Heritage Intelligence

Mendengar intelijen ingatan langsung tertuju kepada James Bond 007, CIA, KGB, dan Mossad. Institusi intelijen Negara yang bekerja dalam ketertutupan dan menyeramkan seperti kisah Victor Ostrovsky atau novel Body of Lies karya David Ignatius. Intelijen Benda Cagar Budaya (Heritage Intelligence) bukan merupakan pengenjawantahan dari Lembaga Intelijen Negara, melainkan pekerjaan penelitian dan pendokumentasian tentang keberadaan benda cagar budaya yang ada di Indonesia. Banyaknya peninggalan kekayaan artefak sejarah yang telah lenyap atau musnah, sehingga menciptakan kerugian besar hampir disetiap sektor baik dari Ilmu pengetahuan, sosial-budaya, ekonomi dan pertahanan keamanan Negara.
Ketidak berdayaan pembuktian kekayaan dan kerugian Negara tentang peninggalan sejarah, yang telah hilang maupun masih ada merupakan 'titik lemah' untuk dapat menjelaskan dan mempertanggung jawabkan kepada publik.
Sebagaimana contoh hancurnya bangunan di proklamasi, dimana potret nyata detik-detik bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Pertanyaan kerugian apa saja yang diciptakan dari kehancuran bangunan proklamasi tersebut? Ternyata ketika di 'bedah' anatominya sungguh membuat kepala cekot-cekot, dari sisi Ilmu pengetahuan bukti nyata keberadaan fisik bangunan sudah tidak ada. Di dalam ranah berbeda seperti contoh ketika pulau Sipadan dan Ligitan diakui oleh Mahkamah Internasional di Belanda, fisik bangunan yang terdapat dikedua pulau tersebut adalah milik Malaysia. Pada akhirnya secara de jure maupun de fakto pulau Sipadan dan Ligitan milik sah Malaysia.
Terperanjat bahwa eksistensi fisik bangunan bukan persoalan sederhana, cara pandang melihat fisik bangunan selama ini hanya dilihat dari 'kaca mata kuda' yang melulu diukur dari perspektif estetika dan ekonomis semata. Padahal sebuah bangunan diciptakan melampaui tapal batas estetika dan ekonomi, sebagaimana masyarakat Jawa membangun rumah Panggang pe Ceregancet mirip dengan jasad hidup yang tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan kehidupan penghuninya.

Database Benda Cagar Budaya

Film petualangan Indiana Jones, National Treasure, dan Da Vinci Code, membuat adrenalin penonton terpacu. Kecerdasan mengumpulkan serpihan informasi yang tercecer, sehingga teka-teki dapat terpecahkan dan disusun ulang. Sungguh sebuah inspirasi. Tersebar dan terseraknya artefak benda cagar budaya dari berbagai wujud, baik dari sisa-sisa peninggalan kerajaan Nusantara sampai peninggalan kolonial. Sampai saat ini masih dalam 'terawangan' sebagai analogi berjalan dikegelapan tanpa cahaya. Keberadaan UU.No.5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya dan UU.No.26 Tahun 2007 Tentang Tata Ruang masih dalam tahap konsepsional, belum memasuki 'ranah' operasional di dalam pelestarian benda cagar budaya. Inventarisasi pendokumentasiaan sebagai database keberadaan benda cagar budaya dari berbagai ragam bentuk, sampai saat ini masih belum dapat direalisasikan. Padahal database tersebut merupakan 'peta hidup' sebagai alat deteksi dini, perihal kelangsungan pelestarian benda cagar budaya di Indonesia. Karena bila terwujud pendokumentasian tersebut, publik dapat mengetahui dan menjaga pelestarian dari benda cagar budaya yang dilindungi oleh Negara. Fungsi database dapat memberikan suguhan informasi, berapa jumlah benda cagar budaya yang dimiliki seperti Gedung, Benteng, Rumah, Masjid, Gereja, Vihara, Pusaka dan lain sebagainya. Dengan adanya informasi keberadaan artefak sejarah ini, penghancuran dan pencurian dapat maksimal dihindari.
Pendokumentasian mempunyai peran ganda di satu sisi dapat menjadi alat kontrol, disisi lain merupakan alat sosialisasi dari Undang-Undang tentang Benda Cagar Budaya yang murah dan efektif kepada warga Negara.

Benda Cagar Budaya dan Keamanan Nasional

Perjuangan panjang Vasco da Gama (1497-1499) mencapai India melalui Tanjung Harapan telah berhasil gilang gemilang, dari keberhasilan ini maka terbuka lebar pintu masuk pelayaran bangsa Eropa ke Asia. Setelah Tanjung Harapan ditundukkan, kini giliran Melaka dikuasai Portugal (1511).
Di dalam kurun waktu 11 tahun tepatnya pada tahun 1522 ekspedisi Ferdinand Magellan dari Spanyol berhasil mencapai Maluku, selisih waktu 57 tahun (1522-1579) Francis Drake dari Inggris datang menyusul ke kewilayah 'surga rempah-rempah' Maluku. Berawal dari rempah-rempah nafsu serakah untuk menguasai dalam wajah kolonialisme tertancap di bumi Maluku, gesekan kepentingan untuk saling menguasai antara Portugal dan Spanyol di Maluku pada abad XVI tidak dapat terhindarkan. Maka keluar perjanjian Tordesillas (1494) dan menyusul perjanjian Saragossa (1527) antara Spanyol dan Portugal. Hal hasil dari perjanjian tersebut Portugal dapat menguasai Maluku.
Kilasan sejarah tersebut merupakan 'rekam jejak' kolonialisme pertama kali hadir di bumi jamrud khatulistiwa, taktik dan strategi kolonial di dalam melakukan infiltrasi sampai menuju invasi dapat ketahui. Fakta penjajahan dapat ditelusuri melalui artefak seperti Benteng Victoria (1605) yang dibangun Portugal di Maluku, berfungsi sebagai benteng pertahanan. Juga Benteng Oranje (1607) di Ternate yang dibangun oleh Cornelis Matelief de Jonge (Belanda). Benteng ini pernah dijadikan pusat pemerintahan tertinggi Hindia Belanda (Gubernur Jenderal) Pieter Both, Herald Reynst, Laurenz Reaal, dan Jan Pieterszoon Coen.
Dari Benteng pertahanan sampai rute perjalanan alur laut kolonial memasuki Nusantara, sebagaimana diketemukannya beberapa artefak kapal laut kolonial yang karam di dasar laut. Dan legitimasi Mahkamah Internasional tentang batas kedaulatan wilayah Negara Kesatuan republik Indonesia (NKRI), mengacu pada peninggalan tanah jajahan Belanda. Dengan demikian 'patok batas' secara fisik peninggalan Belanda, kedepan menjadi sesuatu yang vital di dalam pembuktian wilayah kedaulatan Negara.
Walaupun bukan konteks benda cagar budaya, tetapi masih dalam 'satu tarikan nafas' peristiwa dikuasainya Pulau Sipadan dan Ligitan oleh Malaysia, karena lemahnya bukti otentik di Mahkamah Internasional. Merupakan pertanda urgensinya fisik bangunan dalam wilayah hukum Internasional. Serta perluasan pembangunan fisik didaratan Singapura melalui 'pasir laut', hampir saja mencaplok kedaulatan Indonesia khususnya pulau Nipa dan pulau lainnya disekitar wilayah propinsi kepulauan Riau. Satu lagi peristiwa penghancuran taman didepan stasiun Beos kota, dimana wilayah itu merupakan 'ring satu' zona benda cagar budaya. Kepentingan bisnis lebih penting daripada keamanan. Pembangunan shelter busway dan terowongan untuk pedestrian mengakibatkan dampak buruk bagi bangunan tua disekitarnya. Tercatat sedikitnya empat bangunan tua yang langsung terkena dampak negative yang diakibatkan dewatering saat pembangunan terowongan tersebut, keseimbangan air tanah disekitar lokasi terganggu. Dan keempat bangunan tua mengalami penurunan pondasi, dan dampak negatif apa yang akan tercipta kedepan? Tidak ada yang dapat mengatahui dan diperlukan kajian mendalam. Sampai saat ini kejelasan tentang barang sitaan Negara dari hasil penangkapan eksplorasi kapal VOC yang karam secara illegal, berapa jumlah dan nilai harta karun tersebut dan disimpan dimana masih dalam misteri.
Saksi bisu benda cagar budaya ternyata faktual dapat 'berbunyi' dan berkata jujur tanpa ada rekayasa maupun kebohongan.

Intelijen Benda Cagar Budaya (Heritage Intelligence)

Cegah tangkal di dalam pelestarian benda cagar budaya sudah waktunya diperkuat, perhitungan secara matematis tentang kekayaan 'adi luhung' bangsa Indonesia belum dapat direalisasikan. Kemampuan IPTEK di dalam kalkulasi sumber daya alam (SDA) kekayaan laut sudah dapat dihandalkan di negri kepulauan ini, padahal dahulu sebelum teori tersebut ada masih merupakan sesuatu yang 'ghaib' diwilayah alam bawah sadar. Sosok manusia dapat terbang Gatot Kaca yang hanya ada dalam cerita pewayangan, tersentak bahwa cerita itu bukan mitos melainkan teknos dengan kemampuan di dalam rekayasa teknologi kapal terbang (Dirgantara Indonesia).
Eksistensi heritage intelligence di dalam melakukan penelitian dan pendokumentasian, serta dapat juga melakukan 'audit' benda cagar budaya, merupakan pemecah dari kebekuan dan kerapuhan mengatasi permasalahan benda cagar budaya. Generasi kedepan perlu diberikan 'menu' visualitas bukan virtualitas. Melalaui intelijen benda cagar budaya sesuatu yang absurd menjadi rasional, investigasi tapak tilas untuk dapat mengumpulkan kembali serpihan sejarah yang tercecer dan hilang. Seperti analogi menjahit pakaian yang sudah usang termakan jaman, memerlukan sentuhan ketekunan penjahit handal. Semoga.***

BAROUSAI, BARUS, ATAU FANSUR: KISAH CEMERLANG DARI BERIBU TAHUN SILAM

BAROUSAI, BARUS, ATAU FANSUR:

KISAH CEMERLANG DARI BERIBU TAHUN SILAM

Kota bandar di tepian pantai barat Sumatra yang berabad lalu menjadi sebuah perkampungan multi-etnis yang penuh guyub, sarat daya tarik bagi para pedagang di hampir seluruh penjuru bumi, juga menjadi pintu masuknya berbagai peradaban dan agama-agama besar di bumi Nusantara itu kini telah sepi.

BARUS saat ini hanya sebuah ibukota Kecamatan, di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatra Utara. Posisinya berada di pinggir pantai barat Sumatera, sekitar 60 km sebelah utara Sibolga, atau sekitar 414 km dari Medan. Tidak ada yang istimewa. Begitu juga dengan Desa Lobutua, sekitar 4 km ke arah barat dari Barus. Juga layaknya sebuah desa, sepi. Meskipun sesekali para peziarah datang silih-berganti, menapaki sejarah sebuah kota banda yang jauh di awal abad masehi pernah begitu cemerlang dan menggemparkan sekujur bumi.

Dan boleh jadi, Barus adalah satu-satunya kota yang tercatat di dalam buku yang terbit di awal masehi, sehingga menempatkannya sebagai kota tertua di bumi Nusantara. Adalah Claudius Ptolomaios[1], seorang geograf Yunani yang dalam bukunya dari abad ke dua Masehi, Geographike Hyphegesis menuliskan nama negeri Barousai di Chryse Chora (Pulau Emas) yang antara lain oleh van der Meulen disimpulkan sebagai Sumatra[2].

Tapi apa gerangan yang menjadikan kota bandar ini begitu mempesona orang Yunani, China, India, dan bahkan juga para Pharao di Mesir kuno?

Jawabnya tak lain adalah kapur barus (bhs Belanda: kamfer, dan mungkin dari kata kapur yang diucapkan kofur oleh bangsa Arab).[3] Konon, kapur barus asal kota barus inilah yang paling banyak dicari karena kualitasnya yang terbaik, paling laku dan harganya kurang lebih 8 kali lebih mahal daripada kapur-kapur barus asal tempat lain[4]. Dalam catatan pelancong Italia, Marco Polo bahkan disebutkan bahwa, harga kapur barus kala itu setara dengan harga emas dengan berat yang sama[5].

Seorang Belanda pernah menulis bahwa kemenyan dari Barus, telah dipakai sebagai salah satu bahan mengawetkan (membalsem) mayat raja-raja di Mesir sebelum Masehi[6]. Jika dugaan ini benar, maka berarti kota bandar Barus ini sudah ada sejak 5.000 tahun SM. Perkiraan akhir itu, didasarkan pada temuan bahan pengawet dari berbagai mummy Fir'aun Mesir Kuno salah satu pengawetnya menggunakan kanper atau kapur Barus. Sejarawan era kemerdekaan Moh. Yamin, bahkan memperkirakan bahwa, perdagangan rempah-rempah dan tentu saja kamfer, sudah dilakukan pedagang Nusantara sejak 6.000 tahun lalu ke berbagai penjuru dunia.

Hasil penelitian Innis Miller terhadap naskah Historia Naturalis karya Plinius di abad pertama juga sudah menunjukkan bahwa, para pedagang Nusantara pun ternyata sudah menjajakan komoditas mereka sampai ke Asia Barat dan Afrika Timur sejak abad permulaan Masehi[7]. Sementara Prof. Kern[8] pernah menulis bahwa Kota “P’o-lu-chi” yang dimaksud I Tsing di abad ke-7, tidak lain dari Barus[9]. Seorang penyair Arab sebelum Islam, Amru al-Qais (meninggal tahun 530 Masehi), sangat memuji keharuman kafur dalam syair-syairnya[10].

Begitu pentingnya kota Barus ini—mungkin bisa disamakan dengan Paris pada abad modern yang terkenal dengan inovasi parfumnya—maka sejak zaman dulu dalam dunia dagang telah dikenal nama-nama Baros, Balus, Pansur, Fansur, Pansuri[11], Kalasaputra[12], Karpura-dwipa, Barusai, Waru-saka dan lain-lain.

Dan tentu, seperti kata pepatah, ada gula ada semut. Pesona kapur barus dari selatan ini menggoda banyak pendatang. Sebagaimana dicatatan Ptolomaios, selain para penjelajah dari Yunani, juga datang pedagang dari Venesia, India, Arab dan Tiongkok. Selain itu, sekelompok penyebar ajaran Kristen Sekte Nestorian dari Konstantinopel, pusat Kerajaan Byzantium Timur, juga menjejakkan kakinya di Barus. Kelompok itu diperkirakan datang sekira tahun 600 M dan mendirikan gereja pertama di Desa Pancuran, Barus.

Dewan Gereja-gereja di Indonesia juga memercayai sejak tahun 645 Masehi di daerah Barus telah masuk umat Kristen dari sekte Nestorian. Keyakinan tersebut didasarkan pada buku kuno tulisan Shaikh Abu Salih al-Armini. Sementara itu, penjelajah dari Armenia Mabousahl mencatat bahwa pada abad ke-12 telah terdapat Gereja Nestorian.

Lalu datanglah para pedagang Arab memasuki Barus sekira 627-643 M atau sekitar tahun 1 Hijriah, dan menyebarkan agama Islam di daerah itu. Di antaranya Wahab bin Qabishah mendarat di Pulau Mursala pada 627 M. Ada juga utusan Khulafaur Rasyidin, bernama Syekh Ismail akan ke Samudera Pasai dan singgah di Barus, sekira tahun 634 M. Dan sejak itu pula, tercatat bangsa Arab (Islam) mendirikan koloni di Barus. Bangsa Arab menamakan Barus dengan sebutan Fansur atau Fansuri, misalnya oleh penulis Sulaiman pada 851 M dalam bukunya "Silsilatus Tawarikh."

Kedatangan bangsa Arab yang kemudian menyebarkan agama Islam itu juga disebutkan dalam berita-berita Cina, Hsin-Tang-shu[13] (Catatan Dinasti Tang, 618-907), dan Chu-fan-chi[14] (Catatan Negeri-negeri Asing) yang ditulis Chau Ju-kua pada tahun 1225. Di dalam dua kronik Cina itu banyak bercerita tentang Ta-shi, istilah Cina untuk menyebut Arab. (Chu-fan-chi menerangkan bahwa Ta-shi mempunyai seorang Buddha (maksudnya Nabi) yang bernama Ma-ha-mat (Muhammad). Dalam sehari mereka lima kali sembahyang, dan setiap tahun berpuasa selama sebulan penuh. Dinasti Ta-shi ada dua macam, yaitu white-robed Ta-shi (Arab berjubah putih) atau Pon-ni-mo-huan (Bani Marwan, atau Bani Umayyah), serta black-robed Ta-shi (Arab berjubah hitam) yang didirikan raja A-po-lo-pa (Abul-Abbas)[15]. Pada tahun 651 Masehi, raja Ta-shi (Arab) bernama Han-mi-mo-mi-ni mengirimkan utusan ke istana Cina[16]. Hampir dapat dipastikan bahwa nama Han-mi-mo-mi-ni dalam ucapan Cina ini adalah untuk Amir al-Mu’minin, gelar resmi para khalifah Islam, dan “raja Ta-shi” yang mengirimkan utusan itu adalah Khalifah `Utsman ibn Affan yang memerintah dari tahun 644 sampai 656. Hsin-Tang-shu mencatat bahwa pada tahun 674 terdapat pemukiman pedagang Ta-shi (Arab) di Po-lu-shih, daerah pantai barat Sumatera.[17]

Tentu, dapat dibayangkan betapa makmurnya kota Barus pada awal abad masehi ini, dengan penduduk yang sebagian besar terdiri atas kaum pedagang. Pertanyaannya kemudian, siapakah yang menggerakkan semua perdagangan hingga jauh ke negeri seberang itu?

Seorang bekas kontrolir Belanda, G.J.J. Deutz, sewaktu bertugas di Barus,[18] menulis bahwa menurut rakyat setempat di Desa Lobutua pernah didapat penduduk sebuah batu bertulis pada dua bagian. Tetapi sayang, batu itu pada tahun 1857 dipecahkan oleh Raja Barus bernama Mara Pangkat. Pada tahun 1872 Deutz banyak menemukan pecahan batu peninggalan zaman Hindu yang telah dilupakan orang, telah berlumut. Dan baru pada tahun 1932, prasasti itu diterjemahkan Profesor Nila-kanti Sastri dari Universitas Madras.[19]

Prasasti itu menyebutkan bahwa paling sedikit sejak abad ke-11, telah bermukim di kota Barus sebuah koloni bangsa Tamil. Menurut batu Lobutua itu, mereka tergabung dalam sebuah perusahaan bernama “kelompok 500″ yang tidak asing lagi bagi orang-orang India waktu itu. Perusahaan swasta yang mereka wakili, merupakan perusahaan dagang cukup kuat, merdeka dalam tindakan dan tidak gampang tunduk pada salah satu raja yang berkuasa di sekitar Barus. Mereka yang berdiam di Barus inilah yang membeli beberapa hasil dari rakyat—utamanya kapur barus—untuk diekspor ke luar negeri.

Menurut Gnillout Claude[20], Barus adalah sebuah kota kuno di pantai barat Propinsi Sumatera Utara yang terkenal di seluruh Asia, sejak lebih dari seribu tahun, berkat hasil hutannya. Selain itu, nama Barus juga muncul dalam sejarah peradaban Melayu dengan Hamzah Fansuri, penyair mistik terkenal yang baru-baru ini ditemukan kembali makamnya di Mekkah. Sementara itu, tim arkeolog dari Ecole Francaise D’extreme-Orient (EFEO) Perancis bekerjasama dengan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua-Barus, menemukan bahwa pada sekitar abad 9-12 Masehi, Barus telah menjadi sebuah perkampungan multi-etnis dari berbagai suku bangsa seperti Arab, Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu, dan sebagainya. Tim tersebut juga menemukan banyak benda-benda berkualitas tinggi yang usianya sudah ratusan dan bahkan ribuan tahun dan ini menandakan dahulu kala kehidupan di Barus itu sangatlah makmur.

Dan semua kemakmuran itu berkat aroma kapur barus yang diolah dari kayu kamfer. Hanya kini, komoditi yang begitu mempesona di masa silam itu, hingga konon juga dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5. 000 tahun sebelum Masehi itu, kini sudah lama tidak lagi diproduksi

Di komplek makam Syekh Machmud yang tertata rapi dan terletak di Bukit Papan Tinggi dan memang betul-betul tinggi sehingga harus melewati 710 anak tangga ini, menggantung sebuah tulisan, “Beri Salam dan Alas Kaki dibuka.” Seakan mengakhiri sebuah kisah perjalanan sebuah kota bandar di tepian pantai barat Sumatra yang berabad lalu menjadi sebuah perkampungan multi-etnis yang penuh guyub, sarat daya tarik bagi para pedagang di hampir seluruh penjuru bumi, juga menjadi pintu masuknya berbagai peradaban dan agama-agama besar di bumi Nusantara itu kini telah sepi.**



[1] Barus telah disebut oleh Ptolomeus kira kira tahun 150 Masehi. (Kozok, 1991, 14)

[2] W. J. van der Meulen, “Suvarnadvipa and the Chryse Chersonesos”, Indonesia, 18, October 1974, h. 1

[3] Encyclopdeia van Nederlandsch Indie

[4] Ada tiga jenis kapur barus pada saat itu yaitu: Kapur barus dari Kalimantan dan Sumatera (Dryobalanops aromatica), Kapur barus dari China dan Jepang (Cinnamomum Camphora) yang banyak beredar dipasaran dan yang ketiga adalah Blumea balsami- fera, yang diproduksi di China dengan nama kapur barus Ngai. Harga dari kapur barus asal Sumatera ini kira-kira 138 kali lebih mahal dari kapur barus China dan Jepang. (Hobson-Jobson, Glossary of Anglo-Indian Words and Phares)

[5]Travel of Marco Polo,” Buku 3 Bab 9 dan Buku 2 Bab 8 by Marco Polo dan Rustichello of Pisa

[6] Sumatra Benzoe, Disertasi P.H. Brans

[7] J. Innis Miller, The Spice Trade of the Roman Empire, Oxford University Press, London, 1969, terutama Bab “The Cinnamon Route”

[8] Verspreide Geschriften No VI, halaman 15

[9] Po-lu-chi atau Po-lu-suo terkadang sering keliru diterjemahkan dalam text China dengan Bo-si atau Persia. Barus ini juga sering disebut sebagai Bon-cu, Bian-shu atau Bin-cuo. (Roderich Ptak, Possible Chinese Reference to the Barus Area (Ming to Tang) in Claude Guillot (ed.) Histoire de Barus, Sumatera: Le Site de Lobu Tua I, Etudes et Documents, Paris, Cahier d’Archipel 30, 1998, pp. 119-138)

[10] Oliver W. Wolters, Early Indonesian Commerce, Cornell University Press, Ithaca, New York, 1967, terutama Bab 8

[11] Dari Desa Pansur sedikit di utara Barus

[12] Dari kata Kalasan, daerah penghasil kapur barus antara Kota Barus dan Sungai Chenendang

[13] Diterjemahkan oleh Paul Pelliot, “Deux Itineraires de Chine en Inde a la Fin du VIIIe Siecle”, BEFEO, 4, 1904, hal. 132-413

[14] Diterjemahkan oleh Friedrich Hirth dan W. W. Rockhill, Chau Ju-kua: His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries, entitled CHU-FAN-CHI, Imperial Academy of Sciences, St.Petersburg, 1911

[15] Lihat: F. Hirth dan W.W.Rockhill, hh. 114-124

[16] Berita ini tercantum dalam kronik Tung-tien buku 193 nomor 22b. Lihat: F.Hirth dan W.W.Rockhill, h. 119

[17] Paul Pelliot, h. 297. Lihat juga W. P. Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources, Bhratara, Jakarta, cetak ulang 1960, h. 14.

[18] Barus, G.J.J. Deutz, Tijdschr No. 22 tahun 1875

[19] A Tamil Merchant-guild in Sumatera oleh Prof. N. Sastri dalam Tijdschr No 72 tahun 1932

[20] “Lobu Tua Sejarah Barus”, Obor, 2002

Selasa, 16 September 2008

Sabtu, 05 Mar 2005 (PUSJARAH TNI)
Lagi, Malaysia Melanggar Batas
Masuk 6 Mil ke Laut Indonesia

TARAKAN - Gelar pasukan TNI-AL di Laut Sulawesi tidak membuat tentara Malaysia menghentikan manuvernya. Pesawat pengintai Malaysia kembali melakukan pelanggaran dengan memasuki 6 mil wilayah laut Indonesia.

Pelanggaran terbaru negara tetangga tersebut dilakukan pada 3 Maret 2005, sekitar pukul 10.58 Wita. Saat itu, KRI Wiratno 879 yang sedang berpatroli di wilayah laut Blok Ambalat yang kaya minyak tersebut akan stop mesin (berhenti) untuk memeriksa KM Dewarutji Akbar-I yang juga melintas di wilayah tersebut. Tiba-tiba sebuah pesawat intai milik Malaysia jenis beech craft B 200 T Super King melakukan pengintaian.

"Super King itu mendekati KRI Wiratno dari arah lambung kiri buritan. Ketinggiannya kurang lebih 300 kaki," beber Kepala Staf Gugus Tempur Laut Kolonel Marsetio kepada wartawan Jumat (4/3) kemarin di kapal perang Nuku 873.

Pesawat pengintai Malaysia tersebut melintas di samping lambung kiri KRI Wiratno pada jarak sekitar 1.000 yard. "Mungkin mereka bermaksud mengamat dan mendokumentasikan kegiatan KRI Wiratno dari dekat. Tapi, mereka melanggar wilayah udara dengan memasuki Indonesia sekitar 6 mil," ungkap Marsetio.

Begitu pesawat intai Malaysia itu melakukan manuver, KRI Wiratno langsung menangkalnya. "Ya, saat mereka melakukan manuver, kami juga melakukan penangkalan untuk menyatakan bahwa kami ada di tempat itu," ucap Marsetio.

Sebelumnya, pada 26 Februari 2005 sekitar pukul 09.15 Wita, Malaysia juga melanggar batas wilayah Indonesia. Saat itu, KRI Wiratno yang berlayar di perairan Teluk Siboko untuk menuju Karang Unarang berpapasan dengan dua kapal patroli TLDM KD Paus-3507 dan KD Baung-3509. Dua kapal tersebut juga melakukan patroli. "Mereka melakukan dengan sopan. Tapi, itu tetap pelanggaran karena berada pada wilayah kita yang diklaim sebagai wilayahnya," jelas Marsetio.

Tapi, mengapa Indonesia hanya diam melihat pelanggaran demi pelanggaran yang dilakukan pihak Malaysia? Tanya wartawan koran ini. "Ya, semua negara menghindari konflik terbuka, termasuk kita," kata Marsetio.

Malaysia, tambah Marsetio, melanggar perjanjian internasional Unclos 1982. Yang dilanggar pasal 15 tentang penetapan garis batas teritorial yang pantainya berbatasan dan berdampingan, yakni 12 mil. "Malaysia malah melewati 70 mil dari batas yang ditentukan. Itu jelas menyalahi," tegas Marsetio.

Kawasan yang diklaim Malaysia itu terletak di Laut Sulawesi, dekat Tarakan Kaltim. Malaysia menyebut wilayah tersebut sebagai Blok XYZ. Kuala Lumpur telah memberikan konsesi kepada perusahaan raksasa minyak Shell di Blok ND dan ND7 yang menjadi bagian Blok XYZ.

Indonesia menyebut blok yang diklaim Indonesia itu sebagai Blok Ambalat dan East Ambalat. Di Blok Ambalat, Indonesia telah memberikan konsesi kepada ENI (perusahaan minyak milik Italia) pada 1999. Konsesi blok East Ambalat telah diberikan oleh indonesia kepada perusahaan Unocal (AS) pada 2004.

Menurut data Ditjen Migas Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, kandungan minyak di wilayah perairan timur Kalimantan yang menjadi sengketa kedua negara itu diperkirakan 700 juta hingga satu miliar barel. Kandungan gasnya diperkirakan lebih dari 40 triliun kaki kubik (TCF).


12 Batas Wilayah

Marsetio mengatakan, ada 12 batas wilayah perbatasan laut yang patut diwaspadai oleh Indonesia. Perbatasan Indonesia dengan India adalah Pulau Rondo; Indonesia dengan Malaysia adalah Pulau Berhala; Singapura dengan Indonesia adalah Pulau Mipal, dan Vietnam dengan Indonesia adalah Pulau Sekatung.

Selain itu, perbatasan Filipina dengan Indonesia adalah Pulau Maroro; Palao dengan Indonesia adalah Pulau Beras, Pulau Vani, dan Pulau Vanilda; Timor Leste dengan Indonesia adalah Pulau Batok, serta Australia dengan Indonesia adalah Pulau Dana. "Kedua belas perbatasan itu wajib diwaspadai oleh Indonesia," tandas Marsetio.


RI Sayangkan Statemen Malaysia

Departemen Luar Negeri RI menyayangkan statemen Menlu Malaysia Syed Hamid Albar yang meminta Indonesia menggunakan saluran diplomatik daripada ancaman militer dalam menyelesaikan saling klaim daerah di Laut Sulawesi, wilayah perairan perbatasan kedua negara, yang mengandung banyak potensi migas.

Juru Bicara Deplu RI Marty Natalegawa mengatakan, pihak Malaysia sebenarnya tidak perlu mengeluarkan statemen bersifat imbauan seperti itu. Sebab, dalam sejarahnya, justru Indonesia yang selama ini terus mengarahkan agar sengketa perairan di timur Pulau Kalimantan itu dibahas tuntas dalam maritime boundary delibition. Pembahasan di forum tersebut, kata Marty, merupakan sebuah bentuk penyelesaian sengketa Indonesia dengan Malaysia lewat jalur diplomasi.

Marty juga mengungkapkan, Indonesia dan negeri jiran itu sebenarnya memiliki forum khusus untuk membahas berbagai persoalan menyangkut wilayah maritim. Termasuk membahas sengketa di wilayah perairan Pulau Sipadan dan Ligitan. Yang terdekat, rencananya digelar Mei mendatang.

Namun, forum bilateral itu pun masih mendapat ganjalan akibat sikap Malaysia yang ngotot hanya ingin membahas sengketa di Laut Sulawesi. Padahal, Indonesia mengagendakan pembahasan wilayah perairan perbatasan yang lebih luas. Tidak hanya di Laut Sulawesi, tapi juga di Selat Malaka dan Laut Cina Selatan.

"Yang kami catat, justru pihak Malaysia yang memulai beberapa insiden di perairan perbatasan itu. Misalnya, kasus penyiksaan seorang pekerja perusahaan Indonesia yang sedang memperbaiki lampu suar di Karang Unarang yang jelas-jelas berada di wilayah Indonesia. Jadi, Malaysia yang seharusnya lebih bijak," tegas Marty dalam press briefing di Kantor Deplu, Pejambon, Jakarta, kemarin.

Dalam statemennya Kamis lalu, Menlu Malaysia Syed Hamid Albar juga menyatakan bahwa Indonesia tidak perlu mengirim kapal perang ke wilayah perairan yang dipersengketakan. Hamid yang mendapat amanat khusus dari Perdana Menteri Malaysia Abdullah Ahmad Badawi untuk merespons sikap Indonesia itu pun bersikeras bahwa Blok Ambalat di sebagian perairan Laut Sulawesi adalah bagian wilayah Malaysia.

Pemerintah Malaysia sudah membalas surat protes terbuka dari pemerintah Indonesia atas pemberian konsesi minyak (production sharing contracts) di Laut Sulawesi oleh Petronas kepada perusahaan minyak Shell. Dalam surat balasan itu, kata Marty, Malaysia masih ngotot mengklaim wilayah Blok Ambalat yang menjadi milik Indonesia.

Marty yang juga menjabat Dirjen ASEAN Indonesia itu melanjutkan, Indonesia sudah berinisiatif memulai komunikasi diplomatik dengan Malaysia untuk mencari jalan keluar terbaik atas sengketa di Laut Sulawesi itu. Kementerian Luar Negeri dan kedutaan besar kedua negara saat ini intensif melakukan pembahasan mendalam.

Saat bersamaan, berlangsung pula koordinasi interdep antarlembaga terkait yang bekerja langsung di bawah arahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk merespons setiap perkembangan dan menyusun skenario diplomasi. Pada waktunya nanti, terbuka kemungkinan masalah itu dibicarakan di tingkat yang lebih tinggi. Misalnya, antar-Menlu atau antarkepala negara. Namun, menurut Marty, hingga kemarin belum ada persiapan ke arah sana.

Begitu lunaknya sikap Indonesia, Marty mengaku bahwa pemerintah belum berencana membawa sengketa berkepanjangan ini ke ICJ (International Court of Justice) atau Mahkamah Internasional. Gelar kekuatan sejumlah kapal perang RI di Laut Sulawesi dianggap sudah cukup untuk menunjukkan wujud kedaulatan Indonesia kepada Malaysia. Pengerahan KRI andalan TNI-AL diharapkan memberikan efek segan kepada Malaysia.

"Harus diingat pula, kesiapan Indonesia menyelesaikan sengketa Laut Sulawesi secara baik-baik lewat jalur diplomatik jangan sampai disalahtafsirkan Malaysia sebagai wujud kelemahan. Bagaimanapun, secara prinsipiil, posisi Indonesia lebih kuat dari segi hukum internasional. Justru sikap ini adalah wujud keyakinan bahwa yang kami perjuangkan adalah sesuatu yang valid. Kami harap Malaysia memperhatikan itu," tegasnya.

Sayangnya, Marty mengaku belum bisa membeberkan kepada wartawan berbagai salinan dokumen legal tentang keabsahan kepemilikan Laut Sulawesi oleh Indonesia. Alasannya, berbagai argumentasi di dalamnya bakal membawa implikasi rasional (serius) terhadap hubungan kedua negara. Dia hanya kembali menegaskan bahwa klaim atas Blok Ambalat dan sebagain perairan Sulawesi yang dilakukan Malaysia sejak pembuatan peta pada 1979 tidak hanya dipermasalahkan Indonesia, tapi juga oleh banyak negara tetangga.

Masuknya Pulau Sipadan dan Ligitan ke wilayah Malaysia berdasarkan putusan Mahkamah Internasional pada Desember 2002 pun tidak otomatis menyebabkan perairan di luarnya yang menjorok ke wilayah Indonesia menjadi hak Malaysia. "Kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan tidak memberikan efek penuh terhadap batas maritim," ungkapnya.

Jatuhnya Pulau Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia memang menimbulkan sengketa lanjutan antarkedua negara menyangkut wilayah perairannya. Malaysia mengklaim bahwa mereka berhak atas wilayah perairan sepanjang 70 mil dari garis Pantai Sipadan dan Ligitan. Sedangkan Indonesia menganggap bahwa kewenangan Malaysia itu hanya 12 mil dari garis pantai kedua pulau tersebut.


KSAL Bantah Provokatif

Di tempat terpisah, KSAL Laksamana Madya (Laksdya) Slamet Soebijanto membantah bahwa penggelaran armada kapal perang TNI-AL di Laut Sulawesi sejak awal pekan ini merupakan unjuk kekuatan bahwa Indonesia siap berkonflik terbuka dengan Malaysia guna mempertahankan wilayah yang disengketakan. Pengerahan lima KRI serta dua pesawat pengintai ke wilayah tersebut bukan pula merupakan tindakan provokatif untuk memancing armada Tentara Laut Diraja Malaysia memasuki "daerah panas" yang akhirnya bisa menyulut insiden antarmiliter.

Dia menegaskan, sebagai negara tetangga, tidak bijak Indonesia "melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak diinginkan". Yang dilakukan sekarang ini, kata dia, hanyalah operasi rutin serta patroli aktif untuk semaksimal mungkin menjaga kedaulatan negara, tidak untuk saling berhadapan.

"Selama ini selalu terjalin komunikasi yang baik antara patroli Indonesia dan patroli Malaysia di sekitar perbatasan sana. Kalau sudah berdekatan, kami malah saling mengucapkan selamat datang," jelas Soebijanto kepada wartawan setelah menjadi inspektur upacara HUT Ke-59 POM TNI-AL di Mabes TNI-AL, Cilangkap, Jakarta.

Meski demikian, dia mengakui adanya kemungkinan penambahan lagi armada KRI di Laut Sulawesi. Alasannya, aset sumber daya alam milik Indonesia di wilayah perbatasan tersebut harus mendapatkan penjagaan maksimal. KSAL bahkan mengaku sudah membuat nota protes atas tindakan Malaysia. Nota itu disampaikan kepada panglima TNI untuk diteruskan ke Menlu dan dilayangkan ke Malaysia. "Intinya, kita harus memberikan pengertian kepada mereka (Malaysia, Red) bahwa menurut hukum internasional, kita adalah pemilik sah wilayah tersebut," tegasnya.

Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan Mabes TNI Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin menegaskan, militer kedua negara sudah sepakat untuk terus mengintensifkan koordinasi serta komunikasi antararmada patrolinya guna menghindarkan konflik terbuka di lapangan seperti saling tembak.

"Kalau ada patroli kami yang mau masuk perairan yang disengketakan, pasti akan diinformasikan lebih dulu lewat pesawat komunikasi radio. Begitu juga yang dilakukan pihak Malaysia. Jadi, antarmiliter sudah ada kesepahaman," kata perwira militer Indonesia pertama yang mengikuti training Terrorism in Low Intensity Conflict oleh Pentagon lewat program IMET (International Military Education and Training Program) milik AS tersebut. (arm/jpnn)

0 komentar: