Heritage Intelligence

Mendengar intelijen ingatan langsung tertuju kepada James Bond 007, CIA, KGB, dan Mossad. Institusi intelijen Negara yang bekerja dalam ketertutupan dan menyeramkan seperti kisah Victor Ostrovsky atau novel Body of Lies karya David Ignatius. Intelijen Benda Cagar Budaya (Heritage Intelligence) bukan merupakan pengenjawantahan dari Lembaga Intelijen Negara, melainkan pekerjaan penelitian dan pendokumentasian tentang keberadaan benda cagar budaya yang ada di Indonesia. Banyaknya peninggalan kekayaan artefak sejarah yang telah lenyap atau musnah, sehingga menciptakan kerugian besar hampir disetiap sektor baik dari Ilmu pengetahuan, sosial-budaya, ekonomi dan pertahanan keamanan Negara.
Ketidak berdayaan pembuktian kekayaan dan kerugian Negara tentang peninggalan sejarah, yang telah hilang maupun masih ada merupakan 'titik lemah' untuk dapat menjelaskan dan mempertanggung jawabkan kepada publik.
Sebagaimana contoh hancurnya bangunan di proklamasi, dimana potret nyata detik-detik bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Pertanyaan kerugian apa saja yang diciptakan dari kehancuran bangunan proklamasi tersebut? Ternyata ketika di 'bedah' anatominya sungguh membuat kepala cekot-cekot, dari sisi Ilmu pengetahuan bukti nyata keberadaan fisik bangunan sudah tidak ada. Di dalam ranah berbeda seperti contoh ketika pulau Sipadan dan Ligitan diakui oleh Mahkamah Internasional di Belanda, fisik bangunan yang terdapat dikedua pulau tersebut adalah milik Malaysia. Pada akhirnya secara de jure maupun de fakto pulau Sipadan dan Ligitan milik sah Malaysia.
Terperanjat bahwa eksistensi fisik bangunan bukan persoalan sederhana, cara pandang melihat fisik bangunan selama ini hanya dilihat dari 'kaca mata kuda' yang melulu diukur dari perspektif estetika dan ekonomis semata. Padahal sebuah bangunan diciptakan melampaui tapal batas estetika dan ekonomi, sebagaimana masyarakat Jawa membangun rumah Panggang pe Ceregancet mirip dengan jasad hidup yang tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan kehidupan penghuninya.

Database Benda Cagar Budaya

Film petualangan Indiana Jones, National Treasure, dan Da Vinci Code, membuat adrenalin penonton terpacu. Kecerdasan mengumpulkan serpihan informasi yang tercecer, sehingga teka-teki dapat terpecahkan dan disusun ulang. Sungguh sebuah inspirasi. Tersebar dan terseraknya artefak benda cagar budaya dari berbagai wujud, baik dari sisa-sisa peninggalan kerajaan Nusantara sampai peninggalan kolonial. Sampai saat ini masih dalam 'terawangan' sebagai analogi berjalan dikegelapan tanpa cahaya. Keberadaan UU.No.5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya dan UU.No.26 Tahun 2007 Tentang Tata Ruang masih dalam tahap konsepsional, belum memasuki 'ranah' operasional di dalam pelestarian benda cagar budaya. Inventarisasi pendokumentasiaan sebagai database keberadaan benda cagar budaya dari berbagai ragam bentuk, sampai saat ini masih belum dapat direalisasikan. Padahal database tersebut merupakan 'peta hidup' sebagai alat deteksi dini, perihal kelangsungan pelestarian benda cagar budaya di Indonesia. Karena bila terwujud pendokumentasian tersebut, publik dapat mengetahui dan menjaga pelestarian dari benda cagar budaya yang dilindungi oleh Negara. Fungsi database dapat memberikan suguhan informasi, berapa jumlah benda cagar budaya yang dimiliki seperti Gedung, Benteng, Rumah, Masjid, Gereja, Vihara, Pusaka dan lain sebagainya. Dengan adanya informasi keberadaan artefak sejarah ini, penghancuran dan pencurian dapat maksimal dihindari.
Pendokumentasian mempunyai peran ganda di satu sisi dapat menjadi alat kontrol, disisi lain merupakan alat sosialisasi dari Undang-Undang tentang Benda Cagar Budaya yang murah dan efektif kepada warga Negara.

Benda Cagar Budaya dan Keamanan Nasional

Perjuangan panjang Vasco da Gama (1497-1499) mencapai India melalui Tanjung Harapan telah berhasil gilang gemilang, dari keberhasilan ini maka terbuka lebar pintu masuk pelayaran bangsa Eropa ke Asia. Setelah Tanjung Harapan ditundukkan, kini giliran Melaka dikuasai Portugal (1511).
Di dalam kurun waktu 11 tahun tepatnya pada tahun 1522 ekspedisi Ferdinand Magellan dari Spanyol berhasil mencapai Maluku, selisih waktu 57 tahun (1522-1579) Francis Drake dari Inggris datang menyusul ke kewilayah 'surga rempah-rempah' Maluku. Berawal dari rempah-rempah nafsu serakah untuk menguasai dalam wajah kolonialisme tertancap di bumi Maluku, gesekan kepentingan untuk saling menguasai antara Portugal dan Spanyol di Maluku pada abad XVI tidak dapat terhindarkan. Maka keluar perjanjian Tordesillas (1494) dan menyusul perjanjian Saragossa (1527) antara Spanyol dan Portugal. Hal hasil dari perjanjian tersebut Portugal dapat menguasai Maluku.
Kilasan sejarah tersebut merupakan 'rekam jejak' kolonialisme pertama kali hadir di bumi jamrud khatulistiwa, taktik dan strategi kolonial di dalam melakukan infiltrasi sampai menuju invasi dapat ketahui. Fakta penjajahan dapat ditelusuri melalui artefak seperti Benteng Victoria (1605) yang dibangun Portugal di Maluku, berfungsi sebagai benteng pertahanan. Juga Benteng Oranje (1607) di Ternate yang dibangun oleh Cornelis Matelief de Jonge (Belanda). Benteng ini pernah dijadikan pusat pemerintahan tertinggi Hindia Belanda (Gubernur Jenderal) Pieter Both, Herald Reynst, Laurenz Reaal, dan Jan Pieterszoon Coen.
Dari Benteng pertahanan sampai rute perjalanan alur laut kolonial memasuki Nusantara, sebagaimana diketemukannya beberapa artefak kapal laut kolonial yang karam di dasar laut. Dan legitimasi Mahkamah Internasional tentang batas kedaulatan wilayah Negara Kesatuan republik Indonesia (NKRI), mengacu pada peninggalan tanah jajahan Belanda. Dengan demikian 'patok batas' secara fisik peninggalan Belanda, kedepan menjadi sesuatu yang vital di dalam pembuktian wilayah kedaulatan Negara.
Walaupun bukan konteks benda cagar budaya, tetapi masih dalam 'satu tarikan nafas' peristiwa dikuasainya Pulau Sipadan dan Ligitan oleh Malaysia, karena lemahnya bukti otentik di Mahkamah Internasional. Merupakan pertanda urgensinya fisik bangunan dalam wilayah hukum Internasional. Serta perluasan pembangunan fisik didaratan Singapura melalui 'pasir laut', hampir saja mencaplok kedaulatan Indonesia khususnya pulau Nipa dan pulau lainnya disekitar wilayah propinsi kepulauan Riau. Satu lagi peristiwa penghancuran taman didepan stasiun Beos kota, dimana wilayah itu merupakan 'ring satu' zona benda cagar budaya. Kepentingan bisnis lebih penting daripada keamanan. Pembangunan shelter busway dan terowongan untuk pedestrian mengakibatkan dampak buruk bagi bangunan tua disekitarnya. Tercatat sedikitnya empat bangunan tua yang langsung terkena dampak negative yang diakibatkan dewatering saat pembangunan terowongan tersebut, keseimbangan air tanah disekitar lokasi terganggu. Dan keempat bangunan tua mengalami penurunan pondasi, dan dampak negatif apa yang akan tercipta kedepan? Tidak ada yang dapat mengatahui dan diperlukan kajian mendalam. Sampai saat ini kejelasan tentang barang sitaan Negara dari hasil penangkapan eksplorasi kapal VOC yang karam secara illegal, berapa jumlah dan nilai harta karun tersebut dan disimpan dimana masih dalam misteri.
Saksi bisu benda cagar budaya ternyata faktual dapat 'berbunyi' dan berkata jujur tanpa ada rekayasa maupun kebohongan.

