Heritage Intelligence

Mendengar intelijen ingatan langsung tertuju kepada James Bond 007, CIA, KGB, dan Mossad. Institusi intelijen Negara yang bekerja dalam ketertutupan dan menyeramkan seperti kisah Victor Ostrovsky atau novel Body of Lies karya David Ignatius. Intelijen Benda Cagar Budaya (Heritage Intelligence) bukan merupakan pengenjawantahan dari Lembaga Intelijen Negara, melainkan pekerjaan penelitian dan pendokumentasian tentang keberadaan benda cagar budaya yang ada di Indonesia. Banyaknya peninggalan kekayaan artefak sejarah yang telah lenyap atau musnah, sehingga menciptakan kerugian besar hampir disetiap sektor baik dari Ilmu pengetahuan, sosial-budaya, ekonomi dan pertahanan keamanan Negara.
Ketidak berdayaan pembuktian kekayaan dan kerugian Negara tentang peninggalan sejarah, yang telah hilang maupun masih ada merupakan 'titik lemah' untuk dapat menjelaskan dan mempertanggung jawabkan kepada publik.
Sebagaimana contoh hancurnya bangunan di proklamasi, dimana potret nyata detik-detik bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Pertanyaan kerugian apa saja yang diciptakan dari kehancuran bangunan proklamasi tersebut? Ternyata ketika di 'bedah' anatominya sungguh membuat kepala cekot-cekot, dari sisi Ilmu pengetahuan bukti nyata keberadaan fisik bangunan sudah tidak ada. Di dalam ranah berbeda seperti contoh ketika pulau Sipadan dan Ligitan diakui oleh Mahkamah Internasional di Belanda, fisik bangunan yang terdapat dikedua pulau tersebut adalah milik Malaysia. Pada akhirnya secara de jure maupun de fakto pulau Sipadan dan Ligitan milik sah Malaysia.
Terperanjat bahwa eksistensi fisik bangunan bukan persoalan sederhana, cara pandang melihat fisik bangunan selama ini hanya dilihat dari 'kaca mata kuda' yang melulu diukur dari perspektif estetika dan ekonomis semata. Padahal sebuah bangunan diciptakan melampaui tapal batas estetika dan ekonomi, sebagaimana masyarakat Jawa membangun rumah Panggang pe Ceregancet mirip dengan jasad hidup yang tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan kehidupan penghuninya.

Database Benda Cagar Budaya

Film petualangan Indiana Jones, National Treasure, dan Da Vinci Code, membuat adrenalin penonton terpacu. Kecerdasan mengumpulkan serpihan informasi yang tercecer, sehingga teka-teki dapat terpecahkan dan disusun ulang. Sungguh sebuah inspirasi. Tersebar dan terseraknya artefak benda cagar budaya dari berbagai wujud, baik dari sisa-sisa peninggalan kerajaan Nusantara sampai peninggalan kolonial. Sampai saat ini masih dalam 'terawangan' sebagai analogi berjalan dikegelapan tanpa cahaya. Keberadaan UU.No.5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya dan UU.No.26 Tahun 2007 Tentang Tata Ruang masih dalam tahap konsepsional, belum memasuki 'ranah' operasional di dalam pelestarian benda cagar budaya. Inventarisasi pendokumentasiaan sebagai database keberadaan benda cagar budaya dari berbagai ragam bentuk, sampai saat ini masih belum dapat direalisasikan. Padahal database tersebut merupakan 'peta hidup' sebagai alat deteksi dini, perihal kelangsungan pelestarian benda cagar budaya di Indonesia. Karena bila terwujud pendokumentasian tersebut, publik dapat mengetahui dan menjaga pelestarian dari benda cagar budaya yang dilindungi oleh Negara. Fungsi database dapat memberikan suguhan informasi, berapa jumlah benda cagar budaya yang dimiliki seperti Gedung, Benteng, Rumah, Masjid, Gereja, Vihara, Pusaka dan lain sebagainya. Dengan adanya informasi keberadaan artefak sejarah ini, penghancuran dan pencurian dapat maksimal dihindari.
Pendokumentasian mempunyai peran ganda di satu sisi dapat menjadi alat kontrol, disisi lain merupakan alat sosialisasi dari Undang-Undang tentang Benda Cagar Budaya yang murah dan efektif kepada warga Negara.

Benda Cagar Budaya dan Keamanan Nasional

Perjuangan panjang Vasco da Gama (1497-1499) mencapai India melalui Tanjung Harapan telah berhasil gilang gemilang, dari keberhasilan ini maka terbuka lebar pintu masuk pelayaran bangsa Eropa ke Asia. Setelah Tanjung Harapan ditundukkan, kini giliran Melaka dikuasai Portugal (1511).
Di dalam kurun waktu 11 tahun tepatnya pada tahun 1522 ekspedisi Ferdinand Magellan dari Spanyol berhasil mencapai Maluku, selisih waktu 57 tahun (1522-1579) Francis Drake dari Inggris datang menyusul ke kewilayah 'surga rempah-rempah' Maluku. Berawal dari rempah-rempah nafsu serakah untuk menguasai dalam wajah kolonialisme tertancap di bumi Maluku, gesekan kepentingan untuk saling menguasai antara Portugal dan Spanyol di Maluku pada abad XVI tidak dapat terhindarkan. Maka keluar perjanjian Tordesillas (1494) dan menyusul perjanjian Saragossa (1527) antara Spanyol dan Portugal. Hal hasil dari perjanjian tersebut Portugal dapat menguasai Maluku.
Kilasan sejarah tersebut merupakan 'rekam jejak' kolonialisme pertama kali hadir di bumi jamrud khatulistiwa, taktik dan strategi kolonial di dalam melakukan infiltrasi sampai menuju invasi dapat ketahui. Fakta penjajahan dapat ditelusuri melalui artefak seperti Benteng Victoria (1605) yang dibangun Portugal di Maluku, berfungsi sebagai benteng pertahanan. Juga Benteng Oranje (1607) di Ternate yang dibangun oleh Cornelis Matelief de Jonge (Belanda). Benteng ini pernah dijadikan pusat pemerintahan tertinggi Hindia Belanda (Gubernur Jenderal) Pieter Both, Herald Reynst, Laurenz Reaal, dan Jan Pieterszoon Coen.
Dari Benteng pertahanan sampai rute perjalanan alur laut kolonial memasuki Nusantara, sebagaimana diketemukannya beberapa artefak kapal laut kolonial yang karam di dasar laut. Dan legitimasi Mahkamah Internasional tentang batas kedaulatan wilayah Negara Kesatuan republik Indonesia (NKRI), mengacu pada peninggalan tanah jajahan Belanda. Dengan demikian 'patok batas' secara fisik peninggalan Belanda, kedepan menjadi sesuatu yang vital di dalam pembuktian wilayah kedaulatan Negara.
Walaupun bukan konteks benda cagar budaya, tetapi masih dalam 'satu tarikan nafas' peristiwa dikuasainya Pulau Sipadan dan Ligitan oleh Malaysia, karena lemahnya bukti otentik di Mahkamah Internasional. Merupakan pertanda urgensinya fisik bangunan dalam wilayah hukum Internasional. Serta perluasan pembangunan fisik didaratan Singapura melalui 'pasir laut', hampir saja mencaplok kedaulatan Indonesia khususnya pulau Nipa dan pulau lainnya disekitar wilayah propinsi kepulauan Riau. Satu lagi peristiwa penghancuran taman didepan stasiun Beos kota, dimana wilayah itu merupakan 'ring satu' zona benda cagar budaya. Kepentingan bisnis lebih penting daripada keamanan. Pembangunan shelter busway dan terowongan untuk pedestrian mengakibatkan dampak buruk bagi bangunan tua disekitarnya. Tercatat sedikitnya empat bangunan tua yang langsung terkena dampak negative yang diakibatkan dewatering saat pembangunan terowongan tersebut, keseimbangan air tanah disekitar lokasi terganggu. Dan keempat bangunan tua mengalami penurunan pondasi, dan dampak negatif apa yang akan tercipta kedepan? Tidak ada yang dapat mengatahui dan diperlukan kajian mendalam. Sampai saat ini kejelasan tentang barang sitaan Negara dari hasil penangkapan eksplorasi kapal VOC yang karam secara illegal, berapa jumlah dan nilai harta karun tersebut dan disimpan dimana masih dalam misteri.
Saksi bisu benda cagar budaya ternyata faktual dapat 'berbunyi' dan berkata jujur tanpa ada rekayasa maupun kebohongan.

Intelijen Benda Cagar Budaya (Heritage Intelligence)

Cegah tangkal di dalam pelestarian benda cagar budaya sudah waktunya diperkuat, perhitungan secara matematis tentang kekayaan 'adi luhung' bangsa Indonesia belum dapat direalisasikan. Kemampuan IPTEK di dalam kalkulasi sumber daya alam (SDA) kekayaan laut sudah dapat dihandalkan di negri kepulauan ini, padahal dahulu sebelum teori tersebut ada masih merupakan sesuatu yang 'ghaib' diwilayah alam bawah sadar. Sosok manusia dapat terbang Gatot Kaca yang hanya ada dalam cerita pewayangan, tersentak bahwa cerita itu bukan mitos melainkan teknos dengan kemampuan di dalam rekayasa teknologi kapal terbang (Dirgantara Indonesia).
Eksistensi heritage intelligence di dalam melakukan penelitian dan pendokumentasian, serta dapat juga melakukan 'audit' benda cagar budaya, merupakan pemecah dari kebekuan dan kerapuhan mengatasi permasalahan benda cagar budaya. Generasi kedepan perlu diberikan 'menu' visualitas bukan virtualitas. Melalaui intelijen benda cagar budaya sesuatu yang absurd menjadi rasional, investigasi tapak tilas untuk dapat mengumpulkan kembali serpihan sejarah yang tercecer dan hilang. Seperti analogi menjahit pakaian yang sudah usang termakan jaman, memerlukan sentuhan ketekunan penjahit handal. Semoga.***

BAROUSAI, BARUS, ATAU FANSUR: KISAH CEMERLANG DARI BERIBU TAHUN SILAM

BAROUSAI, BARUS, ATAU FANSUR:

KISAH CEMERLANG DARI BERIBU TAHUN SILAM

Kota bandar di tepian pantai barat Sumatra yang berabad lalu menjadi sebuah perkampungan multi-etnis yang penuh guyub, sarat daya tarik bagi para pedagang di hampir seluruh penjuru bumi, juga menjadi pintu masuknya berbagai peradaban dan agama-agama besar di bumi Nusantara itu kini telah sepi.

BARUS saat ini hanya sebuah ibukota Kecamatan, di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatra Utara. Posisinya berada di pinggir pantai barat Sumatera, sekitar 60 km sebelah utara Sibolga, atau sekitar 414 km dari Medan. Tidak ada yang istimewa. Begitu juga dengan Desa Lobutua, sekitar 4 km ke arah barat dari Barus. Juga layaknya sebuah desa, sepi. Meskipun sesekali para peziarah datang silih-berganti, menapaki sejarah sebuah kota banda yang jauh di awal abad masehi pernah begitu cemerlang dan menggemparkan sekujur bumi.

Dan boleh jadi, Barus adalah satu-satunya kota yang tercatat di dalam buku yang terbit di awal masehi, sehingga menempatkannya sebagai kota tertua di bumi Nusantara. Adalah Claudius Ptolomaios[1], seorang geograf Yunani yang dalam bukunya dari abad ke dua Masehi, Geographike Hyphegesis menuliskan nama negeri Barousai di Chryse Chora (Pulau Emas) yang antara lain oleh van der Meulen disimpulkan sebagai Sumatra[2].

Tapi apa gerangan yang menjadikan kota bandar ini begitu mempesona orang Yunani, China, India, dan bahkan juga para Pharao di Mesir kuno?

Jawabnya tak lain adalah kapur barus (bhs Belanda: kamfer, dan mungkin dari kata kapur yang diucapkan kofur oleh bangsa Arab).[3] Konon, kapur barus asal kota barus inilah yang paling banyak dicari karena kualitasnya yang terbaik, paling laku dan harganya kurang lebih 8 kali lebih mahal daripada kapur-kapur barus asal tempat lain[4]. Dalam catatan pelancong Italia, Marco Polo bahkan disebutkan bahwa, harga kapur barus kala itu setara dengan harga emas dengan berat yang sama[5].

Seorang Belanda pernah menulis bahwa kemenyan dari Barus, telah dipakai sebagai salah satu bahan mengawetkan (membalsem) mayat raja-raja di Mesir sebelum Masehi[6]. Jika dugaan ini benar, maka berarti kota bandar Barus ini sudah ada sejak 5.000 tahun SM. Perkiraan akhir itu, didasarkan pada temuan bahan pengawet dari berbagai mummy Fir'aun Mesir Kuno salah satu pengawetnya menggunakan kanper atau kapur Barus. Sejarawan era kemerdekaan Moh. Yamin, bahkan memperkirakan bahwa, perdagangan rempah-rempah dan tentu saja kamfer, sudah dilakukan pedagang Nusantara sejak 6.000 tahun lalu ke berbagai penjuru dunia.

Hasil penelitian Innis Miller terhadap naskah Historia Naturalis karya Plinius di abad pertama juga sudah menunjukkan bahwa, para pedagang Nusantara pun ternyata sudah menjajakan komoditas mereka sampai ke Asia Barat dan Afrika Timur sejak abad permulaan Masehi[7]. Sementara Prof. Kern[8] pernah menulis bahwa Kota “P’o-lu-chi” yang dimaksud I Tsing di abad ke-7, tidak lain dari Barus[9]. Seorang penyair Arab sebelum Islam, Amru al-Qais (meninggal tahun 530 Masehi), sangat memuji keharuman kafur dalam syair-syairnya[10].

Begitu pentingnya kota Barus ini—mungkin bisa disamakan dengan Paris pada abad modern yang terkenal dengan inovasi parfumnya—maka sejak zaman dulu dalam dunia dagang telah dikenal nama-nama Baros, Balus, Pansur, Fansur, Pansuri[11], Kalasaputra[12], Karpura-dwipa, Barusai, Waru-saka dan lain-lain.

Dan tentu, seperti kata pepatah, ada gula ada semut. Pesona kapur barus dari selatan ini menggoda banyak pendatang. Sebagaimana dicatatan Ptolomaios, selain para penjelajah dari Yunani, juga datang pedagang dari Venesia, India, Arab dan Tiongkok. Selain itu, sekelompok penyebar ajaran Kristen Sekte Nestorian dari Konstantinopel, pusat Kerajaan Byzantium Timur, juga menjejakkan kakinya di Barus. Kelompok itu diperkirakan datang sekira tahun 600 M dan mendirikan gereja pertama di Desa Pancuran, Barus.

Dewan Gereja-gereja di Indonesia juga memercayai sejak tahun 645 Masehi di daerah Barus telah masuk umat Kristen dari sekte Nestorian. Keyakinan tersebut didasarkan pada buku kuno tulisan Shaikh Abu Salih al-Armini. Sementara itu, penjelajah dari Armenia Mabousahl mencatat bahwa pada abad ke-12 telah terdapat Gereja Nestorian.

Lalu datanglah para pedagang Arab memasuki Barus sekira 627-643 M atau sekitar tahun 1 Hijriah, dan menyebarkan agama Islam di daerah itu. Di antaranya Wahab bin Qabishah mendarat di Pulau Mursala pada 627 M. Ada juga utusan Khulafaur Rasyidin, bernama Syekh Ismail akan ke Samudera Pasai dan singgah di Barus, sekira tahun 634 M. Dan sejak itu pula, tercatat bangsa Arab (Islam) mendirikan koloni di Barus. Bangsa Arab menamakan Barus dengan sebutan Fansur atau Fansuri, misalnya oleh penulis Sulaiman pada 851 M dalam bukunya "Silsilatus Tawarikh."

Kedatangan bangsa Arab yang kemudian menyebarkan agama Islam itu juga disebutkan dalam berita-berita Cina, Hsin-Tang-shu[13] (Catatan Dinasti Tang, 618-907), dan Chu-fan-chi[14] (Catatan Negeri-negeri Asing) yang ditulis Chau Ju-kua pada tahun 1225. Di dalam dua kronik Cina itu banyak bercerita tentang Ta-shi, istilah Cina untuk menyebut Arab. (Chu-fan-chi menerangkan bahwa Ta-shi mempunyai seorang Buddha (maksudnya Nabi) yang bernama Ma-ha-mat (Muhammad). Dalam sehari mereka lima kali sembahyang, dan setiap tahun berpuasa selama sebulan penuh. Dinasti Ta-shi ada dua macam, yaitu white-robed Ta-shi (Arab berjubah putih) atau Pon-ni-mo-huan (Bani Marwan, atau Bani Umayyah), serta black-robed Ta-shi (Arab berjubah hitam) yang didirikan raja A-po-lo-pa (Abul-Abbas)[15]. Pada tahun 651 Masehi, raja Ta-shi (Arab) bernama Han-mi-mo-mi-ni mengirimkan utusan ke istana Cina[16]. Hampir dapat dipastikan bahwa nama Han-mi-mo-mi-ni dalam ucapan Cina ini adalah untuk Amir al-Mu’minin, gelar resmi para khalifah Islam, dan “raja Ta-shi” yang mengirimkan utusan itu adalah Khalifah `Utsman ibn Affan yang memerintah dari tahun 644 sampai 656. Hsin-Tang-shu mencatat bahwa pada tahun 674 terdapat pemukiman pedagang Ta-shi (Arab) di Po-lu-shih, daerah pantai barat Sumatera.[17]

Tentu, dapat dibayangkan betapa makmurnya kota Barus pada awal abad masehi ini, dengan penduduk yang sebagian besar terdiri atas kaum pedagang. Pertanyaannya kemudian, siapakah yang menggerakkan semua perdagangan hingga jauh ke negeri seberang itu?

Seorang bekas kontrolir Belanda, G.J.J. Deutz, sewaktu bertugas di Barus,[18] menulis bahwa menurut rakyat setempat di Desa Lobutua pernah didapat penduduk sebuah batu bertulis pada dua bagian. Tetapi sayang, batu itu pada tahun 1857 dipecahkan oleh Raja Barus bernama Mara Pangkat. Pada tahun 1872 Deutz banyak menemukan pecahan batu peninggalan zaman Hindu yang telah dilupakan orang, telah berlumut. Dan baru pada tahun 1932, prasasti itu diterjemahkan Profesor Nila-kanti Sastri dari Universitas Madras.[19]

Prasasti itu menyebutkan bahwa paling sedikit sejak abad ke-11, telah bermukim di kota Barus sebuah koloni bangsa Tamil. Menurut batu Lobutua itu, mereka tergabung dalam sebuah perusahaan bernama “kelompok 500″ yang tidak asing lagi bagi orang-orang India waktu itu. Perusahaan swasta yang mereka wakili, merupakan perusahaan dagang cukup kuat, merdeka dalam tindakan dan tidak gampang tunduk pada salah satu raja yang berkuasa di sekitar Barus. Mereka yang berdiam di Barus inilah yang membeli beberapa hasil dari rakyat—utamanya kapur barus—untuk diekspor ke luar negeri.

Menurut Gnillout Claude[20], Barus adalah sebuah kota kuno di pantai barat Propinsi Sumatera Utara yang terkenal di seluruh Asia, sejak lebih dari seribu tahun, berkat hasil hutannya. Selain itu, nama Barus juga muncul dalam sejarah peradaban Melayu dengan Hamzah Fansuri, penyair mistik terkenal yang baru-baru ini ditemukan kembali makamnya di Mekkah. Sementara itu, tim arkeolog dari Ecole Francaise D’extreme-Orient (EFEO) Perancis bekerjasama dengan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua-Barus, menemukan bahwa pada sekitar abad 9-12 Masehi, Barus telah menjadi sebuah perkampungan multi-etnis dari berbagai suku bangsa seperti Arab, Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu, dan sebagainya. Tim tersebut juga menemukan banyak benda-benda berkualitas tinggi yang usianya sudah ratusan dan bahkan ribuan tahun dan ini menandakan dahulu kala kehidupan di Barus itu sangatlah makmur.

Dan semua kemakmuran itu berkat aroma kapur barus yang diolah dari kayu kamfer. Hanya kini, komoditi yang begitu mempesona di masa silam itu, hingga konon juga dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5. 000 tahun sebelum Masehi itu, kini sudah lama tidak lagi diproduksi

Di komplek makam Syekh Machmud yang tertata rapi dan terletak di Bukit Papan Tinggi dan memang betul-betul tinggi sehingga harus melewati 710 anak tangga ini, menggantung sebuah tulisan, “Beri Salam dan Alas Kaki dibuka.” Seakan mengakhiri sebuah kisah perjalanan sebuah kota bandar di tepian pantai barat Sumatra yang berabad lalu menjadi sebuah perkampungan multi-etnis yang penuh guyub, sarat daya tarik bagi para pedagang di hampir seluruh penjuru bumi, juga menjadi pintu masuknya berbagai peradaban dan agama-agama besar di bumi Nusantara itu kini telah sepi.**



[1] Barus telah disebut oleh Ptolomeus kira kira tahun 150 Masehi. (Kozok, 1991, 14)

[2] W. J. van der Meulen, “Suvarnadvipa and the Chryse Chersonesos”, Indonesia, 18, October 1974, h. 1

[3] Encyclopdeia van Nederlandsch Indie

[4] Ada tiga jenis kapur barus pada saat itu yaitu: Kapur barus dari Kalimantan dan Sumatera (Dryobalanops aromatica), Kapur barus dari China dan Jepang (Cinnamomum Camphora) yang banyak beredar dipasaran dan yang ketiga adalah Blumea balsami- fera, yang diproduksi di China dengan nama kapur barus Ngai. Harga dari kapur barus asal Sumatera ini kira-kira 138 kali lebih mahal dari kapur barus China dan Jepang. (Hobson-Jobson, Glossary of Anglo-Indian Words and Phares)

[5]Travel of Marco Polo,” Buku 3 Bab 9 dan Buku 2 Bab 8 by Marco Polo dan Rustichello of Pisa

[6] Sumatra Benzoe, Disertasi P.H. Brans

[7] J. Innis Miller, The Spice Trade of the Roman Empire, Oxford University Press, London, 1969, terutama Bab “The Cinnamon Route”

[8] Verspreide Geschriften No VI, halaman 15

[9] Po-lu-chi atau Po-lu-suo terkadang sering keliru diterjemahkan dalam text China dengan Bo-si atau Persia. Barus ini juga sering disebut sebagai Bon-cu, Bian-shu atau Bin-cuo. (Roderich Ptak, Possible Chinese Reference to the Barus Area (Ming to Tang) in Claude Guillot (ed.) Histoire de Barus, Sumatera: Le Site de Lobu Tua I, Etudes et Documents, Paris, Cahier d’Archipel 30, 1998, pp. 119-138)

[10] Oliver W. Wolters, Early Indonesian Commerce, Cornell University Press, Ithaca, New York, 1967, terutama Bab 8

[11] Dari Desa Pansur sedikit di utara Barus

[12] Dari kata Kalasan, daerah penghasil kapur barus antara Kota Barus dan Sungai Chenendang

[13] Diterjemahkan oleh Paul Pelliot, “Deux Itineraires de Chine en Inde a la Fin du VIIIe Siecle”, BEFEO, 4, 1904, hal. 132-413

[14] Diterjemahkan oleh Friedrich Hirth dan W. W. Rockhill, Chau Ju-kua: His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries, entitled CHU-FAN-CHI, Imperial Academy of Sciences, St.Petersburg, 1911

[15] Lihat: F. Hirth dan W.W.Rockhill, hh. 114-124

[16] Berita ini tercantum dalam kronik Tung-tien buku 193 nomor 22b. Lihat: F.Hirth dan W.W.Rockhill, h. 119

[17] Paul Pelliot, h. 297. Lihat juga W. P. Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources, Bhratara, Jakarta, cetak ulang 1960, h. 14.

[18] Barus, G.J.J. Deutz, Tijdschr No. 22 tahun 1875

[19] A Tamil Merchant-guild in Sumatera oleh Prof. N. Sastri dalam Tijdschr No 72 tahun 1932

[20] “Lobu Tua Sejarah Barus”, Obor, 2002

Selasa, 18 November 2008

Amankan Perbatasan, RI Bangun Pos dan Dermaga di Pulau Nipah

Selasa, 18/11/2008 13:35 WIB
Amankan Perbatasan, RI Bangun Pos dan Dermaga di Pulau Nipah
M. Rizal Maslan - detikNews


Jakarta - Pemerintah akan membangun pos dan dermaga di Pulau Nipah, pulau terluar di wilayah Indonesia. Pembangunan pos dan dermaga ini sebagai penanda mengukur batas wilayah NKRI.

"Insya Allah, bulan Desember selesai. TNI menyiapkan untuk mengoperasikan pos dan dermaga Angkatan Laut AL," kata Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso usai rapat koordinasi tentang Pulau Nipah di Kantor Kementerian Polhukam, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta, Selasa (18/11/2008).

Nantinya, lanjut Djoko, di Pulau Nipah ini akan ada satu pos jaga dan dermaga. "Dua bulan lagi kita siapkan personel dan perangkatnya untuk mengoperasikannya," jelasnya.

Sementara itu Asisten Operasi TNI Mayjen TNI Supiadin AS mengatakan, pos jaga di Pulau Nikah ini baru dikerjakan. Sebelum pos itu dibuat, pulau yang terletak perairan Selat Malaka, yang berbatasan langsung dengan Singapura dan Malaysia ini dijaga satu peleton pasukan TNI.

Sementara selama ini posnya sendiri berada di Batam. "Jadi diperkuat, karena Nipah merupakan pulau titik dasar pengukuran batas wilayah kita, jadi harus dibangun kembali," ujarnya.

Menurut Supiadin, pembangunan pos jaga ini juga akan diberitahukan kepada pihak Singapura. Supiadin menambahkan tidak ada penambahan personelnya dengan dibangunnya pos baru itu.

"Ya cukuplah satu peleton yang ditugaskan di sana," imbuhnya.

(zal/nrl)

Jumat, 03 Oktober 2008

SELAMAT IDUL FITRI 1429 H....

NAHKODA DAN PARA CRUE FAJARWALA INDONESIA MENGUCAPKAN SELAMAT IDUL FITRI 1429 H.

Selasa, 23 September 2008

Selasa, 23/09/2008 15:30 WIB
Bakorkamla Teliti Dugaan Pembuangan Limbah Beracun Singapura
M. Rizal Maslan - detikNews

Jakarta - Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) akan mendalami data tentang dugaan adanya pembuangan limbah beracun oleh kapal-kapal milik Singapura. Pihak Singapura sendiri belum mengklaim kebenaran itu.

"Nanti kami akan selidiki dulu data faktanya, karena kami berhak menangani pencemaran lingkungan, keamanan laut, penambangan ilegal dan illegal fishing. Kalau kami menemukan adanya pelanggaran tersebut kami akan bertindak," kata Laksamana Muda TNI Budhi Hardjo usai dilantik menjadi Kelapa Pelaksana Harian Bakorkamla mengantikan Laksamana Madya TNI Djoko Sumaryono di Kantor Bakorkamla, Jl Pasar Baru, Jakarta, Selasa (23/9/2008).

Budhi Hardjo menyampaikan alasan pihaknya melakukan penyelidikan dugaan pembuangan limbah-limbah beracun dari kapal-kapal milik Singapura di perairan Indonesia. Seperti diberitakan sebelumnya, sejak beberapa pekan ini sudah ribuan ton limbah beracun yang dibuang ke sana.

"Kenapa kami melakukan penyelidikan? Mungkin ada hasil penangkapan oleh Lanal di Batam. Tapi belum tentu Singapura mau klaim benar bahwa mereka menumpahkan limbah beracun di wilayah Indonesia," jelasnya.

Pada kesempatan tersebut, Budhi Hardjo juga menyampaikan masalah pembakaran kapal nelayan oleh pihak keamanan laut Australia beberapa hari yang lalu. "Ya kalau menurut nelayan kita sih, mereka tidak bersalah. Tapi bagi Austarlia itu dianggap pelanggaran," ujarnya.

Namun Budhi Hardjo enggan mengungkapan pihak mana yang benar pengakuannya. Yang jelas, pihaknya akan memaksimalkan sosialisasikan soal batas laut kepada nelayan Indonesia.

"Kalau bisa, kita beri perlengkapan navigasi yang baik bagi mereka," imbuhnya.(zal/anw)
Selasa, 09/10/2007 13:32 WIB
TNI AL Akan Rampungkan 9 Radar di Selat Malaka
M. Rizal Maslan - detikNews

Jakarta - TNI akan segera menyelesaikan pembangunan sembilan radar di Selat Malaka. Khususnya radar di kawasan perbatasan antara Indonesia, Malaysia dan Singapura.

"Itu perlu pengawasan, sembilan radar ini diharapkan selesai pada akhir tahun ini. Dua radar dari pemerintah sudah ada, jadi jumlahnya sekarang ada empat, dua dari APBN dan dua lagi bantuan AS," kata KSAL Laksamana TNI Slamet Soebijanto usai Hari Kesehatan AL di Markas Brigade Infanteri II Korps Marinir, Cilandak, Jakarta Selatan, Selasa (9/10/2007).

Slamet menambahkan, pemasangan sembilan radar di Selat Malaka sedang dilaksanakan. Guna penyelesaian pembangunan pemasangan radar tersebut, pihaknya menyiapkan dana yang dialokasikan dari dana APBN.

"Rencana berikutnya radar juga akan dibangun di Selat Makassar. Karena selat tersebut merupakan selat yang digunakan untuk lalu lintas kapal internasional sehingga harus dipastikan dalam kondisi yang aman," jelas Slamet.

Mengenai bantuan tiga kapal bantuan patroli laut dari Jepang, menurut Slamet, pihaknya berharap kapal tersebut diberikan kepada TNI AL. Sebab sesuai hukum laut internasional dan UU No 34/2004 tentang TNI disebutkan AL adalah yang berwenang melaksanakan tindakan pengamanan laut.

"Karenanya kapal-kapal itu sebaiknya diserahkan kepada TNI AL. Tapi, kami serahkan kembali kepada Menko Polhukam mau diberikan ke siapa," ujar KSAL.

Selain TNI AL, seperti diberitakan sebelumnya, pihak Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) juga berharap agar kapal bantuan Jepang ini bisa diserahkan ke Bakorkamla.
(zal/nrl)
Selasa, 23/09/2008 16:29 WIB
AS Bantu Radar untuk Amankan Perairan RI
M. Rizal Maslan - detikNews

Jakarta - Guna mengamankan perairan di Indonesia, sudah banyak negara asing yang menawarkan bantuan. Termasuk AS yang menawarkan bantuan radar.

"Ya mereka sudah sepakat sejak dua tahun lalu. Mereka menyumbang 3-4 radar kepada Indonesia," kata Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono usai pelantikan Ketua Pelaksana Harian Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) dari Laksamana Madya TNI Djoko Sumaryono kepada Laksamana Muda TNI Budhi Hardjo di kantor Bakorkamla, Jl.Sutomo, Pasar Baru, Jakarta, Selasa (23/9/2008).

Menurut Juwono, bantuan radar tersebut diberikan AS untuk kelancaran dan pengamanan lalu lintas niaga dan lalu lintas kapal perang.

Selain itu, dalam rangka keamanan di kawasan ASEAN pada umumnya, dalam artian pembinaan Asean Security Community. Karena ASEAN, terutama selat-selat di Indonesia, dilewati hampir 38 persen dari perdagangan laut dunia.

Radar tersebut, lanjut Juwono, sudah dipasang di beberapa tempat, namun terkendala dengan masalah tanah. Radar tersebut akan dipasang di Selat Malaka, Selat Karimata, Selat Makassar.

"Jumlah radar secara persis belum tahu. Pada umumnya dipasang di daerah-daerah Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI)," ujarnya lagi.

Walau ada bantuan dari AS, pemerintah Indonesia menurut Juwono, tidak memberikan kompensasi apapun. Bahkan pemerintah melarang ahli AS untuk mengawaki radar tersebut.

"Tidak ada kompensasi sama sekali. Tidak ada pihak AS yang diizinkan mengawasi, semua diawasi dan diawaki orang-orang Indonesia," tegas Juwono.(zal/nrl)

Selasa, 16 September 2008

MASALAH PERBATASAN
TNI Tingkatkan Pengawasan
di Garis RI-Papua

Senin, 3 April 2006
JAKARTA (Suara Karya): Tentara Nasional Indonesia (TNI) meningkatkan pengamanan di sepanjang perbatasan RI-Papua Nugini (PNG) mengantisipasi maraknya warga Papua yang mencari suaka ke Australia melalui PNG. Sedangkan terkait jumlah pasukan tidak akan ada penambahan.

"Kami belum akan melakukan penambahan pasukan di perbatasan RI-PNG, kecuali meningkatkan frekwensi patroli," kata Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Mabes TNI Laksamana Muda Mohammad Sunarto Sjoekronoputra, ketika dihubungi Antara di Jakarta, Minggu.

Harian The Age, surat kabar yang terbit di Melbourne, Australia (25/3) menyebutkan, sekitar 500 warga Papua sedang bersiap-siap mencari suaka di Australia. Dari jumlah itu, 100 orang adalah mahasiswa yang saat ini bersembunyi di hutan-hutan untuk menghindari pengejaran aparat keamanan terkait aksi protes menuntut penutupan PT Freeport Indonesia.

Sunarto mengatakan, jumlah pasukan TNI yang kini bersiaga di sepanjang perbatasan RI-PNG, sudah cukup memadai untuk mengamankan wilayah sepanjang 125 kilometer tersebut. ini juga termasuk untuk mengantisipasi maraknya warga Papua dan warga asing masuk dan keluar wilayah RI.

Selain meningkatkan frekuensi patroli, pasukan TNI di perbatasan juga memperketat pengawasan terhadap pelintas batas yang kerap melalui perbatasan RI-PNG. "Intinya, kami akan meningkatkan kewaspadaan di sepanjang perbatasan, menyusul beberapa insiden di Papua. Tetapi belum pada tahap penambahan pasukan," ujarnya menegaskan.

Tentang rumor aksi unjuk rasa serupa di Abepura, Jayapura, Sunarto menekankan, pihaknya akan selalu siap mengantisipasi segala kemungkinan yang terjadi di Papua. "Pada prinsipnya, kami siap mengantisipasi segala kemungkinan. Termasuk kemungkinan aksi serupa. Tentunya perbantuan yang dilakukan TNI harus ada permintaan dulu dari Polri," ujarnya.

Sunarto menilai, sejauh ini kondisi keamanan relatif kondusif dan terkendali. "Meski begitu, kewaspadaan akan tetap ditingkatkan," ucap Kapuspen menambahkan.

Sementara itu, Kepala Desk Papua Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Setya Purwaka menilai, ada pihak yang hingga kini masih menginginkan persoalan Papua menjadi isu internasional.

"Dengan berbagai cara mereka melakukan aksi, termasuk mendanai warga Papua untuk mencari suaka ke Australia atau negara lain," ujarnya.

Setya menambahkan, sebenarnya para warga Papua pencari suaka tidak mempunyai alasan yang kuat untuk hengkang dari Papua apalagi, pemerintah telah menjamin keselamatan mereka termasuk para mahasiswa yang masih berada di gunung-gunung.

"Jika mereka, terutama para mahasiswa yang masih berada di gunung tidak melakukan kesalahan atau tindak pidana kriminal lainnya, untuk apa mereka takut apalagi sampai mencari perlindungan ke luar negeri," katanya. (Andrian)
Senin, 13 Agustus 2007
Ulasan
Sumpah Pemuda
SBY Akan Peringati di Boven Digoel
Tags: SuaraKarya
JAKARTA (Suara Karya): Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan datang ke Kabupaten Boven Digoel di Papua Selatan yang berada persis di perbatasan RI-Papua New Guinea (PNG) untuk menghadiri sejumlah aktivitas kepemudaan dan olahraga sehubungan puncak perayaan Hari Sumpah Pemuda 2007 mendatang.

Hal itu dikemukakan Menteri Negara Pemuda dan Olahraga (Meneg Pora), Adhyaksa Dault, di Jakarta, Sabtu (11/8). "Boven Digoel layak menjadi lokasi puncak perayaan, karena sebagai kawasan perbatasan terpanjang RI-PNG, daerah ini memiliki nilai historis penting dalam sejarah kebangsaan Indonesia, yakni tempat interniran para tahanan politik serta pejuang kita, termasuk Bung Hatta dan Bung Syahrir," katanya didampingi Bupati Boven Digoel, Yusak Yaluwo dan Ketua DPD I KNPI Papua, Rivai Darus.

Menneg Pora Adhyaksa Dault mengatakan, selain upacara nasional, ditampilkan pula sejumlah kegiatan pendukung. "Di antaranya peletakan batu pertama pembangunan Monumen Bung Hatta sebagai upaya melestarikan jiwa, semangat maupun nilai-nilai kejuangan salah satu Proklamator RI tersebut," ucapnya.

Peletakan batu pertama Monumen Bung Hatta itu telah dikoordinasikan dengan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta (salah satu putri Bung Hatta). "Ibu Menteri Hatta telah bersedia datang bersama kami di sana," ujar Adhyaksa Daulat lagi.

Di samping itu, kehadiran Presiden SBY juga diharapkan dapat merangsang kebangkitan nasionalisme di kalangan generasi muda di kawasan perbatasan.

"Kami telah menyiapkan paket kegiatan pemberdayaan pemuda di kawasan perbatasan dengan `pilot project` di Boven Digoel. Dalam kaitan itu, akan dibangun pula sebuah Stadion Mini berkapasitas 15 ribu penonton untuk pemberdayaan berbagai cabang olahraga di sana," tutur Adhyaksa seperti dikutip Antara.

Sementara itu, Bupati Yusak Yaluwo memastikan, kendati kabupaten yang dipimpinnya tergolong daerah baru (dimekarkan dari Kabupaten Merauke per 2002), namun wilayah tersebut telah mengalami banyak kemajuan berarti, terutama selang dua tahun terakhir.

"Daerah kami dan kawasan Papua Selatan umumnya sangat berharap kegiatan puncak perayaan Sumpah Pemuda itu berlangsung di Boven Digoel, dan kami siap menjadi tuan rumah yang baik," katanya.

Boven Digoel yang beribukota Tanah Merah, dapat dicapai dengan tiga akses, baik darat, sungai maupun udara.

Saat ini masih terdapat sekitar 8.000 WNI dari Boven Digoel yang tinggal dengan kondisi hidup memprihatinkan di wilayah PNG.

"Mudah-mudahan kehadiran Presiden Yudhoyono bersama para petinggi dari Jakarta bisa semakin memantapkan kehidupan kebangsaan di wilayah kami, minimal ada bukti bahwa pemerintah pusat memang benar-benar memperhatikan kondisi di kawasan perbatasan," kata Yusak Yaluwo.



Suara Karya | Senin, 13 Agustus 200
06/09/08 08:52
Ratusan WNI di PNG Kembali ke Indonesia


Jayapura (ANTARA News) Sampai akhir tahun ini atau selambat-lambatnya awal tahun 2009, sebanyak 192 Kepala Keluarga (KK) atau 708 jiwa masyarakat Papua di Papua New Guinea (PNG) akan kembali ke kampung halaman mereka di Provinsi Papua, demikian "Independent Group Supporting the Autonomous Region of Papua with the Republic of Indonesia" (IGSARPRI) di Jayapura, Sabtu.

Ketua Dewan Pendiri Yayasan IGSARPRI Franzalbert Yoku kepada ANTARA mengemukakan, warga Papua di luar negeri ini akan kembali ke daerah asalnya di Kabupaten Jayapura, Teluk Cenderawasih, Sorong, Jayawijaya, Puncak Jaya, Merauke, Tolikara, Keerom, Boven Digoel dan Mimika.

IGSARPRI terus menggalang usaha pemulangan (repatriasi) warga Papua yang selama bertahun- tahun bermukim di PNG ke tanah kelahiran mereka, baik di Provinsi Papua maupun Provinsi Papua Barat.

"Sejak 2006 IGSARPRI telah menggalang repatriasi warga masyarakat Papua yang bermukim di PNG. Yayasan juga menjalin kerjasama dengan Depdiknas untuk memberi beasiswa pada putra-putri Papua kelahiran PNG belajar di berbagai perguruan tinggi di Jawa," kata Franzalbert.

Diakuinya, perjuangan yayasan ini untuk mengembalikan masyarakat warga Papua di perantauan dilandasi UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Provinsi Papua sehingga seluruh warga Papua menjadi tuan di negerinya sendiri.

Usaha yayasan mendapat dukungan penuh Pemerintah Pusat khususnya Departemen Luar Negeri dan Departemen Dalam Negeri serta Pemerintah Provinsi Papua.

Gubernur Papua Barnabas Suebu SH mengatakan, pemerintah berjanji tidak akan memberi perlakukan berbeda pada warga Papua yang sempat tinggal di luar negeri ini, sebaliknya akan mengintegrasikan mereka dalam Program Rencana Strategis Pembangunan Kampung (Respek).

Para repatrian tidak boleh membangun kampung sendiri yang terpisah dari kampung yang sudah ada sehingga mereka kembali sepenuhnya ke dalam masyarakat.

Di samping menyediakan lingkungan tinggal yang layak, pemerintah juga mendorong para pemuda eks PNG untuk belajar di berbagai perguruan tinggi di Jawa.

Pada tahap pertama tahun 2006 delapan orang pemuda eks PNG dikuliahkan di Jawa, sedangkan di tahap kedua tahun 2008 sembilan orang telah memulai studi di berbagai universitas di Jawa.

Menurut Franzalberth Yoku, orangtua para penerima beasiswa ke Jawa ini sudah terdaftar sebagai peserta program repatriasi dan akan kembali ke tanah leluhurnya Papua beberapa bulan mendatang. (*)

COPYRIGHT © 2008
Mendulang Kina di Perbatasan



Jakarta - Di wilayah Skow, mata uang kina lebih dikenal dari pada rupiah. Kina menjadi mata uang penting di perdagangan lintas batas Indonesia-Papua New Guinea (PNG) itu. Kesan suram dan terbelakang di perbatasan antarnegara tidak terlihat sama sekali di daerah yang memisahkan Skow (Indonesia) dan Wutung (PNG). Meski markas TNI berada di garis terdepan menyambut setiap pendatang yang masuk Skow, toh warga PNG ramai keluar masuk pintu perbatasan.
Skow sudah menjadi daerah pusat perbelanjaan bagi penduduk Wutung sejak dibentuknya pasar perbatasan, Marketing Point pada 2004. “Marketing Point merupakan kerja sama tripartit antara pemerintah daerah, dunia usaha, dan Departemen Perdagangan, untuk mengubah citra wilayah perbatasan yang semula dianggap bagian belakang wilayah NKRI menjadi bagian terdepan wajah Republik Indonesia,” kata Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu saat melakukan kunjungan ke Skow baru-baru ini.
Peluang ini dimanfaatkan pedagang dari berbagai daerah di Papua. Suharti Ahmed rela menempuh perjalanan 1,5 jam dari Abepura setiap hari untuk berdagang di Skow. Setiap hari, pedagang sembako ini mampu meraih penjualan rata-rata Rp 6 juta per hari. Bahkan jika hari libur, omzetnya mencapai Rp 10 juta per hari.
“Penduduk Wutung lebih senang belanja di sini karena di pasar-pasar yang ada di sana harganya sangat mahal,”jelas Suharti.
Pedagang lainnya mengaku bisa memperoleh keuntungan hingga 100 persen. Tidak berlebihan. Sebuah DVD Player buatan China, misalnya, dijual seharga Rp 600.000 per unit. Harga yang sangat mahal.
Marketing Point di Skow, yang didirikan pada areal seluas satu hektare, saat ini memiliki 120 kios untuk menjual barang-barang yang diminati masyarakat PNG.
Dari pantauan sepanjang tahun 2006, kunjungan masyarakat PNG ke wilayah Skow meningkat dengan rata-rata kunjungan pada hari Senin hingga Kamis mencapai 200 orang per hari dan pada hari Jumat hingga Minggu tercatat sekitar 500 orang. Nilai transaksi rata-rata mencapai Rp 120 juta per hari.
Perdagangan ini memang sangat menguntungkan, karena lebih banyak warga PNG yang datang dibandingkan warga Papua ke PNG.
Produk-produk yang diminati yakni barang-barang kebutuhan pokok seperti beras dan gula pasir; pakaian; barang-barang elektronik; alat-alat pertanian dan bahan bangunan.
Namun, Departemen Perdagangan menetapkan batas belanja setiap orang PNG dibatasi maksimum US$ 300 per hari. Pemeriksaan dilakukan oleh petugas Bea dan Cukai.
Menurut Mari, pada tahun 2007 Departemen Perdagangan mengalokasikan anggaran sebesar Rp 3 miliar untuk pembangunan Pasar Perbatasan di Skow. “Pemerintah ingin memberdayakan putra daerah sebagai pedagang yang andal dalam memasarkan produk daerah,” jelasnya.
Namun, jangan harap melihat orang asli Papua akan berdagang. Umumnya pedagang di Skow merupakan pendatang dari Sulawesi.
Sejak tahun 2003 Departemen Perdagangan melalui Badan Pengembangan Ekspor Nasional (BPEN) telah melakukan sosialisasi Program Pengembangan Marketing Point di enam titik wilayah lintas batas, yaitu Skow, Entikong, Tarakan, Atambua, Bitung, dan Nunukan.
Selain Skow, perdagangan lintas batas yang paling sukses adalah Entikong. Bahkan direncanakan pengembangan di perbatasan Entikong tidak hanya pasar, melainkan juga perumahan. Rencananya anggaran Rp 10 miliar akan dikucurkan untuk membangun pasar di Entikong. (naomi siagian)

Copyright © Sinar Harapan 2003
OLEH: HASJIM DJALAL AHLI HUKUM LAUT INTERNASIONAL
PULAU BIDADARI DAN MASALAHNYA
06 Mar 2006

Akhir-akhir ini banyak pihak yang meributkan Pulau Bidadari di Kabupaten Mangarai Barat serta pulau-pulau terluar lainnya, seperti Pulau Mangkudu di pantai selatan Pulau Sumba dan Pulau Dana di sebelah selatan Pulau Roti.

Disebabkan bahawa pulau-pulau tersebut telah dijual dan dikuasai warga Negara asing. Dengan jalan demikian, trauma yang selalu muncul adalah Indonesia satu-satu mulai kehilangan pulau-pulau terluarnya seperti Pulau Sipadan dan Ligitan yang oleh Mahkamah Internasional di den Haag dinyatakan bukan milik Indonesia., melainkan milik Malaysian setelah diperkarakan sejak 1969.

Kerisuan kita atas kemungkinan pulau-pulau itu terlepas dan satu-satu mulai dikuasai pihak asing, baik negara maupun warga Negara asing, merupakan suatu hal yang patut dihargai dan mencerminkan kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Walupun begitu, tentunya sikap tersebut akan bermanfaat dan positif jika didasari suatu pengertian yang dalam menganai masalah-masalah hokum yang berkaitan dengan kedaulatan Negara atas wilayahnya dan hak-hak sipil warga Negara untuk memiliki hak milik dan memanfaatkannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan hokum yang berlaku di Negara tersebut.

Pertama berkaitan dengan kedaulatan Negara atas wilayahnya. Suatu Negara dapat memperoleh atau kehilangan sesuatu wilayah melalui bermacam-macam cara, misalnya kerena perubahan yang disebabkan oleh factor-faktor alam yang menyebabkanmunculnya atau hilangnya pulau dan lain-lain.

Di samping itu, suatu Negara juga dapat kehilangan atau memperoleh suatu wilayah dengan ‘membelinya’ secara sah dari Negara lain, ataupun karena ‘penyesuaian-penyesuaian perbatasan’ yang disebabkan oleh factor-faktor etnologis dan lain-lain.

Di masa lalu, perubahan wilayah sesuatu Negara bisa pula terjadi karena akibat,’penaklukan atau peprangan’, ataupun karena ditemukannya pulau-pulau atau daerah baru yang belum menjadi wilayah Negara lain sebagaimana halnya dengan penemuan (discovery) pulau-pulau di zaman colonial.

Memerhatikan hal diatas, maka permasalahan perbatasan Indonesia sesungguhnya sudah cukup jelas. Perbatasan darat Indonesia adalah sebagaimana yang sudah ditetapkan dalam berbagai-bagai perjanjian perbatasan sejak abad-19 antara pemerintah Hindia Belanda dan pemerintah Inggris ( di Kalimantan dan di Papua) serta pemerintah Portugis (Timor Leste).

Batas Indonesia adalah batas yang diwariskan dari Hindia Belanda sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Bahwa memang kemudian terjadi permasalahan perbatasan di Kalimantan, papua dan Timor. Masalah itu bukannya karena tidak ada kesepakatan tentang garis batas, tetapi lebih disebabkan ketidakmampuan’ dalam menentukan batas pasti dilapangan dan mengurus masalah yang berkaitan dengan lintas batas, baik untuk keperluan perdagangan, kebudayaan, maupun keamanan dan pertahanan. Masalah inilah yang harus menjadi perhatian utama dewasa ini.

Di laut, masalah perbatasan berkembang dengan perkembangan yang terjadi di bidang hokum laut internasional yang selama 48 tahun telah diperjuangkan Indonesia. Perkembangan itu, antara lain diakuinya seluruh laut yang terletak di antara pulau-pulau Indonesia. Yakni, pulau yang berada di bawah kewenangan Hindia Belanda menjadi wilayah republic Indonesia yang berada di bawah kedaulatan Indonesia, termasuk wilayah atas udara dan dasar lautnya.

Menurut hokum laut 1982, yang berhak atas laut itu, serta seleuruh pulau-pulau (daratan) yang berada di dalamnya, udara di atasnya, dasar lautnya dan seluruh kekayaannya berada di bawah kedaulatan Negara Nuasantara Indonesia (Pasal 49 Konvensi Hukum Laut 1982). Tidak ada yang boleh menjualnya kepada Negara lain atau orang lain, kecuali Negara Republik Indonesia, andaikata karena satu dan lain hal merasa perlu ‘menjual’ suatu bagian dari wilayah Indonesia, baik darat, laut maupun udaranya kepada Negara lain haruslah memperoleh penegasan terlebih dahulu oleh DPR dengan UU, sesuai Pasal 10 UU No.24 /2000 tentang Perjanjian Internasonal , karena penjualan itu akan berakibat perubahan Indonesia.

Dengan demikian, yang pertama kali harus diperhatikan, apakah Pulau Bidadari, Pulau Mangkudu, dan Pulau Dana termasuk dalam wilayah Indonesia. Sesungguhnya sejak zaman Hindia Belanda pulau-pulau itu berada dalam wilayah Hindia Belanda dan kemudian diwarisi Indonesia. Pulau Bidadari malah berada di gugusan kepulau Komando dan tidak ada satu Negara pun di dunia yang meragukan kedaulatan Indonesia atas pulau tersebut.

Begitu juga halnya dengan Pulau Mengkudu dan Pulau Dana yang sudah sejak dahulu menjadi pulau Indonesia malah telah menjadi ‘titik-titik luar’ dan ‘titik pangkal’ untuk mengukuran wilayah Nusantara Indonesia sejak Deklarasi Juanda tahun 1957, yang kemudian diundangkan dalam UU no. 4/Prp/1960, dan dikukuhkan dalam UU No. 6/1996, dan dalam PP No.38/2002 tentang daftar koordinat titik-titik terluar garis pangkal kepuluan Indonesia. Dalam PP No.38/2002 di Pulau Dana terdapat titik dasar 121 dan 123, dan Pulau Mangkudu merupakan titik dasar nomor 125. Pulau Bidadari yang terletak di gugusan Pulau Komodo di sebelah barat Labuhan Bajo memang tidak dijadikan titik dasar karena bukan merupakan titik terluar dari pulau-pulau terluar Indonesia, karena Pulau Bidadari terdapat jauh dalam perairan Nusantara Indonesia.

Memerhatikan hal-hal di atas dan ketentuan hokum Indonesia maupun hokum internasional yang berlaku, maka tidak mungkin kiranya Pulau Bidadari telah dijual, karena pemerintah Indonesia tidak pernah menjualnya. Dan kalau pemerintah pernah menjualnya, penjualan tersebut setahu saya tidak pernah disetujui DPR dengan UU sesuai dengan Pasal 10 ayat huruf 2 b dan c UU No. 24/2000.

Dengan demikian, maka yang mungkin terjadi adalah bahwa orang yang mengaku pemilik lahan di pualau tersebut menjual haknya kepada orang lain. Dalam hal ini, maka persoalannya adalah menjadi masalah hokum agrarian dan masalah hokum perdata tentang jual beli hak atas tanah. Karena itu, yang perlu diselidiki adalah apakah Yusuf Mahmud, yang dikatakan telah menjual sebagaian dari pulau Bidadari kepada warga Negara asing (bukan Negara asing), adalah orang yang berhak atas tanah tersebut, apakah yang bersangkutan mempunyai sertifikat hak milik tanah atau tidak. Andaikata hak atas tanah di Pulau Bidadari adalah hak tanah adapt/ulayat, maka tanah hak ulayat tidak bisa diperjualbelikan.

Andaikata masyarakat adapt yang mempunyai hak ulayat atas pulau Bidadari membolehkan Yusuf Mahmud menjualnya, maka yang harus diperhatikan apakah si pembelinya, menuerut UU Indonesia, diperkenankan membeli tanah di Indonesia. Sebab, warga Negara asing tidak boleh mempunyai hak milik atas tanah di Indonesia, walaupun mereka diperkenankan memperoleh hak pakai atau hak guna bangunan atau hak untuk mengusahakannya untuk waktu terbatas. Dalam hubungan ini perlu di catat bahwa hak milik pun terbatas waktunya (30 tahun di Indonesia dan 90 tahun di Singapura).

Perolehan hak pakai, hak guna bangunan, ataupun hak milik sama sekali tidak memengaruhi, menghilangkan, atau merugikan kedaulatan Negara Republik Indonesia atas wilayahnya, termasuk haknya atas pertahanan dan penegakan hokum atas tanah tersebut.

Karena itu yang apaling mungkin dalam hal ini adalah memberikan kemungkinan hak pakai dan hak guna bangunan terhadap siapa saja yang ingin melakukan investasi untuk memanfaatkan lahan dalam wilayah Republik Indonesia. Izin berinvestasi memang diharapkan di Indonesia bukan saja di bidang pariwisata, melainkan juga di bidang-bidang lain termasuk di bidang pertambangan, perhubungan, prasarana dan lain-lain. Media Indonesia (6/6).
OLEH : SADINA
RI RAWAN MASALAH PERBATASAN
26 Okt 2005 (Situs TNI)

Indonesia Negara kepulauan terbesar yang mencakup lebih dari 17.000 pulau, baik yang berpenghuni dan memiliki nama maupun yang belum berpenghuni dan belum punya nama. Indonesia juga memiliki garis pantai 81.000 km, terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Menurut data Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Indonesia memiliki 92 pulau terluar yang tersebar di 19 provinsi, 67 pulau diantaranya berbatasan langsung dengan Negara lain, dan 12 pulau di antaranya rawan di klaim Negara lain.

Tahun-tahun terakhir, kita dirisaukan oleh rapuhnya batas wilayah NKRI. Pulau Pasir di wilayah Timor diklaim Australia dan kita mengiyakannya. Sipadan dan ligitan direbut Malaysia. Tapal batas RI di Kalimantan digeser hingga 800 meter. Polisi perairan Malaysia mengintimidasi pekerja mercusuar di Ambalat, lalu lintas batas bebas, serta pencurian ikan . Semua itu menunjukkan lemahnya Negara kita dalam menjaga batas luar wilayah.

Negara kita berbatasan langsung dengan sepuluh Negara, yaitu; India, Thailand, Malaysia, Vietnam, Singapura, Filipina, Republik Palau, Papua Nugini, Australia, dan Timor Leste. Dengan mereka perlu penegasan batas wilayah masing-masing.

Pengerukan Jutaan Ton Pasir

Penambangan pasir di Kepulauan Riau, telah berlangsung sejak tahun 1970. Pengerukan jutaan ton pasir setiap hari mengakibatkan kerusakan ekosistem yang cukup parah. Kerusakan ekosistem itu menghilangkan mata pencaharian nelayan.

Penambangan pasir laut juga mengancam eksistensi sejumlah pulau kecil. Misalnya Pulau Nipah. Tenggelamnya pulau-pulau kecil di sana akan menciptakan perubahan geografis pantai dan akan berdampak pada penentuan batas maritim dengan Singapura di kemudian hari.

Penentuan batas maritime Indonesia-Malaysia di beberapa bagian wilayah perairan Selat Malaka belum disepakati kedua Negara sehingga sering menimbulkan friksi di lapangan. Di Kalimantan, beberapa titik batas belum tuntas disepakati kedua belah pihak. Permasalahan lain antar kedua Negara adalah pelintas batas, penebangan kayu illegal, dan penyelundupan.

Belum adanya kesepakatan tentang batas maritime antara Indonesia-Filipina di perairan utara dan selatan Pulau Miangas, harus dicermati. Perjanjian perbatasan RI-Australia yang meliputi perjanjian batas landas kontinen dan batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) mengacu pada perjanian RI-Austarlia yang ditandatangani 14 Maret 1997. Penentuan batas yang beru di sekitar wilayah Celah Timor perlu dibicarakan secara trilateral bersama Timor Leste.

Indonesia dan Papua Nugini telah menyepakati batas-batas wilayah darat dan maritime. Mekipun demikian, ada beberapa kendala kultur yang dapat menyebabkan timbulnya salah pengertian.

Persamaan budaya dan ikatan kekeluargaan antar penduduk yang terdapat di kedua sisi perbatasan, dapat berkembang menjadi tuntutan pengakuan atas hak-hak adapt di kawasan tapal batas.

Wilayah perbatasan antar Pulau Sekatung di Kepulauan Natuna da Pulau Condore di Vietnam yang berjarak tidak lebih dari 245 mil, memiliki kontur landas kontingen tanpa batas benua, masih menimbulkan perbedaan pemahaman antara ke dua Negara. Pada saat ini kedua belah pihak sedang melanjutkan perundingan guna menentukan batas landas kontinen di kawasan tersebut.

Hak–hak Tradisional

Perbatasan RI-India antara pulau Rodo di Aceh dan Pulau Nicobar di India. Batas maritime dengan landas kontinen yang terletak pada titik-titik koordinat tertentu di kawasan perairan Samudera Hindia dan Laut Andaman, sudah disepakati kedua Negara. Namun permasalahan masih timbul karena sering terjadi pelanggaran wilayah oleh kedua belah pihak, terutama yang dilakukan para nelayan.

Dengan Thailand, ditinjau dari segi geografis, kemungkinan timbul masalah perbatasan tidak begitu kompleks, karena jarak antara ujung pulau Sumatera dan Thailand cukup jauh . RI-Thailand sudah memiliki perjanjian Landas Kontinen yang terletak di dua titik koordinat tertentu di kawasan perairan Selat Malaka bagian utara dan Laut Andaman.

Dengan Republik Palau, sejauh ini kedua Negara belum sepakat mengenai batas perairan ZEE mesing-masing yang terletak di utara Papua. Masih sering timbul perbedaan pendapat tentang pelanggaran wilayah yang dilakukan para nelayan kedua pihak.

Sedangkan dengan Timor Leste, saat ini masyarakatnya yang berada di sempadan masih menggunakan mata uang rupiah, bahasa Indonesia, serta berinteraksi sosial dengan masyarakat Indonesia.

Persamaan budaya dan ikatan kekeluargaan antar warga desa di kedua sisi berbatasan dapat menyebabkan klaim terhadap hak-hak tradisional, dan bisa menjadi dispute. Disamping berada di wilayah Indonesia dalam jumlah yang cukup besar potensial menjadi permasalahan perbatasan di kemudian hari.

Wilayah NKRI memang harus kita jaga dengan menegaskan penguasaan de facto wilayah oleh Pemerintah Indonesia dengan kehadiran pemerintah lokal, seperti lurah/kepala desa, camat, dan aparatur pemerintah lainnya, seperti polisi dan tentara yang merupakan symbol kedaulatan Negara.

Sekecil apapun pulau atau daratan atau laut, bila itu adalah wilayah NKRI, harus dipertahankan dengan jiwa dan raga seluruh bangsa ini. Agar dicamkan benar hingga kini wilayah kedaulatan Negara kita belumlah aman karena batas-batasnya belum disepakati oleh Negara tetangga kita.
PERSPEKTIF DHARMANSJAH DJUMALA


Bumi Panas, Kedaulatan Terampas

Konferensi Perubahan Iklim di Nusa Dua, Bali, bertujuan untuk menentukan arah jalan pengurangan emisi dunia sebagai ancang-ancang berakhirnya Protokol Kyoto pada 2012. Hiruk-pikuk konferensi lebih didominasi isu pengurangan emisi karbon, mitigasi dampak bumi yang makin panas, pendanaan adaptasi, dan transfer teknologi. Bagaimana menyikapi pemanasan global dari perspektif politik luar negeri? Seberapa serius masalahnya jika dilihat dari teropong kedaulatan sebuah negara?

Sangat serius, setidaknya bagi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Dewan Keamanan (DK) PBB pada April 2007 membahas perubahan iklim. Diangkatnya isu itu di DK-PBB sudah cukup menjelaskan, ramifikasi masalah perubahan iklim dapat merambah ke ranah politik antarnegara. Bahkan, dalam situasi lebih ekstrem, perubahan iklim akan memicu ketegangan antarbangsa.

Secara umum, dampak perubahan iklim terhadap hubungan politik antarnegara dapat dipindai dari dua matra, yaitu matra darat dan laut. Dalam matra darat, tanda-tanda awal sudah tampak kasatmata: banjir, badai, kekeringan, penyakit, dan kelaparan telah memicu gelombang pengungsi dan migrasi dari satu negara ke negara lain. Naiknya permukaan laut, kelangkaan air bersih, dan menciutnya lahan pertanian mendorong manusia mencari tempat hidup yang lebih baik. Dari desa ke kota, dari tanah tak produktif ke lahan lebih subur, sekalipun harus melintas batas negara.

Studi IISD (International Institute for Sustainable Development) bertajuk "Climate Change and Foreign Policy" menyimpulkan, kenaikan permukaan laut setinggi 45 sentimeter saja dapat melenyapkan daratan Bangladesh sebanyak 11% dan memaksa 5,5 juta penduduknya pindah ke negara lain. Kekeringan di Sub-Sahara, Afrika, mendorong 60 juta orang pindah dari kawasan itu ke Afrika Utara dan Eropa dalam kurun waktu 1997 sampai 2020. Migrasi ini, jika tidak terkendali, akan mengubah komposisi etnik suatu negara. Perubahan komposisi etnik akibat pelintas batas yang dipicu perubahan iklim itulah yang pada akhirnya akan mengubah persepsi politik luar negeri suatu negara terhadap negara lain.

Dalam pindaian matra laut, dampak perubahan iklim terhadap hubungan politik antarnegara tak kurang mengkhawatirkan. Studi IISD mengingatkan, kenaikan permukaan laut yang disertai badai samudra, hanya dalam hitungan puluhan tahun, akan menenggelamkan pulau-pulau kecil, bahkan negara pulau seperti Kiribati dan Tuvalu.

Bagaimana dengan Indonesia? Naiknya permukaan laut menimbulkan dua masalah. Pertama, tergerusnya bibir pantai di kota-kota pesisir. Data menunjukkan, permukaan laut di Indonesia naik rata-rata 10 sentimeter setiap 20 tahun. Jika tidak dilakukan langkah korektif, dikhawatirkan Jakarta dan beberapa kota di pesisir mengalami penciutan luas daratan.

Kedua, tenggelam dan hilangnya pulau-pulau kecil. Jika yang hilang hanya pulau-pulau kecil dalam wilayah laut teritorial Indonesia, masalahnya tak akan begitu menggedor rasa keprihatinan kita. Tapi, bila itu terjadi pada pulau-pulau terluar Indonesia, yang menjadi patok penentu wilayah laut teritorial Indonesia, ada keperluan mendesak untuk mengamankannya karena sudah menyangkut kedaulatan teritorial.

Bagi Indonesia sebagai negara kepulauan, kedaulatan wilayah itu lebih banyak ditentukan oleh batas laut, yang secara geografis alamiah ditandai oleh pulau-pulau terluar yang berukuran hanya 1-3 kilometer persegi. Data Departemen Kelautan dan Perikanan menunjukkan, dari 18.306 pulau kecil yang kita miliki, ada 93 pulau yang kondisinya rawan tergerus laut. Bahkan, 12 di antaranya pulau terluar yang berbatasan dengan sembilan negara tetangga, yaitu India, Thailand, Vietnam, Singapura, Malaysia, Filipina, Timor Leste, Australia, dan Palau. Apa artinya ini?

Manakala pulau-pulau terluar itu tenggelam akibat meningkatnya permukaan laut, hilang pula patok penentu laut teritorial kita. Raibnya fakta geografis ini akan membuat batas wilayah laut teritorial tidak utuh dan solid lagi. Di titik inilah kedaulatan Indonesia dihadapkan pada tantangan sangat serius: negara tetangga yang berbatasan laut dengan Indonesia akan mengusik dan mempertanyakan batas laut teritorial kita.

Bumi yang makin panas telah terbukti meningkatkan permukaan laut. Tenggelamnya pulau-pulau terluar Indonesia, jika tidak dirawat dengan baik, tinggal menunggu waktu. Jangan sampai bumi yang panas ini membuat kedaulatan kita terampas. Konferensi Perubahan Iklim di Bali boleh saja menghasilkan segepok dokumen tentang kerangka penanganan pemanasan global. Tapi dokumen itu hanya akan menjadi saksi bisu jika ia tidak diikuti dengan kebijakan strategis.

Dalam tataran kebijakan politik luar negeri, perundingan batas laut dengan sembilan negara tetangga yang berbatasan laut dengan Indonesia perlu dituntaskan. Dalam tataran operasional, ada keperluan untuk menghidupkan kegiatan ekonomi dan reklamasi pulau-pulau terluar, agar pulau-pulau itu tetap sebagai fakta geografis yang akan menjadi patok penentu laut teritorial Indonesia.

Darmansjah Djumala
Diplomat Indonesia, delegasi RI pada WSSD Johannesburg, 2002
[Perspektif, Gatra Nomor 5 Beredar Kamis, 13 Desember 2007]
RI-Timor Leste Segera Bahas Perbatasan Laut
Sabtu, 09 April 2005 | 06:18 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: Pemerintah Indonesia dan Timor Leste menandatangani perjanjian perbatasan. Perjanjian ini merupakan perjanjian sementara menentukan batas darat kedua negara. "Setelah batas darat selesai, dilanjutkan dengan batas laut," ujar Ketua Tim Perundingan Perbatasan Arief Havas Oegroseno kepada Tempo, Jumat (8/4).

Menurut Havas, perjanjian sementara yang meliputi 96 persen batas darat itu akan diteruskan hingga mencapai 100 persen. Sebanyak tiga segmen (wilayah) yang akan dibicarakan untuk mencapai perjanjian perbatasan penuh. Ketiganya berada di enclave (daerah yang menjorok ke wilayah Indonesia), yaitu Sungai Besi, Manusasi, dan Memo.

Sebelumnya, ada sembilan segmen yang dianggap kedua negara harus dibereskan. Sembilan segmen itu adalah peninggalan dari perjanjian Portugis dan Belanda yang menjadi penjajah kedua negara di masa lalu. Segmen itu ditandai dengan batu, pohon, dan bahan alam lainnya. "Tapi setelah kita hitung dengan teknologi yang ada ternyata tinggal tiga. Sebab kebanyakan sudah hilang (batas alamnya)," ujarnya.

Penandatanganan ini meliputi segmen timur yaitu perbatasan utama yang membagi wilayah Timor Leste dengan garis vertikal dengan wilayah Indonesia. Sementara untuk segmen barat, merupakan daerah enclave (daerah yang menjorok ke wilayah Indonesia). Kedua segmen ini panjangnya mencapai 250 kilometer. Setelah penandatangan, ujar Havas, Indonesia dan Timor Leste akan menetapkan demarkasi berupa pemasangan tanda perbatasan.

Sementara itu, batas laut yang akan dibicarakan adalah batas laut Selatan yaitu Laut Timor dan Laut Sawu di sebelah Utara. "Celah Timor bukan milik Indonesia lagi," ujar Havas. Yophiandi
MEMANFAATKAN KEBERADAAN ALKI GUNA MENCEGAH DISINTEGRASI BANGSA
Laksamana Pertama TNI A.Y. Jimmy Masykur (Situs TNI AL)

1. PENDAHULUAN
1. Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention on the Law of the sea 1982 (UNCLOS 82) elalui Undang-Undang N0. 17 tahun 1985. Sebagai konsekuensinya Indonesia harus tunduk dan terikat pada hak dan kewajiban yang ada dalam pasal-pasal pada konvensi tersebut. Salah satu hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Negara Kepulauan adalah menetapkan Alur Laut Kepulauan seperti tertuang dalam pasal 53 UNCLOS 82. Untuk mengantisipasi hal tersebut, TNI AL melalui Forum Strategi TNI AL tahun 1991 di Seskoal telah menyusun konsep awal 3 (tiga) Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) Utara-Selatan. Pada tingkat nasional, pembahasan penetapan rencana ALKI dilaksanakan melalui Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Inter departemen yang berlangsung pada tanggal 17-19 Januari 1995. Rakernas ini menghasilkan konsep yang sama dengan hasil Forum Strategi TNI AL 1991 di Seskoal, yaitu ALKI-I, ALKI-II, ALKI-III dengan 3 (tiga) cabang titik selatan IIIA, IIIB dan IIIC dengan tambahan usulan 19 peraturan.

2. Ketiga ALKI tersebut setelah mempertimbangkan berbagai kepentingan sektoral yang terkait, antara lain kepentingan pertahanan keamanan (darat, laut dan udara), keadaan hidrooseanografi, masalah lingkungan laut dan kawasan konservasi laut, kegiatan-kegiatan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam terutama minyak dan gas, kegiatan-kegiatan penangkapan ikan, kepentingan dan keselamatan pelayaran dan penerbangan nasionalnya serta keberadaan kabel-kabel dan pipa-pipa bawah laut. ALKI tidak berbentuk koridor, tetapi yang ditetapkan hanyalah titik-titik dari axisnya dan kapal-kapal yang lewat dapat berlayar 25 NM ke kiri dan 25 NM ke kanan dengan ketentuan tidak boleh dekat ke pantai pulau-pulau Indonesia lebih dari 10% dari jarak antar pulau-pulau tersebut. ALKI terbuka bagi semua kapal yang akan melintasi perairan Indonesia secara cepat dan terus menerus berdasarkan UNCLOS 82. Kapal-kapal perang, kapal-kapal yang membawa barang-barang yang berbahaya serta kapal-kapal penangkap ikan asing yang melintasi perairan Indonesia untuk keperluan transit dari suatu bagian ZEE atau laut bebas/lepas ke bagian ZEE atau laut bebas/lepas melalui ALKI. Pada akhirnya melalui sidang MSC 69 IMO tanggal 11-20 Mei 1998 secara internasional ketiga ALKI tersebut disetujui dan diakui berlaku secara positif.

3. Pada kenyataannya sering timbul berbagai pelanggaran/kasus keamanan di sepanjang ALKI. Pelanggaran/kasus tersebut dapat berupa gangguan terhadap kapal-kapal pengguna ALKI yang mengalami perompakan atau bahaya navigasi. Selama empat tahun terakhir, menurut data dari Biro Maritim Internasional (IMB) menunjukkan bahwa perompakan paling sering terjadi di perairan Indonesia. Kasus yang lain juga dapat berupa terjadinya pelanggaran peraturan dan Undang-undang oleh kapal-kapal pengguna ALKI selama berlayar melintasi ALKI seperti pengambilan sumber daya alam dan kekayaan alam secara ilegal, riset dan survei ilegal, penyelundupan barang komoditas dan imigrasi gelap. Apabila hal ini dibiarkan akan berdampak terhadap tidak terkendalinya ALKI dengan kehadiran kapal-kapal asing (kapal perang, kapal survei, kapal penangkap ikan, kapal lain yang bertujuan mengeksplorasi hasil sumber kekayaan alam) yang pada akhirnya mengganggu Integritas Nasional.

4. UU No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah mulai diberlakukan pada Januari 2000 terutama pasal-pasal yang tidak memerlukan Peraturan Pemerintah. UU ini merupakan lokomotif bagi UU lain pada era reformasi menuju paradigma baru pembangunan nasional yang berbasis kepada kemampuan daerah. UU lain yang bersifat sentralistik harus segera menyesuaikan. Implikasi dari UU ini yang berkaitan dengan peran Aparat Keamanan di daerah adalah : Pasal 3 dan 10 UU No. 22 tahun 1999 mengatur kewenangan daerah di wilayah laut, karena 12 mil dari garis pantai merupakan kewenangan Propinsi dan sepertiga merupakan kewenangan Kabupaten/Kota. Hal ini perlu diwaspadai apabila tidak dicermati langsung juga akan mengganggu Integritas Nasional.
2. BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 37 TAHUN 2002 TANGGAL 28 JUNI 2002, TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL DAN PESAWAT UDARA ASING DALAM MELAKSANAKAN HAK LINTAS ALUR LAUT KEPULAUAN MELALUI ALUR LAUT KEPULAUAN YANG DITETAPKAN, PADA BAB II MENYATAKAN SEBAGAI BERIKUT :
1. Pasal 2.

Kapal dan pesawat udara asing dapat melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan, untuk pelayaran atau penerbangan dari satu bagian laut bebas atau zona ekonomi eksklusif ke bagian lain laut bebas atau zona eksklusif melintasi laut teritorial dan perairan kepulauan Indonesia.
2. Pasal 3.
1. Pelaksanaan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan melalui alur laut atau melalui udara di atas alur laut yang ditetapkan sebagai alur laut kepulauan yang dapat digunakan untuk pelaksanaan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan tersebut sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 11.
2. Pelaksanaan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini di bagian-bagian lain Perairan Indonesia dapat dilaksanakan setelah di bagian-bagian lain tersebut ditetapkan alur laut kepulauan yang dapat digunakan untuk pelaksanaan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan tersebut.
3. Pasal 4.
1. Kapal dan pesawat udara asing yang melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan harus melintas secepatnya melalui atau terbang di atas alur laut kepulauan dengan cara normal, semata-mata untuk melakukan transit yang terus menerus, langsung, cepat, dan tidak terhalang.
2. Kapal atau pesawat udara asing yang melaksanakan lintas alur laut kepulauan, selama melintas tidak boleh menyimpang lebih dari 25 (dua puluh lima) mil laut ke kedua sisi dari garis sumbu alur laut kepulauan, dengan ketentuan bahwa kapal dan pesawat udara tersebut tidak boleh berlayar atau terbang dekat ke pantai kurang dari 10 % (sepuluh per seratus) jarak antara titik-titik yang terdekat pada pulau-pulau yang berbatasan dengan alur laut kepulauan tersebut.
3. Kapal dan pesawat udara asing sewaktu melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan tidak boleh melakukan ancaman atau menggunakan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, atau kemerdekaan politik Republik Indonesia, atau dengan cara lain apapun yang melanggar asas-asas Hukum Internasional yang terdapat dalam Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa.
4. Kapal perang dan pesawat udara militer asing, sewaktu melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan, tidak boleh melakukan latihan perang-perangan atau latihan menggunakan senjata macam apapun dengan mempergunakan amunisi.
5. Kecuali dalam keadaan ”force majeure” atau dalam hal musibah, pesawat udara yang melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan tidak boleh melakukan pendaratan di wilayah Indonesia.
6. Semua kapal asing sewaktu melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan tidak boleh berhenti atau berlabuh jangkar atau mondar-mandir, kecuali dalam hal ”force majeure” atau dalam hal keadaan musibah atau memberikan pertolongan kepada orang atau kapal yang sedang dalam keadaan musibah.
7. Kapal atau pesawat udara asing yang melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan tidak boleh melakukan siaran gelap atau melakukan gangguan terhadap sistem telekomunikasi dan tidak boleh melakukan komunikasi langsung dengan orang atau kelompok orang yang tidak berwenang dalam wilayah Indonesia.
4. Pasal 5.

Kapal atau pesawat udara asing, termasuk kapal atau pesawat udara riset atau survey hidrografi, sewaktu melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan, tidak boleh melakukan kegiatan riset kelautan atau survey hidrografi, baik dengan mempergunakan peralatan deteksi maupun peralatan pengambil contoh, kecuali telah memperoleh ijin untuk hal itu.
5. Pasal 6.
1. Kapal asing, termasuk kapal penangkap ikan, sewaktu melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan, tidak boleh melakukan kegiatan perikanan.
2. Kapal penangkap ikan asing, sewaktu melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan, selain memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat 1), juga wajib menyimpan peralatan penangkap ikannya ke dalam palka.
3. Kapal dan pesawat udara asing, sewaktu melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan tidak boleh menaikkan ke atas kapal atau menurunkan dari kapal orang, barang atau mata uang dengan cara yang bertentangan dengan perundang-undangan kepabeanan, keimigrasian, fiskal, dan kesehatan, kecuali dalam keadaan ”force majeure” atau dalam keadaan musibah.
6. Pasal 7.
1. Kapal asing sewaktu melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan wajib menaati peraturan, prosedur, dan praktek internasional mengenai keselamatan pelayaran yang diterima secara umum, termasuk peraturan tentang pencegahan tabrakan kapal di laut.
2. Kapal asing sewaktu melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan dalam suatu alur laut, sebagaimana telah ditetapkan suatu Skema Pemisah Lintas untuk pengaturan keselamatan pelayaran, wajib menaati pengaturan Skema Pemisah Lintas tersebut.
3. Kapal asing sewaktu melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan tidak boleh menimbulkan gangguan atau kerusakan pada sarana atau fasilitas navigasi serta kabel-kabel dan pipa-pipa bawah air.
4. Kapal asing sewaktu melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan dalam suatu alur laut kepulauan, karena terdapat instalasi-instalasi untuk eksplorasi atau eksploitasi sumber daya alam hayati atau non hayati, tidak boleh berlayar terlalu dekat dengan zona terlarang yang lebarnya 500 (lima ratus) meter yang ditetapkan di sekeliling instalasi tersebut.
7. Pasal 8.
1. Pesawat udara sipil asing yang melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan harus :
1. Menaati peraturan udara yang ditetapkan oleh Organisasi Penerbangan Sipil Internasional mengenai keselamatan penerbangan.
2. Setiap waktu memonitor frekuensi radio yang ditunjuk oleh otorita pengawas lalu lintas udara yang berwenang yang ditetapkan secara internasional atau frekuensi radio darurat internasional yang sesuai.
2. Pesawat udara negara asing yang melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan harus :
1. Menghormati peraturan udara mengenai keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1) huruf (a) ;
2. Memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat 1) huruf (b).
8. Pasal 9.
1. Kapal asing yang melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan dilarang membuang minyak, limbah minyak, dan bahan-bahan perusak lainnya ke dalam lingkungan laut, dan untuk melakukan kegiatan yang bertentangan dengan peraturan dan standar internasional untuk mencegah, mengurangi, dan mengendalikan pencemaran laut yang berasal dari kapal.
2. Kapal asing yang melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan dilarang melakukan dumping di Perairan Indonesia.
3. Kapal asing bertenaga nuklir, atau mengangkut bahan nuklir, atau barang atau bahan lain yang karena sifatnya berbahaya atau beracun yang melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan, harus membawa dokumen dan mematuhi tindakan pencegahan khusus yang ditetapkan oleh Perjanjian Internasional bagi kapal-kapal yang demikian.
9. Pasal 10.
1. Orang atau badan hukum yang bertanggung jawab atas pengoperasian atau muatan kapal atau pesawat udara niaga asing atau kapal atau pesawat udara pemerintah asing yang digunakan untuk tujuan niaga wajib bertanggung jawab atas kerugian atau kerusakan yang diderita oleh Indonesia sebagai akibat tidak ditaatinya ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9 sewaktu melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan melalui Perairan Indonesia.
2. Negara bendara kapal atau negara pendaftaran pesawat udara memikul tanggung jawab internasional untuk setiap kerugian atau kerusakan yang diderita oleh Indonesia sebagai akibat tidak ditaatinya ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9 oleh suatu kapal perang atau pesawat udara negara asing, sewaktu melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan melalui Perairan Indonesia.
3. KEBIJAKSANAAN OTONOMI DAERAH
1. Pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan atas UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, sebagai pengganti UU No.5 Tahun 1974 dan UU No.5 Tahun 1979. Hal-hal yang mendasar dalam undang-undang ini adalah mendorong untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peranserta masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

2. Kewenangan Daerah sesuai pasal 7 dan 10 UU No. 22 Tahun 1999 mencakup antara lain :
1. Kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal dan agama. Dengan demikian, kependudukan di daerah yang menjadi salah satu urusan bidang pemerintahan menjadi kewenangan daerah dalam hal ini Daerah Kabupaten/Kota. Urusan kependudukan antara lain berupa pengendalian pertumbuhan, mobilitas maupun kualitas dan penyiapan ruang untuk menampung masyarakat dengan kegiatan produktivitasnya sesuai amanat GBHN agar tercipta pemanfaatan dan penggunaan tanah secara adil, transparan dan produktif dengan mengutamakan hak-hak rakyat setempat.
2. Kewenangan mengelola sumber daya nasional, berarti meliputi sumber daya alam, sumber daya buatan dan sumber daya manusia yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan. Ini berarti, daerah berwenang mengatur, mengupayakan dan menciptakan suatu kondisi yang memungkinkan penduduk mampu berkembang mengembangkan peran dan fungsinya secara mandiri. Hal ini sesuai dengan misi GBHN 1999 sebagaimana ditetapkan bahwa pemberdayaan masyarakat dan seluruh kekuatan ekonomi nasional dengan mengembangkan sistim ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan, berbasis sumber daya alam dan sumber manusia yang produktif, mandiri, maju, berdaya saing, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. GBHN juga menggariskan pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam secara selektif dan pemeliharaan lingkungan hidup, sehingga kualitas ekosistem tetap terjaga, dengan memperhatikan kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal serta penataan ruang.
3. Kewenangan di laut meliputi eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut, pengaturan kepentingan administratif, tata ruang dan penegakan hukum sebatas wilayah daerah di laut.
3. Melalui kewenangan otonomi ini, dapat diharapkan bahwa pelayanan pemerintah kepada masyarakat akan lebih baik kualitasnya. Upaya pemberdayaan masyarakat dan sumber daya alam bisa lebih efisien dan efektif berdasarkan asumsi bahwa pemerintah daerah lebih tahu akan potensi yang dapat dikembangkan dari masyarakatnya, dan lebih paham tentang aspek sosial budaya untuk menunjang pembangunan. Apabila pemerintahan di daerah benar-benar mampu untuk menyerap aspirasi masyarakat, maka dapat diharapkan perumusan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dapat membuat masyarakat lebih mandiri dari waktu ke waktu. Dengan pemberian kewenangan dan keleluasaan yang cukup kepada daerah untuk mengemban tugas-tugas pembangunan, maka sasaran-sasaran pembangunan diharapkan akan semakin tepat untuk kesejahteraan rakyat, karena pemerintah daerah lebih tahu tentang pembangunan macam apa yang paling mungkin dikembangkan untuk memacu kemajuan masyarakat daerahnya.
4. Khusus untuk Propinsi atau Kabupaten Kepulauan, masih ditemukan persoalan kewenangan pengelolaan atas pulau-pulau kecil yang berada lebih jauh dari 24 mil dari pantai pulau utama propinsi atau 4 mil dari pantai pulau utama kabupaten. Dalam UU No. 22 Tahun 1999, tidak tersurat yang dimaksudkan dengan garis pantai tersebut. Seyogyanya, kewenangan wilayah propinsi adalah sejauh 12 mil diukur dari titik luar kepulauan atau pulau terluar yang berada dalam wilayah propinsi sesuai UU. Demikian halnya dengan kewenangan kabupaten, sejauh 4 mil diukur dari titik terluar kepulauan atau pulau terluar yang berada dalam wilayah kabupaten sesuai UU.
4. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI
1. Pelanggaran aturan ALKI
1. Belum banyak negara pengguna ALKI meratifikasi UNCLOS’82 menaati aturan ALKI.
2. Masih adanya kegiatan kapal perang asing dan kapal terbang asing yang melakukan kegiatan latihan perang.
3. Adanya penafsiran yang berbeda terhadap istilah ”Normal Mode” yaitu tetap menyelam bagi kapal selam atau mengoperasikan pesawat terbang bagi kapal induk (sayap tetap atau sayap putar).
4. Belum semua kapal bermuatan nuklir atau berpendorong dengan bahan bakar nuklir yang melintas ALKI melaporkan kepada Pemerintah Republik Indonesia.
5. Masih banyak kapal ikan asing yang melintas ALKI atau bahkan menyimpang sambil menangkap ikan.
6. Terdapat pula kapal yang lego jangkar di ALKI padahal telah digambarkan di peta, bahwa dilokasi terdapat kabel laut.
7. Ada pula yang mencemari lingkungan yang membuang polusi di ALKI sambil berlayar, (mencuci tangki, membuang B3, sampah-sampah kapal).
8. Memanfaatkan ALKI untuk ”illegal entry”, penyeludupan barang, senjata dan amunisi serta barang elektronik lainnya.
9. Melakukan kegiatan survei dan pemetaan liar.
10. Membuat ALKI lain di luar 3 ALKI yang tersedia.
2. Akibat berlakunya UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah :
1. Pada awal berlakunya UU Otda ini pada tahun 1999 masyarakat di Pulau Masalembo (Propinsi Jatim) menyandera kapal-kapal ikan asal Tegal (Propinsi Jateng) dengan alasan menangkap ikan di luar wilayahnya. Apabila akan mengambil kembali kapal ikannya, diwajibkan menyetor sejumlah dana sebagai kompensasi karena hasil lautnya dijarah oleh nelayan dari wilayah lain.
2. Sengketa wilayah Kepulauan Seribu masih ramai dibicarakan hingga kini. Sengketa itu didorong oleh adanya Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 1999 tentang perubahan status Kecamatan Kepulauan Seribu. Padahal sebelumnya pemerintah telah mengeluarkan UU Nomor 22 Tahun 1999 tetang Otonomi Daerah, yang salah satu isinya menetapkan batas wilayah laut suatu propinsi sejauh 12 mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas atau ke arah perairan kepulauan. Ini artinya sebagian wilayah Kepulauan Seribu, ”seharusnya” menjadi bagian teritorial Propinsi Banten. Namun, kenyataannya Kepulauan Seribu masih masuk dalam wilayah DKI Jakarta. Duplikasi wilayah karena kedua UU tersebut sampai saat ini luput dari perhatian para petinggi di negara ini. Akibatnya sengketa wilayah antara ”Banten dan Betawi” di Kepulauan Seribu tak dapat dihindarkan. Konon dalam catatan sejarah, Kepulauan Seribu menjadi incaran karena posisi strategisnya dalam jalur pelayaran kapal dagang. Kini potensi sumber daya alamnya juga menjadi perhatian. Apalagi dengan otonomi daerah, Pemerintah Daerah (Pemda), dalam hal ini Pemda Kabupaten Tangerang, diberi wewenang untuk mengatur dan mengelola wilayahnya sesuai UU Otonomi. Hal inilah yang membuat Pemda Kabupaten Tangerang bersikeras mengincar ke-22 pulau di kawasan Kepulauan Seribu untuk menghimpun Pendapatan Asli Daerah (PAD). (Kompas 28 Nopember 2001).
3. Propinsi Jambi bertekad mempertahankan Pulau Berhala yang masih disengketakan dengan Riau. Pengamat sejarah dan Budayawan Universitas Jambi (UNJA), Fachruddin Saudagar, mengatakan bahwa fakta dan bukti sejarah yang dimiliki membuktikan pulau itu masuk wilayah Jambi. Ia mengatakan Jambi bukan merebut pulau yang berada di Selat Malaka itu dari Propinsi Riau. Menurutnya Propinsi Riau justru yang berusaha merebut pulau itu, dan tidak mengakui kedaulatan pembentukan Propinsi Jambi 1957, setelah berpisah dari Propinsi Sumatera Bagian Tengah (Sumbagteng) meliputi Jambi, Sumatera Barat, Riau. Menurutnya, dalam peta ”Top Karesidenan” Jambi yang dibuat zaman Hindia Belanda di Batavia (kini Jakarta) tahun1910, disebutkan Pulau Berhala, masuk wilayah Jambi. Demikian juga dalam piagam ”Tanah Simpang” dan ”Tanah Kumpeh Hilir” yang ditulis ulang pada tahun 1211H. (Republika 14 Februari 2002).
5. KONSEPSI MEMANFAATKAN ALUR LAUT KEPULAUAN INDONESIA
1. Ada beberapa hal yang perlu dicermati dalam perumusan penerapan konsepsi Alur Laut Kepulauan Indonesia, yaitu :
1. Tegaknya kedaulatan Negara Kepulauan Indonesia.
2. Persatuan dan kesatuan, bahwa di samping satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa, juga satu kesatuan di bidang ekonomi, bidang hukum dan sosial budaya.
3. Stabilitas dalam negeri, bahwa kondisi keamanan dalam negeri yang memberi rasa aman untuk iklim berbagai kegiatan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat adalah mutlak.
4. Kesejahteraan rakyat menjadi ukuran bagi terjaganya martabat dari masyarakat yang mendiami pulau-pulau terutama di sekitar ALKI yang tersebar dan dibatasi oleh yang menjadi penghubungnya dengan sarana transportasi dan komunikasi yang memadai.

Bilamana kondisi-kondisi tersebut dapat diwujudkan, diharapkan dapat memberikan respon terhadap meningkatnya harkat dan martabat bangsa Indonesia dan sisi lain juga memperkuat Ketahanan Nasional.
2. Penetapan ALKI adalah untuk kepentingan Indonesia sendiri, karena jika ditetapkan, maka kapal-kapal asing dapat melakukan pelayaran Lintas Alur Laut Kepulauan melalui rute-rute yang biasa dipakai dalam pelayaran internasional. Semua ALKI tersebut terbuka bagi semua kapal yang ingin melintasi Perairan Indonesia secara cepat, terus menerus berdasarkan ketentuan ”ARCHIPELAGIC SEA LANES PASSAGE” dalam konsepsi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hukum laut 1982. Keberadaan ALKI ini perlu konsepsi pemanfaatannya mempertahankan Integritas Nasional dengan menyusun strategi untuk dilaksanakan agar mampu mengakomodasikan kepentingan masyarakat internasional dan kepentingan masyarakat Indonesia sendiri khususnya di bidang pertahanan keamanan.

3. Berlakunya Otonomi Daerah di Indonesia mengakibatkan masing-masing Pemerintah Daerah berlomba-lomba untuk mendapatkan tambahan dengan mengekspansi wilayahnya dengan maksud makin luas wilayah nya makin besar kemungkinan didapat anggaran untuk membiayai pembangunan di daerahnya. Namun hal ini berakibat benturan dengan wilayah lain yang berbatasan, diduga pula bahwa ekspansi ke daerah lain melalui eksplorasi di laut dapat menambah APBDnya.
6. KEBIJAKSANAAN
1. Kebijaksanaan yang ditempuh untuk menjawab bagaimana menjadikan keberadaan Alur Laut Kepulauan Indonesia guna mempertahankan Integritas Nasional adalah : ”Memanfaatkan keberadaan Alur Laut Kepulauan Indonesia sebagai konsekwensi berlakunya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982 dan Undang-Undang Otonomi Daerah dalam rangka Mempertahankan Integritas Nasional”. Rezim ”Archipelagic Sea Lanes Passage” Alur Laut Kepulauan merupakan suatu kompromi yang mengakomodasikan kepentingan Negara Kepulauan dan hak negara lain untuk berlayar melalui Perairan Negara Kepulauan.

2. Tujuan.

Tujuan kebijaksanaan tersebut adalah agar upaya memanfaatkan keberadaan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) memperoleh perhatian serius dan direncanakan secara terarah dan terpadu sesuai kepentingan internasional dan kepentingan otonomi daerah guna mempertahankan Integritas Nasional.
1. Bidang Politik
1. Kerjasama internasional dengan negara tetangga dan negara-negara lainnya dengan prinsip saling menghargai dan menghormati kedaulatan negara masing-masing, baik yang telah meratifikasi UNCLOS 82 maupun yang belum.
2. Terumuskannya secara jelas posisi-posisi Alur Laut Kepulauan Indonesia dan tertuang dalam Undang-Undang.
3. Terwujudnya Otonomi Daerah yang berkeadilan dan terjalinnya hubungan antara pusat dengan daerah dalam hubungan antar daerah.
2. Bidang Ekonomi

Pembangunan ekonomi diarahkan untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mandiri dan andal berdasarkan demokrasi ekonomi untuk meningkatkan kemakmuran seluruh rakyat secara selaras, adil dan merata, dengan memerankan rakyat sebagai subyek dan obyek pembangunan.
3. Bidang Sosial Budaya
1. Pembangunan di bidang sosial budaya diarahkan untuk meningkatkan kesadaran dan wawasan kebangsaan, kesatuan dan persatuan, dan terwujudnya masyarakat madani yang maju, mandiri, sejahtera dan berkeadilan.
2. Mengembangkan pemanfaatan potensi kelautan sebagai lapangan kerja dan mata pencaharian yang memiliki prospek unggul.
4. Bidang Hankam

Pembangunan kekuatan TNI/POLRI untuk mampu memelihara kedaulatan, mengamankan wilayah kepulauan dan melakukan penegakan hukum khususnya ALKI.
7. STRATEGI

Strategi yang dapat ditempuh sesuai dengan kepentingan internasional dan kepentingan Otonomi Daerah adalah :
1. Mengkoordinasikan, menginformasikan dan mensosialisasikan keberadaan ALKI kepada dunia internasional negara-negara pengguna laut.
2. Melaksanakan monitoring, surveilance dan pengendalian ALKI demi mengantisipasi 19 aturan ALKI yang telah ditentukan dan pemasangan sarana bantu navigasi yang diperlukan serta pemetaan yang lebih akurat dan terinci di daerah tertentu.
3. Menyiapkan Rencana Umum Tata Ruang di daerah khususnya batas wilayah administrasi laut di sekitar ALKI dengan diberlakukannya otonomi daerah guna menghindari konflik kepentingan, mengkoordinasikan, menginformasikan mensosialisasikan kepada masyarakat di wilayahnya.
4. Menyusun program secara terencana dan berkesinambungan.
1. Jangka Pendek (5 s.d. 10 Tahun)
1. Bidang Politik
1. Meningkatkan peran para diplomat termasuk di dalamnya adalah pejabat Kementerian Luar Negeri, para Duta Besar, Utusan khusus dan para pejabat Pemerintahan lainnya yang terkait dengan masalah Luar Negeri.
2. Secara intens melakukan diplomasi dengan negara-negara tetangga yang memiliki konflik perbatasan dan wilayah teritorial, untuk menjajagi dan mencari cara-cara penyelesaian terbaik.
3. Meningkatkan kembali peran Indonesia di forum ASEAN dan pemanfaatan sebagai media dalam penyelesaian masalah yang dialami oleh negara-negara ASEAN, dengan prioritas masalah perbatasan dan meningkatkan stabilitas kawasan ASEAN.
4. Menggalang hubungan dengan negara-negara melalui forum persidangan IMO (International Maritime Organization), forum PBB dan forum-forum lainnya untuk menggalang dukungan internasional tentang konsepsi Alur Laut Kepulauan Indonesia.
5. Mengefektifkan peran Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Hukum dan Perundang-Undangan untuk mensosialisasikan Regulasi Nasional dan menginventariskan peraturan yang sudah tertinggal dan disesuaikan dengan semangat Otonomi Daerah guna menghindari tumpang tindih, saling menguasai pulau dan memperluas laut wilayahnya dengan mengutamakan Integritas Nasional.
2. Bidang Ekonomi

Mendorong peran aktif masyarakat termasuk para nelayan dan pihak swasta untuk memanfaatkan dan mengelola sumber kekayaan alam laut, guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
3. Bidang Sosial Budaya
1. Secara bertahap mendorong terlaksananya transformasi budaya yang terkait dengan mata pencaharian, budaya potensi kelautan adalah alternatif sumber kehidupan yang menjamin kelangsungan hidup secara baik.
2. Meningkatkan kesadaran dan wawasan kebangsaan masyarakat di daerah perbatasan, bahwa mereka adalah bagian dari kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia.
4. Bidang Hankam

Mengefektifkan peran kekuatan peran Aparat Keamanan (TNI/POLRI) yang tersedia, untuk secara optimal menjaga wilayah kedaulatan Indonesia dan melakukan penegakan hukum terhadap kejahatan/pelanggaran yang terjadi di wilayah kepulauan Indonesia.
2. Jangka Panjang (10 s.d. 20 tahun)
1. Bidang Politik
1. Melanjutkan dan menetapkan peran para diplomat dan pejabat Pemerintahan lainnya terhadap langkah-langkah yang dilakukan pada tahap jangka pendek, meliputi pengentasan, penyelesaian konflik perbatasan dan teritorial, mengokohkan kembali peran ASEAN, dan memantapkan hubungan dengan negara-negara lain melalui forum internaional seperti PBB dan IMO.
2. Mengupayakan rumusan secara pasti posisi-posisi Alur Laut Kepulauan Indonesia yang tertuang dalam Undang-Undang.
3. Mengupayakan ratifikasi Konsepsi Alur Laut Kepulauan Indonesia dan peraturan perundangan-undangan lainnya.
4. Melengkapi peraturan perundangan lainnya yang berkaitan dengan pengelolaan, pelestarian dan pengamanan sumber kekayaan alam dan lautan.
5. Memantapkan pelaksanaan Otonomi Daerah, sehingga mendorong pelaksanaan pembangunan di daerah, dengan melakukan koordinasi, komunikasi dan sosialisasi antar daerah di sekitar ALKI demi terwujudnya Integritas Nasional.
2. Bidang Ekonomi

Meningkatkan dan memantapkan peranserta masyarakat kecil dan pihak swasta untuk lebih memantapkan dan mengelola sumber kekayaan alam laut, agar kesejahteraan masyarakat lebih merata.
3. Bidang Sosial Budaya
1. Meningkatkan dan memantapkan transformasi budaya masyarakat agraris ke masyarakat bahari bagi para generasi muda.
2. Memantapkan wawasan kebangsaan masyarakat di daerah perbatasan.
4. Bidang Hankam.
1. Secara bertahap membangun Aparat Keamanan (TNI /POLRI), agar mampu menegakkan kedaulatan Negara Kepulauan Indonesia, memelihara kedamaian, dan melakukan penegakan hukum terhadap kejahatan/pelanggaraan yang terjadi di wilayah kepulauan Indonesia terutama di ALKI secara optimal.
2. Menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran masyarakat untuk mengamankan wilayah kepulauan Indonesia, menjaga sumber kekayaan alam Indonesia dan melestarikan lingkungan hidup secara swakarsa demi terjaminnya Integritas Nasional.
8. UPAYA
1. Melanjutkan koordinasi, informasi dan sosialisasi keberadaan ALKI kepada dunia internasional khususnya negara-negara pengguna laut secara terus menerus dan berlanjut.
1. Subyek

Pemerintah, dhi. Menkopolsoskam, Deplu, Dephan, Dephub, Dep KP, Depkum/Ham, Mabes TNI melaksanakan Koordinasi, informasi dan sosialisasi ALKI dan aturan-aturannya.
2. Obyek

Negara-negara pengguna laut yang melintasi ALKI guna kepentingan militer maupun ekonominya seperti Amerika Serikat, Australia, Jepang, Inggris maupun negara-negara tetangga di Asia Tenggara.
3. Metoda
1. Melaksanakan koordinasi hasil-hasil pertemuan secara informal dan bilateral dengan negara-negara pengguna, bahwa ALKI perlu dijajagi kemungkinan pengembangannya bekerjasama dengan negara-negara tersebut untuk meningkatkan keselamatan pelayaran.
2. Menginformasikan bahwa ALKI secara hukum bukan merupakan kewajiban Indonesia, namun untuk kepentingan keselamatan dan kepentingan Indonesia sendiri.
3. Mensosialisasikan ketentuan-ketentuan yang berlaku di ALKI melalui publikasi umum, termasuk ”Notice To Mariners” disertai peta-peta yang menggambarkan garis aksisnya, letak-letak anjungan, kabel-kabel dan pipa-pipa bawah laut, kawasan konservasi laut, daerah-daerah penangkapan ikan padat, daerah dumping, daerah-daerah berbahaya bagi pelayaran (”NAVIGATION HAZARDS”) yang diketahui, termasuk kedangkalan-kedangkalan, anjungan-anjungan yang ditinggalkan dan kerangka-kerangka kapal karam lainnya dan ”NOTICES TO AIRMEN” (NOTAM) yang berisi route udara di atas ALKI dan jalur-jalur penerbangan (AIR WAYS) yang memotong ALKI.
2. Melaksanakan suatu program jangka pendek dan jangka panjang dan kebijaksanaan untuk memonitor (Monitoring), mengawasi (Surveilance) dan mengendalikan (Controling) di ALKI termasuk ketentuan dalam 19 aturan yang telah disosialisasikan, pemasangan sarana bantu navigasi serta membangun ”Puskodal ALKI”.
1. Subyek :
1. Pemerintah : aparat keamanan laut (TNI/POLRI, BC, KPLP, IMIGRASI), Dep KP, DEPHUB (Radio Pantai).
2. Masyarakat maritim (KII, Nelayan, desa pesisir)
2. Obyek :
1. Kapal perang/Pesawat terbang asing.
2. Kapal ikan asing.
3. Kapal tanker asing.
4. Kapal survei asing.
5. Kapal bermuatan nuklir, plutonium dan B3.
3. Metoda :
1. Monitoring dengan sarana yang telah tersedia yang dimiliki oleh aparat keamanan laut (Radio pantai, kapal dan pesawat terbang) yang secara bertahap diprogramkan untuk dilengkapi maupun oleh masyarakat maritim (Siswasnas) dan satelit.
2. Mengawasi (Surveilance) dengan sarana yang selama ini telah ada baik yang menggunakan sarana visual (pos pengamat) maupun dengan peralatan elektronik sederhana atau yang canggih (Radar pantai, Radar kapal, Radar pangkalan AL/AU).
3. Mengendalikan (Controling) baik dengan menggunakan sarana penindak awal maupun sarana penindak lanjut dengan kapal/pesawat terbang pemerintah (Kapal dan Pesawat terbang).
4. Pemasangan sarana bantu Navigasi yang diperlukan (Radar pantai, Pelampung, Suar) dan pemetaan yang lebih akurat dan terinci di daerah tertentu.
5. Program membangun / mendirikan secara bertahap Pusat Kendali Operasi (PUSKODAL) ALKI di sepanjang Jalur ALKI I, II dan III untuk kebutuhan keamanan negara maupun kebutuhan ekonomi dan perdagangan.
3. Menyiapkan RUTR di daerah khususnya batas wilayah administrasi laut di sekitar ALKI dengan diberlakukan otonomi daerah guna menghindari konflik kepentingan dengan mengkoordinasikan, menginformasikan dan mensosialisasikan kepada masyarakat di wilayahnya.
1. Subyek :
1. Pemerintah daerah di wilayah ALKI I, II, III.
2. Aparat keamanan laut/udara ALKI I, II, III.
2. Obyek :

Masyarakat di wilayah propinsi di sekitar ALKI I, II, III.
3. Metoda :
1. Menghentikan perluasan wilayah dengan mengklaim pulau-pulau tertentu dengan mengirimkan penduduk kepulauan tersebut, sehingga menimbulkan konflik dengan penduduk setempat/lokal dengan cara mengkoordinasikan penyusunan RUTR, selanjutnya menginformasikan dan mensosialisasikannya kepada masyarakat di wilayahnya dengan mencapai solusi yang sekecil mungkin timbulnya konflik.
2. Memanfaatkan APBD tanpa harus melakukan kegiatan yang mengklaim wilayah propinsi lain guna menghindari konflik antar wilayah dengan menentukan bidang ekonomi yang menguntungkan antar wilayah.
4. Agar tujuan dan sasaran yang ditetapkan dalam kebijaksanaan serta strategi di atas dapat tercapai menurut subyek, obyek dan metoda yang ditentukan, maka perlu dilakukan berbagai upaya seleksi bidang masing-masing sebagai berikut :
1. Bidang Politik
1. Meningkatkan kemampuan dan peran para diplomat/Dubes RI, terutama untuk Dubes di negara yang sedang konflik.
2. Melakukan upaya diplomasi dengan negara tetangga dan negara yang belum melakukan ratifikasi tentang konsep Alur Laut Kepulauan Indonesia dengan mengadakan hubungan kerjasama internasional.
3. Melakukan ”lobby” dengan negara lain guna mendukung konsepsi ALKI, melalui forum ASEAN, PBB, IMO dan forum-forum lainnya.
4. Membuat undang-undang tentang batas-batas kewilayahan Indonesia sebagai negara kepulauan karena ALKI ada di dalamnya dan disampaikan kepada PBB untuk menjadi konvensi, selanjutnya dituangkan dalam UUD 1945.
5. Meningkatkan peran Departemen Luar Negeri dan Departemen Dalam Negeri untuk proaktif mengusulkan kepada DPR dalam pembuatan undang-undang tentang kelautan, undang-undang tentang perikanan dan undang-undang lainnya.
2. Bidang Ekonomi
1. Mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dalam pemanfaatan sumber kekayan laut yang merata di seluruh wilayah kepulauan Indonesia, termasuk Indonesia Bagian Timur.
2. Mengembangkan infrastruktur untuk meningkatkan produktifitas, perdagangan serta jasa dengan pengadaan alat-alat transportasi dan komunikasi serta sarana dan prasarana pendukungnya yang optimal dapat dilaksanakan di dalam era globalisasi.
3. Membuat undang-undang tentang perlindungan dan pelestarian lingkungan dan kekayaan laut Indonesia.
4. Meningkatkan peranan dan potensi masyarakat pesisir untuk melakukan pemanfaatan SKA dan keamanan di wilayahnya, agar hasil kekayaan laut dapat dimanfaatkan secara maksimal.
5. Meningkatkan peran serta swasta untuk mengelola potensi kelautan di daerah.
3. Bidang Budaya
1. Meningkatkan kualitas dan kinerja aparatur negara sejalan dengan otonomi daerah, sehingga masyarakat di wilayahnya berperanserta aktif serta bersama-sama secara sinergis mempertahankan nilai-nilai budayanya masing-masing dengan penuh toleransi untuk mencegah timbulnya disintegrasi bangsa, prioritas pada masyarakat khususnya di sekitar ALKI dan di daerah perbatasan.
2. Mengembangkan proses transformasi dari masyarakat agraris menuju masyarakat bahari serta meningkatkan etos kerja dan pelayanan untuk dapat mencapai produktifitas yang maksimal.
3. Menegakkan supremasi hukum di wilayahnya masing-masing sesuai dengan kewenangan dalam otonomi daerah dengan saling koordinasi, saling menginformasikan dan mensosialisasikan kepada masyarakat di wilayahnya.
4. Bidang Hankam
1. Meningkatkan profesionalisme aparat penegak hukum TNI dan POLRI dalam menjalankan penegakan hukum laut internasional untuk mengamankan wilayah nasional.
2. Mengembangkan sistem pertahanan keamanan baik di perbatasan daratan maupun daerah kelautan dengan penyediaan sarana yang memadai.
3. Melakukan kegiatan-kegiatan pengamanan untuk mencegah beroperasinya kapal-kapal asing secara ilegal, kejahatan-kejahatan lintas batas dan kejahatan lain yang akan memberikan dampak terjadinya disintegrasi bangsa.
9. PENUTUP
1. Konsepsi keberadaan Alur Laut Kepulauan Indonesia belum sepenuhnya terlaksana secara ptimal. Hal ini dapat dilihat belum semua negara meratifikasi konsepsi negara kepulauan tersebut, serta masih adanya masalah perbatasan dan masalah lainnya khususnya negara-negara pengguna ALKI.
2. Bidang Politik
1. Diplomasi untuk menggalang dan mendapatkan dukungan Internasional terhadap kepentingan im-plementasi konsep Alur Laut Kepulauan Indonesia masih belum optimal, terutama pada forum IMO, ICAO, PBB, ASEAN dan forum-forum lainnya.
2. Kerjasama bilateral dalam menanggulangi masa-lah perbatasan dan keamanan belum optimal.
3. Regulasi nasional dalam pelaksanaan otonomi daerah belum lengkap dan masih tumpang tindih serta belum kompatibel, sehingga menimbulkan dampak potensi konflik antar daerah.
3. Bidang Ekonomi.
1. Pengelolaan dan pemanfaatan sumber kekayaan alam belum dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat.
2. Kurangnya pemberdayaan masyarakat maritim dan nelayan dalam meningkatkan taraf hidup dan belum ikut berperan sertanya mereka dalam pem-bangunan dalam bidang kelautan.
4. Bidang Sosial Budaya.
1. Belum adanya perubahan pandangan atau trans-formasi masyarakat agraris menuju masyarakat bahari.
2. Pembinaan penduduk perbatasan masih mudah terprovokasi kepentingan negara tetangga dalam penentuan garis-garis batas wilayah, sehingga merugikan negara Indonesia.
5. Bidang Hankam.
1. Fasilitas Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) belum memadai terutama dalam bidang keselamatan dan keamanan navigasi pelayaran
2. Profesionalisme aparat penegak hukum, TNI dan POLRI belum optimal terutama dalam menjalankan tugas penegakan hukum laut internasional untuk mengamankan seluruh wilayah yurisdiksi nasional.
3. Pembangunan kekuatan TNI/POLRI belum mendapat prioritas, dukungan pendanaan sangat terbatas dan belum dapat meningkatkan ketangguhan TNI/POLRI terhadap tantangan, hambatan dan gangguan yang timbul.
6. Dengan belum mampunya kita menegakkan kedaulatan wilayah dengan baik, kondisi wilayah kepulauan dan sumber kekayaan alam belum dapat dipelihara dan diamankan dengan baik serta tingkat kesejahteraan masih memprihatinkan, sehingga hal ini sangat berpengaruh pada tingkat harkat dan martabat bangsa Indonesia di dunia Internasional.
10. SARAN

Dari pembahasan bab-bab terdahulu dan dari kesimpulan dapatlah disarankan beberapa hal sebagai berikut :
1. Bidang Politik
1. Perlunya peningkatan diplomasi efektif untuk menggalang dan meningkatkan hubungan interna-sional guna memperjuangkan kepentingan Indonesia dalam implementasi konsepsi keberadaan Alur Laut Kepulauan Indonesia.
2. Perlunya mempererat kerjasama ”Interstate Goverment” guna menanggulangi masalah perbatasan dan wilayah teritorial, masalah penanggulangan kejahatan lain-lainnya.
3. Perlunya Amandemen UUD 1945 untuk mema-sukkan batas wilayah kepulauan Indonesia berikut ALKI-nya.
4. Regulasi nasional dalam pelaksanaan otonomi daerah perlu dilengkapi agar tidak tumpang tindih dan harus kompatibel guna menghindari konflik antar penduduk.
2. Bidang Ekonomi.
1. Pemberdayaan masyarakat maritim dan nelayan dalam meningkatkan taraf hidup dan ikut berperan serta dalam pembangunan nasional bidang kelautan.
2. Dengan keterbatasan sumber anggaran negara, perlu mendorong dan mengoptimalkan peran swasta untuk pengelolaan kekayaan alam laut, dengan sasaran percepatan peningkatan kesejahteraan rakyat.
3. Bidang Sosial Budaya.
1. Perlunya memacu perubahan pandangan, transformasi masyarakat agraris menuju masyarakat bahari melalui pendidikan masyarakat dan generasi muda.
2. Perlunya pembinaan penduduk perbatasan agar tidak terprovokasi kepentingan negara tetangga dalam penentuan garis-garis batas teritorial negara Indonesia.
4. Bidang Hankam.
1. Fasilitas Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) perlu ditingkatkan terutama dalam bidang berikut :
1. Keselamatan pelayaran seperti; buoy, mercu suar dan Puskodal ALKI.
2. Peralatan telekomunikasi, radar-radar guna pengendalian perhubungan dan pengawasan lalu lintas kapal-kapal di sepanjang ALKI.
3. Peningkatan fasilitas pangkalan dan posisi strategis guna melaksanakan patroli kapal dan pesawat udara pemerintah sebagai penindak awal atau penindak lanjut serta mendukung perbaikan kapal yang mengalami kerusakan, kebocoran maupun kesiapan kapal-kapal tunda samudera.
2. Perlunya peningkatan profesionalisme aparat hukum, TNI dan POLRI dalam menjalankan tugas penegakan hukum laut internasional, untuk meng-amankan seluruh wilayah yurisdiksi Nasional.
3. Dengan dukungan dana yang memadai guna meningkatkan kemampuan TNI/POLRI menganti-sipasi timbulnya tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan di masa yang akan datang dalam meng-hadapi globalisasi.

”Joint the Navy to Sea the World”Bergabunglah dengan AngkatanLaut Untuk melihat dunia,Karena laut tidak hanya sebagaiMedia pertahanan keamanan ...,Tetapi juga media harapan masa depan. A.Y. JIMMY MASYKUR LAKSAMANA PERTAMA TNI

Lulusan AKABRI Laut-XIX/1973, dinas di Kapal-kapal Koarmatim Tahun 1973 s.d. 1995 sebagai Kadiv/Kadep/Palaksa s.d. Ko-mandan KRI. Tahun 1996 s.d 1998 dinas di Seskoal sebagai Kadepstra. Tahun 1998 s.d. 2002 dinas di Koarmabar sebagai Dan Satfib/Dan Satkor/Asops Pangarmabar/Dan Guspurla. Pendidikan terakhir Lemhannas KSA-X/2002. Saat ini menjabat Kepala Kelompok Staf Ahli Kasal “F” Binpotnaskuatmar.
Wawancara Prof. Dr. Frans Eduard Likadja:
"Peluang Indonesia Menang Hanya 50 persen"

______________________________________________________________

Pemerintah Indonesia dan Malaysia sepakat membawa sengketa Pulau
Sipadan-Ligitan ke Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda.
Sengketa pulau itu berlangsung sejak 1960, dan baru mulai
dirundingkan pertama kali setelah Orde Baru berdiri, pada 1969.
Dari puluhan kali perundingan bilateral, nampaknya belum membuahkan
hasil. Semula, kedua pulau itu merupakan warisan kolonial Belanda
dan Inggris. Belakangan, Malaysia memasukkan kedua pulau itu ke
dalam peta wilayahnya. Bahkan, lebih jauh, Malaysia telah mengelola
kedua pulau itu sebagai tujuan wisata, dan tercetak dalam
brosur-brosur untuk turis yang hendak melancong ke negeri jiran
itu.

Indonesia tetap bersikukuh mengklaim kedua pulau itu berdasarkan
hukum laut internasional yang menarik garis lurus dari pantai
sejauh 12 mil. Belum lagi faktor sejarah yang menyebutkan bahwa
keduanya sempat di bawah kendali Belanda. Sedangkan berdasarkan
buku "Daftar Nama Pulau di Indonesia" disusun Dinas Hidrografi TNI
Angkatan Laut, Pulau Sipadan yang luasnya hanya empat kilometer
persegi itu berada pada posisi 118 derajat, 37,5 menit Bujur Timur
dan 08,8 menit Lintang Utara. Sedangkan Pulau Ligitan berada
disebelah timur dengan posisi 4 derajat, 09,7 menit Lintang Utara.

Untuk mengetahui seberapa jauh peluang Indonesia memenangkan
sengketa itu, berikut wawancara Ali Nur Yasin dari TEMPO Interaktif
melalui sambungan telepon dengan pakar hukum laut internasional
tamatan Universitas Leiden, Belanda, dan kini Guru Besar tetap
Universitas Ujungpandang, Prof. Dr. Frans Eduard Likadja, SH.
Berikut petikannya.
______________________________________________________________

Indonesia dan Malaysia sepakat, membawa sengketa Pulau Sipadan dan
Ligitan ke Mahkamah Internasional di Belanda. Apakah itu merupakan
penyelesaian yang tepat? Penyelesaian melalui Mahkamah
Internasional merupakan cara damai, dan sangat tepat.

berdasarkan landas kontinen, menurut Anda siapa yang lebih berhak
mengakui Sipadan-Ligitan ? Sebagai warga negara, saya katakan itu
hak Indonesia. Tapi, Malaysia juga punya bukti-bukti yang kuat,
sehingga mereka berani membangun di pulau itu.

Apakah ada kasus sejenis yang berhasil diselesaikan di Mahkamah
Internasional ? Banyak. Kasus yang menarik sengketa antara Inggris
dengan Norwegia, pada 1991, mengenai penarikan garis lurus dari
pantai. Dasar itu, yang digunakan Indonesia saat ini, bahwa negara
kepulauan boleh manarik garis lurus.

Mengapa di zaman kolonial, antara Inggris, yang menduduki Malaysia
dan Belanda, yang menjajah Indonesia tak pernah terjadi sengketa?
Karena saat itu konsep negara kepulauan belum dianut. Begitu pula
dengan penentuan garis pantai, masing-masing pulau menentukan
sendiri. Tapi dengan penentuan garis 12 mil dari pantai, itu dapat
menjangkau semua pulau.

Sekarang masalah ini telah diserahkan ke Mahkamah Internasional,
secara hukum apakah dibenarkan, salah satu negara masih mengelola
pulau itu ? Sejak masalah itu diserahkan ke Mahkamah Internasional,
sejak itu Sipadan dan Ligitan berada dalam status quo.

Tetapi Malaysia masih mengelola pulau itu ? Itu tidak dibenarkan.
Tapi, yang saya ketahui Perdana Menteri Malaysia telah melarang
pengelolaan kedua pulau itu.

Bila Mahkamah Internasional tidak dapat menyelesaikan sengketa ini,
cara apa yang tepat dilakukan ? Dengan membawa masalah itu ke
Mahkamah Internasional, menunjukkan adanya keinginan kedua negara
untuk menyelesaikan dengan jalan damai. Selain itu, mahkamah punya
kompetensi yang sifatnya voulenteer. Dengan menunjuk mahkamah,
beralihlah sifat voulenteer menjadi obligator. Sehingga semua pihak
wajib menerima apapun keputusan mahkamah.

Membawa sengketa ini ke Mahkamah Internasional, tentunya butuh
waktu yang lama. Adakah cara penyelesaian yang lebih efektif ?
Arbitrase. Mahkamah Internasional bisa cepat memutuskan, bila
bahan-bahan dan bukti yang disampaikan, lengkap. Di Mahkamah
Internasional ada 15 hakim yang memutuskan, dan keputusan mahkamah
berdasarkan suara terbanyak para hakim. Nantinya, apapun hasil yang
diputuskan harus dapat diterima kedua pihak.

Jika dengan diplomasi. Diplomasi bagaimana yang harus dilakukan
Indonesia ? Negosiasi, seperti yang dilakukan Prof. Dr. Mochtar
Kusumaatmadja (mantan Menlu) melalui perjanjian dengan beberapa
negara tetangga. Juga dengan memberikan pengertian, bahwa Indonesia
negara kepulauan. Sebenarnya, secara diam-diam negara tetangga
telah mengakui Indonesia sebagai negara kepulauan.

Cara lainnya ? Dengan melibatkan pihak ketiga. Pihak ketiga
mengajak pihak yang bersengketa untuk duduk di meja perundingan.
Atau, pihak ketiga punya andil dalam memberikan saran-saran. Selain
itu, dapat dilakukan dengan cara arbitrase. Dan terakhir, cara
judifikasi melalui mahkamah internasional, atau dengan
menandatangani piagam yang disepakati kedua pihak. Seperti
Indonesia menyelesaikan kemelut Kamboja melalui Jakarta Informal
Meeting (JIM).

Apakah perlu, adanya campur tangan Belanda-Inggris untuk
menyelesaikan sengketa ini ? Ya, karena Belanda-Inggris sebagai
negara yang tahu sejarah pulau itu. Kebetulan kedua pulau yang
disengketakan, berada dekat perbatasan kedua negara. Berdasarkan
perkembangan hukum laut internasional, kedua pulau masuk dalam
jangkauan Indonesia dan Malaysia. Jadi perlu saksi hidup untuk
menyelesaikan masalah ini.

Berdasarkan konsep Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, yang menyatakan
lebar laut teritorial 12 mil, apakah Indonesia dapat mengklaim
kedua pulau itu miliknya ? Bisa, tapi kita harus mengakui hak-hak
tradisonal perikanan yang dimiliki Malaysia. Artinya, Malaysia
boleh mengelola hasil laut yang ada di sekitar pulau itu.

Dalam sengketa ini, apakah ada peluang Indonesia untuk menang ?
Secara subjektif, saya ingin Indonesia menang. Tapi, semuanya kita
serahkan kepada mahkamah yang menyidangkan Sipadan-Ligitan.

Tepatnya, berapa persen peluang Indonesia menang di Mahkamah
Internasional ? 50 persen.

Kenapa hanya 50 persen ? Karena Indonesia tidak tidak sejak dahulu
mengelola (membangun) pulau itu, dan kalah cepat dengan Malaysia.
Andaikan, Indonesia telah lebih dahulu membangunnya, Malaysia tidak
akan mengelolanya.

Jika hanya 50 persen peluang Indonesia, cara apa yang harus
ditempuh Indonesia untuk memenangkannya ? Sesuai dengan hukum laut
imtermasional, bahwa kita berhak menarik garis lurus dari ujung
pantai ke arah laut lepas sejauh 12 mil. Ini dapat dijadikan dasar
hukum, bahwa pulau itu masuk wilayah kita.

Berdasarkan tinjauan sejarah, siapa yang paling berhak atas kedua
pulau itu ? Jika bersandar pada sejarah, Indonesia yang paling
berhak.

Bila gagal di mahkamah, apakah ada cara lain ? Ke mahkamah adalah
jalan terbaik dan terakhir, atas kesepakatan bersama. Walau
nantinya Indonesia kalah.

Apakah bisa, Indonesia-Malaysia manandatangani perjanjian semacam
Timor Gap, misalnya ? Sudah terlambat, karena sudah diajukan ke
Mahkamah Internasional. Perjanjian semacam Timor Gap (Celah Timor,
antara RI-Australia) bisa dilakukan, apabila kedua negara sepakat
menarik kembali sengketa itu dari Mahkamah Internasional.

Anda lebih setuju yang mana ? Sambil menunggu bukti-bukti yang
kuat, saya setuju diadakan perjanjian semacam Celah Timor. Sebagai
sesama anggota ASEAN, Indonesia-Malaysia dapat mengusahakannya
secara bersama. Toh, kedua pulau berada di perbatasan. Lain halnya,
bila salah satu negara memiliki bukti-bukti yang kuat, itu dapat
diselesaikan di mahkamah internasional.

X-within-URL: http://www.tempo.co.id/mingguan/35/n_nas7.htm

[ISMAP]-[USEMAP] Edisi 35/01 Nasional
Sabtu, 05 Mar 2005 (PUSJARAH TNI)
Lagi, Malaysia Melanggar Batas
Masuk 6 Mil ke Laut Indonesia

TARAKAN - Gelar pasukan TNI-AL di Laut Sulawesi tidak membuat tentara Malaysia menghentikan manuvernya. Pesawat pengintai Malaysia kembali melakukan pelanggaran dengan memasuki 6 mil wilayah laut Indonesia.

Pelanggaran terbaru negara tetangga tersebut dilakukan pada 3 Maret 2005, sekitar pukul 10.58 Wita. Saat itu, KRI Wiratno 879 yang sedang berpatroli di wilayah laut Blok Ambalat yang kaya minyak tersebut akan stop mesin (berhenti) untuk memeriksa KM Dewarutji Akbar-I yang juga melintas di wilayah tersebut. Tiba-tiba sebuah pesawat intai milik Malaysia jenis beech craft B 200 T Super King melakukan pengintaian.

"Super King itu mendekati KRI Wiratno dari arah lambung kiri buritan. Ketinggiannya kurang lebih 300 kaki," beber Kepala Staf Gugus Tempur Laut Kolonel Marsetio kepada wartawan Jumat (4/3) kemarin di kapal perang Nuku 873.

Pesawat pengintai Malaysia tersebut melintas di samping lambung kiri KRI Wiratno pada jarak sekitar 1.000 yard. "Mungkin mereka bermaksud mengamat dan mendokumentasikan kegiatan KRI Wiratno dari dekat. Tapi, mereka melanggar wilayah udara dengan memasuki Indonesia sekitar 6 mil," ungkap Marsetio.

Begitu pesawat intai Malaysia itu melakukan manuver, KRI Wiratno langsung menangkalnya. "Ya, saat mereka melakukan manuver, kami juga melakukan penangkalan untuk menyatakan bahwa kami ada di tempat itu," ucap Marsetio.

Sebelumnya, pada 26 Februari 2005 sekitar pukul 09.15 Wita, Malaysia juga melanggar batas wilayah Indonesia. Saat itu, KRI Wiratno yang berlayar di perairan Teluk Siboko untuk menuju Karang Unarang berpapasan dengan dua kapal patroli TLDM KD Paus-3507 dan KD Baung-3509. Dua kapal tersebut juga melakukan patroli. "Mereka melakukan dengan sopan. Tapi, itu tetap pelanggaran karena berada pada wilayah kita yang diklaim sebagai wilayahnya," jelas Marsetio.

Tapi, mengapa Indonesia hanya diam melihat pelanggaran demi pelanggaran yang dilakukan pihak Malaysia? Tanya wartawan koran ini. "Ya, semua negara menghindari konflik terbuka, termasuk kita," kata Marsetio.

Malaysia, tambah Marsetio, melanggar perjanjian internasional Unclos 1982. Yang dilanggar pasal 15 tentang penetapan garis batas teritorial yang pantainya berbatasan dan berdampingan, yakni 12 mil. "Malaysia malah melewati 70 mil dari batas yang ditentukan. Itu jelas menyalahi," tegas Marsetio.

Kawasan yang diklaim Malaysia itu terletak di Laut Sulawesi, dekat Tarakan Kaltim. Malaysia menyebut wilayah tersebut sebagai Blok XYZ. Kuala Lumpur telah memberikan konsesi kepada perusahaan raksasa minyak Shell di Blok ND dan ND7 yang menjadi bagian Blok XYZ.

Indonesia menyebut blok yang diklaim Indonesia itu sebagai Blok Ambalat dan East Ambalat. Di Blok Ambalat, Indonesia telah memberikan konsesi kepada ENI (perusahaan minyak milik Italia) pada 1999. Konsesi blok East Ambalat telah diberikan oleh indonesia kepada perusahaan Unocal (AS) pada 2004.

Menurut data Ditjen Migas Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, kandungan minyak di wilayah perairan timur Kalimantan yang menjadi sengketa kedua negara itu diperkirakan 700 juta hingga satu miliar barel. Kandungan gasnya diperkirakan lebih dari 40 triliun kaki kubik (TCF).


12 Batas Wilayah

Marsetio mengatakan, ada 12 batas wilayah perbatasan laut yang patut diwaspadai oleh Indonesia. Perbatasan Indonesia dengan India adalah Pulau Rondo; Indonesia dengan Malaysia adalah Pulau Berhala; Singapura dengan Indonesia adalah Pulau Mipal, dan Vietnam dengan Indonesia adalah Pulau Sekatung.

Selain itu, perbatasan Filipina dengan Indonesia adalah Pulau Maroro; Palao dengan Indonesia adalah Pulau Beras, Pulau Vani, dan Pulau Vanilda; Timor Leste dengan Indonesia adalah Pulau Batok, serta Australia dengan Indonesia adalah Pulau Dana. "Kedua belas perbatasan itu wajib diwaspadai oleh Indonesia," tandas Marsetio.


RI Sayangkan Statemen Malaysia

Departemen Luar Negeri RI menyayangkan statemen Menlu Malaysia Syed Hamid Albar yang meminta Indonesia menggunakan saluran diplomatik daripada ancaman militer dalam menyelesaikan saling klaim daerah di Laut Sulawesi, wilayah perairan perbatasan kedua negara, yang mengandung banyak potensi migas.

Juru Bicara Deplu RI Marty Natalegawa mengatakan, pihak Malaysia sebenarnya tidak perlu mengeluarkan statemen bersifat imbauan seperti itu. Sebab, dalam sejarahnya, justru Indonesia yang selama ini terus mengarahkan agar sengketa perairan di timur Pulau Kalimantan itu dibahas tuntas dalam maritime boundary delibition. Pembahasan di forum tersebut, kata Marty, merupakan sebuah bentuk penyelesaian sengketa Indonesia dengan Malaysia lewat jalur diplomasi.

Marty juga mengungkapkan, Indonesia dan negeri jiran itu sebenarnya memiliki forum khusus untuk membahas berbagai persoalan menyangkut wilayah maritim. Termasuk membahas sengketa di wilayah perairan Pulau Sipadan dan Ligitan. Yang terdekat, rencananya digelar Mei mendatang.

Namun, forum bilateral itu pun masih mendapat ganjalan akibat sikap Malaysia yang ngotot hanya ingin membahas sengketa di Laut Sulawesi. Padahal, Indonesia mengagendakan pembahasan wilayah perairan perbatasan yang lebih luas. Tidak hanya di Laut Sulawesi, tapi juga di Selat Malaka dan Laut Cina Selatan.

"Yang kami catat, justru pihak Malaysia yang memulai beberapa insiden di perairan perbatasan itu. Misalnya, kasus penyiksaan seorang pekerja perusahaan Indonesia yang sedang memperbaiki lampu suar di Karang Unarang yang jelas-jelas berada di wilayah Indonesia. Jadi, Malaysia yang seharusnya lebih bijak," tegas Marty dalam press briefing di Kantor Deplu, Pejambon, Jakarta, kemarin.

Dalam statemennya Kamis lalu, Menlu Malaysia Syed Hamid Albar juga menyatakan bahwa Indonesia tidak perlu mengirim kapal perang ke wilayah perairan yang dipersengketakan. Hamid yang mendapat amanat khusus dari Perdana Menteri Malaysia Abdullah Ahmad Badawi untuk merespons sikap Indonesia itu pun bersikeras bahwa Blok Ambalat di sebagian perairan Laut Sulawesi adalah bagian wilayah Malaysia.

Pemerintah Malaysia sudah membalas surat protes terbuka dari pemerintah Indonesia atas pemberian konsesi minyak (production sharing contracts) di Laut Sulawesi oleh Petronas kepada perusahaan minyak Shell. Dalam surat balasan itu, kata Marty, Malaysia masih ngotot mengklaim wilayah Blok Ambalat yang menjadi milik Indonesia.

Marty yang juga menjabat Dirjen ASEAN Indonesia itu melanjutkan, Indonesia sudah berinisiatif memulai komunikasi diplomatik dengan Malaysia untuk mencari jalan keluar terbaik atas sengketa di Laut Sulawesi itu. Kementerian Luar Negeri dan kedutaan besar kedua negara saat ini intensif melakukan pembahasan mendalam.

Saat bersamaan, berlangsung pula koordinasi interdep antarlembaga terkait yang bekerja langsung di bawah arahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk merespons setiap perkembangan dan menyusun skenario diplomasi. Pada waktunya nanti, terbuka kemungkinan masalah itu dibicarakan di tingkat yang lebih tinggi. Misalnya, antar-Menlu atau antarkepala negara. Namun, menurut Marty, hingga kemarin belum ada persiapan ke arah sana.

Begitu lunaknya sikap Indonesia, Marty mengaku bahwa pemerintah belum berencana membawa sengketa berkepanjangan ini ke ICJ (International Court of Justice) atau Mahkamah Internasional. Gelar kekuatan sejumlah kapal perang RI di Laut Sulawesi dianggap sudah cukup untuk menunjukkan wujud kedaulatan Indonesia kepada Malaysia. Pengerahan KRI andalan TNI-AL diharapkan memberikan efek segan kepada Malaysia.

"Harus diingat pula, kesiapan Indonesia menyelesaikan sengketa Laut Sulawesi secara baik-baik lewat jalur diplomatik jangan sampai disalahtafsirkan Malaysia sebagai wujud kelemahan. Bagaimanapun, secara prinsipiil, posisi Indonesia lebih kuat dari segi hukum internasional. Justru sikap ini adalah wujud keyakinan bahwa yang kami perjuangkan adalah sesuatu yang valid. Kami harap Malaysia memperhatikan itu," tegasnya.

Sayangnya, Marty mengaku belum bisa membeberkan kepada wartawan berbagai salinan dokumen legal tentang keabsahan kepemilikan Laut Sulawesi oleh Indonesia. Alasannya, berbagai argumentasi di dalamnya bakal membawa implikasi rasional (serius) terhadap hubungan kedua negara. Dia hanya kembali menegaskan bahwa klaim atas Blok Ambalat dan sebagain perairan Sulawesi yang dilakukan Malaysia sejak pembuatan peta pada 1979 tidak hanya dipermasalahkan Indonesia, tapi juga oleh banyak negara tetangga.

Masuknya Pulau Sipadan dan Ligitan ke wilayah Malaysia berdasarkan putusan Mahkamah Internasional pada Desember 2002 pun tidak otomatis menyebabkan perairan di luarnya yang menjorok ke wilayah Indonesia menjadi hak Malaysia. "Kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan tidak memberikan efek penuh terhadap batas maritim," ungkapnya.

Jatuhnya Pulau Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia memang menimbulkan sengketa lanjutan antarkedua negara menyangkut wilayah perairannya. Malaysia mengklaim bahwa mereka berhak atas wilayah perairan sepanjang 70 mil dari garis Pantai Sipadan dan Ligitan. Sedangkan Indonesia menganggap bahwa kewenangan Malaysia itu hanya 12 mil dari garis pantai kedua pulau tersebut.


KSAL Bantah Provokatif

Di tempat terpisah, KSAL Laksamana Madya (Laksdya) Slamet Soebijanto membantah bahwa penggelaran armada kapal perang TNI-AL di Laut Sulawesi sejak awal pekan ini merupakan unjuk kekuatan bahwa Indonesia siap berkonflik terbuka dengan Malaysia guna mempertahankan wilayah yang disengketakan. Pengerahan lima KRI serta dua pesawat pengintai ke wilayah tersebut bukan pula merupakan tindakan provokatif untuk memancing armada Tentara Laut Diraja Malaysia memasuki "daerah panas" yang akhirnya bisa menyulut insiden antarmiliter.

Dia menegaskan, sebagai negara tetangga, tidak bijak Indonesia "melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak diinginkan". Yang dilakukan sekarang ini, kata dia, hanyalah operasi rutin serta patroli aktif untuk semaksimal mungkin menjaga kedaulatan negara, tidak untuk saling berhadapan.

"Selama ini selalu terjalin komunikasi yang baik antara patroli Indonesia dan patroli Malaysia di sekitar perbatasan sana. Kalau sudah berdekatan, kami malah saling mengucapkan selamat datang," jelas Soebijanto kepada wartawan setelah menjadi inspektur upacara HUT Ke-59 POM TNI-AL di Mabes TNI-AL, Cilangkap, Jakarta.

Meski demikian, dia mengakui adanya kemungkinan penambahan lagi armada KRI di Laut Sulawesi. Alasannya, aset sumber daya alam milik Indonesia di wilayah perbatasan tersebut harus mendapatkan penjagaan maksimal. KSAL bahkan mengaku sudah membuat nota protes atas tindakan Malaysia. Nota itu disampaikan kepada panglima TNI untuk diteruskan ke Menlu dan dilayangkan ke Malaysia. "Intinya, kita harus memberikan pengertian kepada mereka (Malaysia, Red) bahwa menurut hukum internasional, kita adalah pemilik sah wilayah tersebut," tegasnya.

Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan Mabes TNI Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin menegaskan, militer kedua negara sudah sepakat untuk terus mengintensifkan koordinasi serta komunikasi antararmada patrolinya guna menghindarkan konflik terbuka di lapangan seperti saling tembak.

"Kalau ada patroli kami yang mau masuk perairan yang disengketakan, pasti akan diinformasikan lebih dulu lewat pesawat komunikasi radio. Begitu juga yang dilakukan pihak Malaysia. Jadi, antarmiliter sudah ada kesepahaman," kata perwira militer Indonesia pertama yang mengikuti training Terrorism in Low Intensity Conflict oleh Pentagon lewat program IMET (International Military Education and Training Program) milik AS tersebut. (arm/jpnn)