Heritage Intelligence

Mendengar intelijen ingatan langsung tertuju kepada James Bond 007, CIA, KGB, dan Mossad. Institusi intelijen Negara yang bekerja dalam ketertutupan dan menyeramkan seperti kisah Victor Ostrovsky atau novel Body of Lies karya David Ignatius. Intelijen Benda Cagar Budaya (Heritage Intelligence) bukan merupakan pengenjawantahan dari Lembaga Intelijen Negara, melainkan pekerjaan penelitian dan pendokumentasian tentang keberadaan benda cagar budaya yang ada di Indonesia. Banyaknya peninggalan kekayaan artefak sejarah yang telah lenyap atau musnah, sehingga menciptakan kerugian besar hampir disetiap sektor baik dari Ilmu pengetahuan, sosial-budaya, ekonomi dan pertahanan keamanan Negara.
Ketidak berdayaan pembuktian kekayaan dan kerugian Negara tentang peninggalan sejarah, yang telah hilang maupun masih ada merupakan 'titik lemah' untuk dapat menjelaskan dan mempertanggung jawabkan kepada publik.
Sebagaimana contoh hancurnya bangunan di proklamasi, dimana potret nyata detik-detik bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Pertanyaan kerugian apa saja yang diciptakan dari kehancuran bangunan proklamasi tersebut? Ternyata ketika di 'bedah' anatominya sungguh membuat kepala cekot-cekot, dari sisi Ilmu pengetahuan bukti nyata keberadaan fisik bangunan sudah tidak ada. Di dalam ranah berbeda seperti contoh ketika pulau Sipadan dan Ligitan diakui oleh Mahkamah Internasional di Belanda, fisik bangunan yang terdapat dikedua pulau tersebut adalah milik Malaysia. Pada akhirnya secara de jure maupun de fakto pulau Sipadan dan Ligitan milik sah Malaysia.
Terperanjat bahwa eksistensi fisik bangunan bukan persoalan sederhana, cara pandang melihat fisik bangunan selama ini hanya dilihat dari 'kaca mata kuda' yang melulu diukur dari perspektif estetika dan ekonomis semata. Padahal sebuah bangunan diciptakan melampaui tapal batas estetika dan ekonomi, sebagaimana masyarakat Jawa membangun rumah Panggang pe Ceregancet mirip dengan jasad hidup yang tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan kehidupan penghuninya.

Database Benda Cagar Budaya

Film petualangan Indiana Jones, National Treasure, dan Da Vinci Code, membuat adrenalin penonton terpacu. Kecerdasan mengumpulkan serpihan informasi yang tercecer, sehingga teka-teki dapat terpecahkan dan disusun ulang. Sungguh sebuah inspirasi. Tersebar dan terseraknya artefak benda cagar budaya dari berbagai wujud, baik dari sisa-sisa peninggalan kerajaan Nusantara sampai peninggalan kolonial. Sampai saat ini masih dalam 'terawangan' sebagai analogi berjalan dikegelapan tanpa cahaya. Keberadaan UU.No.5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya dan UU.No.26 Tahun 2007 Tentang Tata Ruang masih dalam tahap konsepsional, belum memasuki 'ranah' operasional di dalam pelestarian benda cagar budaya. Inventarisasi pendokumentasiaan sebagai database keberadaan benda cagar budaya dari berbagai ragam bentuk, sampai saat ini masih belum dapat direalisasikan. Padahal database tersebut merupakan 'peta hidup' sebagai alat deteksi dini, perihal kelangsungan pelestarian benda cagar budaya di Indonesia. Karena bila terwujud pendokumentasian tersebut, publik dapat mengetahui dan menjaga pelestarian dari benda cagar budaya yang dilindungi oleh Negara. Fungsi database dapat memberikan suguhan informasi, berapa jumlah benda cagar budaya yang dimiliki seperti Gedung, Benteng, Rumah, Masjid, Gereja, Vihara, Pusaka dan lain sebagainya. Dengan adanya informasi keberadaan artefak sejarah ini, penghancuran dan pencurian dapat maksimal dihindari.
Pendokumentasian mempunyai peran ganda di satu sisi dapat menjadi alat kontrol, disisi lain merupakan alat sosialisasi dari Undang-Undang tentang Benda Cagar Budaya yang murah dan efektif kepada warga Negara.

Benda Cagar Budaya dan Keamanan Nasional

Perjuangan panjang Vasco da Gama (1497-1499) mencapai India melalui Tanjung Harapan telah berhasil gilang gemilang, dari keberhasilan ini maka terbuka lebar pintu masuk pelayaran bangsa Eropa ke Asia. Setelah Tanjung Harapan ditundukkan, kini giliran Melaka dikuasai Portugal (1511).
Di dalam kurun waktu 11 tahun tepatnya pada tahun 1522 ekspedisi Ferdinand Magellan dari Spanyol berhasil mencapai Maluku, selisih waktu 57 tahun (1522-1579) Francis Drake dari Inggris datang menyusul ke kewilayah 'surga rempah-rempah' Maluku. Berawal dari rempah-rempah nafsu serakah untuk menguasai dalam wajah kolonialisme tertancap di bumi Maluku, gesekan kepentingan untuk saling menguasai antara Portugal dan Spanyol di Maluku pada abad XVI tidak dapat terhindarkan. Maka keluar perjanjian Tordesillas (1494) dan menyusul perjanjian Saragossa (1527) antara Spanyol dan Portugal. Hal hasil dari perjanjian tersebut Portugal dapat menguasai Maluku.
Kilasan sejarah tersebut merupakan 'rekam jejak' kolonialisme pertama kali hadir di bumi jamrud khatulistiwa, taktik dan strategi kolonial di dalam melakukan infiltrasi sampai menuju invasi dapat ketahui. Fakta penjajahan dapat ditelusuri melalui artefak seperti Benteng Victoria (1605) yang dibangun Portugal di Maluku, berfungsi sebagai benteng pertahanan. Juga Benteng Oranje (1607) di Ternate yang dibangun oleh Cornelis Matelief de Jonge (Belanda). Benteng ini pernah dijadikan pusat pemerintahan tertinggi Hindia Belanda (Gubernur Jenderal) Pieter Both, Herald Reynst, Laurenz Reaal, dan Jan Pieterszoon Coen.
Dari Benteng pertahanan sampai rute perjalanan alur laut kolonial memasuki Nusantara, sebagaimana diketemukannya beberapa artefak kapal laut kolonial yang karam di dasar laut. Dan legitimasi Mahkamah Internasional tentang batas kedaulatan wilayah Negara Kesatuan republik Indonesia (NKRI), mengacu pada peninggalan tanah jajahan Belanda. Dengan demikian 'patok batas' secara fisik peninggalan Belanda, kedepan menjadi sesuatu yang vital di dalam pembuktian wilayah kedaulatan Negara.
Walaupun bukan konteks benda cagar budaya, tetapi masih dalam 'satu tarikan nafas' peristiwa dikuasainya Pulau Sipadan dan Ligitan oleh Malaysia, karena lemahnya bukti otentik di Mahkamah Internasional. Merupakan pertanda urgensinya fisik bangunan dalam wilayah hukum Internasional. Serta perluasan pembangunan fisik didaratan Singapura melalui 'pasir laut', hampir saja mencaplok kedaulatan Indonesia khususnya pulau Nipa dan pulau lainnya disekitar wilayah propinsi kepulauan Riau. Satu lagi peristiwa penghancuran taman didepan stasiun Beos kota, dimana wilayah itu merupakan 'ring satu' zona benda cagar budaya. Kepentingan bisnis lebih penting daripada keamanan. Pembangunan shelter busway dan terowongan untuk pedestrian mengakibatkan dampak buruk bagi bangunan tua disekitarnya. Tercatat sedikitnya empat bangunan tua yang langsung terkena dampak negative yang diakibatkan dewatering saat pembangunan terowongan tersebut, keseimbangan air tanah disekitar lokasi terganggu. Dan keempat bangunan tua mengalami penurunan pondasi, dan dampak negatif apa yang akan tercipta kedepan? Tidak ada yang dapat mengatahui dan diperlukan kajian mendalam. Sampai saat ini kejelasan tentang barang sitaan Negara dari hasil penangkapan eksplorasi kapal VOC yang karam secara illegal, berapa jumlah dan nilai harta karun tersebut dan disimpan dimana masih dalam misteri.
Saksi bisu benda cagar budaya ternyata faktual dapat 'berbunyi' dan berkata jujur tanpa ada rekayasa maupun kebohongan.

Intelijen Benda Cagar Budaya (Heritage Intelligence)

Cegah tangkal di dalam pelestarian benda cagar budaya sudah waktunya diperkuat, perhitungan secara matematis tentang kekayaan 'adi luhung' bangsa Indonesia belum dapat direalisasikan. Kemampuan IPTEK di dalam kalkulasi sumber daya alam (SDA) kekayaan laut sudah dapat dihandalkan di negri kepulauan ini, padahal dahulu sebelum teori tersebut ada masih merupakan sesuatu yang 'ghaib' diwilayah alam bawah sadar. Sosok manusia dapat terbang Gatot Kaca yang hanya ada dalam cerita pewayangan, tersentak bahwa cerita itu bukan mitos melainkan teknos dengan kemampuan di dalam rekayasa teknologi kapal terbang (Dirgantara Indonesia).
Eksistensi heritage intelligence di dalam melakukan penelitian dan pendokumentasian, serta dapat juga melakukan 'audit' benda cagar budaya, merupakan pemecah dari kebekuan dan kerapuhan mengatasi permasalahan benda cagar budaya. Generasi kedepan perlu diberikan 'menu' visualitas bukan virtualitas. Melalaui intelijen benda cagar budaya sesuatu yang absurd menjadi rasional, investigasi tapak tilas untuk dapat mengumpulkan kembali serpihan sejarah yang tercecer dan hilang. Seperti analogi menjahit pakaian yang sudah usang termakan jaman, memerlukan sentuhan ketekunan penjahit handal. Semoga.***

BAROUSAI, BARUS, ATAU FANSUR: KISAH CEMERLANG DARI BERIBU TAHUN SILAM

BAROUSAI, BARUS, ATAU FANSUR:

KISAH CEMERLANG DARI BERIBU TAHUN SILAM

Kota bandar di tepian pantai barat Sumatra yang berabad lalu menjadi sebuah perkampungan multi-etnis yang penuh guyub, sarat daya tarik bagi para pedagang di hampir seluruh penjuru bumi, juga menjadi pintu masuknya berbagai peradaban dan agama-agama besar di bumi Nusantara itu kini telah sepi.

BARUS saat ini hanya sebuah ibukota Kecamatan, di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatra Utara. Posisinya berada di pinggir pantai barat Sumatera, sekitar 60 km sebelah utara Sibolga, atau sekitar 414 km dari Medan. Tidak ada yang istimewa. Begitu juga dengan Desa Lobutua, sekitar 4 km ke arah barat dari Barus. Juga layaknya sebuah desa, sepi. Meskipun sesekali para peziarah datang silih-berganti, menapaki sejarah sebuah kota banda yang jauh di awal abad masehi pernah begitu cemerlang dan menggemparkan sekujur bumi.

Dan boleh jadi, Barus adalah satu-satunya kota yang tercatat di dalam buku yang terbit di awal masehi, sehingga menempatkannya sebagai kota tertua di bumi Nusantara. Adalah Claudius Ptolomaios[1], seorang geograf Yunani yang dalam bukunya dari abad ke dua Masehi, Geographike Hyphegesis menuliskan nama negeri Barousai di Chryse Chora (Pulau Emas) yang antara lain oleh van der Meulen disimpulkan sebagai Sumatra[2].

Tapi apa gerangan yang menjadikan kota bandar ini begitu mempesona orang Yunani, China, India, dan bahkan juga para Pharao di Mesir kuno?

Jawabnya tak lain adalah kapur barus (bhs Belanda: kamfer, dan mungkin dari kata kapur yang diucapkan kofur oleh bangsa Arab).[3] Konon, kapur barus asal kota barus inilah yang paling banyak dicari karena kualitasnya yang terbaik, paling laku dan harganya kurang lebih 8 kali lebih mahal daripada kapur-kapur barus asal tempat lain[4]. Dalam catatan pelancong Italia, Marco Polo bahkan disebutkan bahwa, harga kapur barus kala itu setara dengan harga emas dengan berat yang sama[5].

Seorang Belanda pernah menulis bahwa kemenyan dari Barus, telah dipakai sebagai salah satu bahan mengawetkan (membalsem) mayat raja-raja di Mesir sebelum Masehi[6]. Jika dugaan ini benar, maka berarti kota bandar Barus ini sudah ada sejak 5.000 tahun SM. Perkiraan akhir itu, didasarkan pada temuan bahan pengawet dari berbagai mummy Fir'aun Mesir Kuno salah satu pengawetnya menggunakan kanper atau kapur Barus. Sejarawan era kemerdekaan Moh. Yamin, bahkan memperkirakan bahwa, perdagangan rempah-rempah dan tentu saja kamfer, sudah dilakukan pedagang Nusantara sejak 6.000 tahun lalu ke berbagai penjuru dunia.

Hasil penelitian Innis Miller terhadap naskah Historia Naturalis karya Plinius di abad pertama juga sudah menunjukkan bahwa, para pedagang Nusantara pun ternyata sudah menjajakan komoditas mereka sampai ke Asia Barat dan Afrika Timur sejak abad permulaan Masehi[7]. Sementara Prof. Kern[8] pernah menulis bahwa Kota “P’o-lu-chi” yang dimaksud I Tsing di abad ke-7, tidak lain dari Barus[9]. Seorang penyair Arab sebelum Islam, Amru al-Qais (meninggal tahun 530 Masehi), sangat memuji keharuman kafur dalam syair-syairnya[10].

Begitu pentingnya kota Barus ini—mungkin bisa disamakan dengan Paris pada abad modern yang terkenal dengan inovasi parfumnya—maka sejak zaman dulu dalam dunia dagang telah dikenal nama-nama Baros, Balus, Pansur, Fansur, Pansuri[11], Kalasaputra[12], Karpura-dwipa, Barusai, Waru-saka dan lain-lain.

Dan tentu, seperti kata pepatah, ada gula ada semut. Pesona kapur barus dari selatan ini menggoda banyak pendatang. Sebagaimana dicatatan Ptolomaios, selain para penjelajah dari Yunani, juga datang pedagang dari Venesia, India, Arab dan Tiongkok. Selain itu, sekelompok penyebar ajaran Kristen Sekte Nestorian dari Konstantinopel, pusat Kerajaan Byzantium Timur, juga menjejakkan kakinya di Barus. Kelompok itu diperkirakan datang sekira tahun 600 M dan mendirikan gereja pertama di Desa Pancuran, Barus.

Dewan Gereja-gereja di Indonesia juga memercayai sejak tahun 645 Masehi di daerah Barus telah masuk umat Kristen dari sekte Nestorian. Keyakinan tersebut didasarkan pada buku kuno tulisan Shaikh Abu Salih al-Armini. Sementara itu, penjelajah dari Armenia Mabousahl mencatat bahwa pada abad ke-12 telah terdapat Gereja Nestorian.

Lalu datanglah para pedagang Arab memasuki Barus sekira 627-643 M atau sekitar tahun 1 Hijriah, dan menyebarkan agama Islam di daerah itu. Di antaranya Wahab bin Qabishah mendarat di Pulau Mursala pada 627 M. Ada juga utusan Khulafaur Rasyidin, bernama Syekh Ismail akan ke Samudera Pasai dan singgah di Barus, sekira tahun 634 M. Dan sejak itu pula, tercatat bangsa Arab (Islam) mendirikan koloni di Barus. Bangsa Arab menamakan Barus dengan sebutan Fansur atau Fansuri, misalnya oleh penulis Sulaiman pada 851 M dalam bukunya "Silsilatus Tawarikh."

Kedatangan bangsa Arab yang kemudian menyebarkan agama Islam itu juga disebutkan dalam berita-berita Cina, Hsin-Tang-shu[13] (Catatan Dinasti Tang, 618-907), dan Chu-fan-chi[14] (Catatan Negeri-negeri Asing) yang ditulis Chau Ju-kua pada tahun 1225. Di dalam dua kronik Cina itu banyak bercerita tentang Ta-shi, istilah Cina untuk menyebut Arab. (Chu-fan-chi menerangkan bahwa Ta-shi mempunyai seorang Buddha (maksudnya Nabi) yang bernama Ma-ha-mat (Muhammad). Dalam sehari mereka lima kali sembahyang, dan setiap tahun berpuasa selama sebulan penuh. Dinasti Ta-shi ada dua macam, yaitu white-robed Ta-shi (Arab berjubah putih) atau Pon-ni-mo-huan (Bani Marwan, atau Bani Umayyah), serta black-robed Ta-shi (Arab berjubah hitam) yang didirikan raja A-po-lo-pa (Abul-Abbas)[15]. Pada tahun 651 Masehi, raja Ta-shi (Arab) bernama Han-mi-mo-mi-ni mengirimkan utusan ke istana Cina[16]. Hampir dapat dipastikan bahwa nama Han-mi-mo-mi-ni dalam ucapan Cina ini adalah untuk Amir al-Mu’minin, gelar resmi para khalifah Islam, dan “raja Ta-shi” yang mengirimkan utusan itu adalah Khalifah `Utsman ibn Affan yang memerintah dari tahun 644 sampai 656. Hsin-Tang-shu mencatat bahwa pada tahun 674 terdapat pemukiman pedagang Ta-shi (Arab) di Po-lu-shih, daerah pantai barat Sumatera.[17]

Tentu, dapat dibayangkan betapa makmurnya kota Barus pada awal abad masehi ini, dengan penduduk yang sebagian besar terdiri atas kaum pedagang. Pertanyaannya kemudian, siapakah yang menggerakkan semua perdagangan hingga jauh ke negeri seberang itu?

Seorang bekas kontrolir Belanda, G.J.J. Deutz, sewaktu bertugas di Barus,[18] menulis bahwa menurut rakyat setempat di Desa Lobutua pernah didapat penduduk sebuah batu bertulis pada dua bagian. Tetapi sayang, batu itu pada tahun 1857 dipecahkan oleh Raja Barus bernama Mara Pangkat. Pada tahun 1872 Deutz banyak menemukan pecahan batu peninggalan zaman Hindu yang telah dilupakan orang, telah berlumut. Dan baru pada tahun 1932, prasasti itu diterjemahkan Profesor Nila-kanti Sastri dari Universitas Madras.[19]

Prasasti itu menyebutkan bahwa paling sedikit sejak abad ke-11, telah bermukim di kota Barus sebuah koloni bangsa Tamil. Menurut batu Lobutua itu, mereka tergabung dalam sebuah perusahaan bernama “kelompok 500″ yang tidak asing lagi bagi orang-orang India waktu itu. Perusahaan swasta yang mereka wakili, merupakan perusahaan dagang cukup kuat, merdeka dalam tindakan dan tidak gampang tunduk pada salah satu raja yang berkuasa di sekitar Barus. Mereka yang berdiam di Barus inilah yang membeli beberapa hasil dari rakyat—utamanya kapur barus—untuk diekspor ke luar negeri.

Menurut Gnillout Claude[20], Barus adalah sebuah kota kuno di pantai barat Propinsi Sumatera Utara yang terkenal di seluruh Asia, sejak lebih dari seribu tahun, berkat hasil hutannya. Selain itu, nama Barus juga muncul dalam sejarah peradaban Melayu dengan Hamzah Fansuri, penyair mistik terkenal yang baru-baru ini ditemukan kembali makamnya di Mekkah. Sementara itu, tim arkeolog dari Ecole Francaise D’extreme-Orient (EFEO) Perancis bekerjasama dengan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua-Barus, menemukan bahwa pada sekitar abad 9-12 Masehi, Barus telah menjadi sebuah perkampungan multi-etnis dari berbagai suku bangsa seperti Arab, Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu, dan sebagainya. Tim tersebut juga menemukan banyak benda-benda berkualitas tinggi yang usianya sudah ratusan dan bahkan ribuan tahun dan ini menandakan dahulu kala kehidupan di Barus itu sangatlah makmur.

Dan semua kemakmuran itu berkat aroma kapur barus yang diolah dari kayu kamfer. Hanya kini, komoditi yang begitu mempesona di masa silam itu, hingga konon juga dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5. 000 tahun sebelum Masehi itu, kini sudah lama tidak lagi diproduksi

Di komplek makam Syekh Machmud yang tertata rapi dan terletak di Bukit Papan Tinggi dan memang betul-betul tinggi sehingga harus melewati 710 anak tangga ini, menggantung sebuah tulisan, “Beri Salam dan Alas Kaki dibuka.” Seakan mengakhiri sebuah kisah perjalanan sebuah kota bandar di tepian pantai barat Sumatra yang berabad lalu menjadi sebuah perkampungan multi-etnis yang penuh guyub, sarat daya tarik bagi para pedagang di hampir seluruh penjuru bumi, juga menjadi pintu masuknya berbagai peradaban dan agama-agama besar di bumi Nusantara itu kini telah sepi.**



[1] Barus telah disebut oleh Ptolomeus kira kira tahun 150 Masehi. (Kozok, 1991, 14)

[2] W. J. van der Meulen, “Suvarnadvipa and the Chryse Chersonesos”, Indonesia, 18, October 1974, h. 1

[3] Encyclopdeia van Nederlandsch Indie

[4] Ada tiga jenis kapur barus pada saat itu yaitu: Kapur barus dari Kalimantan dan Sumatera (Dryobalanops aromatica), Kapur barus dari China dan Jepang (Cinnamomum Camphora) yang banyak beredar dipasaran dan yang ketiga adalah Blumea balsami- fera, yang diproduksi di China dengan nama kapur barus Ngai. Harga dari kapur barus asal Sumatera ini kira-kira 138 kali lebih mahal dari kapur barus China dan Jepang. (Hobson-Jobson, Glossary of Anglo-Indian Words and Phares)

[5]Travel of Marco Polo,” Buku 3 Bab 9 dan Buku 2 Bab 8 by Marco Polo dan Rustichello of Pisa

[6] Sumatra Benzoe, Disertasi P.H. Brans

[7] J. Innis Miller, The Spice Trade of the Roman Empire, Oxford University Press, London, 1969, terutama Bab “The Cinnamon Route”

[8] Verspreide Geschriften No VI, halaman 15

[9] Po-lu-chi atau Po-lu-suo terkadang sering keliru diterjemahkan dalam text China dengan Bo-si atau Persia. Barus ini juga sering disebut sebagai Bon-cu, Bian-shu atau Bin-cuo. (Roderich Ptak, Possible Chinese Reference to the Barus Area (Ming to Tang) in Claude Guillot (ed.) Histoire de Barus, Sumatera: Le Site de Lobu Tua I, Etudes et Documents, Paris, Cahier d’Archipel 30, 1998, pp. 119-138)

[10] Oliver W. Wolters, Early Indonesian Commerce, Cornell University Press, Ithaca, New York, 1967, terutama Bab 8

[11] Dari Desa Pansur sedikit di utara Barus

[12] Dari kata Kalasan, daerah penghasil kapur barus antara Kota Barus dan Sungai Chenendang

[13] Diterjemahkan oleh Paul Pelliot, “Deux Itineraires de Chine en Inde a la Fin du VIIIe Siecle”, BEFEO, 4, 1904, hal. 132-413

[14] Diterjemahkan oleh Friedrich Hirth dan W. W. Rockhill, Chau Ju-kua: His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries, entitled CHU-FAN-CHI, Imperial Academy of Sciences, St.Petersburg, 1911

[15] Lihat: F. Hirth dan W.W.Rockhill, hh. 114-124

[16] Berita ini tercantum dalam kronik Tung-tien buku 193 nomor 22b. Lihat: F.Hirth dan W.W.Rockhill, h. 119

[17] Paul Pelliot, h. 297. Lihat juga W. P. Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources, Bhratara, Jakarta, cetak ulang 1960, h. 14.

[18] Barus, G.J.J. Deutz, Tijdschr No. 22 tahun 1875

[19] A Tamil Merchant-guild in Sumatera oleh Prof. N. Sastri dalam Tijdschr No 72 tahun 1932

[20] “Lobu Tua Sejarah Barus”, Obor, 2002

Minggu, 14 September 2008

03-09-2008 (Kab. Fakfak)
Presiden Bantu Perbatasan RI-PNG Rp 98 Miliar

JAYAPURA, RABU- Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan memberikan bantuan dana sebasar Rp 98 miliar untuk membangun berbagai sarana dan fasilitas umum di daerah perbatasan antara RI (Papua) dan Papua Nugini (PNG).

Bantuan Kepala Negara menurut rencanan akan disalurkan melalui Menkokesra, dan akan diserahkan Asisten Khusus Menkokesra Mayjen TNI (Purn) Sudiyatma kepada Bupati Pegunungan Bintang Welington Wenda di Oksibil, Papua, Kamis (28/8) besok.

Welington Wenda kepada wartawan di Oksibil, Rabu (27/8), mengatakan, bantuan dana dari presiden itu akan digunakan membangun gedung SD, puskesmas, perumahan penduduk, jalan, listrik, air bersih, dan fasilitas umum lainnya yang tersebar di sejumlah distrik yang berada di perbatasann RI-PNG.

Dikatakan Wellington, pemberian dana ini merupakan realisasi janji Menkokesra ketika berkunjung ke Kabupaten Pegunungan Bintang 7 Aggustus lalu setelah melihat kondisi masyarakat di wilayah perbatasan RI-PNG.

Wellington berharap, bantuan kepala negara ini akan meningkatkan taraf hidup masyarakat di wilayah perbatasan kedua negara yang selama ini sangat memprihatinkan, sehingga membuat mereka sering melintas batas masuk ke negara tetangga itu.
(MSH/Sumber : Ant/www.kompas.com)
Kamis, 10 April 2008 12:28:43 (situs Mahkamah Konstitusi)
DARI SENAYAN: PANSUS RUU WILAYAH NEGARA AKAN STUDI BANDING KE KORSEL

JAKARTA - Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-undang (RUU) Wilayah Negara DPR berencana akan melakukan studi banding ke tiga negara untuk melihat penanganan kawasan perbatasan.

"Dua di antaranya ke Latvia dan Korea Selatan. Satu lagi kalau tidak salah di Eropa Timur," kata anggota Pansus RUU Wilayah Negara, Fanshurullah Asa di Pontianak, Kalimantan Barat, Rabu.

Pansus menargetkan draf RUU tersebut dapat diselesaikan tahun ini. Tiga provinsi di perbatasan yang menjadi fokus utama yakni Kalbar, Kaltim dan Kepulauan Riau. Isu krusial di RUU Wilayah Negara di antaranya mengenai batas wilayah negara, struktur instansi yang menangani perbatasan serta pembangunan infrastruktur.

Menurut Ifan, panggilan akrab Fanshurullah Asa, masalah batas negara menjadi penting karena jumlah patok di perbatasan yang berbeda-beda tiap instansi. Data dari Badan Persiapan Pembangunan Kawasan Khusus Perbatasan (BP2KKP) Kalbar ada sekitar 19 ribu patok di perbatasan mulai tipe A hingga D. Namun, dari instansi lain menyatakan hanya sekitar empat ribu sehingga terjadi selisih yang amat banyak.

Kemudian, tidak ada keseragaman panjang wilayah perbatasan yang dikeluarkan instansi terkait. "Selain itu, ada masalah-masalah tapal batas yang belum diselesaikan antara Indonesia dan Malaysia," kata anggota Fraksi PAN DPR itu seperti dikutip Antara.

Ia menambahkan, belum adanya payung hukum yang jelas di kawasan perbatasan membuat penanganannya terkesan tumpang tindih. Padahal, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah dua kali berkunjung ke Kalbar. "Pansus mendesak Presiden untuk menerbitkan Inpres (Instruksi Presiden) sebelum RUU Wilayah Negara disahkan supaya jelas siapa yang paling berhak menangani perbatasan," kata Ifan.

Ia kini tengah berupaya menggalang anggota DPR dan DPD yang berasal dari daerah pemilihan Kalbar untuk bersama-sama memperjuangkan adanya payung hukum dalam mengelola perbatasan.

Sementara untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat perbatasan, salah satunya dengan membangun jalan yang sejajar dengan tapal batas. (Victor AS)

Sumber www.suarakarya-online.com
Foto http://www.depdagri.go.id/konten.php?nama=BeritaNasional&op=detail_berita&id=1117
Senin, 11 April 2005 ; No. 4971
Menjaga Perbatasan dengan Nasi Rames Utangan
Oleh Wartawati SH: Emmy Kuswandari

SEBATIK-Beberapa tentara berjaga di pos perbatasan yang diresmikan Mayor
Jenderal TNI Hadi Waluyo 10 November 2002 lalu. Dari 33 personel yang
berjaga hanya ada 29 senjata jenis SS I dan empat pucuk Minimi. Peralatan
ini sudah tergolong kuno. Tidak ada lagi peralatan modern. Di samping rumah
yang dijadikan pos jaga, tenda tentara tergelar di sebelahnya. Di samping
belakang tenda, ada jembatan kecil di atas sungai yang menjadi pemisah
Indonesia-Malaysia.


Meskipun sungai tersebut menjadi penanda batas, di daratan seberang sungai
berdiri satu rumah. Dan ternyata milik orang Indonesia. "Biasalah begitu.
Berkebun di Malaysia dan berumah di Indonesia, atau sebaliknya," kata
penduduk setempat.

Semerbak tumis makanan mengurai udara yang terik siang itu. Beberapa
prajurit rupanya tengah masak untuk makan siang. Menu sederhana. Beras yang
lumayan keras untuk ditelan, dan lauk ala kadarnya. Dengan uang makan yang
tidak lebih dari Rp 15.000 per hari, prajurit-prajurit muda ini tidak
mempunyai pilihan.


"Manalah cukup Kak, uang segitu untuk makan tiga kali sehari. Apalagi di
sini semua serba mahal," ucap salah seorang prajurit yang berbincang dengan
kami siang itu. Selain uang makan, mereka hanya mendapatkan uang saku Rp
6.000 ditambah beras 0,5 kilogram per harinya. Di Sebatik sendiri, kurang
lebih 200 tentara berjaga di sana.
Bukan hanya prajurit di perbatasan yang mengalami nasib seperti ini. Awak
kapal KRI Karel Satsuit Tubun pun menceritakan hal yang sama. Mereka hanya
mendapatkan uang lauk pauk sebesar Rp 13.000 per hari. Untuk tambahan
seorang awak berjualan mie instan atau rokok pada sesama awak kapal. Tapi
lagi-lagi karena sama-sama tidak punya uang, bayarnya pun kalau sudah
gajian. "Ya sudah nasib mau bagaimana lagi," katanya getir pada dingin
malam, ketika KRI Karel Satsuit Tubun melintas di Laut Sulawesi.

Cerita sedih ini bukan hanya monopoli prajurit. Komandan Pangkalan Udara
Balikpapan Letnan Kolonel (Pnb) Imron Nasution juga menyampaikan kegundahan
yang sama. Bersama anak buahnya, mereka harus tambal sulam mencukupi
logistik pasukan yang menjaga perbatasan udara Indonesia.


"Uang makan prajurit sehari hanya Rp 15.300. Itu pun tidak turun langsung,
sehingga kami harus ngutang nasi rames di warung Padang. Kalau uang sudah
turun dari pusat, baru kami bayar," papar Imron di hadapan anggota Komisi I
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang melakukan kunjungan kerja di daerah
tersebut minggu lalu.
Jatah tersebut termasuk untuk sejumlah anggota Pasukan Khas (Paskhas) TNI AU
yang ditugaskan menjaga tiga dari empat pesawat tempur F-16 Fighting Falcon
maupun para penerbangnya yang ditempatkan di Balikpapan.

Meskipun mereka penerbang pesawat tempur yang cukup bergengsi, kalau malam
harus puas tidur di ruang pertemuan yang disulap kamar tidur velbet.

"Kalau malam mereka tidur di ruang pertemuan yang sekarang kita pakai. Meski
harus puas dengan velbet, tetapi ruangan ini ber-AC. Kalau harus tidur di
luar, kami tidak sanggup untuk menambah biaya lagi," tutur Imron.
Meskipun begitu, buru-buru Imron menambahkan, semangat mereka untuk menjaga
perbatasan tidak luntur karena minimnya kesejahteraan yang tersedia. "Mereka
siap mati demi mempertahankan setiap jengkal wilayah RI," tegasnya.
Ketika kami ke Karang Unarang, salah satu anggota Komando Pasukan Katak
(Kopaska) TNI AL Benny Dirham, mengungkapkan hal serupa. "Kami siap mati,
Bang. Tidak peduli siapa pun, kami sikat kalau masuk ke wilayah kita,"
ujarnya gagah. Namun, kondisi ini mengundang keprihatinan Komisi I DPR. "
Mati konyol kalau berjuang seperti itu. Masak untuk makan saja harus
ngutang?" kata Happy Bone Zulkarnain, Ketua Pokja Anggaran Komisi I DPR.

Serba Minim
Itu baru soal anggaran makan prajurit, belum lagi soal anggaran untuk
kesejahteraan lain bagi prajurit yang meliputi rumah komandan, mess
prajurit, personel, persenjataan, dan dukungan lainnya.

Padahal paling tidak untuk kebutuhan minimal Satlakopsud Balikpapan antara
lain diperlukan truk angkutan personel, mobil patroli pangkalan, mobil
tangki BBM, mobil tangki air untuk suplai sehari-hari, tenda peleton enam
buah, 150 set velbet dan sepuluh buah meja lapangan. Selain itu, yang juga
mendesak untuk disediakan adalah 60 pucuk senjata organik laras panjang SS-1
beserta amunisi lengkap.


"Yang kita pertanyakan bagaimana mekanisme anggaran ini sampai ke
bawah.Sangat tidak masuk akal kalau untuk kebutuhan logistik saja mereka
harus utang," tambah Happy. Melihat kondisi lapangan ini, Komisi Pertahanan
ini akan mengundang Departemen Pertahanan, Panglima TNI dan kepala staf
angkatan sesegera mungkin.
Menurut Happy, DPR telah menyetujui alokasi anggaran khusus untuk pertahanan
di wilayah-wilayah perbatasan sebesar Rp 246,99 miliar di luar anggaran TNI
secara keseluruhan, yakni Rp 21,9 triliun.

Dari Rp21,9 triliun anggaran TNI, sebanyak Rp9,10 triliun untuk TNI AU,
Rp9,75 triliun untuk pengembangan matra TNI AD dan Rp1,02 triliun untuk TNI
AL. Sedangkan untuk Markas Besar (Mabes) TNI, DPR telah menyetujui anggaran
sebanyak Rp500 miliar, dan untuk Departemen Pertahanan (Dephan) Rp4,55
triliun plus kredit ekspor.
"Dari jumlah itu, dengan semua komponen anggaraan yang tertuang dalam Satuan
3, jumlah rata-rata yang harus diterima prajurit sekitar Rp135.000 per hari.
Tapi baru saja kita lihat bersama bagaimana kenyataannya di lapangan,"
ujarnya.

Ubah Paradigma
Bukan hanya di wajah Happy saja kebingungan itu ada. Wakil Ketua Komisi I
Effendy Choirie juga menampakkan hal yang sama. Ia juga mempertanyakan
kecilnya kesejahteraan prajurit yang bertaruh nyawa di perbatasan.
"Kecilnya porsi anggaran untuk daerah-daerah perbatasan menunjukkan
paradigma berpikir orang-orang di pusat harus diubah. Persoalan pertahanan
negara tidak bisa dilihat dari fenomena masalah yang ada di Jakarta saja,
tapi dari persoalan dan kondisi nyata yang dialami prajurit-prajurit di
lapangan," kata Effendy.

Temuan dari 22 anggota Komisi I di bawah pimpinan Theo L. Sambuaga itu
melengkapi catatan yang sebelumnya sudah didapat dari Panglima Kodam VI
Tanjung Pura Mayjen TNI Heri Cahyana. Heri mengatakan sebagian besar alat
utama sistem persenjataan (alutsista) yang dimiliki Kodam ini sebagian besar
sudah tua dan banyak yang rusak. Berulangkali radar diperbaiki, tetapi tetap
rusak lagi.


Sedangkan Kepolisian Daerah Kalimantan Timur yang harusnya menjadi ujung
tombak pengamanan di wilayah tersebut, kini hanya memiliki dua kapal untuk
operasi rutin di laut. Star N panjangnya 12,5 meter yang sudah jauh
tertinggal dengan kapal Malaysia. "Kapal itu kalau ombak agak besar saja,
kita milih kembali," ujar Kapolda Kaltim Irjen Pol Budi Utomo.
Buruknya kondisi ini, menurut Happy, akan menjadi pelecut bagi Komisi I
untuk mengupayakan peningkatan anggaran bagi TNI. Total anggaran TNI untuk
tahun 2004 sudah mencapai Rp 21,978 triliun. Dibandingkan departemen lain,
anggaran TNI juga paling besar. Anggaran ini masih ditambah dengan Anggaran
Pengamanan Daerah Perbatasan sebesar Rp 246,952 miliar dan Anggaran
Pengamanan Daerah Rawan sekitar Rp 612 miliar.

"Belum bicara soal senjata, untuk makan saja masih utang. Saya malu kalau
semangat prajurit berapi-api, tetapi kesejahteraan mereka tidak
diperhatikan," kata Ketua Pokja Pertahanan Komisi I Effendy Simbolon. ***

Copyright © Sinar Harapan 2003
Latihan Gabungan TNI Fokus pada Keamanan Perbatasan
Senin, 21 April 2008 | 21:10 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Markas Besar Tentara Nasional Indonesia kembali menggelar latihan gabungan bersama. Latihan kali ini berskenariokan merebut dan menguasai kembali beberapa wilayah kedaulatan Indonesia yang diasumsikan telah diduduki musuh. Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso mengatakan, lokasi latihan gabungan difokuskan di wilayah perbatasan dan bagian utara Indonesia karena pada latihan sebelumnya tempat-tempat lain telah digunakan. ”Ancaman di wilayah perbatasan sangat riil. Pelanggaran sering terjadi, baik orang per orang atau yang bersifat kriminal,” ujar Djoko seusai pembukaan latihan gabungan TNI di Pangkalan Udara Halim Perdana Kusuma Jakarta, Senin (21/4).

Djoko mengatakan, selain ancaman, di perbatasan juga sering terjadi kejahatan transnasional, seperti pencurian kayu dan pencurian ikan. Sehingga, kata Djoko, pihaknya akan mengupayakan kerja sama keamanan dengan negara tetangga. Masalah terorisme, lanjut dia, juga masih dianggap menjadi ancaman yang mungkin sewaktu-waktu terjadi.

Latihan ini dibagi dalam dua tahap. Tahap pertama berlangsung hingga 28 April di Markas Divisi Infantri-1/Kostrad Cilodong, Jawa Barat. Latihan itu tanpa pasukan dan alat utama sistem persenjataan, hanya melibatkan komandan dan perwira staf TNI. Sedangkan tahap kedua berupa gladi lapangan yang dilaksanakan pada 1-20 Juni 2008 di Natuna dan Batam (Kepulauan Riau), Singkawang (Kalimantan Barat), dan Sangattan (Kalimantan Timur).

Latihan gabungan kali ini melibatkan sebanyak 30.571 personel. Meliputi 2.418 personel Mabes TNI; 10.388 TNI Angkatan Darat; 13.150 Angkatan Laut; dan sebanyak 4.615 personel TNI Angkatan Udara. Anggaran untuk latihan ini sebesar Rp 50 miliar. Menurut Djoko, jumlah itu masih mencukupi karena TNI memadukan dengan program-program latihan di tiap angkatan. Djoko juga memastikan seluruh alat militer yang digunakan dalam latihan gabungan ini layak digunakan. ”Seluruh peralatan telah melewati uji kelayakan,” ujarnya.

Titis Setianingtyas
KOMISI IV DPR RI DAHULUI PRESIDEN KUNJUNGI PERBATASAN JAYAPURA-PNG
Tanggal : 04 Apr 2007
Sumber : dpr.go.id

dpr.go.id,

Jayapura---DPR meminta pemerintah segera melakukan percepatan pembangunan di wilayah perbatasan, baik melalui dana APBN maupun APBD guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah perbatasan.

”Jangan sampai masyarakat di wilayah perbatasan dari negara lain lebih sejahtera dari masyarakat kita. Karena itu perlu ada penganggaran khusus untuk wilayah perbatasan,” kata Ketua Tim Kunjungan Kerja Komisi IV DPR Mindo Sianipar saat melakukan kunjungan ke wilayah perbatasan antara RI dan Papua Niugini (PNG), Selasa (3/4).

Karena itu, kata Mindo, pemerintah perlu memberi perhatian khusus terhadap wilayah perbatasan Negara. Wilayah pertabatasan harus diperkuat dalam segala hal, tidak hanya pertahanan dan keamanannya saja, juga masalah sosial, budaya, kesejahteraan, dsb.

Hal senada dikatakan anggota Tim Kunker dari daerah Pemilihan Papua Sudjud Siradjuddin, bahwa yang perlu diperhatikan adalah aspek social budaya atau adat istiadat yang sudah berlangsung lama dan turun temurun antara masyarakat lintas batas.

Menurutnya masalah sosal budaya ini perlu dimasukan dalam RUU Perbatasan yang sekarang sedang dibahas oleh DPR dan Pemerintah. ”Aspek budaya ini amat penting untuk diakomodasi dalam setiap produk perundang-undangan,” tandas polisi dari F-PAN ini.

Dikatakan Mindo, kunjungan ke Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) antara RI (desa Skouw) – PNG (desa Wutung), Distrik Muara Tami, Kota Jayapura ini tidak hanya untuk melihat lintas batas, tapi juga melihat bagaimana kondisi masyarakat Indonesia di sana.

Dari hasil pemantauan Dewan di wilayah perbatasan tersebut, kata Mindo, kita bersyukur ternyata kondisi masyarakat Indonesia relatif lebih baik dan lebih makmur daripada masyarakat di seberang (PNG). Demikian juga kondisi jalan darat sepanjangan 60 KM antara Abepura – perbatasan dan bangunannya juga bagus.

”Tapi, masih perlu penambahan percepatan pembangunan di daerah perbatasan itu, terutama pasar perlu lebih ditingkatkan lagi,” tegas politisi dari F-PDI P.

Menurutnya, peningkatan pembangunan khusus untuk daerah perbatasan ini adalah pembangunan di sektor pertanian dalam arti luas, termasuk peternakannya dan produk turunannya. Kalau itu dilakukan, tambahnya, sementra melakukan ekspor antar Negara maka pada saat yang sama akan terjadi penigkatan pendapat masyarakat yang pada akhirnya akan bermuara pada peningkatakan kesejahteraan masyarakat itu sendiri.

Mindo menambahkan, untuk lahan pertanian yang telah ditinggal oleh penduduk transmigran di wilayah perbatasan ini perlu direvitalisasi dalam bentuk konkrit untuk membantu masyarakat sekitar perbatasan.

Terhadap perbedaan nilai mata uang antar ke dua negara, dimana nilai mata uang PNG, Kina, yang lebih tinggi dari Rupiah, menurutnya, kondisi ini harus diihat sebagai kesempatan untuk mengekspor ke negara PNG berbagai potensi pertanian, pertenakan, dan kebutuhan hidup sehari-hari yang dimungkinkan dipasok dari sekitar Jayapura ke Negara PNG.

”Jadi jangan didatangkan dari P. Jawa, tapi harus didatangkan dari masyarakat Jayapura sendiri. Kita berdayakan masyarakat sekitar wilayah ini. Misalnya beras yang sangat disukai oleh masyarakat PNG,” kata Mindo.

Perbatasan Jaya Pura dengan PNG di SKOUW, desa Wutung, Distgrik Muara Tami ini rencananya akan diresmikan Prsiden SBY tanggal 1 April lalu namun gagal karena terkendala teknis. ”Belum tahu kapan Presiden akan meresmikan,” kata Kepala Bidang Pemberdayaan Potensi Wilayah Perbatasan Propinsi Papua Alexbert yang menerima kunjungan Tim Kunker Komisi IV DPR RI.

Dikatakan Alexbert, pemerintah propinsi sudah menyiapkan baik sarana fisik maupun sarana penunjang pos perbatasan untuk persiapan peresmian oleh presiden.

”Jalan sudah siap dilalui, pos penjagaan juga sudah siap, dan mekanisme pelayanan sudah diuji coba oleh Menteri Dalam Negeri dan Sekretaris Menkopolhukam beberapa waktu lalu. Pelayanan satu atap, yaitu karantina ikan dan hewan serta tumbuhan, imigrasi, beacukai, dan keamanan sudah siap dioperasikan,” ujar Alex.

Menurut Alex, permasalahan yang timbul adalah menyangkut hak-hak ulayat yang ada di perbatasan. ”Hal ini berpotensi konflik kalau tidak ditangani dengan jeli dan baik. Karena ada tanah hak ulayat warga nega PNG yang berada di wilayah RI. Demikian juga ada tanah hak ulayak warga RI yang ada di wilayah PNG, contohnya wilayah di sekitar sungai Tami itu hak ulayatnya warga PNG secara tradisional,” kata Alex.

Tapi, lanjut Alex, kedua Negara telah menyepakati itu dalam perjanjian dasar antara pemerintah RI dan Pemerintah PNG dan ditindaklanjuti dengan aturan pelaksanaan dalam special arrangement for traditional costumery border crossing antara Indoensia dan PNG tahun 1993.

”Itu aturan khusus yang mengatur tentang lintas batas, penduduk perbatasan, baik tradisional dan kebiasaan, termasuk di dalamnya mengenai tanah di atur. Tapi dalam special arramgetment itu juga kita mengacu pada hukum yang berlaku di kedua Negara,” kata Alex lagi. (et)
KONFLIK PERBATASAN, SUMBER PERMASALAHAN REGIONAL BERIKUTNYA

September 12, 2008 By: admin Category: News (LAPOD)

Oleh : Kolonel Ir. Harmen Batubara, MBA, Direktorat Wilayah Pertahanan Dephan
Pendahuluan
Sebagai Negara kepulauan dengan julukan Negara benua maritim, Indonesia mempunyai perbatasan dengan sepuluh Negara tetangga; tiga diantaranya disamping mempunyai perbatasan darat juga mempunyai perbatasan wilayah laut. Dalam sejarahnya, hanya Negara-negara yang sudah maju dan berbudaya sajalah kayaknya yang mampu melihat batas tak lebih dari sebatas wilayah administrasi saja dan sama sekali tak ada masalah dalam hal mereka berintegrasi baik untuk kepentingan bisnis maupun kepentingan sehari-hari lainnya.² Tetapi tidak demikian halnya dengan Negara berkembang, lebih-lebih bagi Indonesia sendiri serta termasuk pula dengan Negara tetangganya. Sebutlah misalnya dengan eksiden penembakan dua orang nelayan Indonesia oleh petugas patroli keamanan laut Malaysia, yang oleh Komandan TNI-AL Pangkalan I Belawan Laksamana Pertama Sadiman memastikan kejadian itu masih di perairan Indonesia (Kompas 21/9/2006) Begitu juga dengan hal serupa oleh patroli laut Papua New Guinea.
Batas laut antara Indonesia dan Malaysia di selat Malaka sampai saat ini masih terdapat beberapa bagian yang belum disepakati oleh kedua negara, dan masing-masing mempunyai persepsi yang berbeda.³) Penetapan batas laut kedua negara sesungguhnya sudah di mulai sejak tahun 1969, tepatnya tanggal 27 oktober 1969 kedua negara sepakat terhadap 25 titik koordinat, 10 titik di Selat Malaka dan 15 titik di Laut China Selatan serta telah diratifikasi dengan Peraturan Presiden RI no 89 Th 1969 pada tanggal 15 November 1969. Kemudian delapan titik lagi pada tahun 1970 dan telah diratifikasi dengan UU RI nomor 2 pada tanggal 10 Maret 1971. Artinya meskipun pada beberapa lokasi sudah disepakati akan tetapi pada area tertentu dan tentu saja areanya masih sangat luas di kedua belah pihak belum sepakat.7). Yang menjadi tanda tanya adalah, kenapa patroli keamanan laut Malaysia melakukan penembakan; hal yang sama juga di lakukan oleh patroli keamanan laut Papua New Guinea di Papua beberapa waktu yang lalu. Padahal patroli keamanan laut Indonesia boleh dikatakan tidak pernah melakukan hal serupa kepada para nelayan negara tetangganya. Para analis boleh saja melakukan perkiraan dan kalkulasi, tetapi pada kenyataannya inilah sebenarnya kondisi yang lagi “in” pada petugas keamanan kita, “sangat disiplin” dan ragu-ragu mengambil tindakan.
Mereka merasa dan trauma, sebab kalau salah prosedur maka pekerja HAM dan kalangan politisi akan “menghakimi mereka, tanpa ada yang peduli ”, melebihi perlakuan terhadap penjahat perang sekalipun. Hal lainnya yang perlu di evaluasi adalah kualitas kerjasama antar negara dengan para tetangga tersebut. Hal seperti ini, sesungguhnya tidak akan lepas dari peran kualitas kerjasama itu.

Wilayah Perbatasan Negara, Potensi dan Ancaman
Posisi geografi Wilayah Indonesia berada diantara dua benua ( Asia – Australia) dan dua samudera ( Hindia – Pasifik) serta berbatasan dengan 10 negara. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan letak pulau-pulaunya yang menyebar , berjumlah tidak kurang dari 17.499 pulau bernama dan tidak bernama serta memiliki wilayah daratan seluas ± 2 juta km2 dan wilayah perairan seluas ± 6 jt km2, panjang garis pantai ± 81 ribu; terdapat 92 pulau-pulau kecil terluar, 67 diantaranya berbatasan langsung dengan negara tetanngga; dari 67 pulau itu hanya 28 pulau yang berpenduduk sementara 39 lagi masih kosong; Dan dari sejumlah itu terdapat 12 pulau diantaranya yang paling menghawatirkan, Penduduk Indonesia berjumlah hampir mencapai 220 juta jiwa terdiri dari ratusan suku/etnis dan suku bangsa, mempunyai kedudukan yang penting serta strategis, baik dalam kerangka pembangunan wilayah regional, wilayah perbatasan maupun hubungan antar bangsa. 5)
Dilihat dari letaknya, maka wilayah NKRI mempunyai posisi strategis dan sekaligus juga rawan, dan memendam banyak kepentingan negara lain, terutama seperti Selat Malaka; sehingga dengan melihat dari letaknya saja sudah mengharuskan negara ini mampunyai kekuatan penangkal yang handal, mampu memberikan ruang bagi gejolak yang terjadi disekitarnya, mampu beradaptasi atau penyesuaian diri secara cepat, dan seterusnya memberikan rasa aman dan perlindungan bagi wilayah di regional ini 6). Ibarat sebuah “resort” dipersimpangan jalan, maka selain harus kuat, kukuh serta dilengkapi dengan fasilitas pengamanan dan personil keamanan yang mantap, juga harus ditunjang tata ruang atau penempatan berbagai fasilitas secara sinergis dan asri serta sarana prasarana serba lengkap sehingga siapapun yang datang hanya berpikiran untuk memanfaatkan fasilitas “resort” sesuai dengan tatanan yang sudah ada. Tidak tersedia ruang untuk mencoba-coba, apalagi berniat memanfaatkan fasilitas dengan niat merugikan . Kesempatan untuk itu nyaris tidak terbayangkan.
Implementasi dalam pengelolaan wilayah negara yang berada di posisi strategis dan rawan dunia tidak jauh berbeda. Batas-batas wilayahnya sudah harus jelas, gelar kekuatan dan dislokasi pasukannya sudah terprogram dan fokus sesuai dengan persepsi akan ancaman yang ada. Demikian pula dengan penataan wilayahnya sudah mencerminkan tata ruang dengan pendekatan kesejahteraan dan tatanan dengan pendekatan keamanan atau dengan kata lain RUTRN nya telah melewati suatu “ grand design” yang bertumpu pada kondisi riel dari negara, artinya apakah ia dianggap sebagai negara benua dengan tumpuan daratan atau negara kepulauan.6) Barulah kemudian dibangun sarana dan prasaran serta infrastruktur yang memungkinkan kegiatan perekonomian dan pengamanan wilayah tersebut dapat dilakukan secara sinergis.

Perbatasan Wilayah Darat.

a. Perbatasan RI – Malaysia.

ð Panjang garis batas : ± 2004 km, terdiri dari sektor barat (Kalimantan Barat - Sarawak) dan sektor timur (Kalimantan Timur - Sabah). Penegasan batas bersama dimulai sejak tahun 1975. Jumlah tugu batas ada 19.328 buah terdiri dari tipe A,B,C dan D lengkap dengan koordinatnya. Kemudinan terdapat field plan , traverse hight plan (skala 1 : 5.000 dan 1 : 2.500) masing-masing = 1.318 MLP( Model Lembar Peta). Pada tahun 2000 pekerjaan demarkasi dan delienasi dan penggambarannya telah selesai, akan tetapi masih terdapat sepuluh lokasi yang bermasalah atau kedua negara belum sepakat tentang batas negara di lokasi tersebut.

ð 10 Permasalahan Utama (The Outstanding Border problems,OSBP) Sebagaimana diketahui, pengukuran atau penegasan batas RI-Malaysia sebenarnya telah selesai pada tahun 2000, namun demikian masih terdapat sepuluh lokasi yang kedua negara tidak atau belum sepakat. Malaysia hanya mengakui sembilan permasalahan saja, sementara Indonesia menghendaki ada sepuluh. Perbedaan ini menyangkut lokasi Tanjung Datu. Secara formal ditingkat teknik kedua negara sudah menanda tangani hasil ukurannya, dan secara hukum masalahnya sudah selesai..
Tetapi belakangan pihak Indonesia menyadari bahwa apa yang telah ditanda tangani tentang Tanjung Datu itu adalah sesuatu kekeliruan dan menghendaki adanya kaji ulang di lokasi tersebut, apalagi yang menanda tangani itu baru sampai tahapan tingkat teknik, artinya masih ada kesempatan untuk melihatnya kembali. Tapi bagi pihak Malaysia sampai sejauh ini tidak mau lagi untuk melakukan kaji ulang di lokasi tersebut. Kesepuluh atau kesembilan masalah ini sesuai perencanaan awal akan dibahas setelah penegasan batas selesai, yakni setelah tahun 2000. Tapi berhubung di wilayah perbatasan tersebut masih dilakukan kerjasama pembuatan “datum” bersama, serta pemetaan bersama maka kedua belah pihak merasa perlu untuk menunggu hasilnya, sebelum kembali membahas ke sepuluh atau sembilan masalah tersebut.

b. Batas RI – PNG.

ð Panjang garis batas ± 770 km, darat 663 km, S. Fly ± 107 km, penegasan batas dimulai tahun 1966. jumlah tugu MM sebanyak 52 buah, jumlah perapatan tugu batas 1.600 tugu, peta wilayah perbatasan dengan kedar 1 : 50.000. sebanyak 25 mlp dari 27 mlp.

ðPenentuan batas berdasarkan koordinat astronomis :
1410 00’ 00” BT di utara antara MM1 – MM10,
1410 00’ 10” BT di selatan antara MM11 – MM14.

̡ Permasalahan batas antara RI РPNG, yaitu : Pada umumnya meskipun dalam perencanaan maupun kesepakatannya pengukuran perbatasan ini akan dilakukan secara bersama; tapi pada kenyataannya belum pernah dilakukan secara bersama-sama. Artinya kedua belah pihak bekerja secara sendiri-sendiri, meski hasil ahirnya tetap ditanda tangani oleh kedua negara. Kemudian di Desa Wara Smoll adalah wilayah NKRI tetapi telah dihuni, diolah dan dimanfaatkan secara ekonomis, administratif serta sosial oleh warga PNG yang sejak dahulu dilayani oleh pemerintah PNG. Namun demikian pemerintah PNG sendiri mengakui bahwa desa itu wilayah RI.

c. Batas RI - Timor Leste.

ð Panjang batas ± 268,8 km, terdiri dari sektor Timur ± 149,1 km dan sektor Barat ± 119,7 km. Telah disepakati 907 tugu dari rencana + 5.000, disepakati 5 dari 8 daerah yg semula ada permasalahan (terutama kesulitan implementasi dan masalah adat),

Permasalahan.

- Noel Besi, pihak RI menginginkan Noel Besi sebagai batas wilayah sesuai toponimi, sedangkan UNTAET menginginkan sungai Nono Noemna berdasarkan sudut kompas 320 NW ke arah P. Batek.

- Manusasi, fihak RI menginginkan garis batas dipindahkan ke arah utara S. Miomafo ditarik dari pilar yang dibuat tahun 1966, menyusuri punggung bukit.

- Dilumil/Memo, river Island seluas 58 Ha, pihak RI menginginkan batas berada di sebelah timur river Island sedangkan RDTL di sebelah barat.

Perbatasan Wilayah Laut.

Masalah Batas laut RI dengan negara tetangga menggunakan dasar hukum UNCLOS ’82; boleh jadi secara defakto wilayah itu masih masuk dan menjadi kepemilikan RI akan tetapi secara budaya dan ekonomi mereka lebih dekat dengan negara tetangga dengan permasalahannya sebagai berikut : 13)

a. RI - India. UNCLOS 1982, perjanjian garis batas landas kontinen tahun 1974 dan tahun 1977, Sesui dengan Keppres 51/74 tanggal 25 September 1974 dan Keppres 26/77 tanggal 4 April 1977. Sejauh ini belum ada masalah yang muncul.

b. RI - Thailand. UNCLOS 1982, perjanjian garis batas landas kontinen tahun 1971, persetujuan garis batas dasar laut tahun 1971, Keppres 21/72 tanggal 11 Maret 1972 dan Keppres 1/77 tanggal 11 Desember 1975.
Secara sepihak Thailand mengumumkan ZEE berdasarkan Royal Proclamation tanggal 23 Pebruari 1981 berjarak 200 NM dari baselines Thailand dan mengusulkan landas kontinen dengan ZEE berhimpit. RI berpendapat ZEE mempunyai rejim hukum yang berbeda dengan landas kontinen sesuai UNCLOS 82.

c. RI - Malaysia. UNCLOS 1982, perjanjian baris batas landas kontinen tahun 1969 (menggunakan Konvensi Geneva 58) dan penetapan garis laut wilayah diselat Malaka tahun 1970, Keppres 89/69 tanggal 15 November 1969 dan UU No. 2/71 tanggal 10 Maret 1971.
Malaysia mengklaim Blok Ambalat dilaut Sulawesi, dan tidak konsisten dengan UNCLOS 1982, meskipun ZEE belum ditetapkan. RI berpendapat Blok Ambalat yang berada di Laut Sulawesi masuk dalam wilayah NKRI.

d. RI - Singapura. UNCLOS 1982, perjanjian garis batas laut wilayah tahun 1973, UU No. 7/73 tanggal 8 Desember 1973 (Lembar Negara RI No. 3018). Perjanjian ini dilakukan sebelum UNCLOS 82.
Pasir dari Indonesia telah merubah bentuk asli geografi Singapura, sehingga wilayah Singapura kian menjorok ke perairan Indonesia. UNCLOS 82 memungkinkan negara memanfaatkan harbour work sebagai titik dasar. Sampai saat ini ekspor pasir masih berjalan terus, minimal dalam bentuk pasar gelap.

e. RI - Vietnam. UNCLOS 1982, perundingan penetapan batas landas kontinen tahun 2003. RI belum meratifikasi perjanjian tahun 2003, perairan Laut Cina Selatan mengandung minyak bumi dan gas.

f. RI - Philipina. UNCLOS 1982, penjajakan perundingan tingkat teknis (1994) dan pertemuan informal (2000), pertemuan teknis lanjutan forum Joint Commision Bordering Committee/JCBC (2001). Treaty Of Paris 1898.
Belum ada ketetapan untuk penentuan batas maritim, dimana Indonesia mengusulkan diterapkannya prinsip proporsionalitas panjang pantai, dan median line bagi kawasan yang sempit. Philipina pertimbangkan masalah perikanan sebagai faktor yang relevan untuk mencari solusi yang equitable.

g. RI - Palau . UNCLOS 82, Konstitusi Palau tahun 1979. Belum pernah melakukan perundingan karena belum ada hubungan diplomatik antar kedua negara. Dalam masalah kedaulatan AS bertanggung jawab atas pertahanan Palau dan kemungkinan Palau dibantu oleh AS dalam perundingan penetapan batas maritim.

h. RI - PNG. UNCLOS 1982, perjanjian garis batas tertentu (1973) dan persetujuan batas maritim (1982), UU No. 6/73 dan Keppres No. 21/82. Meskipun masalah penangkapan ikan di wilayah hukum tradisional tidak mempunyai masalah akan tetapi luas wilayah daerah hukum tradisional nelayan dan bentuk/sifat kegiatannya belum ditetapkan secara tuntas.

i. RI - Timor Leste. UNCLOC 82, pertemuan Bali (Desember 2004). ALKI yang melintas perairan Timor Leste, akses laut untuk Ocussi ke Timor Leste dan kemungkinan tumpang tindih batas yuridiksi ke dua negara di laut masih belum tuntas.

j. RI - Australia. UNCLOS 1982, perjanjian garis batas landas kontinen (1971), perjanjian penetapan batas dasar laut tertentu (1971), hak perikanan tradisional nelayan RI (1974), Keppres No. 42/71 dan Keppres No. 66/72. Australia ingin memberlakukan perundingan anti terorisme baru dengan memeriksa semua kapal sampai jauh dari batas yurisdiksinya.

ð Permasalahan Perbatasan di sekitar Pulau-Pulau Kecil Terluar

Dari hasil penelitian dan penghitungan terhadap 17.499 pulau-pulau yang ada, sebanyak 5698 pulau sudah diberi nama, sementara sebanyak 11.801 Pulau belum ada nama. Dari jumlah sebanyak itu terdapat 92 Pulau terluar yang dinilai sangat strategis, karena menjadi garis terdepan Nusantara, juga berbatasan langsung dengan Negara tetangga atau laut Internasional. Dari 92 Pulau tersebut terdapat 12 Pulau yang membutuhkan perhatian khusus, yakni : PulauRondo (Sabang,NAD). Pulau Sekatung (Natuna,Kepri). Pulau Nipa (Batam, Kepri). Pulau Berhala (Deli Serdang,Sumut). Pulau Marore (Sangihe,Sulut), Pulau Miangas (Kep.Talaud,Sulut), Pulau Marampit (Kep.Talaud,Sulut), Pulau Batek (Kupang,NTT), Pulau Dana ( Kupang, NTT), Pulau Fani (Raja Ampat, Papua), Pulau Fanildo (Biak Numfor, Papua) dan Pulau Brass ( Biak Numfor,Papua)
Sebagaimana diketahui, Pulau-Pulau Kecil Terluar umumnya memiliki karakteristik yang khas dan sekaligus menjadi sumber permasalahan yang membutuhkan perhatian : 10)

a. Lokasi Pulau-Pulau Kecil Terluar pada umumnya terpencil, jauh dari pusat kegiatan ekonomi. Pulau-Pulau Kecil Terluar merupakan kawasan sangat sulit dijangkau, demikian pula dengan kondisi alamnya ada yang sama sekali tidak berpenghuni dan tidak mempunyai sumber air tawar.
b. Minimnya sarana dan prasarana. Hal ini dapat dilihat mulai dari belum adanya apa-apa sama sekali, tidak ada sarana jalan, belum ada terminal, tidak punya pelabuhan laut dan sarana angkutan. Selain itu untuk yang sudah berpenghunipun, umumnya prasarana air terlebih lagi irigasi untuk menunjang kegiatan pertanian belum ada atau jauh dari memadai, demikian pula dengan jangkauan pelayanan lainnya seperti sarana listrik dan telekomunikasi.

c. Akses menuju Pulau-Pulau Kecil Terluar sangat terbatas. Pada umumnya aksesibilitas menuju pulau-pulau kecil terluar tidak ada atau sangat minim sehingga sulit mengharapkan sektor perekonomian bisa berkembang secara alami.

d. Kesejahteraan masyarakat masih sangat rendah. Kondisi masyarakat umumnya masih tergolong sangat sederhana atau dibawah garis kemiskinan. Karena kondisi wilayahnya menyebabkan mereka belum dapat memanfaatkan peluang. Malah pada umumnya mereka lebih mengandalkan negara tetangga.

e. Penduduk merasa lebih dekat dengan negara tetangga. Secara geografis Pulau-Pulau Kecil Terluar berjarak lebih dekat dengan negara tetangga, Penduduk banyak yang mencari nafkah di negara tetangga, karena lebih mudah mendapatkan pekerjaan, misalnya penduduk P. Miangas, ( Batas dgn Pilifina). P. Sebatik (Batas dgn Malaysia). begitu juga dengan sarana dan prasarananya, sehingga kegiatan ekonominya lebih dipengaruhi oleh kegiatan yang terjadi di wilayah tetangga

f. Pengrusakan lingkungan hidup cenderung meningkat. Beratnya beban ekonomi mesayarakat dan rendahnya kesadaran terhadap lingkungan serta lemahnya pengawasan menyebabkan maraknya kegiatan menjual tanah atau pasir yang ada disekitarnya ke negara tetangga (kasus pulau nipah dan sekitarnya). Mereka tidak sadar kalau perbuatan seperti itu justeru memperluas negara tetangga dan sebaliknya mempersempit wilayah negara sendiri dan sekaligus menjadi masalah dalam penegasan batas antar negara.

g. Arus informasi dari negara tetangga lebih dominan. Karena letaknya yang terisolir Pulau-Pulau Kecil Terluar sulit dijangkau oleh teknologi komunikasi dan informasi sehingga cenderung memanfaatkan informasi dari negara tetangga. Sebagian besar mereka hanya dapat mengakses TV negara tetangga dan sebaliknya tidak bisa menangkap jaringan TV nasional, kalaupun dapat tapi kualitas nya kurang baik.

h. Rendahnya kualitas SDM. Salah satu faktor yang menentukan kualitas SDM adalah tersedianya infrastruktur dasar seperti pendidikan, kesehatan dan perumahan. Tetapi karena tidak tersedia maka tingkat pendidikan umumnya masih rendah, demikian pula halnya dengan kesehatan masyarakat

Memahami Permasalahan Pengelolaan Wilayah Perbatasan

Dari wilayah perbatasan, kita mempunyai perbatasan darat dan laut; perbatasan darat dengan negara Malaysia sepanjang ± 2004 km di Pulau Kalimantan, dengan Papua New Guinea sepanjang ± 770 km di Papua, dan dengan Timor Loro Sae sepanjang ± 300 km di Nusa Tenggara; begitu juga dengan perbatasan laut, kita mempunyai perbatasan dengan India, Thailand, Vietnam, Malaysia, Singapura, Philifina, Kepulauan Palau, PNG, Australia dan Timor Loro Sae; meskipun sudah dimusyawarahkan bersama sejak tahun awal 70an, tetapi sampai sekarang belum ada satu perbatasanpun yang sudah dapat dikatakan selesai.1) Secara teknis sebenarnya penyelesaian masalah batas antar kedua negara tidak susah, tetapi yang menjadi persoalan adalah terlalu banyak institusi yang terlibat, dan tidak fokus. Pendek kata, belum ada persoalan perbatasan antar kedua negara yang kedua negara mempunyai rencana untuk menuntaskan permasalahan batasnya dalam jangka waktu tertentu. Yang ada hanyalah program yang mengalir begitu saja, dan setiap ganti pejabat ikut pula berganti kebijakan.
Penyelesaian perbatasan darat antara RI-Malaysia di Pulau Kalimantan, sudah dimulai sejak tahun 1973; pada tahun 2000 proses demarkasinya sudah selesai, tetapi kedua negara mempunyai perbedaan di sepuluh lokasi. Malaysia hanya mengakui sembilan lokasi, tetapi Indonesia bilang ada sepuluh lokasi; dan kedua negara tidak sepakat juga dalam jumlah lokasi yang bermasalah ini. Persoalannya sebenarnya bukan hanya pada sembilan atau sepuluh, tetapi kedua negara justeru tidak punya program yang jelas serta waktu yang terukur untuk menuntaskan permasalahan tersebut. Jadi sejak tahun 2001, permasalahan yang kesepuluh lokasi itu tetap saja mengambang. Masing-masing terlihat segan untuk memulai.10)
Kalau masalah batas dikaitkan dengan dinamika perubahan regional serta lokasi NKRI yang sangat terbuka dan posisinya berada pada pertemuan antara benua Asia dan Australia serta Samudra Hindia dan Samudra Pasifik, menjadi wilayah vital bagi kepentingan dan pembangunan negara lain, maka sesungguhnya masalah perbatasan ini dipercaya adalah “ the rising problems” pada masa-masa yang akan datang.4) Persoalan batas tidak saja akan mengganggu kenyamanan bertetangga tetapi justeru akan merupakan “celah masuk” bagi permasalahan kerjasama antar kedua negara.3)
Permasalahan batas bagi negara yang bertetangga semestinya harus dilihat dari kacamata kerjasama antar negara, terlebih lagi bagi Indonesia; perbatasan itu harus dilihat sebagai pengikat kerja sama dan menjadikannnya sebagai beranda depan bangsa. Dengan dasar filosofi seperti itu, maka sesungguhnya pengembangan wilayah perbatasan harus dilihat dari semangat kerja sama kedua negara; semangat semacam ini sudah mulai dikembangkan oleh Kedua Pemda yakni Pemda Kalbar dan Kaltim dengan negara tetangganya Sarawak dan Sabah. Wacana atau ide untuk membuka lahan perkebunan sawit di perbatasan kembali mengemuka. Seperti kita ketahui, pada mulanya, ide ini sempat ditentang oleh beberapa kelompok LSM, alasan utamanya adalah masalah lingkungan dan ketidak cocokan lahan.9)

Tetapi belakangan IPB dan Bappenas kembali mengkaji gagasan ini dengan Departemen teknis terkait, terutama mengkaitkannya dengan penyelarasan lingkungan alam Kalimantan yang disebut dengan ”Heart Of Borneo” serta dari ketersediaan lahan. Dari kacamata teknis, terutama mengkaitkannya dengan kemiringan lahan serta aspek lingkungan, maka wilayah perbatasan RI-Malaysia di Kalimantan tersebut, masih mampu menyediakan lahan perkebunan untuk sekitar luasan lahan setengah juta hektar. Masalah itu kini tengah disosialisaikan serta diusulkan untuk mengkaitkannya dengan program pemberdayaan potensi perkebunan tradisional masyarakat di wilayah tersebut; sebab kalau hanya fokus pada ”bussiness oriented”, maka dihawatirkan nantinya akan mendapatkan resistensi dari masyarakat.

Masalah perbatasan antar pemda dalam negeri sebenarnya menjadi persoalan yang sangat dominan serta sangat menyita dana dan waktu, terutama kalau hal itu dikaitkan dengan masalah perbatasan pemerintahan dalam negeri serta dinamika pemekaran sesuai dengan ritme otonomi daerah. Pada saat ini ada masalah batas di Padangsidempuan, Deliserdang, Kota Medan, Serdang Bedagai,ada pula antara Kota Bukittinggi dengan kabupaten induknya; ada pula masalah Bangka-Belitung ; antara Prov. Jambi dan Kep.Riau soal pulau Berhala; Kota Balikpapan dengan Kab.Penajam Pasir Utara; Kota Bontang dengan Kabupaten Kutai Kartanegara; Belum lagi yang di sulawesi sampai dengan antara Halmahera Utara dan Halmahera Barat dll. Pendek kata masalah perbatasan saat ini sungguh riuh rendah; padahal ke depan sudah ada pula 10 kabupaten/ Kota yang bakal dimekarkan. Anehnya itu, belum ada tanda-tanda akan terselesaikan.

Permasalahan batas antar Pemda menjadi persoalan yang pelik dan memerlukan perhatian khusus, sebab pada daerah-daerah tertentu masalah batas ini dijadikan isu-isu lokal yang mampu mengundang konplik antar masyarakat kedua pemda. Beberapa diantaranya masih sekedar adu argumentasi, tetapi pada daerah-daerah tertentu sudah menjadi konplik fisik dan menyebabkan pengungsian penduduk. Pada dasarnya masalah batas antar pemda, disamping memang bersumber dari UU pembentukannya, sesungguhnya tidak lebih dari persoalan pembagian harta gono gini; kalau masing-masing pemda mau menerima bagiannya secara lapang dada, maka persoalan batas selesai. Untuk masalah batas yang bersumber dari UU pembentukannya, penyelesaiaannya adalah lewat revisi atau membuat kesepakatan batas baru. Sayangnya, dan yang terjadi kemudian adalah adanya keinginan salah satu pemda yang menjadikannya sebagai issu sesuai dengan kepentingan mereka sendiri.

Kesimpulan

* Sejak awal tahun 70 an pemerintah Indonesia sudah melakukan upaya penegasan serta penetapan batas dengan sepuluh Negara tetangganya, namun sampai saat ini belum ada yang selesai. Kalau kita memperhatikan prosesnya, maka masalah penegasan antar Negara adalah masalah kerjasama bilateral; kalau keduanya sepakat maka proses pekerjaannya dapat dengan mudah di selesaikan. Dipercaya di masa-masa yang akan datang masalah batas akan menjadi sumber konplik baru, bila kedua Negara tidak mampu menyelesaikannya dengan baik.
* Penyelesaian persoalan penegasan dan penetapan batas antar Negara harus dilakukan secara terintegrasi dan kerjasama yang sungguh-sungguh; Pemerintah perlu mempunyai kebijakan untuk memprogramkan penyelesaiaan permasalahan batas ini secara tuntas; karena itu perlu di kampanyekan langkah bersama dalam penyelesaian penegasan dan penetapan batas antar Negara ; sehingga terdapat program penyelesaian masalah batas yang jelas, dukungan dana serta lama waktu yang diperlukan.

Saran.
Perlu adanya program yang jelas dari semua pihak stakeholder penegasan dan penetapan batas antar negara, serta dukungan dana yang dibutuhkan untuk penyelesaian masalah perbatasan. Penyelesaian batas, makin cepat makin baik.

Catatan Kaki

1. “Buku Putih Dephan RI Tahun 2003”, Mempertahankan Tanah Air Memasuki Abad 21.

2. Daniel J. Kaufman (US National Security, A framework for Analysis), Lexington Books, DC Heats and Company, 1985.

3. Geopolitik Global dan Regional Serta Implikasinya Bagi Australia dan Indonesia, Mayjen TNI Dadi Susanto, Lokakarya Perjanjian Keamanan Australia- Indonesia : Dari Perspektif Global dan Regional serta Relevansinya bagi Indonesia, Ruang Sudirman, Dephan 20 Juni 2006.

4. Kaji Ulang Strategis Sistem Pertahanan, Strategic Defence Review, Dirjen Strahan Dephan, Tahun 2004.

5. Menata Pulau-pulau Kecil Perbatasan, Belajar dari Kasus Sipadan, Ligitan, dan Sebatik. Mustafa Abubakar,Penerbit Buku Kompas, November 2006.

6. Naskah Akademik Penataan Ruang Kawasan Pertahanan, ( masih dalam revisi ) Dephan 2004.

7. Pengaruh penetapan RUU batas wilayah NKRI terhadap pertahanan negara, Brigjen TNI Frans B. Workala S.pd.MM.,Direktur Wilayah Pertahanan Direktorat Jenderal Strategi Pertahanan, Dephan. Makalah ini dipresentasikan sebagai bahan pada Dialog Terbatas Dalam Rangka Penyusunan RUU Tentang Batas Wilayah Kedaulatan NKRI yang diselenggarakan Depdagri di Hotel Aston Atrium Senen pada tanggal 26 Juni 2006

8. Pokok-pokok Pikiran Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Tata Ruang Wilayah Pertahanan, DoK Jakstra, Dirjen Strahan Dephan 2006

9. Platform Penanganan Permasalah an Perbatasan Antar Negara, Direktorat Wilayah Administrasi dan Perbatasan, Dirjen PUM, Departemen Dalam Negeri. 2005.

10. Manajemen Wilayah Negara, Brigjen TNI Frans B. Workala S.pd.MM.,Direktur Wilayah Pertahanan Direktorat Jenderal Strategi Pertahanan, Dephan. 2006.

11. Undang-Undang tentang Pertahanan RI Nomor 3 Tahun 2001 ( Lembaran Negara RI tahun 2001 nomor 78, TLNRI 3851).

12. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terdepan.

13. Undang-undang no.17 tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law Of the Sea tahun 1982 ( Lembaran Negara RI Tahun 1985 nomor 76, Tambahan LNRI nomor 3319.

14. Undang-undang No 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia ( LNRI tahun 2004 nomor 127, Tambahan Lembaran Negara RI nomor 4439.
Kamis, 23 Agustus 2007, 12:00:00 WIB (situs resmi presiden RI)

Pidato Kenegaraan Presiden SBY di DPD-RI:
Sejak Juni 2007 Sudah Diselenggarakan Pilkada di 304 Daerah



Presiden SBY menyampaikan Pidato Kenegaraan pada Sidang Paripurna DPD-RI, di Gedung MPR/DPR/DPD-RI, hari Kamis (23/8) pagi. (foto: cahyo/presidensby.info)
Presiden SBY menyampaikan Pidato Kenegaraan pada Sidang Paripurna DPD-RI, di Gedung MPR/DPR/DPD-RI, hari Kamis (23/8) pagi. (foto: cahyo/presidensby.info)
Jakarta: Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) 2004-2009, pemerintah telah mengubah paradigma pengembangan wilayah-wilayah perbatasan dengan menjadikan perbatasan sebagai halaman depan negara. "Wilayah perbatasan dapat menjadi pintu gerbang yang strategis untuk berhubungan dengan negara tetangga, tertutama perbatasan darat," ujar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam Pidato Keterangan Pemerintah pada Sidang Paripurna Khusus DPD RI di Ruang Rapat Paripurna I Gedung Nusantara MPR/DPR/DPD RI, Kamis (23/8) pagi.

"Kita tidak boleh membiarkan adanya disparitas yang tinggi di daerah perbatasan, terutama dari sisi kesejahteraan masyarakatnya. Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi masayarakat di wilayah perbatasan, alokasi anggaran yang diarahkan ke wilayah perbatasan terus dkitingkatkan tiap tahunnya," kata SBY.

Menggaris bawahi apa yang pernah disampaikan di Entikong, Sanggau, perbatasan darat Indonesia - Malaysia tahun 2005 lalu, SBY mengatakan, dalam membangun pulau terdepan atau daerah perbatasan harus dilakukan dua pendekatan yang terpadu. "Pendekatan yang harus dilakukan adalah pendekatan kedaulatan dan keamanan, serta pendekatan pembangunan lokal dan kesejahteraan. Pemerintah pusat memiliki tanggung jawab dan kewenangan dalam aspek kedaulatan dan keamanan. Sedangkan aspek pembangunan lokal dan kesejahteraan setempat, pemda harus lebih berperan," kata SBY.

Presiden SBY juga menegaskan bahwa dalam mewujudkan Indonesia yang adil dan demokratis, salah satu perkembangan demokrasi terpenting di Indonesia adalah diselenggarakannya Pilkada secara langsung. "Mulai 1 Juni 2005 hingga akhir Juni 2007 telah dilaksanakan proses Pilkada di 304 daerah yang terdiri dari 16 provinsi, 242 kabupaten dan 46 kota," kata Presiden. "Dengan kesadaran politik masyarakat yang makin meningkat, tingkat keberhasilan Pilkada semakin membaik," tambahnya.

Berkaitan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 23 Juli 2007 yang telah mengabulkan judicial review terhadap UU No 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, dimana calon perseorangan diperbolehkan ikut dalam Pilkada, pemerintah bersama DPR akan segera melakukan revisi terhadap Undang-undang No 32 tahun 2004, serta akan mengeluarkan peraturan pelaksanaannya."Pemerintah berpendapat hal ini perlu ditata dalam sebuah ketentuan undang-undang yang dapat merumuskan secara tepat dengan memperhatikan hak politik dan persamaan kesempatan bagi setiap orang untuk dipilih," terang SBY (osa)
Pertahanan Fungsional Efektif untuk Kawasan Perbatasan
07-08-2008


Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono mengatakan, dalam era globalisasi saat ini, penanganan kawasan perbatasan tak bisa lagi hanya mengandalkan pertahanan teritorial. Pertahanan fungsional berupa pemberdayaan ekonomi dan pendekatan sosial budaya, kata dia, akan lebih efektif bila dikembangkan di perbatasan.

''Dengan ketahanan fungsional, kedaulatan negara kita tak hanya secara hukum di atas kertas, tapi nyata dengan kegiatan ekonomi,'' kata Juwono saat membuka Seminar Perumusan Kebijakan Pengelolaan Terpadu Wilayah Perbatasan di Jakarta, Selasa (5/8). Dalam prinsip ketahanan nasional, ujar dia, pertahanan fungsional ini memiliki kedudukan setara dengan pertahanan teritorial yang diembankan kepada TNI.

Juwono mengatakan, ketika berbicara mengenai perbatasan, harus dibahas pula keberadaan manusia di kawasan tersebut. Selama ini, ujar dia, pemberdayaan manusia dengan aktivitas ekonominya di perbatasan tak digarap sekuat negara tetangga. ''Akibatnya, banyak potensi ekonomi kita yang terampas. Hal seperti inilah yang terjadi di Pulau Kalimantan.''

Peningkatan pertahanan fungsional ini, kata Juwono, harus juga menjangkau hingga pengembangan teknologi terapan yang sesuai dengan kebutuhan kegiatan ekonomi wilayah tersebut. ''Kegiatan ekonomi yang nyata di kawasan perbatasan akan menarik orang-orang Indonesia untuk beraktivitas di perbatasan.''

Satu hal lain, Juwono mengatakan, pelintas perbatasan tak selamanya harus dipandang sebagai pelanggaran hukum. Karena, kata dia, penduduk di wilayah perbatasan--dari kedua negara--pada dasarnya memiliki kultur yang sama.
''Harus dipandang sebagai keunggulan, bukan ancaman. Kultur di dua negara atau lebih ini sudah menjadi semacam heritage yang tak dapat dimungkiri. Dan, dengan pemahaman terpadu mengenai kondisi perbatasan ini, kita akan lebih percaya diri dan Indonesia akan mampu bertahan,'' kata Juwono.

Seminar perumusan kebijakan perbatasan ini digelar kedua kalinya oleh Departemen Pertahanan. Sebelumnya, seminar melibatkan seluruh stakeholder di lingkungan birokrasi. Sementara itu, seminar kemarin mengundang partisipasi dari kalangan lembaga swadaya masyarakat dan perguruan tinggi.Dirjen Rencana Pertahanan, Laksamana Muda Gunadi, konsep hasil dua seminar itu nantinya akan diserahkan kepada Kementerian Politik Hukum dan Keamanan untuk dibawa ke pertemuan interdepartemen. ''Konsep itu jadi penanganan kawasan perbatasan, selain melibatkan unsur TNI-Polri, juga mencakup pemerintahan daerah dan keimigrasian.'' ann

JAKARTA Republika, 2008-08-06 11:31:00
dephan alokasikan Rp 800 miliar untuk pengamanan perbatasan RI

Jakarta, NTT Online - Departemen Pertahanan pada tahun 2006 mengalokasikan dana sebesar Rp800 miliar untuk pengamanan sejumlah wilayah perbatasan RI terutama di wilayah terluar.

“Dana tersebut diambil dari APBN,” kata Dirjen Perencanaan Pertahanan atau Renhan Departemen Pertahanan Laksamana Muda Yuwendi, ketika ditemui Antara di ruang kerjanya di Jakarta, hari ini (Jumat 27/1).

Yuwendi mengatakan dana sebesar itu akan dipergunakan untuk kegiatan operasi dan dukungan bagi operasi pengamanan di wilayah-wilayah perbatasan RI.

“Bekal operasi misalnya, logistik bagi prajurit yang bertugas. Sedangkan dana dukungan operasi seperti untuk bahan bakar, olie, suku cadang, dan sebagainya,” katanya.

Ia mengatakan prioritas pengamanan wilayah-wilayah RI di perbatasan terutama difokuskan pada pulau-pulau terluar yang sebagian besar belum ada namanya.

Pengamanan terhadap pulau-pulau terluar tersebut, tambah Yuwendi, harus dilakukan secara terpadu tidak saja oleh Dephan tetapi oleh instansi-instansi lainnya seperti departemen hukum dan HAM, departemen pertanian, departemen kehutanan, dan departemen kelautan dan perikanan.

“Untuk itu kita terus mengadakan rapat secara rutin untuk mengkoordinasikan pengamanan secara terpadu. Setelah itu akan dirapatkan juga di Kementerian Koordinator Perekonomian untuk masalah pendanaannya,” ujarnya.

Sementara itu Menteri Pertahanan, Yuwono Sudarsono mengatakan perlu ada pendudukan yang efektif di pulau-pulau terluar seperti kegiatan ekonomi sehingga pulau-pulau tersebut tetap dapat diperhatikan dan tidak mudah untuk diklaim oleh negara lain.

“Kita tidak mungkin menempatkan prajurit dan kapal-kapal patroli di seluruh wilayah Indonesia terutama di pulau-pulau terdepan karena keterbatasan personil atau prajurit dan logistik,” katanya.

Untuk itu, tambah Menhan, perlu ada upaya terpadu oleh semua instansi terkait dalam pengamanan wilayah-wilayah RI di perbatasan. Antara
September 11,2008
Warga Indonesia Pembeli Terbesar Kedua Perumahan di Singapura

Singapura, (tvOne)

Warga Indonesia tergeser warga Malaysia yang menduduki sebagai pembeli asing terbesar perumahan pribadi di Singapura selama kuartal kedua, demikian laporan konsultan properti mengungkapkannya di Singapura, Kamis.

Menurut konsultan DTZ, warga Malaysia tercatat sebanyak 19 persen dari total pembeli asing yang membeli rumah pribadi di Singapura sebanyak 913 unit, naik tiga persen dari kuartal sebelumnya.

Warga Indonesia menduduki tempat kedua pembeli terbesar perumahan di Singapura dengan tercatat 17 persen. Warga China dan India, masing-masing tercatat 11 persen, yang diikuti warga Ingrris Raya tercatat sembilan persen.

Menurut Direktur Senior DTZ Chua Chor Hoon, warga Indonesia merupakan pembeli yang menyukai perumahan yang berlokasi di distrik utama Singapura.

Wilayah yang menawarkan pemandangan laut, akses yang mudah ke bandar udara dan kota menjadi pilihan favorit bagi para pembeli yang berasal dari lima kewarganegaraan tersebut.
September 11,2008
TNI Tambah 11 Pos di Perbatasan RI-Malaysia


Pontianak, (tvOne)

TNI akan segera menuntaskan pembangunan 11 pos pengamanan di perbatasan RI-Malaysia di Kalimantan Barat (Kalbar) dan Kalimantan Timur (Kaltim), guna memaksimalkan pengamanan di wilayah perbatasan sepanjang 2.004 kilometer tersebut.

Panglima TNI Jenderal TNI Djoko Santoso di Pontianak, Kamis mengatakan, saat ini jumah pos di perbatasan wilayah RI-Malaysia masih sangat terbatas dibanding luas wilayah yang harus diamankan.

Karena itu , tambah dia, TNI akan segera menyelesaikan 11 pos pengamanan baru sekaligus memperbaiki berbagai sarana prasarana dan pos pengamanan yang lama.

Sementara itu, Panglima Kodam VI/Tanjungpura Mayjen TNI Tono Suratman ketika ditemui ANTARA secara terpisah mengatakan, penyelesaian 11 pos pengamanan baru tersebut merupakan bagian dari pembangunan 32 pos pengamanan baru di perbatasan RI-Malaysia yang dilakukan bertahap.

"Penentuan titik mana saja yang memerlukan tambahan pos pengamanan di sepanjang wilayah perbatasan RI-Malaysia, didasarkan pada situasi, kondisi di lapangan serta aspirasi masyarakat sekitar," tuturnya.

Saat ini di perbatasan RI-Malaysia hanya dijaga oleh 30 pos yang terdapat di Kalbar dan Kaltim, yang empat di antaranya merupakan pos gabungan Indonesia-Malaysia.

Di Kaltim yang berbatasan dengan wilayah darat Serawak dan Sabah, Malaysia dengan panjang 1.038 kilometer, hanya terdapat 15 pos penjagaan, yang dua di antaranya pos gabungan.

Sementara itu, Gubernur Kalbar Cornelis mengungkapkan, Provinsi Kalbar terdiri atas 12 kabupaten dan dua kota. Dari 12 kabupaten, ada lima kabupaten yang berbatasan langsung dengan Malaysia, yaitu Kabupaten Sanggau, Sambas, Bengkayang, Sintang, dan Kabupaten Kapuas Hulu.

Kondisi geografis tersebut tentu ada nilai positifnya, yaitu banyak wisatawan datang dari negara tetangga itu karena akses masuk mudah. Sedang sisi negatifnya, sangat rentan terjadi praktik ilegal, seperti pembalakan liar, perdagangan manusia, penyelundupan bahan peledak, infiltrasi, sabotase, serta kegiatan intelijen asing . "Bahkan dari data yang kita punya ada sebanyak 50 jalan setapak yang dapat dijadikan akses lalu lintas orang, sehingga sangat sulit untuk dipantau," ujarnya.

Hingga Agustus 2008 tercatat 1.294 Tenaga Kerja Indonesia bermasalah dan lebih dari 70 persen adalah TKI dari luar Provinsi Kalbar. "Tentunya kejadian tersebut sangat menyita dan merepotkan kami," kata Cornelis.
Ambalat dan Urgensi Pengelolaan Pulau


Oleh: Alex SW Retraubun


BEBERAPA hari ini, wilayah perairan di Kalimantan Timur (Blok Ambalat) menjadi perdebatan kita dengan Malaysia. Kedua negara yakin, wilayah itu masuk wilayah yurisdiksi masing-masing negara.

Klaim ini terjadi karena kedua pihak belum duduk bersama untuk menyelesaikan aneka perbedaan di antara mereka. Yang menarik, wilayah ini berdekatan dengan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan yang telah menjadi milik Malaysia berdasarkan keputusan Mahkamah Internasional tanggal 17 Desember 2002.

Pasca-Sipadan dan Ligitan, paling tidak ada beberapa kasus perbatasan lain sebelum Ambalat yang mencuat di media, seperti Pulau Batek di depan Oekusi (Timor Leste) yang dicuatkan Timor Leste seakan-akan itu milik mereka saat TNI AL melakukan latihan di pulau itu.

Berikutnya masalah aksesibilitas nelayan Rote dan nelayan Indonesia lainnya di wilayah MOU Box yang telah menjadi milik Australia, tetapi diprotes masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) karena mereka merasa telah berabad-abad mengeksploitasi sumber daya perikanan di kawasan itu. Pulau Miangas di Sulawesi Utara, yang juga telah diyakini milik Indonesia, mencuat di media massa karena "bersengketa" dengan Filipina.

Kita juga mengkhawatirkan reklamasi daratan Singapura yang luas alaminya 580 kilometer (km) persegi ingin diproyeksikan menjadi 770 km persegi. Reklamasi sendiri menggunakan pasir laut yang diambil dari kawasan Kepulauan Riau. Hal ini bila tidak disikapi secara kritis bisa menimbulkan masalah. Ditambah lagi isu illegal fishing, illegal logging, penyelundupan, serta illegal immigrant yang semuanya tumbuh subur di perbatasan karena sifat keterisolasian kawasan ini.

Dari kasus-kasus itu, ada dua hal yang yang harus dituntaskan oleh Indonesia. Pertama, pengembangan wilayah perbatasan berbasis pulau kecil. Pulau-pulau kecil di wilayah perbatasan, yang dihuni penduduk kita, harus diperhatikan kesejahteraannya, teristimewa pulau-pulau terluar. Sebagai contoh Pulau Wetar di Maluku Tenggara Barat di mana saat Timor Leste masih menyatu dengan Indonesia pasokan kayu untuk pembangunan di sana berasal dari pulau ini, tetapi masyarakatnya amat miskin. Bahkan, sejak merdeka baru ada satu kali kunjungan muspida Provinsi Maluku ke pulau ini pada bulan lalu. Contoh lain, Pulau Miangas di Kabupaten Talaud, Sulawesi Utara, seluas 3,15 kilometer persegi dan dihuni sekitar 600 jiwa dan berprofesi nelayan dan petani kelapa. Pemasaran komoditas di sana bukannya ke Sulawesi Utara, tetapi ke Davao (Filipina).

Kedua, masalah kepastian garis batas (delimitasi dan demarkasi). Masalah ini membutuhkan dukungan, seperti survei dan pemetaan wilayah perbatasan, penamaan (toponim) pulau yang pada akhirnya membantu Departemen Luar Negeri (Deplu) melakukan tugasnya dalam kaitan dengan border diplomacy sampai upaya pengakuan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terhadap apa yang sudah disetujui Indonesia dengan negara- negara tetangga.

BELAJAR dari kasus-kasus perbatasan ini, sebetulnya akar permasalahannya adalah kepentingan terhadap sumber daya alam, baik hayati maupun nonhayati, yang terbentang di wilayah itu. Karena di laut, penanganannya pun menjadi lebih sulit dan mahal ketimbang di darat. Di darat kita hanya berhubungan dengan tiga negara, yaitu Papua Niugini (PNG), Malaysia, dan Timor Leste. Sementara di laut, kita "bersentuhan" dengan 10 negara, yaitu India, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Australia, Timor Leste, Palau, PNG, dan Thailand.

Untuk menangani batas laut, upaya harus diarahkan pada peningkatan pemberdayaan 92 pulau kecil terluar (sebelumnya Sipadan dan Ligitan termasuk). Mengapa? Pada ke-92 pulau ini, negara meletakkan titik dasar (TD) yang dilegalkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografi Titik-titik Pangkal Kepulauan Indonesia (PP ini harus diubah karena masih ada Sipadan dan Ligitan. Kedua pulau itu bukan lagi milik kita).

Hal ini berarti, pulau-pulau tersebut menjadi penentu kepastian tiga jenis batas di laut, yaitu batas teritorial laut (berhubungan dengan kepastian garis batas di laut); batas landas kontinen (berhubungan dengan sumber daya alam nonhayati di dasar laut); dan batas Zona Ekonomi Eksklusif (berhubungan dengan sumber daya perikanan). Jika salah satu dari pulau itu mengalami nasib seperti Sipadan dan Ligitan, otomatis kita akan kehilangan sebagian dari wilayah kita meski kecil dibanding total luas wilayah. Pulau-pulau ini amat strategis bagi bangsa dan rawan konflik karena mereka sebagai penentu volume wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) serta wilayah yang potensial diduduki (dispute) karena bersinggungan dengan wilayah internasional.

Pulau-pulau ini tersebar di 18 provinsi dan 34 kabupaten, meliputi Kepulauan Riau (20 pulau), Maluku (18 pulau), Sulawesi Utara (11 pulau), Papua (9 pulau), Nanggroe Aceh Darussalam (6 pulau), NTT (5 pulau), Sumatera Utara dan Kalimantan Timur (4 pulau), Sulawesi Tengah, Sumatera Utara, dan Jawa Timur (3 pulau), Bengkulu dan Sumatera Barat (2 pulau), Nusa Tenggara Barat, Maluku Utara, Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, dan Lampung (masing-masing satu pulau). Luas pulau-pulau ini berkisar 0,02-200 kilometer bujur sangkar dan hanya 50 persennya yang dihuni.

Salah satu upaya yang telah dilakukan untuk menangani isu-isu perbatasan di laut ini dengan mengusulkan penerbitan Keputusan Presiden (Keppres) tentang pengelolaan ke-92 pulau kecil terluar itu. Rancangan Keppres ini diinisiasi Departemen Kelautan dan Perikanan sejak Pemerintahan Megawati, saat kasus Sipadan dan Ligitan menghangat, tetapi sampai pemerintahan sekarang pun belum diterbitkan. Keppres ini merupakan landasan sekaligus aksi nasional pengembangan pulau kecil terluar.

PEMERINTAH pusat seharusnya memiliki tanggung jawab dan inisiatif lebih tinggi terhadap penanganan isu perbatasan internasional ini ketimbang daerah. Daerah tidak melihat isu ini sebagai prioritas mereka. Dana APBD cenderung difokuskan pada sektor-sektor vital dan amat dibutuhkan masyarakat. Hal ini dapat dimaklumi, sebab perhatian dan orientasi pemerintah daerah dalam merencanakan pembangunan cenderung menekankan aspek ekonomis dibanding politis, terutama politik luar negeri.

Harus disadari, masalah pulau kecil terluar memiliki spektrum luas. Ia tak sebatas aspek ekonomis, tetapi terpenting aspek politis yang terkait batas wilayah dan keutuhan NKRI. Artinya, penanganannya harus lintas departemen. Hal inilah yang menjadi urgensi perlunya kehadiran keppres itu. Tujuannya untuk mengikat komitmen pemerintah dalam membangun kawasan melalui perencanaan, pengendalian, dan pemanfaatan secara terpadu. Keppres belum diterbitkan sementara kasus Ambalat sudah muncul. Rasanya kelemahan kita diketahui lawan sehingga upaya coba-coba dari tetangga terus dilakukan. Marilah melakukan gerakan nasional untuk menghentikan kecenderungan ini.

Alex SW Retraubun Direktur Pemberdayaan Pulau-Pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan; Alumnus Newcastle University UK Bidang "Coastal Management"

URL Source: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0503/08/opini/1604534.htm
Pengamanan Perbatasan
Selasa, 22-04-2008 | 01:02:01

Senin, 21 April 2008 (Banjarmasin Post Online)
KENAIKAN harga beras di pasar internasional ternyata bisa menguntungkan, tetapi juga berdampak buruk. Negara-negara penghasil beras berlomba-lomba mengekspor beras. Sayang, Indonesia yang sudah mulai berswasembada pangan alias mengalami surplus beras, belum dapat menikmati kenaikan harga itu.

Menteri Perdagangan, Mari Pangestu, mengatakan di Jakarta, Selasa (15/4), keputusan ekspor beras hanya terjadi jika situasi di dalam negeri memenuhi dua syarat utama. Pertama, stok beras dalam negeri berlebih. Kedua, harga beras anjlok. Sebelum ekspor beras, paling tidak cadangan dalam negeri di Bulog harus di atas 3 juta ton. Bahkan Menteri Pertanian, Anton Apriyantono, dengan tegas melarang ekspor beras.

Tujuannya, untuk menstabilkan harga komoditas tersebut di tingkat petani. Pemerintah tetap berupaya memaksimalkan produksi nasional untuk kebutuhan pangan dalam negeri. Bila perekonomian petani sudah stabil, keran ekspor mungkin dibuka kembali, walaupun dalam jumlah yang tidak banyak.

Penegasan pemerintah itu sangat beralasan. Di tengah keadaan iklim yang tak menentu, bencana alam yang datang silih berganti, stok beras nasional harus benarbenar terjamin. Berdasarkan pengalaman masa lalu, pergerakan harga beras sangat dinamis. Kenyataan tentang beras langka di daerah tertentu pun bukan hal yang mustahil.

Memang, beberapa daerah memperlihatkan kecenderungan produksi pangan meningkat. Provinsi Jawa Tengah, misalnya, tahun 2008 diperkirakan bakal surplus 2 juta ton beras. Daerah itu mampu surplus karena peningkatan produksi, intensifikasi, dan penurunan konsumsi. Peningkatan produksi juga bisa terjadi di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, atau Nusa Tenggara Barat.

Yang menjadi persoalan, petani daerah surplus tentu ingin pula menikmati harga yang menggiurkan lewat perbedaan yang besar antara harga beras di dalam negeri dan di luar negeri. Dengan kata lain, upaya mengirimkan beras keluar negeri, walaupun terdapat larangan ekspor beras, bukan tidak mungkin terjadi.

Apalagi, pengamanan di wilayah perbatasan terkesan longgar. Indonesia memiliki perbatasan darat dengan negara tetangga, yakni Malaysia, Singapura, dan Timor Leste. Perbatasan laut mencakup negara-negara India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, Papua Nugini, Timor Leste, dan Australia.

Keterbatasan pengamanan wilayah perbatasan memunculkan berbagai kegiatan ilegal seperti pembalakan liar, pencurian ikan, dan penyelundupan. Dalam mengamankan wilayah perbatasan, TNI menghadapi kendala seperti terbatasnya pos pengamanan, alat komunikasi, transportasi yang tidak sebanding dengan luas serta panjang wilayah.

Dalam kaitan dengan kemungkinan pengiriman beras secara ilegal ke luar negeri, sudah seharusnya pemerintah meningkatkan pengamanan di wilayah perbatasan tersebut. Selain untuk mengantisipasi pengiriman beras ke luar negeri, pengawasan ketat memungkinkan praktik ilegal yang lain terdeteksi pula. Yang jelas, larangan ekspor tak akan efektif bila terjadi penyelundupan beras.
Peresmian Border Sign Post Indonesia-Timor Leste
December 07, 2006

Kepala Bakosurtanal Rudolf W. Matindas bersama Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur Frans S. Leburaya, meresmikan Border Sign Post (BSP) antara Republik Indonesia dan Republik Democratic Timor Leste, di Desa Tulakadi, Atambua Kabupaten Belu pada tanggal 29 Nopember 2006. Tanda petunjuk batas (BSP) berwujud sebuah papan pengumuman bagi pelintas batas dan aparat pengamanan batas. Tanda ini merupakan peringatan bagi mereka bahwa di dekat lokasi itu terdapat titik atau garis batas negara, ditunjukkan dengan keterangan jarak, umumnya antara 5 – 300 meter dari titik atau garis batas.

BSP yang tersebar di 22 desa pada 5 kecamatan, Kabupaten Belu, berjumlah 95 buah. Semuanya telah diukur posisinya berdasar koordinat geografis, dan dipasang sepanjang perbatasan Indonesia dengan Timor Leste.

Kepala Bakosurtanal Rudolf W. Matindas pada kesempatan ini mengatakan, ”Keberadaan BSP memiliki arti yang sangat strategis dalam pengamanan wilayah negara. BSP bagi masyarakat setempat dan satgaspamtas (satuan petugas pengamanan tapal batas) dapat mencegah illegal border crossing dan border crimes” .

Matindas juga mengharapkan di masa depan pemasangan BSP akan lebih dirapatkan. Nantinya tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di Timor Leste untuk memberi tahu pelintas batas bahwa dia telah memasuki wilayah Indonesia

Pada kesempatan lain, Frans S. Leburaya, Wakil Gubernur NTT, mengatakan, ”Daerah perbatasan merupakan wilayah yang rawan terjadi konflik, terutama masalah hankam dan sosial-budaya, apalagi jika terjadi kesenjangan pembangunan di wilayah perbatasan, tanda petunjuk batas itu menjadi lebih berarti dalam pandangan geo-politik, terutama terkait dengan ancaman ideologi”.

Kartiko, Direktur Wilayah Administrasi Perbatasan yang mewakili Dirjen Pemerintahan Umum DepDagri, berpendapat bahwa BSP memiliki beberapa aspek penting, yaitu : hukum, politik, ekonomi, dan sosial. Hukum dalam hal ini merupakan arah batas suatu negara. Politik sebagai cermin negara yang melindungi masyarakatnya. Ekonomi, memberikan perlindungan terhadap potensi ekonomi yang ada. Dan sosial, mendidik masyarakat untuk lebih mengenali wilayah negaranya.

Penentuan lokasi dan pemasangan BSP telah dilaksanakan oleh Bakosurtanal sejak tanggal 17 Juli sampai dengan 4 September 2006, didasarkan atas kriteria :

* Sepanjang segmen batas yang pandangan visual terhadap medan di lingkungan sekitarnya mudah menimbulkan kerancuan akan letak titik/garis batasnya;
* Sepanjang segmen batas yang potensial menjadi akses untuk lintas batas;
* Lokasi tepatnya juga disesuaikan dengan usulan/saran dari Satgaspamtas dan masyarakat setempat.

Lokasi dilaksanakannya peresmian ternyata memiliki suatu kisah tersendiri. Pada jaman Pulau Timor masih dikuasai oleh Portugis dan Belanda sampai dengan sebelum Timor Portugis berintegrasi dengan Indonesia, lokasi peresmian merupakan gerbang utama pertemuan penduduk antar kedua Negara, baik untuk melakukan perdagangan maupun kegiatan lainnya. Namun, pada saat Timor Portugis berintegrasi dengan Indonesia , dengan dibangunnya jalan negara di Pulau Timor , pada akhirnya memindahkan gerbang tersebut ke Motaain. Sampai saat ini Motaain menjadi gerbang utama di darat bagi kedua negara untuk main border . YL
Edisi : November 2007 (Majalah TNI-PATRIOT)
04-01-2008
Membangun Pertahanan Darat Yang Kuat di Wilayah Perbatasan RI -Malaysia
"Oleh Kapten Inf Polsan Situmorang, SE"

Kondisi geografis Indonesia menempatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada dua dimensi perbatasan yaitu daerah perbatasan perairan(Laut dan sungai) serta daerah perbatasan daratan. Kedua dimensi ini berbeda secara fisik tetapi pada hakekatnya mempunyai kepentingan yang sama yaitu terwujudnya kewibawaan bangsa dan Negara hal tersebut merupakan pencerminan dari tingkat kesejahteraan masyarakat di daerah perbatasan melalui pelaksanaan pembangunan secara terarah terpadu dan berkesinambungan.

Daerah perbatasan sebagai bagian terluar dari wilayah Negara kesatuan Republik Indonesia, merupakan titik singgung secara fisik pertama dengan berbagai perubahan atau kejadian di negara tetangga, sehingga daerah perbatasan mempunyai resiko yang tinggi terhadap Perubahan atau pengaruh dari luar.

Kepentingan ideologi pasca perang dingin semakin surut, dan selanjutnya bergulir menjadi kepentingan ekonomi antar negara dengan saling ketergantungan yang tinggi. Pada kodisi ini kegiatan ekonomi dan perdagangan antar negara meningkat dengan cepat, sebagai akhirnya kegiatan pelintas batas baik yang tradisional maupun yang legal formal akan meningkat pula. Perkembangan tersebut memberikan peluang terjadinya kegiatan pelanggaran hukum, seperti penyeludupan, pencurian sumber kekayaan alam dan lain lain di wilayah perbatasan Negara Kesatuan Republik Indonesia

Isu demokratisasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai muatan utama dalam era globalisasi, dapat mempengaruhi perubahan sikap dan pandangan masyarakat di daerah perbatasan berkaitan dengan hak dan kewajibannya dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak tertutup kemungkinan apabila saluran komunikasi politik tidak berfungsi dengan baik dan tingkat kesenjangan ekonomi yang dirasakan oleh warga perbatasan dibandingkan dengan tingkat kesejahteraan warga perbatasan negara tetangga semakin tinggi, maka akan dapat mendorong sikap yang tidak akomodatif terhadap program atau kebijakan dari pemerintah pusat bahkan pada tingkat tertentu dapat berkembang menjadi konflik vertikal.

Kehidupan sosial budaya didaerah perbatasan Kalimantan–Sarawak pada umumnya berkembang lebih dinamis, mempunyai tingkat adaptasi yang relatif lebih cepat dibandingkan dengan daerah perbatasan darat lain seperti di papua dan Timor leste. Kondisi ini mempunyai akselerasi lebih cepat karena terdapat kaitan kepentingan dibidang politik dan ekonomi dengan negara tetangga sehingga akumulasi dari hal tersebut mungkin dapat menyebabkan menurunnya kadar kesetiaan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari berbagai hal yang terjadi akibat pengaruh perkembangan lingkungan strategis terhadap daerah perbatasan tersebut akibatnya adalah tingkat stabilitas politik dan keamanan akan menjadi rendah sehingga setiap permasalahan sekecil apapun yang muncul baik yang bersifat horizontal atau vertikal akan cepat berkembang dengan dimensi ruang dan waktu yang sulit di perhitungkan.

Akan tetapi dalam mengantisipasi kemungkinan ancaman yang timbul maka kelompok ancaman yang paling vital menjadi wewenang tugas dan tanggung jawab fungsi pertahanan negara. Dan pertahanan negara merupakan fungsi vital dari keamanan nasional yang berperan ketika damai berubah menjadi perang. Hakikat pertahanan negara ialah jaminan terhadap kehidupan negara. Suntzu mengatakan bahwa ” War is the matter of vital importance to the state” Sebagai fungsi Vital, pertahanan Negara haruslah dibangun dengn biaya berapapun untuk menjamin kehidupan negara, bagaikan asuransi jiwa negara dengan biaya mahal dan berlaku sepanjang masa.

Trend Perkembangan situasi

Sejarah membuktikan bahwa negara-negara yang secara geografis berbatasan langsung cenderung untuk mengalami konflik yang bahkan dapat menjadi perang terbuka, walaupun ras maupun suku yang sama contohnya seperti Pakistan dan India, Irak dan Iran, Korea Utara dan Korea Selatan, China dan Taiwan serta beberapa contoh lain. Kondisi yang demikian sesuai dengan pernyataan Niccolo Machiavelli ”Bahwa tidak ada kawan yang abadi yang ada hanya kepentingan yang abadi”. Kepentingan strategis Pertahanan Negara sebagai kekuatan dalam menegakan kedaulatan dan menjaga keutuhan wilayah NKRI memberikan dampak pada penyiapan kekuatan pertahanan wilayah darat, mengharuskan semua pihak untuk senantiasa merujuk pada ketentuan dan aturan yang ada guna mencari solusi terbaik dalam mengantisipasi dan menghadapi kemungkinan ancaman yang timbul.

Permasalahan perbatasan yang terjadi di hampir seluruh wilayah perbatasan antara Indonesia dengan negara tetangga pada dasarnya diawali oleh adanya peluang pemanfaatan Sumber Daya Alam yang tersedia di kawasan tersebut oleh kedua negara yang berbatasan oleh karena itu analisis untuk membangun daerah perbatasan selalu berawal dari aspek ekonomi yang akhirnya berdampak luas terhadap aspek Pertahanan dan Keamanan. Dalam hal ini penulis mengklasifikasikan bahwa ancaman yang timbul di daerah perbatasan Sarawak-Kalimantan dapat dibagi menjadi dua aspek

Pertama aspek Ekonomi. Efek negatif yang paling membahayakan dan merugikan pihak kita adalah bila kawasan perbatasan dirambah secara tidak terkendali oleh negara tetangga. Dalam kasus ini terjadi apa yang disebut Back wash effect dimana kekayaan Sumber Daya Alam kita dijarah oleh negara tetangga tanpa adanya suatu kompensasi dan kewajiban-kewajiban yang memadai. Penjarahan SDA sering diperburuk dengan adanya berbagai dampak negatif berupa kerusakan alam dan lingkungan maupun sosial yang secara langsung maupun tidak langsung diderita oleh negara kita akibat aktifitas produksi negara tetangga kejadian ini terjadi karena kawasan perbatasan disatu pihak terletak jauh dari pusat-pusat kegiatan suatu Negara, tetapi di pihak lain kawasan tersebut sangat dekat dengan infrastruktur negara tetangga. Rendahnya sistem sirkulasi wilayah kita menimbulkan tidak terkontrolnya kawasan dari berbagai gangguan ekploitasi dan perusakan; sebaliknya bagi negara tetangga yang kawasan perbatasannya telah maju kondisi ini akan semakin merangsang mereka untuk secara sengaja maupun tidak sengaja melakukan pelanggaran-pelanggaran teritorial seperti penggeseran patok bahkan sampai mengklaim suatu wilayah yang masih menjadi sengketa.

Pemanfaatan sumberdaya yang tidak bertanggungjawab ini tidak selalu dilakukan melalui pelangaran batas wilayah negara. Akan tetapi juga melalui teknologi yang tersedia, misalnya dengan membuat galian miring, mereka akan bisa mendapatkan deposit migas dan mineral negara tetangga. Pemanfaatan seperti ini biasanya sulit untuk di deteksi karena kegiatan yang terlihat berada di negara sendiri dan tidak terlihat adanya dampak di negara yang dirambah. Adapun pemanfaatan yang lebih parah adalah yang dilakukan melalui pelanggaran wilayah negara,dengan memanfaatkan kelemahan kontrol negara serta lemahnya kesadaran penduduk yang kondisi sosial ekonominya masih sangat rendah.

Kedua aspek Militer. Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa telah terjadi ketegangan hubungan antara Indonesia dengan Negara tetangga. Terlihat dalam perselisihan kepemilikan pulau Sipadan dan Ligitan yang secara lihai dimenangkan oleh Negara tetangga, kemudian disusul dengan perselisihan Klaim Blok Ambalat oleh Malaysia yang sampai sekarang belum terselesaikan. Permasalahan perbatasan yang lain di Kalimantan barat dalam situasi terakhir ini muncul seperti perairan Gosong Niger, dan beberapa masalah batas darat seperti (Sei Buan/Gn Jagoi, Tj Datu, Gn Raya, dan Batu Aum) serta beberapa tempat di wilayah kalimantan timur seperti P Sebatik, S Simantipal dan S Sinapad. Untuk mencapai tujuan nasionalnya, Negara tetangga nampaknya memiliki kepentingan sendiri yang dapat berbenturan dengan kepentingan nasional Indonesia. Hal inilah yang mendasari bahwa pembangunan sistem pertahanan Darat yang kuat diwilayah Kalimantan Barat yang berbatasan langsung dengan Negara tetangga nampaknya sudah sangat mendesak diwujudkan dalam menghadapi kemungkinan yang paling buruk yaitu perang terbuka. George Eliot[1] mengatakan “diantara semua bentuk kesalahan, ramalan merupakan sesuatu hal yang paling tidak masuk akal dan picik karena merupakan salah satu pendekatan gambaran perang dimasa mendatang” akan tetapi tanpa ramalan dan pertimbangan bagaimana kita mampu mengantisipasi ancaman, konflik antar negara tidak timbul secara tiba-tiba selalu ada yang melatar belakanginya. Ramalan adalah salah satu upaya untuk mengetahui hakikat ancaman yang mungkin timbul apalagi telah didukung dengan fakta-fakta yang terjadi sehingga selalu siap dalam menghadapi ancaman yang mungkin terjadi ingat “bahwa Militer lebih baik siap tapi tidak digunakan daripada tidak siap pada saat digunakan”. Dengan melihat beberapa fakta-fakta yang terjadi dibawah ini sangat dimungkinkan bahwa pendapat Niccolo Machiavelli ”Bahwa tidak ada

kawan yang abadi yang ada hanya kepentingan yang abadi”, memang benar.

Melihat situasi wilayah perbatasan darat perlu diingat bahwa sejarah telah membuktikan negara yang berbatasan langsung sering terjadi konflik. Konflik perebutan Sipadan dan Ligitan oleh Negara tetangga, nampaknya bukanlah akhir dari perseteruan antara Indonesia dengan Negara tetangga, bahkan ini adalah awal yang baik bagi pihak Negara tetangga, karena sudah terlihat bahwa dunia internasional lebih memihak Negara tetangga ketika kasus tersebut dibawa ke Mahkamah Internasional. Dalam konflik Ambalat misalnya, terlihat dengan jelas bahwa, Negara tetangga tidak memiliki keraguan sedikitpun untuk mengklaim wilayah tersebut sebagai wilayahnya, bahkan tanpa ragu-ragu mengirimkan Armada Perangnya untuk mengintimidasi siapapun dari Indonesia yang berada di wilayah tersebut. Ini membuktikan bahwa Negara tetangga tidak pernah ragu untuk berperang dengan Indonesia.

Pemerintah Negara tetangga menginginkan agar penyelesaian sengketa apapun, terutama masalah perbatasan dengan RI, dilaksanakan melalui saluran diplomatik dengan harapan akan mengalami kebuntuan (dead lock) sehingga dapat dijadikan alasan untuk membawa masalah ini ke Mahkamah Internasional, ini merupakan keunggulan yang dimiliki Negara tetangga karena sebagai anggota Negara Persemakmuran (Common wealth). Negara tetangga lebih berpengalaman dan lebih siap untuk mengkondisikan Mahkamah Internasional dengan segala potensi yang mereka miliki. Hal ini sudah terbukti dengan keberhasilannya atas sipadan dan ligitan. Pada saat ini mereka terlihat pasif sebenarnya adalah momen yang digunakan oleh mereka untuk mempersiapkan diri berlaga di Mahkamah Internasional.

Dengan pembangunan jalan raya kelas satu di sepanjang perbatasan Indonesia dan Negara tetangga, membuktikan bahwa pemerintah Negara tetangga medukung sepenuhnya pengambilan sumber daya alam hutan di Kalimantan oleh pengusaha-pengusaha Negara tetangga yang sudah berjalan cukup lama. Pihak indonesia telah berkali-kali mengajukan komplain terkait sikap negara tetangga yang melegalkan kayu illegal dari Indonesia, setiap ada pertemuan KK Sosek malindo yang di bentuk tanggal 23 Mei 1985. Tetapi pihak mereka tetap menolak,dengan dalih lembaga resmi yang mengurus masalah kehutanan,tidak terlibat dalam KK Sosek malindo[2]. Disamping itu dari aspek Militer tentu sangat menguntungkan sekali bagi pihak Militer karena disamping pemanfaatan hutan tersebut jalan-jalan tersebut nantinya akan sangat penting untuk digunakan dalam patroli di daerah perbatasan mereka dan kepentingan militer lainnya.

Dalam menangani masalah penganiayaan TKI oleh warganya, pemerintah Negara tetangga terlihat sangat tidak serius dan tidak pernah tuntas. Negara tetangga pada setiap kesempatan selalu menempatkan bangsa Indonesia sebagai bangsa serumpun dan bersaudara, tetapi pada kenyataannya TKI yang bekerja di Negara tetangga sebagia besar mendapat perlakuan yang tidak wajar, dianiaya bahkan ada yang sampai meninggal.

Dalam hal menjaga stabilitas keamanan di wilayah selat Malaka, Negara tetangga selalu berdalih sebagai wujud kebersamaan dalam keikutsertaannya. Namun pada kenyataannya Negara tetangga ingin merebut dan menguasai wilayah laut di kawasan selat Malaka. Fakta membuktikan bahwa AL Negara tetangga selalu mengganggu dan mengusir setiap nelayan Indonesia yang melakukan kegiatan di wilayah tersebut yang diklaim milik Negara tetangga, namun pada kenyataan nelayan tersebut masih berada di wilayah laut Indonesia.

Dalam pembangunan kekuatan militer negara tetangga saat ini sangat aktif dalam memperkuat pembangunan pertahanannya. Pembentukan 1 Divisi dipimpin seorang Perwira berpangkat Letnan Jenderal ditambah dengan 1 Brigade Askar Wataniah di wilayah Sarawak tentu merupakan suatu pertimbangan yang matang dari negara tersebut untuk mengantisipasi segala kemungkinan bentuk ancaman yang mungkin timbul di daerah perbatasan kedua negara. Demikian juga dengan pengamanan wilayah mereka menyiapkan squadron udara yang modern, bandingkan dengan Indonesia yang hanya menggunakan helycopter dengan kemampuan yg sangat terbatas dan 1 squadron HS Hawk di supadio pontianak. Bentuk pertahanan yang disusun secara mendalam juga telah lama diterapkan negara tersebut dalam membangun sistem pertahanannya dengan menyusun penempatan-penempatan satuan-satuannya mulai dari unsur Peleton dan Kompi di garis depan (dekat perbatasan) dan Batalyon, Brigade dan Divisi di garis belakang sehingga harus kita akui dalam penyusunan satuan mereka lebih siap hal ini juga sangat di di dukung oleh pembangunan infrastruktur yang sangat lengkap di sepanjang garis perbatasan sehingga pergerakan pasukan dan perkuatan(reinforce) dari Divisi dan Brigade kedaerah perbatasan dapat dilaksanakan dalam hitungan jam bahkan menit. Bandingkanlah dengan penempatan pasukan kita didaerah perbatasan dengan sistem pos-pos dimana terdapat 22 pos diwilayah kalimantan barat termasuk 2 pos gabungan dan 9 pos baru yang sedang dalam tahap pembangunan serta 19 pos di wilayah kalimantan timur dengan panjang perbatasan 1857 km yang dijaga oleh 2 batalyon penugasan. Dalam suatu perang Komando dan pengendalian (command and control)serta waktu (time) adalah salah satu faktor yang sangat penting dalam memenangkan pertempuran hal ini nampaknya telah lama menjadi pertimbangan negara tetangga sehingga dalam hitungan jam maka perkuatan (reinforce) ke daerah perbatasan akan dapat digerakkan dari Brigade dan Divisi yang ada di Kucing. Hal ini penulis sampaikan karena dalam suatu acara pada kunjungan Panglima Divisi wilayah sarawak ke camp gabungan Lubok Antu Malaysia tanpa sengaja penulis melihat bahan paparan Danyonif 13 RAMD (Resimen Askar Melayu Darat) kepada Raja Muda Perlis. Bandingkan dengan kita bahkan pengendalian dari Yon ke kompi-kompi sangat sulit karena penempatan pasukan yang terpecah-pecah di pos-pos sepanjang perbatasan apalagi untuk perkuatan(reinforce) dari satuan yang lebih tinggi mungkin butuh waktu berminggu-minggu.

Pembangunan Pertahanan Darat

Dalam kondisi internasional dewasa ini hubungan antar negara tetap dilandasi kekuatan dan kewibawaan,sedangkan kerjasama yang erat dan lancar ditentukan oleh daya saing suatu bangsa,bukan oleh kebaikan hati. Oleh sebab itu bangsa Indonesia pun harus menjadi kuat dan berwibawa sehingga dapat menjalankan perannya yang efektif dan maksimal.

Pembangunan pertahanan Negara yang kuat dan efektif sebagai inti daya tangkal bangsa merupakan kewajiban yang amat penting untuk mewujudkan kekuatan dan kewibawaan itu. Kondisi keamanan negara yang tecipta tidak lepas pula dengan pembangunan kesejahteraan bangsa dalam berbagai aspeknya,seperti pembangunan ekonomi mengurangi kemiskinan, penyelenggaraan pendidikan nasional yang mencerdaskan kehidupan bangsa dan penegakan hukum sehingga lambat laun akan terujud negara RI yang menjadi kebanggaan bagi rakyat Indonesia.

Pertahanan negara adalah merupakan inti daya tangkal bangsa yang pada hakekatnya adalah upaya total bangsa Indonesia yang mengintegrasikan segenap potensi dan kekuatan nasional dalam wujud pertahanan rakyat semesta. Seluruh potensi nasional disusun dalam satu tatanan yang terencana dan terpadu. Pengerahan seluruh kemampuan dan kekuatan nasional tersebut pada dasarnya adalah pemanfaatan seluruh sumber daya nasional dalam tatanan sishanrata yang bercirikan kerakyatan, kewilayahan dan kesemestaan. Ciri tersebut harus mampu diwujudkan secara selaras, serasi dan seimbang tanpa harus mengabaikan ciri khusus kewilayahan masing-masing.

Sebagai bagian dari pertahanan negara, Pertahanan darat harus selalu dipersiapkan dan dilaksanakan tanpa harus mempermasalahkan ada atau tidaknya ancaman karena menyelenggarakan pertahanan memerlukan waktu yang cukup lama bila dibandingkan dengan dinamika kehidupan berbangsa yang dapat memungkinkan munculnya ancaman setiap saat disamping itu seperti telah disebutkan diatas bahwa salah satu prinsip Tentara lebih baik siap pada saat tidak perang darpada tidak siap saat perang terjadi. Akan tetapi kenyataannya penyelenggaraan RUTR wilayah pertahanan darat saat ini kurang mendapat perhatian dan seakan-akan tenggelam oleh pengaruh dan perkembangan lingkungan strategi yang sedang popular,khususnya dihadapkan dengan pemberlakuan Undang-Undang otonomi Daerah

Strategi dan Konsep.

Dari uraian diatas serta beberapa kejadian yang telah terjadi kita harus mampu membuat suatu ramalan bahwa kemungkinan konflik yang lebih serius akan mungkin terjadi namun bersifat terbatas. Ramalan beberapa pengamat Militer mengenai kemungkinan tidak akan adanya invasi dari luar untuk sepuluh tahun kedepan perlu ditinjau kembali menurut hemat penulis bahwa invasi yang mereka maksud adalah invasi secara menyeluruh mereka lupa meramalkan bahwa invasi terbatas telah mengancam setiap waktu sehingga hilanglah sipadan dan ligitan. Demikian pula dengan klaim sepihak atas Blok Ambalat Negara tetangga nampaknya akan tetap berupaya untuk mendapatkannya. Sebagai gambaran Penulis dapat menggambarkan bahwa beberapa negara yang berbatasan langsung yang bertikai bukanlah disebabkan oleh keinginan untuk menginvasi negara lain akan tetapi diawali dengan adanya peluang pemanfaatan sumber daya alam yang tersedia di wilayah tersebut dengan memanfaatkan kelemahan-kelemahan hukum yang ada. Hal ini sudah terbukti dengan hilangnya sipadan dan ligitan serta klaim atas ambalat serta beberapa daerah yang masih dalam sengketa bukan kah itu merupakan suatu bentuk invasi terbatas? Apalagi kawasan perbatasan darat RI-Malaysia umumnya merupakan kawasan yang jauh dari pusat-pusat perkembangan(hinterland) dimana sumberdayanya relatif masih banyak tersedia dan masih banyak permasalahan perbatasan yang belum tuntas. Sehingga strategy yang yang mungkin digunakan dalam mengantisipasi ini adalah strategi yang sedikit berbeda tanpa meninggalkan sistem pertahanan rakyat semesta yang telah menjadi doktrin kita. Artinya bahwa dalam menghadapi kemungkinan ancaman yang akan terjadi, maka diperlukan pengembangan kekuatan pertahanan darat dan satuan yang mampu menciptakan suatu kondisi ketahanan wilayah yang tangguh dan dinamis dalam menghadapi setiap kemungkinan ancaman yang akan datang, yang didukung oleh sarana dan prasarana serta Alutsista yang memadai serta pembangunan satuan-satuan baru di daerah perbatasan agar terbentuk kekuatan pertahanan darat yang tangguh.

Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam pembangunan pertahanan yang tangguh tidak akan lepas dari berbagai aspek yang saling terkait mulai dari aspek geografi,Demografi,Sumber Daya Alam, Ideologi, politik, Ekonomi, Sosial budaya dan Militer sesuai dengan sistem pertahanan rakyat semesta yang menjadi pedoman kita akan tetapi dalam tulisan ini penulis hanya lebih memfokuskan pada aspek pembangunan Militer di Wilayah perbatasan.

Kemungkinan ancaman muncul di wilayah Kalimantan Barat sangatlah beralasan dengan beberapa fakta diatas telah mengancam kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI. Secara organisasi satuan TNI-AD yang berada di Kalimantan yang terdiri dari Satpur, Satbanpur, Satkowil dan Satbanmin belum mampu mengatasi ancaman militer dari negara luar dalam hal ini dari Negara tetangga apabila dihadapkan dengan luas dan panjangnya wilayah perbatasan Kalimantan. Untuk itu pengembangan dan penambahan kekuatan pertahanan matra darat yang ideal di Kalimantan Barat perlu dilakukan.

Penempatan pasukan didaerah perbatasan saat ini dengan sistem pos-pos dimana terdapat 22 pos diwilayah kalimantan barat termasuk 2 pos gabungan dan renana pembangunan 9 pos baru yang sedang berjalan dan 19 pos di wilayah kalimantan timur yang tergelar disepanjang garis perbatasan dengan panjang perbatasan 1857 km yang dijaga oleh 2 batalyon penugasan nampaknya perlu di kaji kembali, karena dengan sistem pasukan yang tersebar disepanjang garis perbatasan sangat sulit dalam komando dan pengendalian (command and control), demikian juga dari segi kemampuan bertahan dengan sistem pos-pos yang diisi oleh ± 20 s/d 30 personil dan keterbatasan nya, maka bilamana terjadi kontijensi tidak akan mampu berbuat banyak. Sehingga alangkah lebih baiknya bilamana kedepan hendaknya di bangun satuan-satuan baru yang lebih mendekat ke daerah perbatasan khususnya satuan setingkat kompi. Pembangunan yonif 644/Walet Cakti di kabupaten kapuas hulu yg secara organik berada dibawah Brigif 19/KTW sudah sangat strategis akan tetapi alangkah lebih baik lagi bilamana salah satu atau dua kompi-kompinya berada di Kec Badau yang berbatasan langsung dengan Lubok antu(Malaysia). Sehingga kedepan perbatasan diwilayah ini cukub dijaga oleh satuan organik setempat sebagaimana yang dilakukan oleh negara tetangga. Bila memungkinkan satuan banpur juga perlu di tempatkan 1 kompi ditempat-tempat strategis seperti di entikong, badau dan di sebatik. Karena batalyon organik akan lebih mampu menyatu dengan masyarakat setempat dalam membangun sistem pertahanan semesta disamping itu akan menimbulkan suatu effek psikologis pada negara tetangga seperti apa yang pernah disampaikan Suntzu ( It is better to attack the enemy’s in mind than to attack his fortified cities’).[3]

Dalam mengimbangi satuan negara tetangga di wilayah sarawak dan sabah yang terdiri dari 1 Divisi tempur pengembangan satuan baru perlu segera direalisasikan dengan membentuk satu Brigade Infanteri Baru diwilayah kalimantan timur sehingga perimbangan antara Wilayah Kalimantan barat dan timur tidak terlalu timpang. Disamping itu struktur komando dan pengendalian satgas yang selama ini berada ditangan Danrem sebaiknya berada langsung di tangan Danbrigif selaku atasan langsung batalyon yang melaksanakan penugasan dan bertanggung jawab langsung kepada Panglima, hal ini sangat penting untuk efektivitas comando dan pengendalian pasukan serta memperpendek jalur-jalur hirarki bilamana terjadi kontijensi. Dalam konsep The future war dikatakan The pace of future battle will be so swift that there will be no time to revert to the rear headquarters all the time for instruction and advise[4] artinya dalam situasi perang kedepan command and control serta waktu menjadi dua hal yang sangat penting dalam memenangkan suatu perang dikatakan pula bahwa dua pendekatan yang sangat mungkin bagi perang kedepan yaitu Centralized command and centralized Control atau Centralized Command and Decentralized Control[5] hal ini adalah untuk kecepatan/ketepatan waktu dan mengurangi jalur-jalur rantai komando yang terlalu panjang.

Kekuatan militer tidak lepas dari pemanfaatan teknologi Militer. Dalam perang kedepan peranan teknologi militer telah mampu merubah doktrin dan konsep perang, dengan demikian perlu modernisasi Alutista bagi satuan yang berada diwilayah perbatasan nantinya pada saat sekarang ini wilayah perbatasan di Kalimantan sepertinya terabaikan akan hal ini dapat kita lihat bahwa satuan yang berada di wilayah perbatasan masih penuh dengan keterbatasan seperti alat transportasi(Truk Militer) alat optik GPS termasuk Pentingnya modernisasi senjata organik. Padahal sebagaimana kita ketahui bahwa dalam era RMA (Revolution in Military Affairs) saat ini peranan tekhnologi telah berdampak pada Doktrin dan konsep pada Angkatan bersenjata masing-masing Negara.

Perang pada dasarnya telah dimulai jauh sebelum perang itu terjadi, dengan kata lain Justru dimasa damai Militer harus selalu siap untuk berperang dan menang adalah suatu tujuan. Namun demikian bukan berarti kita mencari musuh akan tetapi kita harus mampu membuat ramalan-ramalan tentang konflik yang mungkin terjadi dimasa depan dan upaya mengatasinya. Peranan intelijen dalam hal ini menjadi sangat penting Untuk itulah bahwa di daerah perbatasan perlu pembangunan beberapa unit radar yang berfungsi untuk mengawasi atau mengkaver daerah perbatasan dari kegiatan-kegiatan udara pesawat tempur Negara tetangga maupun pesawat tempur negara lain. Demikian juga dengan sistem penyadap yang mampu membaca kegiatan kegiatan yang dilakukan oleh negara tetangga tentang perbatasan nampaknya sudah sangat perlu dipikirkan oleh pengambil kebijakan ditingkat atas.

Konsep pengembangan daerah latihan. Daerah latihan juga perlu di kaji secara mendalam sebagai kekayaan milik Departemen Pertahanan daerah ini secara sah memiliki kekuatan hukum yang tetap menjadi aset Departemen Pertahanan, sehingga dapat digunakan setiap saat untuk kepentingan latihan tanpa adanya ancaman resiko kerugian terhadap lingkungan khususnya penduduk dan sumber daya alam. sehingga dirasakan perlunya pengembangan daerah latihan di Wilayah perbatasan karena medan yang dipakai untuk latihan diharapkan akan menjadi daerah yang akan digunakan untuk pertempuran. untuk Pemeliharaan daerah latihan dipertanggung jawabkan kepada Komando Kewilayahan setempat.

Dari uraian itu dapat disimpulkan bahwa dalam menyiapkan suatu sistem Pertahanan darat Militer perlu kiranya meramalkan kemungkinan-kemungkinan situasi yang mungkin akan terjadi pada masa mendatang sesuai dengan hakikat ancaman dan kondisi geograpis negara kita, secara khusus di wilayah perbatasan Sarawak-Kalimantan sehingga diharapkan selalu siap dalam menghadapi segala bentuk ancaman yang mungkin timbul(perang) tidak dapat dipungkiri bahwa Militer yang kuat adalah salah satu bentuk diplomasi politik dalam menjaga wibawa negara. Kedepan TNI akan tetap merupakan jaminan terhadap setiap bentuk ancaman yang bersifat potensial yang mengancam stabilitas nasional oleh sebab itu pembangunan dan penyiapan pertahanan haruslah disiapkan sedini mungkin melalui penataan personil dan materiil termasuk pembangunan beberapa satuan baru di tempat-tempat yang strategis di wilayah perbatasan sehingga tersusun suatu susunan Pasukan yang mendalam.

Militer akan tetap merupakan koponen penting dalam keamanan Nasional untuk itulah berbagai langkah telah dilakukan oleh instansi TNI AD dalam upaya penyiapan system pertahanan Darat yang tangguh, namun secara nyata belum dapat terselenggara dengan memadai, Keterbatasan Dana dalam pemenuhan Alutista menjadi suatu kendala, akan tetapi perlu kiranya dibuat suatu prioritas penggunaan tekhnologi militer di wilayah perbatasan sesuai kondisi geografis dan hakekat ancaman sehingga selalu siap dalam menghadapi segala kemungkinan ancaman yang dapat timbul demikian pula dengan perlunya pembangunan satuan-satuan baru di daerah perbatasan untuk membangun satu strategi baru dalam membangun pertahanan darat di wilayah perbatasan

Untuk penyusunan RUTR wilayah pertahanan darat harus dapat disiapkan bersama secara terpadu dan merupakan suatu program yang berkelanjutan dan berkesinambungan dalam kaitannya dengan hakekat ancaman yang timbul khususnya di wilayah perbatasan Sarawak- Kalimantan, penyiapan ini didasari pula dengan upaya negara tetangga dalam meningkatkan kemampuan Militernya baik dari peningkatan jumlah personil maupun materiil.



*Penulis saat ini sedang bertugas di daerah perbatasan RI-Malaysia dan telah menulis beberapa artikel dgn judul Peran TNI dalam mengatasi Terorisme, Perubahan dan tantangan serta Peran Kodim dalam Menjaga Kemanunggalan TNI-Rakyat