Intelijen Benda Cagar Budaya (Heritage Intelligence)

Cegah tangkal di dalam pelestarian benda cagar budaya sudah waktunya diperkuat, perhitungan secara matematis tentang kekayaan 'adi luhung' bangsa Indonesia belum dapat direalisasikan. Kemampuan IPTEK di dalam kalkulasi sumber daya alam (SDA) kekayaan laut sudah dapat dihandalkan di negri kepulauan ini, padahal dahulu sebelum teori tersebut ada masih merupakan sesuatu yang 'ghaib' diwilayah alam bawah sadar. Sosok manusia dapat terbang Gatot Kaca yang hanya ada dalam cerita pewayangan, tersentak bahwa cerita itu bukan mitos melainkan teknos dengan kemampuan di dalam rekayasa teknologi kapal terbang (Dirgantara Indonesia).
Eksistensi heritage intelligence di dalam melakukan penelitian dan pendokumentasian, serta dapat juga melakukan 'audit' benda cagar budaya, merupakan pemecah dari kebekuan dan kerapuhan mengatasi permasalahan benda cagar budaya. Generasi kedepan perlu diberikan 'menu' visualitas bukan virtualitas. Melalaui intelijen benda cagar budaya sesuatu yang absurd menjadi rasional, investigasi tapak tilas untuk dapat mengumpulkan kembali serpihan sejarah yang tercecer dan hilang. Seperti analogi menjahit pakaian yang sudah usang termakan jaman, memerlukan sentuhan ketekunan penjahit handal. Semoga.***

BAROUSAI, BARUS, ATAU FANSUR: KISAH CEMERLANG DARI BERIBU TAHUN SILAM

BAROUSAI, BARUS, ATAU FANSUR:

KISAH CEMERLANG DARI BERIBU TAHUN SILAM

Kota bandar di tepian pantai barat Sumatra yang berabad lalu menjadi sebuah perkampungan multi-etnis yang penuh guyub, sarat daya tarik bagi para pedagang di hampir seluruh penjuru bumi, juga menjadi pintu masuknya berbagai peradaban dan agama-agama besar di bumi Nusantara itu kini telah sepi.

BARUS saat ini hanya sebuah ibukota Kecamatan, di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatra Utara. Posisinya berada di pinggir pantai barat Sumatera, sekitar 60 km sebelah utara Sibolga, atau sekitar 414 km dari Medan. Tidak ada yang istimewa. Begitu juga dengan Desa Lobutua, sekitar 4 km ke arah barat dari Barus. Juga layaknya sebuah desa, sepi. Meskipun sesekali para peziarah datang silih-berganti, menapaki sejarah sebuah kota banda yang jauh di awal abad masehi pernah begitu cemerlang dan menggemparkan sekujur bumi.

Dan boleh jadi, Barus adalah satu-satunya kota yang tercatat di dalam buku yang terbit di awal masehi, sehingga menempatkannya sebagai kota tertua di bumi Nusantara. Adalah Claudius Ptolomaios[1], seorang geograf Yunani yang dalam bukunya dari abad ke dua Masehi, Geographike Hyphegesis menuliskan nama negeri Barousai di Chryse Chora (Pulau Emas) yang antara lain oleh van der Meulen disimpulkan sebagai Sumatra[2].

Tapi apa gerangan yang menjadikan kota bandar ini begitu mempesona orang Yunani, China, India, dan bahkan juga para Pharao di Mesir kuno?

Jawabnya tak lain adalah kapur barus (bhs Belanda: kamfer, dan mungkin dari kata kapur yang diucapkan kofur oleh bangsa Arab).[3] Konon, kapur barus asal kota barus inilah yang paling banyak dicari karena kualitasnya yang terbaik, paling laku dan harganya kurang lebih 8 kali lebih mahal daripada kapur-kapur barus asal tempat lain[4]. Dalam catatan pelancong Italia, Marco Polo bahkan disebutkan bahwa, harga kapur barus kala itu setara dengan harga emas dengan berat yang sama[5].

Seorang Belanda pernah menulis bahwa kemenyan dari Barus, telah dipakai sebagai salah satu bahan mengawetkan (membalsem) mayat raja-raja di Mesir sebelum Masehi[6]. Jika dugaan ini benar, maka berarti kota bandar Barus ini sudah ada sejak 5.000 tahun SM. Perkiraan akhir itu, didasarkan pada temuan bahan pengawet dari berbagai mummy Fir'aun Mesir Kuno salah satu pengawetnya menggunakan kanper atau kapur Barus. Sejarawan era kemerdekaan Moh. Yamin, bahkan memperkirakan bahwa, perdagangan rempah-rempah dan tentu saja kamfer, sudah dilakukan pedagang Nusantara sejak 6.000 tahun lalu ke berbagai penjuru dunia.

Hasil penelitian Innis Miller terhadap naskah Historia Naturalis karya Plinius di abad pertama juga sudah menunjukkan bahwa, para pedagang Nusantara pun ternyata sudah menjajakan komoditas mereka sampai ke Asia Barat dan Afrika Timur sejak abad permulaan Masehi[7]. Sementara Prof. Kern[8] pernah menulis bahwa Kota “P’o-lu-chi” yang dimaksud I Tsing di abad ke-7, tidak lain dari Barus[9]. Seorang penyair Arab sebelum Islam, Amru al-Qais (meninggal tahun 530 Masehi), sangat memuji keharuman kafur dalam syair-syairnya[10].

Begitu pentingnya kota Barus ini—mungkin bisa disamakan dengan Paris pada abad modern yang terkenal dengan inovasi parfumnya—maka sejak zaman dulu dalam dunia dagang telah dikenal nama-nama Baros, Balus, Pansur, Fansur, Pansuri[11], Kalasaputra[12], Karpura-dwipa, Barusai, Waru-saka dan lain-lain.

Dan tentu, seperti kata pepatah, ada gula ada semut. Pesona kapur barus dari selatan ini menggoda banyak pendatang. Sebagaimana dicatatan Ptolomaios, selain para penjelajah dari Yunani, juga datang pedagang dari Venesia, India, Arab dan Tiongkok. Selain itu, sekelompok penyebar ajaran Kristen Sekte Nestorian dari Konstantinopel, pusat Kerajaan Byzantium Timur, juga menjejakkan kakinya di Barus. Kelompok itu diperkirakan datang sekira tahun 600 M dan mendirikan gereja pertama di Desa Pancuran, Barus.

Dewan Gereja-gereja di Indonesia juga memercayai sejak tahun 645 Masehi di daerah Barus telah masuk umat Kristen dari sekte Nestorian. Keyakinan tersebut didasarkan pada buku kuno tulisan Shaikh Abu Salih al-Armini. Sementara itu, penjelajah dari Armenia Mabousahl mencatat bahwa pada abad ke-12 telah terdapat Gereja Nestorian.

Lalu datanglah para pedagang Arab memasuki Barus sekira 627-643 M atau sekitar tahun 1 Hijriah, dan menyebarkan agama Islam di daerah itu. Di antaranya Wahab bin Qabishah mendarat di Pulau Mursala pada 627 M. Ada juga utusan Khulafaur Rasyidin, bernama Syekh Ismail akan ke Samudera Pasai dan singgah di Barus, sekira tahun 634 M. Dan sejak itu pula, tercatat bangsa Arab (Islam) mendirikan koloni di Barus. Bangsa Arab menamakan Barus dengan sebutan Fansur atau Fansuri, misalnya oleh penulis Sulaiman pada 851 M dalam bukunya "Silsilatus Tawarikh."

Kedatangan bangsa Arab yang kemudian menyebarkan agama Islam itu juga disebutkan dalam berita-berita Cina, Hsin-Tang-shu[13] (Catatan Dinasti Tang, 618-907), dan Chu-fan-chi[14] (Catatan Negeri-negeri Asing) yang ditulis Chau Ju-kua pada tahun 1225. Di dalam dua kronik Cina itu banyak bercerita tentang Ta-shi, istilah Cina untuk menyebut Arab. (Chu-fan-chi menerangkan bahwa Ta-shi mempunyai seorang Buddha (maksudnya Nabi) yang bernama Ma-ha-mat (Muhammad). Dalam sehari mereka lima kali sembahyang, dan setiap tahun berpuasa selama sebulan penuh. Dinasti Ta-shi ada dua macam, yaitu white-robed Ta-shi (Arab berjubah putih) atau Pon-ni-mo-huan (Bani Marwan, atau Bani Umayyah), serta black-robed Ta-shi (Arab berjubah hitam) yang didirikan raja A-po-lo-pa (Abul-Abbas)[15]. Pada tahun 651 Masehi, raja Ta-shi (Arab) bernama Han-mi-mo-mi-ni mengirimkan utusan ke istana Cina[16]. Hampir dapat dipastikan bahwa nama Han-mi-mo-mi-ni dalam ucapan Cina ini adalah untuk Amir al-Mu’minin, gelar resmi para khalifah Islam, dan “raja Ta-shi” yang mengirimkan utusan itu adalah Khalifah `Utsman ibn Affan yang memerintah dari tahun 644 sampai 656. Hsin-Tang-shu mencatat bahwa pada tahun 674 terdapat pemukiman pedagang Ta-shi (Arab) di Po-lu-shih, daerah pantai barat Sumatera.[17]

Tentu, dapat dibayangkan betapa makmurnya kota Barus pada awal abad masehi ini, dengan penduduk yang sebagian besar terdiri atas kaum pedagang. Pertanyaannya kemudian, siapakah yang menggerakkan semua perdagangan hingga jauh ke negeri seberang itu?

Seorang bekas kontrolir Belanda, G.J.J. Deutz, sewaktu bertugas di Barus,[18] menulis bahwa menurut rakyat setempat di Desa Lobutua pernah didapat penduduk sebuah batu bertulis pada dua bagian. Tetapi sayang, batu itu pada tahun 1857 dipecahkan oleh Raja Barus bernama Mara Pangkat. Pada tahun 1872 Deutz banyak menemukan pecahan batu peninggalan zaman Hindu yang telah dilupakan orang, telah berlumut. Dan baru pada tahun 1932, prasasti itu diterjemahkan Profesor Nila-kanti Sastri dari Universitas Madras.[19]

Prasasti itu menyebutkan bahwa paling sedikit sejak abad ke-11, telah bermukim di kota Barus sebuah koloni bangsa Tamil. Menurut batu Lobutua itu, mereka tergabung dalam sebuah perusahaan bernama “kelompok 500″ yang tidak asing lagi bagi orang-orang India waktu itu. Perusahaan swasta yang mereka wakili, merupakan perusahaan dagang cukup kuat, merdeka dalam tindakan dan tidak gampang tunduk pada salah satu raja yang berkuasa di sekitar Barus. Mereka yang berdiam di Barus inilah yang membeli beberapa hasil dari rakyat—utamanya kapur barus—untuk diekspor ke luar negeri.

Menurut Gnillout Claude[20], Barus adalah sebuah kota kuno di pantai barat Propinsi Sumatera Utara yang terkenal di seluruh Asia, sejak lebih dari seribu tahun, berkat hasil hutannya. Selain itu, nama Barus juga muncul dalam sejarah peradaban Melayu dengan Hamzah Fansuri, penyair mistik terkenal yang baru-baru ini ditemukan kembali makamnya di Mekkah. Sementara itu, tim arkeolog dari Ecole Francaise D’extreme-Orient (EFEO) Perancis bekerjasama dengan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua-Barus, menemukan bahwa pada sekitar abad 9-12 Masehi, Barus telah menjadi sebuah perkampungan multi-etnis dari berbagai suku bangsa seperti Arab, Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu, dan sebagainya. Tim tersebut juga menemukan banyak benda-benda berkualitas tinggi yang usianya sudah ratusan dan bahkan ribuan tahun dan ini menandakan dahulu kala kehidupan di Barus itu sangatlah makmur.

Dan semua kemakmuran itu berkat aroma kapur barus yang diolah dari kayu kamfer. Hanya kini, komoditi yang begitu mempesona di masa silam itu, hingga konon juga dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5. 000 tahun sebelum Masehi itu, kini sudah lama tidak lagi diproduksi

Di komplek makam Syekh Machmud yang tertata rapi dan terletak di Bukit Papan Tinggi dan memang betul-betul tinggi sehingga harus melewati 710 anak tangga ini, menggantung sebuah tulisan, “Beri Salam dan Alas Kaki dibuka.” Seakan mengakhiri sebuah kisah perjalanan sebuah kota bandar di tepian pantai barat Sumatra yang berabad lalu menjadi sebuah perkampungan multi-etnis yang penuh guyub, sarat daya tarik bagi para pedagang di hampir seluruh penjuru bumi, juga menjadi pintu masuknya berbagai peradaban dan agama-agama besar di bumi Nusantara itu kini telah sepi.**



[1] Barus telah disebut oleh Ptolomeus kira kira tahun 150 Masehi. (Kozok, 1991, 14)

[2] W. J. van der Meulen, “Suvarnadvipa and the Chryse Chersonesos”, Indonesia, 18, October 1974, h. 1

[3] Encyclopdeia van Nederlandsch Indie

[4] Ada tiga jenis kapur barus pada saat itu yaitu: Kapur barus dari Kalimantan dan Sumatera (Dryobalanops aromatica), Kapur barus dari China dan Jepang (Cinnamomum Camphora) yang banyak beredar dipasaran dan yang ketiga adalah Blumea balsami- fera, yang diproduksi di China dengan nama kapur barus Ngai. Harga dari kapur barus asal Sumatera ini kira-kira 138 kali lebih mahal dari kapur barus China dan Jepang. (Hobson-Jobson, Glossary of Anglo-Indian Words and Phares)

[5]Travel of Marco Polo,” Buku 3 Bab 9 dan Buku 2 Bab 8 by Marco Polo dan Rustichello of Pisa

[6] Sumatra Benzoe, Disertasi P.H. Brans

[7] J. Innis Miller, The Spice Trade of the Roman Empire, Oxford University Press, London, 1969, terutama Bab “The Cinnamon Route”

[8] Verspreide Geschriften No VI, halaman 15

[9] Po-lu-chi atau Po-lu-suo terkadang sering keliru diterjemahkan dalam text China dengan Bo-si atau Persia. Barus ini juga sering disebut sebagai Bon-cu, Bian-shu atau Bin-cuo. (Roderich Ptak, Possible Chinese Reference to the Barus Area (Ming to Tang) in Claude Guillot (ed.) Histoire de Barus, Sumatera: Le Site de Lobu Tua I, Etudes et Documents, Paris, Cahier d’Archipel 30, 1998, pp. 119-138)

[10] Oliver W. Wolters, Early Indonesian Commerce, Cornell University Press, Ithaca, New York, 1967, terutama Bab 8

[11] Dari Desa Pansur sedikit di utara Barus

[12] Dari kata Kalasan, daerah penghasil kapur barus antara Kota Barus dan Sungai Chenendang

[13] Diterjemahkan oleh Paul Pelliot, “Deux Itineraires de Chine en Inde a la Fin du VIIIe Siecle”, BEFEO, 4, 1904, hal. 132-413

[14] Diterjemahkan oleh Friedrich Hirth dan W. W. Rockhill, Chau Ju-kua: His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries, entitled CHU-FAN-CHI, Imperial Academy of Sciences, St.Petersburg, 1911

[15] Lihat: F. Hirth dan W.W.Rockhill, hh. 114-124

[16] Berita ini tercantum dalam kronik Tung-tien buku 193 nomor 22b. Lihat: F.Hirth dan W.W.Rockhill, h. 119

[17] Paul Pelliot, h. 297. Lihat juga W. P. Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources, Bhratara, Jakarta, cetak ulang 1960, h. 14.

[18] Barus, G.J.J. Deutz, Tijdschr No. 22 tahun 1875

[19] A Tamil Merchant-guild in Sumatera oleh Prof. N. Sastri dalam Tijdschr No 72 tahun 1932

[20] “Lobu Tua Sejarah Barus”, Obor, 2002

Minggu, 14 September 2008

KONFLIK PERBATASAN, SUMBER PERMASALAHAN REGIONAL BERIKUTNYA

September 12, 2008 By: admin Category: News (LAPOD)

Oleh : Kolonel Ir. Harmen Batubara, MBA, Direktorat Wilayah Pertahanan Dephan
Pendahuluan
Sebagai Negara kepulauan dengan julukan Negara benua maritim, Indonesia mempunyai perbatasan dengan sepuluh Negara tetangga; tiga diantaranya disamping mempunyai perbatasan darat juga mempunyai perbatasan wilayah laut. Dalam sejarahnya, hanya Negara-negara yang sudah maju dan berbudaya sajalah kayaknya yang mampu melihat batas tak lebih dari sebatas wilayah administrasi saja dan sama sekali tak ada masalah dalam hal mereka berintegrasi baik untuk kepentingan bisnis maupun kepentingan sehari-hari lainnya.² Tetapi tidak demikian halnya dengan Negara berkembang, lebih-lebih bagi Indonesia sendiri serta termasuk pula dengan Negara tetangganya. Sebutlah misalnya dengan eksiden penembakan dua orang nelayan Indonesia oleh petugas patroli keamanan laut Malaysia, yang oleh Komandan TNI-AL Pangkalan I Belawan Laksamana Pertama Sadiman memastikan kejadian itu masih di perairan Indonesia (Kompas 21/9/2006) Begitu juga dengan hal serupa oleh patroli laut Papua New Guinea.
Batas laut antara Indonesia dan Malaysia di selat Malaka sampai saat ini masih terdapat beberapa bagian yang belum disepakati oleh kedua negara, dan masing-masing mempunyai persepsi yang berbeda.³) Penetapan batas laut kedua negara sesungguhnya sudah di mulai sejak tahun 1969, tepatnya tanggal 27 oktober 1969 kedua negara sepakat terhadap 25 titik koordinat, 10 titik di Selat Malaka dan 15 titik di Laut China Selatan serta telah diratifikasi dengan Peraturan Presiden RI no 89 Th 1969 pada tanggal 15 November 1969. Kemudian delapan titik lagi pada tahun 1970 dan telah diratifikasi dengan UU RI nomor 2 pada tanggal 10 Maret 1971. Artinya meskipun pada beberapa lokasi sudah disepakati akan tetapi pada area tertentu dan tentu saja areanya masih sangat luas di kedua belah pihak belum sepakat.7). Yang menjadi tanda tanya adalah, kenapa patroli keamanan laut Malaysia melakukan penembakan; hal yang sama juga di lakukan oleh patroli keamanan laut Papua New Guinea di Papua beberapa waktu yang lalu. Padahal patroli keamanan laut Indonesia boleh dikatakan tidak pernah melakukan hal serupa kepada para nelayan negara tetangganya. Para analis boleh saja melakukan perkiraan dan kalkulasi, tetapi pada kenyataannya inilah sebenarnya kondisi yang lagi “in” pada petugas keamanan kita, “sangat disiplin” dan ragu-ragu mengambil tindakan.
Mereka merasa dan trauma, sebab kalau salah prosedur maka pekerja HAM dan kalangan politisi akan “menghakimi mereka, tanpa ada yang peduli ”, melebihi perlakuan terhadap penjahat perang sekalipun. Hal lainnya yang perlu di evaluasi adalah kualitas kerjasama antar negara dengan para tetangga tersebut. Hal seperti ini, sesungguhnya tidak akan lepas dari peran kualitas kerjasama itu.

Wilayah Perbatasan Negara, Potensi dan Ancaman
Posisi geografi Wilayah Indonesia berada diantara dua benua ( Asia – Australia) dan dua samudera ( Hindia – Pasifik) serta berbatasan dengan 10 negara. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan letak pulau-pulaunya yang menyebar , berjumlah tidak kurang dari 17.499 pulau bernama dan tidak bernama serta memiliki wilayah daratan seluas ± 2 juta km2 dan wilayah perairan seluas ± 6 jt km2, panjang garis pantai ± 81 ribu; terdapat 92 pulau-pulau kecil terluar, 67 diantaranya berbatasan langsung dengan negara tetanngga; dari 67 pulau itu hanya 28 pulau yang berpenduduk sementara 39 lagi masih kosong; Dan dari sejumlah itu terdapat 12 pulau diantaranya yang paling menghawatirkan, Penduduk Indonesia berjumlah hampir mencapai 220 juta jiwa terdiri dari ratusan suku/etnis dan suku bangsa, mempunyai kedudukan yang penting serta strategis, baik dalam kerangka pembangunan wilayah regional, wilayah perbatasan maupun hubungan antar bangsa. 5)
Dilihat dari letaknya, maka wilayah NKRI mempunyai posisi strategis dan sekaligus juga rawan, dan memendam banyak kepentingan negara lain, terutama seperti Selat Malaka; sehingga dengan melihat dari letaknya saja sudah mengharuskan negara ini mampunyai kekuatan penangkal yang handal, mampu memberikan ruang bagi gejolak yang terjadi disekitarnya, mampu beradaptasi atau penyesuaian diri secara cepat, dan seterusnya memberikan rasa aman dan perlindungan bagi wilayah di regional ini 6). Ibarat sebuah “resort” dipersimpangan jalan, maka selain harus kuat, kukuh serta dilengkapi dengan fasilitas pengamanan dan personil keamanan yang mantap, juga harus ditunjang tata ruang atau penempatan berbagai fasilitas secara sinergis dan asri serta sarana prasarana serba lengkap sehingga siapapun yang datang hanya berpikiran untuk memanfaatkan fasilitas “resort” sesuai dengan tatanan yang sudah ada. Tidak tersedia ruang untuk mencoba-coba, apalagi berniat memanfaatkan fasilitas dengan niat merugikan . Kesempatan untuk itu nyaris tidak terbayangkan.
Implementasi dalam pengelolaan wilayah negara yang berada di posisi strategis dan rawan dunia tidak jauh berbeda. Batas-batas wilayahnya sudah harus jelas, gelar kekuatan dan dislokasi pasukannya sudah terprogram dan fokus sesuai dengan persepsi akan ancaman yang ada. Demikian pula dengan penataan wilayahnya sudah mencerminkan tata ruang dengan pendekatan kesejahteraan dan tatanan dengan pendekatan keamanan atau dengan kata lain RUTRN nya telah melewati suatu “ grand design” yang bertumpu pada kondisi riel dari negara, artinya apakah ia dianggap sebagai negara benua dengan tumpuan daratan atau negara kepulauan.6) Barulah kemudian dibangun sarana dan prasaran serta infrastruktur yang memungkinkan kegiatan perekonomian dan pengamanan wilayah tersebut dapat dilakukan secara sinergis.

Perbatasan Wilayah Darat.

a. Perbatasan RI – Malaysia.

ð Panjang garis batas : ± 2004 km, terdiri dari sektor barat (Kalimantan Barat - Sarawak) dan sektor timur (Kalimantan Timur - Sabah). Penegasan batas bersama dimulai sejak tahun 1975. Jumlah tugu batas ada 19.328 buah terdiri dari tipe A,B,C dan D lengkap dengan koordinatnya. Kemudinan terdapat field plan , traverse hight plan (skala 1 : 5.000 dan 1 : 2.500) masing-masing = 1.318 MLP( Model Lembar Peta). Pada tahun 2000 pekerjaan demarkasi dan delienasi dan penggambarannya telah selesai, akan tetapi masih terdapat sepuluh lokasi yang bermasalah atau kedua negara belum sepakat tentang batas negara di lokasi tersebut.

ð 10 Permasalahan Utama (The Outstanding Border problems,OSBP) Sebagaimana diketahui, pengukuran atau penegasan batas RI-Malaysia sebenarnya telah selesai pada tahun 2000, namun demikian masih terdapat sepuluh lokasi yang kedua negara tidak atau belum sepakat. Malaysia hanya mengakui sembilan permasalahan saja, sementara Indonesia menghendaki ada sepuluh. Perbedaan ini menyangkut lokasi Tanjung Datu. Secara formal ditingkat teknik kedua negara sudah menanda tangani hasil ukurannya, dan secara hukum masalahnya sudah selesai..
Tetapi belakangan pihak Indonesia menyadari bahwa apa yang telah ditanda tangani tentang Tanjung Datu itu adalah sesuatu kekeliruan dan menghendaki adanya kaji ulang di lokasi tersebut, apalagi yang menanda tangani itu baru sampai tahapan tingkat teknik, artinya masih ada kesempatan untuk melihatnya kembali. Tapi bagi pihak Malaysia sampai sejauh ini tidak mau lagi untuk melakukan kaji ulang di lokasi tersebut. Kesepuluh atau kesembilan masalah ini sesuai perencanaan awal akan dibahas setelah penegasan batas selesai, yakni setelah tahun 2000. Tapi berhubung di wilayah perbatasan tersebut masih dilakukan kerjasama pembuatan “datum” bersama, serta pemetaan bersama maka kedua belah pihak merasa perlu untuk menunggu hasilnya, sebelum kembali membahas ke sepuluh atau sembilan masalah tersebut.

b. Batas RI – PNG.

ð Panjang garis batas ± 770 km, darat 663 km, S. Fly ± 107 km, penegasan batas dimulai tahun 1966. jumlah tugu MM sebanyak 52 buah, jumlah perapatan tugu batas 1.600 tugu, peta wilayah perbatasan dengan kedar 1 : 50.000. sebanyak 25 mlp dari 27 mlp.

ðPenentuan batas berdasarkan koordinat astronomis :
1410 00’ 00” BT di utara antara MM1 – MM10,
1410 00’ 10” BT di selatan antara MM11 – MM14.

ð Permasalahan batas antara RI – PNG, yaitu : Pada umumnya meskipun dalam perencanaan maupun kesepakatannya pengukuran perbatasan ini akan dilakukan secara bersama; tapi pada kenyataannya belum pernah dilakukan secara bersama-sama. Artinya kedua belah pihak bekerja secara sendiri-sendiri, meski hasil ahirnya tetap ditanda tangani oleh kedua negara. Kemudian di Desa Wara Smoll adalah wilayah NKRI tetapi telah dihuni, diolah dan dimanfaatkan secara ekonomis, administratif serta sosial oleh warga PNG yang sejak dahulu dilayani oleh pemerintah PNG. Namun demikian pemerintah PNG sendiri mengakui bahwa desa itu wilayah RI.

c. Batas RI - Timor Leste.

ð Panjang batas ± 268,8 km, terdiri dari sektor Timur ± 149,1 km dan sektor Barat ± 119,7 km. Telah disepakati 907 tugu dari rencana + 5.000, disepakati 5 dari 8 daerah yg semula ada permasalahan (terutama kesulitan implementasi dan masalah adat),

Permasalahan.

- Noel Besi, pihak RI menginginkan Noel Besi sebagai batas wilayah sesuai toponimi, sedangkan UNTAET menginginkan sungai Nono Noemna berdasarkan sudut kompas 320 NW ke arah P. Batek.

- Manusasi, fihak RI menginginkan garis batas dipindahkan ke arah utara S. Miomafo ditarik dari pilar yang dibuat tahun 1966, menyusuri punggung bukit.

- Dilumil/Memo, river Island seluas 58 Ha, pihak RI menginginkan batas berada di sebelah timur river Island sedangkan RDTL di sebelah barat.

Perbatasan Wilayah Laut.

Masalah Batas laut RI dengan negara tetangga menggunakan dasar hukum UNCLOS ’82; boleh jadi secara defakto wilayah itu masih masuk dan menjadi kepemilikan RI akan tetapi secara budaya dan ekonomi mereka lebih dekat dengan negara tetangga dengan permasalahannya sebagai berikut : 13)

a. RI - India. UNCLOS 1982, perjanjian garis batas landas kontinen tahun 1974 dan tahun 1977, Sesui dengan Keppres 51/74 tanggal 25 September 1974 dan Keppres 26/77 tanggal 4 April 1977. Sejauh ini belum ada masalah yang muncul.

b. RI - Thailand. UNCLOS 1982, perjanjian garis batas landas kontinen tahun 1971, persetujuan garis batas dasar laut tahun 1971, Keppres 21/72 tanggal 11 Maret 1972 dan Keppres 1/77 tanggal 11 Desember 1975.
Secara sepihak Thailand mengumumkan ZEE berdasarkan Royal Proclamation tanggal 23 Pebruari 1981 berjarak 200 NM dari baselines Thailand dan mengusulkan landas kontinen dengan ZEE berhimpit. RI berpendapat ZEE mempunyai rejim hukum yang berbeda dengan landas kontinen sesuai UNCLOS 82.

c. RI - Malaysia. UNCLOS 1982, perjanjian baris batas landas kontinen tahun 1969 (menggunakan Konvensi Geneva 58) dan penetapan garis laut wilayah diselat Malaka tahun 1970, Keppres 89/69 tanggal 15 November 1969 dan UU No. 2/71 tanggal 10 Maret 1971.
Malaysia mengklaim Blok Ambalat dilaut Sulawesi, dan tidak konsisten dengan UNCLOS 1982, meskipun ZEE belum ditetapkan. RI berpendapat Blok Ambalat yang berada di Laut Sulawesi masuk dalam wilayah NKRI.

d. RI - Singapura. UNCLOS 1982, perjanjian garis batas laut wilayah tahun 1973, UU No. 7/73 tanggal 8 Desember 1973 (Lembar Negara RI No. 3018). Perjanjian ini dilakukan sebelum UNCLOS 82.
Pasir dari Indonesia telah merubah bentuk asli geografi Singapura, sehingga wilayah Singapura kian menjorok ke perairan Indonesia. UNCLOS 82 memungkinkan negara memanfaatkan harbour work sebagai titik dasar. Sampai saat ini ekspor pasir masih berjalan terus, minimal dalam bentuk pasar gelap.

e. RI - Vietnam. UNCLOS 1982, perundingan penetapan batas landas kontinen tahun 2003. RI belum meratifikasi perjanjian tahun 2003, perairan Laut Cina Selatan mengandung minyak bumi dan gas.

f. RI - Philipina. UNCLOS 1982, penjajakan perundingan tingkat teknis (1994) dan pertemuan informal (2000), pertemuan teknis lanjutan forum Joint Commision Bordering Committee/JCBC (2001). Treaty Of Paris 1898.
Belum ada ketetapan untuk penentuan batas maritim, dimana Indonesia mengusulkan diterapkannya prinsip proporsionalitas panjang pantai, dan median line bagi kawasan yang sempit. Philipina pertimbangkan masalah perikanan sebagai faktor yang relevan untuk mencari solusi yang equitable.

g. RI - Palau . UNCLOS 82, Konstitusi Palau tahun 1979. Belum pernah melakukan perundingan karena belum ada hubungan diplomatik antar kedua negara. Dalam masalah kedaulatan AS bertanggung jawab atas pertahanan Palau dan kemungkinan Palau dibantu oleh AS dalam perundingan penetapan batas maritim.

h. RI - PNG. UNCLOS 1982, perjanjian garis batas tertentu (1973) dan persetujuan batas maritim (1982), UU No. 6/73 dan Keppres No. 21/82. Meskipun masalah penangkapan ikan di wilayah hukum tradisional tidak mempunyai masalah akan tetapi luas wilayah daerah hukum tradisional nelayan dan bentuk/sifat kegiatannya belum ditetapkan secara tuntas.

i. RI - Timor Leste. UNCLOC 82, pertemuan Bali (Desember 2004). ALKI yang melintas perairan Timor Leste, akses laut untuk Ocussi ke Timor Leste dan kemungkinan tumpang tindih batas yuridiksi ke dua negara di laut masih belum tuntas.

j. RI - Australia. UNCLOS 1982, perjanjian garis batas landas kontinen (1971), perjanjian penetapan batas dasar laut tertentu (1971), hak perikanan tradisional nelayan RI (1974), Keppres No. 42/71 dan Keppres No. 66/72. Australia ingin memberlakukan perundingan anti terorisme baru dengan memeriksa semua kapal sampai jauh dari batas yurisdiksinya.

ð Permasalahan Perbatasan di sekitar Pulau-Pulau Kecil Terluar

Dari hasil penelitian dan penghitungan terhadap 17.499 pulau-pulau yang ada, sebanyak 5698 pulau sudah diberi nama, sementara sebanyak 11.801 Pulau belum ada nama. Dari jumlah sebanyak itu terdapat 92 Pulau terluar yang dinilai sangat strategis, karena menjadi garis terdepan Nusantara, juga berbatasan langsung dengan Negara tetangga atau laut Internasional. Dari 92 Pulau tersebut terdapat 12 Pulau yang membutuhkan perhatian khusus, yakni : PulauRondo (Sabang,NAD). Pulau Sekatung (Natuna,Kepri). Pulau Nipa (Batam, Kepri). Pulau Berhala (Deli Serdang,Sumut). Pulau Marore (Sangihe,Sulut), Pulau Miangas (Kep.Talaud,Sulut), Pulau Marampit (Kep.Talaud,Sulut), Pulau Batek (Kupang,NTT), Pulau Dana ( Kupang, NTT), Pulau Fani (Raja Ampat, Papua), Pulau Fanildo (Biak Numfor, Papua) dan Pulau Brass ( Biak Numfor,Papua)
Sebagaimana diketahui, Pulau-Pulau Kecil Terluar umumnya memiliki karakteristik yang khas dan sekaligus menjadi sumber permasalahan yang membutuhkan perhatian : 10)

a. Lokasi Pulau-Pulau Kecil Terluar pada umumnya terpencil, jauh dari pusat kegiatan ekonomi. Pulau-Pulau Kecil Terluar merupakan kawasan sangat sulit dijangkau, demikian pula dengan kondisi alamnya ada yang sama sekali tidak berpenghuni dan tidak mempunyai sumber air tawar.
b. Minimnya sarana dan prasarana. Hal ini dapat dilihat mulai dari belum adanya apa-apa sama sekali, tidak ada sarana jalan, belum ada terminal, tidak punya pelabuhan laut dan sarana angkutan. Selain itu untuk yang sudah berpenghunipun, umumnya prasarana air terlebih lagi irigasi untuk menunjang kegiatan pertanian belum ada atau jauh dari memadai, demikian pula dengan jangkauan pelayanan lainnya seperti sarana listrik dan telekomunikasi.

c. Akses menuju Pulau-Pulau Kecil Terluar sangat terbatas. Pada umumnya aksesibilitas menuju pulau-pulau kecil terluar tidak ada atau sangat minim sehingga sulit mengharapkan sektor perekonomian bisa berkembang secara alami.

d. Kesejahteraan masyarakat masih sangat rendah. Kondisi masyarakat umumnya masih tergolong sangat sederhana atau dibawah garis kemiskinan. Karena kondisi wilayahnya menyebabkan mereka belum dapat memanfaatkan peluang. Malah pada umumnya mereka lebih mengandalkan negara tetangga.

e. Penduduk merasa lebih dekat dengan negara tetangga. Secara geografis Pulau-Pulau Kecil Terluar berjarak lebih dekat dengan negara tetangga, Penduduk banyak yang mencari nafkah di negara tetangga, karena lebih mudah mendapatkan pekerjaan, misalnya penduduk P. Miangas, ( Batas dgn Pilifina). P. Sebatik (Batas dgn Malaysia). begitu juga dengan sarana dan prasarananya, sehingga kegiatan ekonominya lebih dipengaruhi oleh kegiatan yang terjadi di wilayah tetangga

f. Pengrusakan lingkungan hidup cenderung meningkat. Beratnya beban ekonomi mesayarakat dan rendahnya kesadaran terhadap lingkungan serta lemahnya pengawasan menyebabkan maraknya kegiatan menjual tanah atau pasir yang ada disekitarnya ke negara tetangga (kasus pulau nipah dan sekitarnya). Mereka tidak sadar kalau perbuatan seperti itu justeru memperluas negara tetangga dan sebaliknya mempersempit wilayah negara sendiri dan sekaligus menjadi masalah dalam penegasan batas antar negara.

g. Arus informasi dari negara tetangga lebih dominan. Karena letaknya yang terisolir Pulau-Pulau Kecil Terluar sulit dijangkau oleh teknologi komunikasi dan informasi sehingga cenderung memanfaatkan informasi dari negara tetangga. Sebagian besar mereka hanya dapat mengakses TV negara tetangga dan sebaliknya tidak bisa menangkap jaringan TV nasional, kalaupun dapat tapi kualitas nya kurang baik.

h. Rendahnya kualitas SDM. Salah satu faktor yang menentukan kualitas SDM adalah tersedianya infrastruktur dasar seperti pendidikan, kesehatan dan perumahan. Tetapi karena tidak tersedia maka tingkat pendidikan umumnya masih rendah, demikian pula halnya dengan kesehatan masyarakat

Memahami Permasalahan Pengelolaan Wilayah Perbatasan

Dari wilayah perbatasan, kita mempunyai perbatasan darat dan laut; perbatasan darat dengan negara Malaysia sepanjang ± 2004 km di Pulau Kalimantan, dengan Papua New Guinea sepanjang ± 770 km di Papua, dan dengan Timor Loro Sae sepanjang ± 300 km di Nusa Tenggara; begitu juga dengan perbatasan laut, kita mempunyai perbatasan dengan India, Thailand, Vietnam, Malaysia, Singapura, Philifina, Kepulauan Palau, PNG, Australia dan Timor Loro Sae; meskipun sudah dimusyawarahkan bersama sejak tahun awal 70an, tetapi sampai sekarang belum ada satu perbatasanpun yang sudah dapat dikatakan selesai.1) Secara teknis sebenarnya penyelesaian masalah batas antar kedua negara tidak susah, tetapi yang menjadi persoalan adalah terlalu banyak institusi yang terlibat, dan tidak fokus. Pendek kata, belum ada persoalan perbatasan antar kedua negara yang kedua negara mempunyai rencana untuk menuntaskan permasalahan batasnya dalam jangka waktu tertentu. Yang ada hanyalah program yang mengalir begitu saja, dan setiap ganti pejabat ikut pula berganti kebijakan.
Penyelesaian perbatasan darat antara RI-Malaysia di Pulau Kalimantan, sudah dimulai sejak tahun 1973; pada tahun 2000 proses demarkasinya sudah selesai, tetapi kedua negara mempunyai perbedaan di sepuluh lokasi. Malaysia hanya mengakui sembilan lokasi, tetapi Indonesia bilang ada sepuluh lokasi; dan kedua negara tidak sepakat juga dalam jumlah lokasi yang bermasalah ini. Persoalannya sebenarnya bukan hanya pada sembilan atau sepuluh, tetapi kedua negara justeru tidak punya program yang jelas serta waktu yang terukur untuk menuntaskan permasalahan tersebut. Jadi sejak tahun 2001, permasalahan yang kesepuluh lokasi itu tetap saja mengambang. Masing-masing terlihat segan untuk memulai.10)
Kalau masalah batas dikaitkan dengan dinamika perubahan regional serta lokasi NKRI yang sangat terbuka dan posisinya berada pada pertemuan antara benua Asia dan Australia serta Samudra Hindia dan Samudra Pasifik, menjadi wilayah vital bagi kepentingan dan pembangunan negara lain, maka sesungguhnya masalah perbatasan ini dipercaya adalah “ the rising problems” pada masa-masa yang akan datang.4) Persoalan batas tidak saja akan mengganggu kenyamanan bertetangga tetapi justeru akan merupakan “celah masuk” bagi permasalahan kerjasama antar kedua negara.3)
Permasalahan batas bagi negara yang bertetangga semestinya harus dilihat dari kacamata kerjasama antar negara, terlebih lagi bagi Indonesia; perbatasan itu harus dilihat sebagai pengikat kerja sama dan menjadikannnya sebagai beranda depan bangsa. Dengan dasar filosofi seperti itu, maka sesungguhnya pengembangan wilayah perbatasan harus dilihat dari semangat kerja sama kedua negara; semangat semacam ini sudah mulai dikembangkan oleh Kedua Pemda yakni Pemda Kalbar dan Kaltim dengan negara tetangganya Sarawak dan Sabah. Wacana atau ide untuk membuka lahan perkebunan sawit di perbatasan kembali mengemuka. Seperti kita ketahui, pada mulanya, ide ini sempat ditentang oleh beberapa kelompok LSM, alasan utamanya adalah masalah lingkungan dan ketidak cocokan lahan.9)

Tetapi belakangan IPB dan Bappenas kembali mengkaji gagasan ini dengan Departemen teknis terkait, terutama mengkaitkannya dengan penyelarasan lingkungan alam Kalimantan yang disebut dengan ”Heart Of Borneo” serta dari ketersediaan lahan. Dari kacamata teknis, terutama mengkaitkannya dengan kemiringan lahan serta aspek lingkungan, maka wilayah perbatasan RI-Malaysia di Kalimantan tersebut, masih mampu menyediakan lahan perkebunan untuk sekitar luasan lahan setengah juta hektar. Masalah itu kini tengah disosialisaikan serta diusulkan untuk mengkaitkannya dengan program pemberdayaan potensi perkebunan tradisional masyarakat di wilayah tersebut; sebab kalau hanya fokus pada ”bussiness oriented”, maka dihawatirkan nantinya akan mendapatkan resistensi dari masyarakat.

Masalah perbatasan antar pemda dalam negeri sebenarnya menjadi persoalan yang sangat dominan serta sangat menyita dana dan waktu, terutama kalau hal itu dikaitkan dengan masalah perbatasan pemerintahan dalam negeri serta dinamika pemekaran sesuai dengan ritme otonomi daerah. Pada saat ini ada masalah batas di Padangsidempuan, Deliserdang, Kota Medan, Serdang Bedagai,ada pula antara Kota Bukittinggi dengan kabupaten induknya; ada pula masalah Bangka-Belitung ; antara Prov. Jambi dan Kep.Riau soal pulau Berhala; Kota Balikpapan dengan Kab.Penajam Pasir Utara; Kota Bontang dengan Kabupaten Kutai Kartanegara; Belum lagi yang di sulawesi sampai dengan antara Halmahera Utara dan Halmahera Barat dll. Pendek kata masalah perbatasan saat ini sungguh riuh rendah; padahal ke depan sudah ada pula 10 kabupaten/ Kota yang bakal dimekarkan. Anehnya itu, belum ada tanda-tanda akan terselesaikan.

Permasalahan batas antar Pemda menjadi persoalan yang pelik dan memerlukan perhatian khusus, sebab pada daerah-daerah tertentu masalah batas ini dijadikan isu-isu lokal yang mampu mengundang konplik antar masyarakat kedua pemda. Beberapa diantaranya masih sekedar adu argumentasi, tetapi pada daerah-daerah tertentu sudah menjadi konplik fisik dan menyebabkan pengungsian penduduk. Pada dasarnya masalah batas antar pemda, disamping memang bersumber dari UU pembentukannya, sesungguhnya tidak lebih dari persoalan pembagian harta gono gini; kalau masing-masing pemda mau menerima bagiannya secara lapang dada, maka persoalan batas selesai. Untuk masalah batas yang bersumber dari UU pembentukannya, penyelesaiaannya adalah lewat revisi atau membuat kesepakatan batas baru. Sayangnya, dan yang terjadi kemudian adalah adanya keinginan salah satu pemda yang menjadikannya sebagai issu sesuai dengan kepentingan mereka sendiri.

Kesimpulan

* Sejak awal tahun 70 an pemerintah Indonesia sudah melakukan upaya penegasan serta penetapan batas dengan sepuluh Negara tetangganya, namun sampai saat ini belum ada yang selesai. Kalau kita memperhatikan prosesnya, maka masalah penegasan antar Negara adalah masalah kerjasama bilateral; kalau keduanya sepakat maka proses pekerjaannya dapat dengan mudah di selesaikan. Dipercaya di masa-masa yang akan datang masalah batas akan menjadi sumber konplik baru, bila kedua Negara tidak mampu menyelesaikannya dengan baik.
* Penyelesaian persoalan penegasan dan penetapan batas antar Negara harus dilakukan secara terintegrasi dan kerjasama yang sungguh-sungguh; Pemerintah perlu mempunyai kebijakan untuk memprogramkan penyelesaiaan permasalahan batas ini secara tuntas; karena itu perlu di kampanyekan langkah bersama dalam penyelesaian penegasan dan penetapan batas antar Negara ; sehingga terdapat program penyelesaian masalah batas yang jelas, dukungan dana serta lama waktu yang diperlukan.

Saran.
Perlu adanya program yang jelas dari semua pihak stakeholder penegasan dan penetapan batas antar negara, serta dukungan dana yang dibutuhkan untuk penyelesaian masalah perbatasan. Penyelesaian batas, makin cepat makin baik.

Catatan Kaki

1. “Buku Putih Dephan RI Tahun 2003”, Mempertahankan Tanah Air Memasuki Abad 21.

2. Daniel J. Kaufman (US National Security, A framework for Analysis), Lexington Books, DC Heats and Company, 1985.

3. Geopolitik Global dan Regional Serta Implikasinya Bagi Australia dan Indonesia, Mayjen TNI Dadi Susanto, Lokakarya Perjanjian Keamanan Australia- Indonesia : Dari Perspektif Global dan Regional serta Relevansinya bagi Indonesia, Ruang Sudirman, Dephan 20 Juni 2006.

4. Kaji Ulang Strategis Sistem Pertahanan, Strategic Defence Review, Dirjen Strahan Dephan, Tahun 2004.

5. Menata Pulau-pulau Kecil Perbatasan, Belajar dari Kasus Sipadan, Ligitan, dan Sebatik. Mustafa Abubakar,Penerbit Buku Kompas, November 2006.

6. Naskah Akademik Penataan Ruang Kawasan Pertahanan, ( masih dalam revisi ) Dephan 2004.

7. Pengaruh penetapan RUU batas wilayah NKRI terhadap pertahanan negara, Brigjen TNI Frans B. Workala S.pd.MM.,Direktur Wilayah Pertahanan Direktorat Jenderal Strategi Pertahanan, Dephan. Makalah ini dipresentasikan sebagai bahan pada Dialog Terbatas Dalam Rangka Penyusunan RUU Tentang Batas Wilayah Kedaulatan NKRI yang diselenggarakan Depdagri di Hotel Aston Atrium Senen pada tanggal 26 Juni 2006

8. Pokok-pokok Pikiran Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Tata Ruang Wilayah Pertahanan, DoK Jakstra, Dirjen Strahan Dephan 2006

9. Platform Penanganan Permasalah an Perbatasan Antar Negara, Direktorat Wilayah Administrasi dan Perbatasan, Dirjen PUM, Departemen Dalam Negeri. 2005.

10. Manajemen Wilayah Negara, Brigjen TNI Frans B. Workala S.pd.MM.,Direktur Wilayah Pertahanan Direktorat Jenderal Strategi Pertahanan, Dephan. 2006.

11. Undang-Undang tentang Pertahanan RI Nomor 3 Tahun 2001 ( Lembaran Negara RI tahun 2001 nomor 78, TLNRI 3851).

12. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terdepan.

13. Undang-undang no.17 tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law Of the Sea tahun 1982 ( Lembaran Negara RI Tahun 1985 nomor 76, Tambahan LNRI nomor 3319.

14. Undang-undang No 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia ( LNRI tahun 2004 nomor 127, Tambahan Lembaran Negara RI nomor 4439.

0 komentar: