Heritage Intelligence

Mendengar intelijen ingatan langsung tertuju kepada James Bond 007, CIA, KGB, dan Mossad. Institusi intelijen Negara yang bekerja dalam ketertutupan dan menyeramkan seperti kisah Victor Ostrovsky atau novel Body of Lies karya David Ignatius. Intelijen Benda Cagar Budaya (Heritage Intelligence) bukan merupakan pengenjawantahan dari Lembaga Intelijen Negara, melainkan pekerjaan penelitian dan pendokumentasian tentang keberadaan benda cagar budaya yang ada di Indonesia. Banyaknya peninggalan kekayaan artefak sejarah yang telah lenyap atau musnah, sehingga menciptakan kerugian besar hampir disetiap sektor baik dari Ilmu pengetahuan, sosial-budaya, ekonomi dan pertahanan keamanan Negara.
Ketidak berdayaan pembuktian kekayaan dan kerugian Negara tentang peninggalan sejarah, yang telah hilang maupun masih ada merupakan 'titik lemah' untuk dapat menjelaskan dan mempertanggung jawabkan kepada publik.
Sebagaimana contoh hancurnya bangunan di proklamasi, dimana potret nyata detik-detik bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Pertanyaan kerugian apa saja yang diciptakan dari kehancuran bangunan proklamasi tersebut? Ternyata ketika di 'bedah' anatominya sungguh membuat kepala cekot-cekot, dari sisi Ilmu pengetahuan bukti nyata keberadaan fisik bangunan sudah tidak ada. Di dalam ranah berbeda seperti contoh ketika pulau Sipadan dan Ligitan diakui oleh Mahkamah Internasional di Belanda, fisik bangunan yang terdapat dikedua pulau tersebut adalah milik Malaysia. Pada akhirnya secara de jure maupun de fakto pulau Sipadan dan Ligitan milik sah Malaysia.
Terperanjat bahwa eksistensi fisik bangunan bukan persoalan sederhana, cara pandang melihat fisik bangunan selama ini hanya dilihat dari 'kaca mata kuda' yang melulu diukur dari perspektif estetika dan ekonomis semata. Padahal sebuah bangunan diciptakan melampaui tapal batas estetika dan ekonomi, sebagaimana masyarakat Jawa membangun rumah Panggang pe Ceregancet mirip dengan jasad hidup yang tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan kehidupan penghuninya.

Database Benda Cagar Budaya

Film petualangan Indiana Jones, National Treasure, dan Da Vinci Code, membuat adrenalin penonton terpacu. Kecerdasan mengumpulkan serpihan informasi yang tercecer, sehingga teka-teki dapat terpecahkan dan disusun ulang. Sungguh sebuah inspirasi. Tersebar dan terseraknya artefak benda cagar budaya dari berbagai wujud, baik dari sisa-sisa peninggalan kerajaan Nusantara sampai peninggalan kolonial. Sampai saat ini masih dalam 'terawangan' sebagai analogi berjalan dikegelapan tanpa cahaya. Keberadaan UU.No.5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya dan UU.No.26 Tahun 2007 Tentang Tata Ruang masih dalam tahap konsepsional, belum memasuki 'ranah' operasional di dalam pelestarian benda cagar budaya. Inventarisasi pendokumentasiaan sebagai database keberadaan benda cagar budaya dari berbagai ragam bentuk, sampai saat ini masih belum dapat direalisasikan. Padahal database tersebut merupakan 'peta hidup' sebagai alat deteksi dini, perihal kelangsungan pelestarian benda cagar budaya di Indonesia. Karena bila terwujud pendokumentasian tersebut, publik dapat mengetahui dan menjaga pelestarian dari benda cagar budaya yang dilindungi oleh Negara. Fungsi database dapat memberikan suguhan informasi, berapa jumlah benda cagar budaya yang dimiliki seperti Gedung, Benteng, Rumah, Masjid, Gereja, Vihara, Pusaka dan lain sebagainya. Dengan adanya informasi keberadaan artefak sejarah ini, penghancuran dan pencurian dapat maksimal dihindari.
Pendokumentasian mempunyai peran ganda di satu sisi dapat menjadi alat kontrol, disisi lain merupakan alat sosialisasi dari Undang-Undang tentang Benda Cagar Budaya yang murah dan efektif kepada warga Negara.

Benda Cagar Budaya dan Keamanan Nasional

Perjuangan panjang Vasco da Gama (1497-1499) mencapai India melalui Tanjung Harapan telah berhasil gilang gemilang, dari keberhasilan ini maka terbuka lebar pintu masuk pelayaran bangsa Eropa ke Asia. Setelah Tanjung Harapan ditundukkan, kini giliran Melaka dikuasai Portugal (1511).
Di dalam kurun waktu 11 tahun tepatnya pada tahun 1522 ekspedisi Ferdinand Magellan dari Spanyol berhasil mencapai Maluku, selisih waktu 57 tahun (1522-1579) Francis Drake dari Inggris datang menyusul ke kewilayah 'surga rempah-rempah' Maluku. Berawal dari rempah-rempah nafsu serakah untuk menguasai dalam wajah kolonialisme tertancap di bumi Maluku, gesekan kepentingan untuk saling menguasai antara Portugal dan Spanyol di Maluku pada abad XVI tidak dapat terhindarkan. Maka keluar perjanjian Tordesillas (1494) dan menyusul perjanjian Saragossa (1527) antara Spanyol dan Portugal. Hal hasil dari perjanjian tersebut Portugal dapat menguasai Maluku.
Kilasan sejarah tersebut merupakan 'rekam jejak' kolonialisme pertama kali hadir di bumi jamrud khatulistiwa, taktik dan strategi kolonial di dalam melakukan infiltrasi sampai menuju invasi dapat ketahui. Fakta penjajahan dapat ditelusuri melalui artefak seperti Benteng Victoria (1605) yang dibangun Portugal di Maluku, berfungsi sebagai benteng pertahanan. Juga Benteng Oranje (1607) di Ternate yang dibangun oleh Cornelis Matelief de Jonge (Belanda). Benteng ini pernah dijadikan pusat pemerintahan tertinggi Hindia Belanda (Gubernur Jenderal) Pieter Both, Herald Reynst, Laurenz Reaal, dan Jan Pieterszoon Coen.
Dari Benteng pertahanan sampai rute perjalanan alur laut kolonial memasuki Nusantara, sebagaimana diketemukannya beberapa artefak kapal laut kolonial yang karam di dasar laut. Dan legitimasi Mahkamah Internasional tentang batas kedaulatan wilayah Negara Kesatuan republik Indonesia (NKRI), mengacu pada peninggalan tanah jajahan Belanda. Dengan demikian 'patok batas' secara fisik peninggalan Belanda, kedepan menjadi sesuatu yang vital di dalam pembuktian wilayah kedaulatan Negara.
Walaupun bukan konteks benda cagar budaya, tetapi masih dalam 'satu tarikan nafas' peristiwa dikuasainya Pulau Sipadan dan Ligitan oleh Malaysia, karena lemahnya bukti otentik di Mahkamah Internasional. Merupakan pertanda urgensinya fisik bangunan dalam wilayah hukum Internasional. Serta perluasan pembangunan fisik didaratan Singapura melalui 'pasir laut', hampir saja mencaplok kedaulatan Indonesia khususnya pulau Nipa dan pulau lainnya disekitar wilayah propinsi kepulauan Riau. Satu lagi peristiwa penghancuran taman didepan stasiun Beos kota, dimana wilayah itu merupakan 'ring satu' zona benda cagar budaya. Kepentingan bisnis lebih penting daripada keamanan. Pembangunan shelter busway dan terowongan untuk pedestrian mengakibatkan dampak buruk bagi bangunan tua disekitarnya. Tercatat sedikitnya empat bangunan tua yang langsung terkena dampak negative yang diakibatkan dewatering saat pembangunan terowongan tersebut, keseimbangan air tanah disekitar lokasi terganggu. Dan keempat bangunan tua mengalami penurunan pondasi, dan dampak negatif apa yang akan tercipta kedepan? Tidak ada yang dapat mengatahui dan diperlukan kajian mendalam. Sampai saat ini kejelasan tentang barang sitaan Negara dari hasil penangkapan eksplorasi kapal VOC yang karam secara illegal, berapa jumlah dan nilai harta karun tersebut dan disimpan dimana masih dalam misteri.
Saksi bisu benda cagar budaya ternyata faktual dapat 'berbunyi' dan berkata jujur tanpa ada rekayasa maupun kebohongan.

Intelijen Benda Cagar Budaya (Heritage Intelligence)

Cegah tangkal di dalam pelestarian benda cagar budaya sudah waktunya diperkuat, perhitungan secara matematis tentang kekayaan 'adi luhung' bangsa Indonesia belum dapat direalisasikan. Kemampuan IPTEK di dalam kalkulasi sumber daya alam (SDA) kekayaan laut sudah dapat dihandalkan di negri kepulauan ini, padahal dahulu sebelum teori tersebut ada masih merupakan sesuatu yang 'ghaib' diwilayah alam bawah sadar. Sosok manusia dapat terbang Gatot Kaca yang hanya ada dalam cerita pewayangan, tersentak bahwa cerita itu bukan mitos melainkan teknos dengan kemampuan di dalam rekayasa teknologi kapal terbang (Dirgantara Indonesia).
Eksistensi heritage intelligence di dalam melakukan penelitian dan pendokumentasian, serta dapat juga melakukan 'audit' benda cagar budaya, merupakan pemecah dari kebekuan dan kerapuhan mengatasi permasalahan benda cagar budaya. Generasi kedepan perlu diberikan 'menu' visualitas bukan virtualitas. Melalaui intelijen benda cagar budaya sesuatu yang absurd menjadi rasional, investigasi tapak tilas untuk dapat mengumpulkan kembali serpihan sejarah yang tercecer dan hilang. Seperti analogi menjahit pakaian yang sudah usang termakan jaman, memerlukan sentuhan ketekunan penjahit handal. Semoga.***

BAROUSAI, BARUS, ATAU FANSUR: KISAH CEMERLANG DARI BERIBU TAHUN SILAM

BAROUSAI, BARUS, ATAU FANSUR:

KISAH CEMERLANG DARI BERIBU TAHUN SILAM

Kota bandar di tepian pantai barat Sumatra yang berabad lalu menjadi sebuah perkampungan multi-etnis yang penuh guyub, sarat daya tarik bagi para pedagang di hampir seluruh penjuru bumi, juga menjadi pintu masuknya berbagai peradaban dan agama-agama besar di bumi Nusantara itu kini telah sepi.

BARUS saat ini hanya sebuah ibukota Kecamatan, di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatra Utara. Posisinya berada di pinggir pantai barat Sumatera, sekitar 60 km sebelah utara Sibolga, atau sekitar 414 km dari Medan. Tidak ada yang istimewa. Begitu juga dengan Desa Lobutua, sekitar 4 km ke arah barat dari Barus. Juga layaknya sebuah desa, sepi. Meskipun sesekali para peziarah datang silih-berganti, menapaki sejarah sebuah kota banda yang jauh di awal abad masehi pernah begitu cemerlang dan menggemparkan sekujur bumi.

Dan boleh jadi, Barus adalah satu-satunya kota yang tercatat di dalam buku yang terbit di awal masehi, sehingga menempatkannya sebagai kota tertua di bumi Nusantara. Adalah Claudius Ptolomaios[1], seorang geograf Yunani yang dalam bukunya dari abad ke dua Masehi, Geographike Hyphegesis menuliskan nama negeri Barousai di Chryse Chora (Pulau Emas) yang antara lain oleh van der Meulen disimpulkan sebagai Sumatra[2].

Tapi apa gerangan yang menjadikan kota bandar ini begitu mempesona orang Yunani, China, India, dan bahkan juga para Pharao di Mesir kuno?

Jawabnya tak lain adalah kapur barus (bhs Belanda: kamfer, dan mungkin dari kata kapur yang diucapkan kofur oleh bangsa Arab).[3] Konon, kapur barus asal kota barus inilah yang paling banyak dicari karena kualitasnya yang terbaik, paling laku dan harganya kurang lebih 8 kali lebih mahal daripada kapur-kapur barus asal tempat lain[4]. Dalam catatan pelancong Italia, Marco Polo bahkan disebutkan bahwa, harga kapur barus kala itu setara dengan harga emas dengan berat yang sama[5].

Seorang Belanda pernah menulis bahwa kemenyan dari Barus, telah dipakai sebagai salah satu bahan mengawetkan (membalsem) mayat raja-raja di Mesir sebelum Masehi[6]. Jika dugaan ini benar, maka berarti kota bandar Barus ini sudah ada sejak 5.000 tahun SM. Perkiraan akhir itu, didasarkan pada temuan bahan pengawet dari berbagai mummy Fir'aun Mesir Kuno salah satu pengawetnya menggunakan kanper atau kapur Barus. Sejarawan era kemerdekaan Moh. Yamin, bahkan memperkirakan bahwa, perdagangan rempah-rempah dan tentu saja kamfer, sudah dilakukan pedagang Nusantara sejak 6.000 tahun lalu ke berbagai penjuru dunia.

Hasil penelitian Innis Miller terhadap naskah Historia Naturalis karya Plinius di abad pertama juga sudah menunjukkan bahwa, para pedagang Nusantara pun ternyata sudah menjajakan komoditas mereka sampai ke Asia Barat dan Afrika Timur sejak abad permulaan Masehi[7]. Sementara Prof. Kern[8] pernah menulis bahwa Kota “P’o-lu-chi” yang dimaksud I Tsing di abad ke-7, tidak lain dari Barus[9]. Seorang penyair Arab sebelum Islam, Amru al-Qais (meninggal tahun 530 Masehi), sangat memuji keharuman kafur dalam syair-syairnya[10].

Begitu pentingnya kota Barus ini—mungkin bisa disamakan dengan Paris pada abad modern yang terkenal dengan inovasi parfumnya—maka sejak zaman dulu dalam dunia dagang telah dikenal nama-nama Baros, Balus, Pansur, Fansur, Pansuri[11], Kalasaputra[12], Karpura-dwipa, Barusai, Waru-saka dan lain-lain.

Dan tentu, seperti kata pepatah, ada gula ada semut. Pesona kapur barus dari selatan ini menggoda banyak pendatang. Sebagaimana dicatatan Ptolomaios, selain para penjelajah dari Yunani, juga datang pedagang dari Venesia, India, Arab dan Tiongkok. Selain itu, sekelompok penyebar ajaran Kristen Sekte Nestorian dari Konstantinopel, pusat Kerajaan Byzantium Timur, juga menjejakkan kakinya di Barus. Kelompok itu diperkirakan datang sekira tahun 600 M dan mendirikan gereja pertama di Desa Pancuran, Barus.

Dewan Gereja-gereja di Indonesia juga memercayai sejak tahun 645 Masehi di daerah Barus telah masuk umat Kristen dari sekte Nestorian. Keyakinan tersebut didasarkan pada buku kuno tulisan Shaikh Abu Salih al-Armini. Sementara itu, penjelajah dari Armenia Mabousahl mencatat bahwa pada abad ke-12 telah terdapat Gereja Nestorian.

Lalu datanglah para pedagang Arab memasuki Barus sekira 627-643 M atau sekitar tahun 1 Hijriah, dan menyebarkan agama Islam di daerah itu. Di antaranya Wahab bin Qabishah mendarat di Pulau Mursala pada 627 M. Ada juga utusan Khulafaur Rasyidin, bernama Syekh Ismail akan ke Samudera Pasai dan singgah di Barus, sekira tahun 634 M. Dan sejak itu pula, tercatat bangsa Arab (Islam) mendirikan koloni di Barus. Bangsa Arab menamakan Barus dengan sebutan Fansur atau Fansuri, misalnya oleh penulis Sulaiman pada 851 M dalam bukunya "Silsilatus Tawarikh."

Kedatangan bangsa Arab yang kemudian menyebarkan agama Islam itu juga disebutkan dalam berita-berita Cina, Hsin-Tang-shu[13] (Catatan Dinasti Tang, 618-907), dan Chu-fan-chi[14] (Catatan Negeri-negeri Asing) yang ditulis Chau Ju-kua pada tahun 1225. Di dalam dua kronik Cina itu banyak bercerita tentang Ta-shi, istilah Cina untuk menyebut Arab. (Chu-fan-chi menerangkan bahwa Ta-shi mempunyai seorang Buddha (maksudnya Nabi) yang bernama Ma-ha-mat (Muhammad). Dalam sehari mereka lima kali sembahyang, dan setiap tahun berpuasa selama sebulan penuh. Dinasti Ta-shi ada dua macam, yaitu white-robed Ta-shi (Arab berjubah putih) atau Pon-ni-mo-huan (Bani Marwan, atau Bani Umayyah), serta black-robed Ta-shi (Arab berjubah hitam) yang didirikan raja A-po-lo-pa (Abul-Abbas)[15]. Pada tahun 651 Masehi, raja Ta-shi (Arab) bernama Han-mi-mo-mi-ni mengirimkan utusan ke istana Cina[16]. Hampir dapat dipastikan bahwa nama Han-mi-mo-mi-ni dalam ucapan Cina ini adalah untuk Amir al-Mu’minin, gelar resmi para khalifah Islam, dan “raja Ta-shi” yang mengirimkan utusan itu adalah Khalifah `Utsman ibn Affan yang memerintah dari tahun 644 sampai 656. Hsin-Tang-shu mencatat bahwa pada tahun 674 terdapat pemukiman pedagang Ta-shi (Arab) di Po-lu-shih, daerah pantai barat Sumatera.[17]

Tentu, dapat dibayangkan betapa makmurnya kota Barus pada awal abad masehi ini, dengan penduduk yang sebagian besar terdiri atas kaum pedagang. Pertanyaannya kemudian, siapakah yang menggerakkan semua perdagangan hingga jauh ke negeri seberang itu?

Seorang bekas kontrolir Belanda, G.J.J. Deutz, sewaktu bertugas di Barus,[18] menulis bahwa menurut rakyat setempat di Desa Lobutua pernah didapat penduduk sebuah batu bertulis pada dua bagian. Tetapi sayang, batu itu pada tahun 1857 dipecahkan oleh Raja Barus bernama Mara Pangkat. Pada tahun 1872 Deutz banyak menemukan pecahan batu peninggalan zaman Hindu yang telah dilupakan orang, telah berlumut. Dan baru pada tahun 1932, prasasti itu diterjemahkan Profesor Nila-kanti Sastri dari Universitas Madras.[19]

Prasasti itu menyebutkan bahwa paling sedikit sejak abad ke-11, telah bermukim di kota Barus sebuah koloni bangsa Tamil. Menurut batu Lobutua itu, mereka tergabung dalam sebuah perusahaan bernama “kelompok 500″ yang tidak asing lagi bagi orang-orang India waktu itu. Perusahaan swasta yang mereka wakili, merupakan perusahaan dagang cukup kuat, merdeka dalam tindakan dan tidak gampang tunduk pada salah satu raja yang berkuasa di sekitar Barus. Mereka yang berdiam di Barus inilah yang membeli beberapa hasil dari rakyat—utamanya kapur barus—untuk diekspor ke luar negeri.

Menurut Gnillout Claude[20], Barus adalah sebuah kota kuno di pantai barat Propinsi Sumatera Utara yang terkenal di seluruh Asia, sejak lebih dari seribu tahun, berkat hasil hutannya. Selain itu, nama Barus juga muncul dalam sejarah peradaban Melayu dengan Hamzah Fansuri, penyair mistik terkenal yang baru-baru ini ditemukan kembali makamnya di Mekkah. Sementara itu, tim arkeolog dari Ecole Francaise D’extreme-Orient (EFEO) Perancis bekerjasama dengan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua-Barus, menemukan bahwa pada sekitar abad 9-12 Masehi, Barus telah menjadi sebuah perkampungan multi-etnis dari berbagai suku bangsa seperti Arab, Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu, dan sebagainya. Tim tersebut juga menemukan banyak benda-benda berkualitas tinggi yang usianya sudah ratusan dan bahkan ribuan tahun dan ini menandakan dahulu kala kehidupan di Barus itu sangatlah makmur.

Dan semua kemakmuran itu berkat aroma kapur barus yang diolah dari kayu kamfer. Hanya kini, komoditi yang begitu mempesona di masa silam itu, hingga konon juga dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5. 000 tahun sebelum Masehi itu, kini sudah lama tidak lagi diproduksi

Di komplek makam Syekh Machmud yang tertata rapi dan terletak di Bukit Papan Tinggi dan memang betul-betul tinggi sehingga harus melewati 710 anak tangga ini, menggantung sebuah tulisan, “Beri Salam dan Alas Kaki dibuka.” Seakan mengakhiri sebuah kisah perjalanan sebuah kota bandar di tepian pantai barat Sumatra yang berabad lalu menjadi sebuah perkampungan multi-etnis yang penuh guyub, sarat daya tarik bagi para pedagang di hampir seluruh penjuru bumi, juga menjadi pintu masuknya berbagai peradaban dan agama-agama besar di bumi Nusantara itu kini telah sepi.**



[1] Barus telah disebut oleh Ptolomeus kira kira tahun 150 Masehi. (Kozok, 1991, 14)

[2] W. J. van der Meulen, “Suvarnadvipa and the Chryse Chersonesos”, Indonesia, 18, October 1974, h. 1

[3] Encyclopdeia van Nederlandsch Indie

[4] Ada tiga jenis kapur barus pada saat itu yaitu: Kapur barus dari Kalimantan dan Sumatera (Dryobalanops aromatica), Kapur barus dari China dan Jepang (Cinnamomum Camphora) yang banyak beredar dipasaran dan yang ketiga adalah Blumea balsami- fera, yang diproduksi di China dengan nama kapur barus Ngai. Harga dari kapur barus asal Sumatera ini kira-kira 138 kali lebih mahal dari kapur barus China dan Jepang. (Hobson-Jobson, Glossary of Anglo-Indian Words and Phares)

[5]Travel of Marco Polo,” Buku 3 Bab 9 dan Buku 2 Bab 8 by Marco Polo dan Rustichello of Pisa

[6] Sumatra Benzoe, Disertasi P.H. Brans

[7] J. Innis Miller, The Spice Trade of the Roman Empire, Oxford University Press, London, 1969, terutama Bab “The Cinnamon Route”

[8] Verspreide Geschriften No VI, halaman 15

[9] Po-lu-chi atau Po-lu-suo terkadang sering keliru diterjemahkan dalam text China dengan Bo-si atau Persia. Barus ini juga sering disebut sebagai Bon-cu, Bian-shu atau Bin-cuo. (Roderich Ptak, Possible Chinese Reference to the Barus Area (Ming to Tang) in Claude Guillot (ed.) Histoire de Barus, Sumatera: Le Site de Lobu Tua I, Etudes et Documents, Paris, Cahier d’Archipel 30, 1998, pp. 119-138)

[10] Oliver W. Wolters, Early Indonesian Commerce, Cornell University Press, Ithaca, New York, 1967, terutama Bab 8

[11] Dari Desa Pansur sedikit di utara Barus

[12] Dari kata Kalasan, daerah penghasil kapur barus antara Kota Barus dan Sungai Chenendang

[13] Diterjemahkan oleh Paul Pelliot, “Deux Itineraires de Chine en Inde a la Fin du VIIIe Siecle”, BEFEO, 4, 1904, hal. 132-413

[14] Diterjemahkan oleh Friedrich Hirth dan W. W. Rockhill, Chau Ju-kua: His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries, entitled CHU-FAN-CHI, Imperial Academy of Sciences, St.Petersburg, 1911

[15] Lihat: F. Hirth dan W.W.Rockhill, hh. 114-124

[16] Berita ini tercantum dalam kronik Tung-tien buku 193 nomor 22b. Lihat: F.Hirth dan W.W.Rockhill, h. 119

[17] Paul Pelliot, h. 297. Lihat juga W. P. Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources, Bhratara, Jakarta, cetak ulang 1960, h. 14.

[18] Barus, G.J.J. Deutz, Tijdschr No. 22 tahun 1875

[19] A Tamil Merchant-guild in Sumatera oleh Prof. N. Sastri dalam Tijdschr No 72 tahun 1932

[20] “Lobu Tua Sejarah Barus”, Obor, 2002

Senin, 15 September 2008

Deplu dan Diplomasi Perbatasan

TEMA: PERAN STRATEGIS DEPLU DALAM MENJAGA KEUTUHAN NKRI
Oleh: Ali M. Sungkar*)

“Frontiers are the chief anxiety of nearly every Foreign Office in the civilized world”, demikian tukas Lord Curzon dalam kuliahnya yang termasyhur di Universitas Oxford pada tahun 1907, genap seratus tahun yang silam. Pernyataan mantan Wakil Kerajaan Inggris yang menyelia lima komisi perbatasan di anak benua India sebelum menjadi Menteri Luar Negeri itu mengandung kebenaran profetis. Dua Perang Dunia yang berkecamuk sesudahnya tidak lepas dari ambisi teritorial sejumlah aktor penting percaturan politik dunia pada masa itu. Konflik-konflik internasional paling serius dalam sejarah umat manusia seringkali berpangkal dari klaim wilayah yang tumpang tindih di sepanjang garis perbatasan. Penelitian empiris di kemudian hari bahkan menunjukkan bahwa dibandingkan isu lainnya, masalah perbatasan berpotensi dua kali lipat lebih besar untuk tereskalasi menjadi konflik bersenjata.

Di berbagai penjuru dunia, kontrol atas wilayah merupakan sesuatu yang diperebutkan tanpa ragu mengorbankan nyawa manusia. Kashmir, Dataran Tinggi Golan, Kepulauan Falkland/Malvinas dan Balkan, adalah beberapa saksi sejarah pertumpahan darah akibat perebutan wilayah. Peta dunia kontemporer seperti sekarang ini bukanlah sesuatu yang statis. Pecahnya Uni Soviet dan Yugoslavia menjadi ilustrasi nyata betapa garis-garis perbatasan dalam peta dunia dapat berubah cepat.

International Boundaries Research Unit (IBRU) di Universitas Durham mengidentifikasi bahwa dewasa ini masih terdapat berpuluh-puluh perbatasan darat dan laut serta klaim kedaulatan atas sejumlah pulau yang secara aktif dipersengketakan. Bahkan masih terdapat ratusan perbatasan maritim internasional yang belum disepakati oleh negara-negara yang berbatasan. Memang, banyak di antara pertentangan yang terjadi baru berlangsung di tataran diplomasi, namun tidak tertutup kemungkinan hal itu memburuk menjadi konflik yang berujung perang: war starts where diplomacy ends.

Sejarah dunia hanya mengenal tiga cara untuk mensahkan perbatasan antarnegara: negosiasi, litigasi, atau kekuatan bersenjata. Dalam studi konflik internasional, dengan mudah terlihat bahwa sengketa wilayah masih merupakan sumber pertentangan yang paling potensial.

Dengan demikian, masalah perbatasan antarnegara adalah suatu ancaman yang konstan bagi perdamaian dan keamanan internasional. Karena menyangkut kedaulatan yang seringkali sifatnya tidak dapat dinegosiasikan (non-negotiable), konflik teritorial tergolong pertentangan yang paling sulit dipecahkan.

Perbatasan internasional juga merupakan faktor penting dalam upaya identifikasi dan pelestarian kedaulatan nasional. Bahkan negara-negara bertetangga yang menikmati hubungan yang paling bersahabat pun perlu mengetahui secara persis lokasi perbatasan mereka guna menegakkan hukum dan peraturan masing-masing negara. Oleh karena itu, penetapan perbatasan antarnegara secara jelas tidak hanya dapat mengurangi resiko timbulnya konflik perbatasan di kemudian hari, tetapi juga dapat menjamin pelaksanaan hukum di masing-masing sisi perbatasan.

Peran Deplu dalam Diplomasi Perbatasan
Perbatasan identik dengan wilayah teritorial dan kedaulatan suatu negara. Bagi sebuah negara yang terdiri dari sekitar 17.500 pulau seperti Indonesia, persoalan penetapan perbatasan negara sangat tinggi relevansi dan urgensinya terhadap upaya pemeliharaan integritas wilayah. Dewasa ini, salah satu agenda utama Pemerintah Indonesia adalah memperkokoh keutuhan NKRI melalui penetapan garis batas wilayah dengan negara-negara tetangga.

Sebagai negara maritim terbesar di dunia, Indonesia mempunyai perbatasan laut dengan 10 negara, yaitu Australia, Filipina, India, Malaysia, Palau, Papua Nugini, Singapura, Thailand, Timor Leste dan Vietnam. Adapun wilayah darat Indonesia berbatasan dengan Malaysia, Papua Nugini dan Timor Leste.

Sejauh ini, penetapan batas wilayah Indonesia dengan negara tetangga belum sepenuhnya tuntas. Dari semua wilayah perbatasan Indonesia, baru perbatasan dengan Australia dan Papua Nugini saja yang sudah selesai. Dengan demikian, perbatasan Indonesia yang sangat panjang masih menyimpan banyak potensi persoalan di kemudian hari, mengingat garis perbatasan tidak dapat ditetapkan melalui klaim unilateral suatu negara, melainkan melalui perjanjian di antara negara-negara yang berbatasan langsung. Oleh karena itu, Deplu terus melakukan upaya penetapan perbatasan secara komprehensif dengan negara-negara tetangga melalui diplomasi perbatasan. Adanya penetapan garis batas wilayah secara lengkap akan dapat memperkecil kemungkinan terjadinya sengketa perbatasan. Sebaliknya, ketidakpastian batas wilayah dapat berakibat timbulnya klaim teritorial yang tumpang-tindih.

Langkah terbaru dalam diplomasi perbatasan Indonesia adalah pembukaan hubungan diplomatik dengan Palau pada awal Juli lalu. Alasan pembukaan hubungan diplomatik dengan negara kepulauan yang terletak di sebelah utara Papua ini, salah satunya - kalau bukan yang utama - adalah kenyataan bahwa Indonesia dan Palau mempunyai perbatasan maritim yang belum pernah dirundingkan.

Salah satu pencapaian terakhir dalam bidang diplomasi perbatasan Indonesia adalah ditandatanganinya perjanjian sementara yang meliputi 96% garis perbatasan darat dengan Timor Leste pada April 2005. Sebelumnya, Filipina menegaskan kembali kedaulatan Indonesia atas Pulau Miangas dalam Sidang Working Group on Maritime and Oceans Concerns di Manila awal Desember 2003.

Upaya diplomasi perbatasan untuk menentukan batas wilayah dengan negara lain tidaklah mudah, karena seringkali harus melalui negosiasi yang mensyaratkan proses yang cukup lama. Sebagai ilustrasi, perundingan Indonesia-Vietnam tentang garis batas landas kontinen sejak tahun 1978, misalnya, baru membuahkan kesepakatan pada bulan Juni 2003 setelah melalui 32 kali pertemuan. Pertukaran instrumen pengesahan yang menandai mulai diberlakukannya perjanjian tersebut berlangsung pada akhir Mei lalu.

Pada tahun 1997, Indonesia dan Malaysia sepakat untuk memasukkan kasus Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan yang sejak tahun 1969 menjadi sengketa antara kedua negara ke Mahkamah Internasional. Kedua pemerintah juga setuju untuk menerima putusan Mahkamah Internasional sebagai sesuatu yang final dan mengikat. Meskipun Indonesia telah memperjuangkan kasus ini secara maksimal, pada tanggal 17 Desember 2002 Mahkamah Internasional menetapkan bahwa kedua pulau tersebut adalah milik Malaysia.

Lantas, apakah hasil penyelesaian kasus Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan ini merupakan suatu kekalahan diplomasi perbatasan Indonesia? Keberhasilan setiap kegiatan diplomasi bergantung kepada modal diplomasi yang dimiliki. Dalam kasus ini, Malaysia mempunyai modal diplomasi yang lebih kuat karena didukung oleh fakta sejarah bahwa pemerintah kolonial Inggris -selaku negara pendahulu (predecessor state) Malaysia - lebih aktif daripada pemerintah kolonial Belanda dalam melaksanakan tindakan kedaulatan hukum terhadap kedua pulau itu. Akibatnya, setelah melalui suatu proses hukum yang berlangsung secara transparan, terhormat dan berwibawa, Mahkamah Internasional memutuskan bahwa Malaysia berhak atas kedua pulau tersebut.

Adapun persoalan sengketa Blok Ambalat yang mengemuka sejak awal tahun 2005 sesungguhnya sudah dapat diperkirakan akan terjadi, mengingat ajudikasi sengketa Sipadan-Ligitan di Mahkamah Internasional hanya membahas kedaulatan teritorial atas kedua pulau tersebut dan tidak mencakup delimitasi batas maritim di sekitarnya. Gelombang histeria nasionalisme di tanah air menyusul mencuatnya isu Ambalat menunjukkan betapa isu klaim tumpang tindih wilayah mempunyai reperkusi politik yang besar di dalam negeri dan, dengan demikian, mendapat perhatian langsung dari pimpinan nasional.

Kontribusi diplomasi perbatasan Indonesia tidak hanya berdampak dalam kerangka bilateral, tetapi juga berskala multilateral. Terbukti, setelah melalui perjuangan diplomasi sejak tahun 1958, prinsip negara kepulauan yang digagas Indonesia akhirnya mendapatkan pengakuan internasional dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) pada tahun 1982. Sebelumnya, batas laut wilayah negara kepulauan hanya 3 mil laut dari titik pulau terluar. Hal ini berakibat, misalnya, perairan antara Pulau Kalimantan dan Pulau Sulawesi termasuk perairan internasional. Namun, dengan diterimanya prinsip negara kepulauan maka laut-laut di tengah kepulauan Indonesia tidak dihitung sebagai laut internasional lagi, melainkan sebagai laut pedalaman. Dengan demikian, keberhasilan mengukuhkan kesatuan wilayah daratan dan lautan NKRI di mata dunia tidak terlepas dari kontribusi diplomasi perbatasan.

Selain delimitasi garis perbatasan dengan negara-negara tetangga, salah satu tugas diplomasi perbatasan Indonesia ke depan adalah penetapan batas terluar landas kontinen di luar 200 mil laut. Wilayah landas kontinen Indonesia yang berpotensi untuk diperluas hingga 350 mil laut dari garis pangkal adalah yang terletak di sebelah barat Pulau Sumatera. Ekstensi hak berdaulat Indonesia atas wilayah maritim yang bahkan bisa mencapai sekitar dua kali luas Pulau Sumatera tersebut perlu dilakukan, mengingat dalam hal ini the expansion of territory is the name of the game. Untuk itu, Indonesia perlu memasukkan submisi yang didukung dengan data hasil survei martim ke Commission on the Limits of the Continental Shelf sebelum tenggat waktu klaim bulan November 2009.

Kompleksitas Masalah Perbatasan
Masalah perbatasan jauh lebih kompleks daripada semata-mata penetapan (delimitasi) garis batas wilayah internasional dari sisi legal dan penandaannya (demarkasi), melainkan juga mencakup pemeliharaan perbatasan, pembangunan sosial-ekonomi, pengamanan dan pengelolaan wilayah perbatasan antarnegara.
Persoalan pemeliharaan perbatasan wilayah negara, misalnya, adalah suatu proses tanpa akhir. Sebagai contoh, garis perbatasan darat Indonesia dengan Malaysia dan Papua Nugini dapat menjadi kabur karena rusak, hilang atau bergesernya posisi patok-patok wilayah. Untuk itu, upaya pemeliharaan perbatasan oleh komisi perbatasan bersama antara Indonesia dengan masing-masing negara perlu dilakukan secara periodik.

Timpangnya tingkat sosial-ekonomi di sekitar daerah perbatasan dengan negara tetangga dapat memicu persoalan baru, antara lain berupa munculnya keinginan sebagian masyarakat untuk berpindah ke wilayah negara tetangga karena alasan kesejahteraan. Secara natural, penduduk akan cenderung menyeberang ke wilayah yang kondisi ekonominya lebih makmur. Oleh karena itu, pembangunan sosial-ekonomi kawasan perbatasan - termasuk pulau-pulau terluar - perlu mendapat perhatian ekstra.
Wilayah perbatasan juga rawan terhadap berbagai ancaman kejahatan transnasional, antara lain migrasi ilegal, penyelundupan, pencurian kekayaan alam dan terorisme. Sehubungan dengan sifat lintas negara dari ancaman tersebut, maka upaya pengamanan kawasan perbatasan melalui kerjasama dengan negara-negara tetangga perlu dikembangkan.

Belakangan ini, Pemerintah Indonesia memprioritaskan upaya pembangunan sosial-ekonomi dan pengamanan pulau-pulau terluar serta daerah perbatasan antarnegara yang merupakan “halaman depan” Indonesia. Mengingat kompleksitas masalahnya, maka pengelolaan wilayah perbatasan semacam ini perlu dilakukan secara terkoordinasi dengan melibatkan semua pihak terkait baik di pusat maupun di daerah, termasuk masyarakat setempat. Pengelolaan kawasan perbatasan secara terpadu lintas sektoral dengan disertai kegiatan diplomasi perbatasan akan memainkan peranan penting dalam membangun pagar integritas wilayah NKRI, sebagaimana diungkapkan Lord Curzon satu abad yang lampau: “Just as the protection of the home is the most vital care of the private citizen, so the integrity of her borders is the condition of existence of the State.”

*) Penulis adalah Kepala Seksi Pembiayaan Pembangunan pada Direktorat Pembangunan Ekonomi dan Lingkungan Hidup

Disclaimer: tulisan ini merupakan pembaruan dari karya penulis berjudul “Diplomasi Perbatasan Indonesia” yang pernah diikutsertakan dalam lomba karya tulis HUT RI/Deplu tahun 2004.

0 komentar: