkap ikan di daerah tersebut dan menghalangi pembangunan menara suar.

"arogansi" Malaysia seperti diuraikan di atas, dapat dilihat peta sebagai berikut :

Solusi

Presiden SBY kiranya memahami semua masalah ini bahkan secara gagah berani sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Perang RI telah meninjau wilayah konflik. Hal ini perlu mendapat acungan jempol. Tinggal sekarang bagaimana Presiden SBY menyiapkan pengadaan kapal perang dan pesawat udara yang kualitas dan kuantitasnya unggul dan mampu menghadapi semua ancaman termasuk penyiapan Pangkalan TNI AL Tarakan dan Pangkalan Udara Spinggan Balikpapan. Diharapkan legislatif pun membantu hal ini, tidak "hanya ribut saja" soal pengadaan peralatan TNI seperti masa lalu.

Patroli laut di blok Ambalat termasuk patroli TNI AL dan TNI AU perlu dilaksanakan sepanjang tahun secara sistematis. Menara suar Unarang perlu dikawal pasukan TNI sampai aman dari gangguan.

Nelayan Kaltim yang secara turun-temurun menangkap ikan di perairan ini perlu dilindungi, kalau perlu dikawal kapal perang. Pemda Kaltim mendukung pergelaran kekuatan ini, eksplorasi dan eksploitasi blok Ambalat perlu diteruskan.

Rakyat di perbatasan siap mengantisipasi keadaan darurat. Dengan kehadiran kapal perang TNI AL di daerah ini penyulundupan, illegal logging lebih mudah diberantas.

Diplomasi tanpa dukungan TNI yang kredibel akan sia-sia. Kita tidak boleh lengah terhadap "kelicinan" Malaysia dan ikutnya kekuatan global bermain serta tidak membawa masalah ini ke Mahkamah Internasional. Kita secara yuridis sesuai Unclos 1982 menguasai blok Ambalat serta secara de facto dan turun-temurun menguasai perairan tersebut. Sedang Malaysia baru mengklaim setelah memenangkan perkara P. Sipadan dan P. Ligitan dan baru diumumkan pada tanggal 6 Maret 2005. Sejengkal tanah air tidak boleh lepas dari pangkuan Ibu Pertiwi, sebagaimana pengalaman masa lalu, lepasnya Timor Timur, P. Sipadan dan P. Ligitan.(18)

-Sudijono, S IP, MSi, pengamat Maritim, mantan Dan Lanal Semarang, mantan Direktur AMNI Semarang.

0 komentar: