Heritage Intelligence

Mendengar intelijen ingatan langsung tertuju kepada James Bond 007, CIA, KGB, dan Mossad. Institusi intelijen Negara yang bekerja dalam ketertutupan dan menyeramkan seperti kisah Victor Ostrovsky atau novel Body of Lies karya David Ignatius. Intelijen Benda Cagar Budaya (Heritage Intelligence) bukan merupakan pengenjawantahan dari Lembaga Intelijen Negara, melainkan pekerjaan penelitian dan pendokumentasian tentang keberadaan benda cagar budaya yang ada di Indonesia. Banyaknya peninggalan kekayaan artefak sejarah yang telah lenyap atau musnah, sehingga menciptakan kerugian besar hampir disetiap sektor baik dari Ilmu pengetahuan, sosial-budaya, ekonomi dan pertahanan keamanan Negara.
Ketidak berdayaan pembuktian kekayaan dan kerugian Negara tentang peninggalan sejarah, yang telah hilang maupun masih ada merupakan 'titik lemah' untuk dapat menjelaskan dan mempertanggung jawabkan kepada publik.
Sebagaimana contoh hancurnya bangunan di proklamasi, dimana potret nyata detik-detik bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Pertanyaan kerugian apa saja yang diciptakan dari kehancuran bangunan proklamasi tersebut? Ternyata ketika di 'bedah' anatominya sungguh membuat kepala cekot-cekot, dari sisi Ilmu pengetahuan bukti nyata keberadaan fisik bangunan sudah tidak ada. Di dalam ranah berbeda seperti contoh ketika pulau Sipadan dan Ligitan diakui oleh Mahkamah Internasional di Belanda, fisik bangunan yang terdapat dikedua pulau tersebut adalah milik Malaysia. Pada akhirnya secara de jure maupun de fakto pulau Sipadan dan Ligitan milik sah Malaysia.
Terperanjat bahwa eksistensi fisik bangunan bukan persoalan sederhana, cara pandang melihat fisik bangunan selama ini hanya dilihat dari 'kaca mata kuda' yang melulu diukur dari perspektif estetika dan ekonomis semata. Padahal sebuah bangunan diciptakan melampaui tapal batas estetika dan ekonomi, sebagaimana masyarakat Jawa membangun rumah Panggang pe Ceregancet mirip dengan jasad hidup yang tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan kehidupan penghuninya.

Database Benda Cagar Budaya

Film petualangan Indiana Jones, National Treasure, dan Da Vinci Code, membuat adrenalin penonton terpacu. Kecerdasan mengumpulkan serpihan informasi yang tercecer, sehingga teka-teki dapat terpecahkan dan disusun ulang. Sungguh sebuah inspirasi. Tersebar dan terseraknya artefak benda cagar budaya dari berbagai wujud, baik dari sisa-sisa peninggalan kerajaan Nusantara sampai peninggalan kolonial. Sampai saat ini masih dalam 'terawangan' sebagai analogi berjalan dikegelapan tanpa cahaya. Keberadaan UU.No.5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya dan UU.No.26 Tahun 2007 Tentang Tata Ruang masih dalam tahap konsepsional, belum memasuki 'ranah' operasional di dalam pelestarian benda cagar budaya. Inventarisasi pendokumentasiaan sebagai database keberadaan benda cagar budaya dari berbagai ragam bentuk, sampai saat ini masih belum dapat direalisasikan. Padahal database tersebut merupakan 'peta hidup' sebagai alat deteksi dini, perihal kelangsungan pelestarian benda cagar budaya di Indonesia. Karena bila terwujud pendokumentasian tersebut, publik dapat mengetahui dan menjaga pelestarian dari benda cagar budaya yang dilindungi oleh Negara. Fungsi database dapat memberikan suguhan informasi, berapa jumlah benda cagar budaya yang dimiliki seperti Gedung, Benteng, Rumah, Masjid, Gereja, Vihara, Pusaka dan lain sebagainya. Dengan adanya informasi keberadaan artefak sejarah ini, penghancuran dan pencurian dapat maksimal dihindari.
Pendokumentasian mempunyai peran ganda di satu sisi dapat menjadi alat kontrol, disisi lain merupakan alat sosialisasi dari Undang-Undang tentang Benda Cagar Budaya yang murah dan efektif kepada warga Negara.

Benda Cagar Budaya dan Keamanan Nasional

Perjuangan panjang Vasco da Gama (1497-1499) mencapai India melalui Tanjung Harapan telah berhasil gilang gemilang, dari keberhasilan ini maka terbuka lebar pintu masuk pelayaran bangsa Eropa ke Asia. Setelah Tanjung Harapan ditundukkan, kini giliran Melaka dikuasai Portugal (1511).
Di dalam kurun waktu 11 tahun tepatnya pada tahun 1522 ekspedisi Ferdinand Magellan dari Spanyol berhasil mencapai Maluku, selisih waktu 57 tahun (1522-1579) Francis Drake dari Inggris datang menyusul ke kewilayah 'surga rempah-rempah' Maluku. Berawal dari rempah-rempah nafsu serakah untuk menguasai dalam wajah kolonialisme tertancap di bumi Maluku, gesekan kepentingan untuk saling menguasai antara Portugal dan Spanyol di Maluku pada abad XVI tidak dapat terhindarkan. Maka keluar perjanjian Tordesillas (1494) dan menyusul perjanjian Saragossa (1527) antara Spanyol dan Portugal. Hal hasil dari perjanjian tersebut Portugal dapat menguasai Maluku.
Kilasan sejarah tersebut merupakan 'rekam jejak' kolonialisme pertama kali hadir di bumi jamrud khatulistiwa, taktik dan strategi kolonial di dalam melakukan infiltrasi sampai menuju invasi dapat ketahui. Fakta penjajahan dapat ditelusuri melalui artefak seperti Benteng Victoria (1605) yang dibangun Portugal di Maluku, berfungsi sebagai benteng pertahanan. Juga Benteng Oranje (1607) di Ternate yang dibangun oleh Cornelis Matelief de Jonge (Belanda). Benteng ini pernah dijadikan pusat pemerintahan tertinggi Hindia Belanda (Gubernur Jenderal) Pieter Both, Herald Reynst, Laurenz Reaal, dan Jan Pieterszoon Coen.
Dari Benteng pertahanan sampai rute perjalanan alur laut kolonial memasuki Nusantara, sebagaimana diketemukannya beberapa artefak kapal laut kolonial yang karam di dasar laut. Dan legitimasi Mahkamah Internasional tentang batas kedaulatan wilayah Negara Kesatuan republik Indonesia (NKRI), mengacu pada peninggalan tanah jajahan Belanda. Dengan demikian 'patok batas' secara fisik peninggalan Belanda, kedepan menjadi sesuatu yang vital di dalam pembuktian wilayah kedaulatan Negara.
Walaupun bukan konteks benda cagar budaya, tetapi masih dalam 'satu tarikan nafas' peristiwa dikuasainya Pulau Sipadan dan Ligitan oleh Malaysia, karena lemahnya bukti otentik di Mahkamah Internasional. Merupakan pertanda urgensinya fisik bangunan dalam wilayah hukum Internasional. Serta perluasan pembangunan fisik didaratan Singapura melalui 'pasir laut', hampir saja mencaplok kedaulatan Indonesia khususnya pulau Nipa dan pulau lainnya disekitar wilayah propinsi kepulauan Riau. Satu lagi peristiwa penghancuran taman didepan stasiun Beos kota, dimana wilayah itu merupakan 'ring satu' zona benda cagar budaya. Kepentingan bisnis lebih penting daripada keamanan. Pembangunan shelter busway dan terowongan untuk pedestrian mengakibatkan dampak buruk bagi bangunan tua disekitarnya. Tercatat sedikitnya empat bangunan tua yang langsung terkena dampak negative yang diakibatkan dewatering saat pembangunan terowongan tersebut, keseimbangan air tanah disekitar lokasi terganggu. Dan keempat bangunan tua mengalami penurunan pondasi, dan dampak negatif apa yang akan tercipta kedepan? Tidak ada yang dapat mengatahui dan diperlukan kajian mendalam. Sampai saat ini kejelasan tentang barang sitaan Negara dari hasil penangkapan eksplorasi kapal VOC yang karam secara illegal, berapa jumlah dan nilai harta karun tersebut dan disimpan dimana masih dalam misteri.
Saksi bisu benda cagar budaya ternyata faktual dapat 'berbunyi' dan berkata jujur tanpa ada rekayasa maupun kebohongan.

Intelijen Benda Cagar Budaya (Heritage Intelligence)

Cegah tangkal di dalam pelestarian benda cagar budaya sudah waktunya diperkuat, perhitungan secara matematis tentang kekayaan 'adi luhung' bangsa Indonesia belum dapat direalisasikan. Kemampuan IPTEK di dalam kalkulasi sumber daya alam (SDA) kekayaan laut sudah dapat dihandalkan di negri kepulauan ini, padahal dahulu sebelum teori tersebut ada masih merupakan sesuatu yang 'ghaib' diwilayah alam bawah sadar. Sosok manusia dapat terbang Gatot Kaca yang hanya ada dalam cerita pewayangan, tersentak bahwa cerita itu bukan mitos melainkan teknos dengan kemampuan di dalam rekayasa teknologi kapal terbang (Dirgantara Indonesia).
Eksistensi heritage intelligence di dalam melakukan penelitian dan pendokumentasian, serta dapat juga melakukan 'audit' benda cagar budaya, merupakan pemecah dari kebekuan dan kerapuhan mengatasi permasalahan benda cagar budaya. Generasi kedepan perlu diberikan 'menu' visualitas bukan virtualitas. Melalaui intelijen benda cagar budaya sesuatu yang absurd menjadi rasional, investigasi tapak tilas untuk dapat mengumpulkan kembali serpihan sejarah yang tercecer dan hilang. Seperti analogi menjahit pakaian yang sudah usang termakan jaman, memerlukan sentuhan ketekunan penjahit handal. Semoga.***

BAROUSAI, BARUS, ATAU FANSUR: KISAH CEMERLANG DARI BERIBU TAHUN SILAM

BAROUSAI, BARUS, ATAU FANSUR:

KISAH CEMERLANG DARI BERIBU TAHUN SILAM

Kota bandar di tepian pantai barat Sumatra yang berabad lalu menjadi sebuah perkampungan multi-etnis yang penuh guyub, sarat daya tarik bagi para pedagang di hampir seluruh penjuru bumi, juga menjadi pintu masuknya berbagai peradaban dan agama-agama besar di bumi Nusantara itu kini telah sepi.

BARUS saat ini hanya sebuah ibukota Kecamatan, di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatra Utara. Posisinya berada di pinggir pantai barat Sumatera, sekitar 60 km sebelah utara Sibolga, atau sekitar 414 km dari Medan. Tidak ada yang istimewa. Begitu juga dengan Desa Lobutua, sekitar 4 km ke arah barat dari Barus. Juga layaknya sebuah desa, sepi. Meskipun sesekali para peziarah datang silih-berganti, menapaki sejarah sebuah kota banda yang jauh di awal abad masehi pernah begitu cemerlang dan menggemparkan sekujur bumi.

Dan boleh jadi, Barus adalah satu-satunya kota yang tercatat di dalam buku yang terbit di awal masehi, sehingga menempatkannya sebagai kota tertua di bumi Nusantara. Adalah Claudius Ptolomaios[1], seorang geograf Yunani yang dalam bukunya dari abad ke dua Masehi, Geographike Hyphegesis menuliskan nama negeri Barousai di Chryse Chora (Pulau Emas) yang antara lain oleh van der Meulen disimpulkan sebagai Sumatra[2].

Tapi apa gerangan yang menjadikan kota bandar ini begitu mempesona orang Yunani, China, India, dan bahkan juga para Pharao di Mesir kuno?

Jawabnya tak lain adalah kapur barus (bhs Belanda: kamfer, dan mungkin dari kata kapur yang diucapkan kofur oleh bangsa Arab).[3] Konon, kapur barus asal kota barus inilah yang paling banyak dicari karena kualitasnya yang terbaik, paling laku dan harganya kurang lebih 8 kali lebih mahal daripada kapur-kapur barus asal tempat lain[4]. Dalam catatan pelancong Italia, Marco Polo bahkan disebutkan bahwa, harga kapur barus kala itu setara dengan harga emas dengan berat yang sama[5].

Seorang Belanda pernah menulis bahwa kemenyan dari Barus, telah dipakai sebagai salah satu bahan mengawetkan (membalsem) mayat raja-raja di Mesir sebelum Masehi[6]. Jika dugaan ini benar, maka berarti kota bandar Barus ini sudah ada sejak 5.000 tahun SM. Perkiraan akhir itu, didasarkan pada temuan bahan pengawet dari berbagai mummy Fir'aun Mesir Kuno salah satu pengawetnya menggunakan kanper atau kapur Barus. Sejarawan era kemerdekaan Moh. Yamin, bahkan memperkirakan bahwa, perdagangan rempah-rempah dan tentu saja kamfer, sudah dilakukan pedagang Nusantara sejak 6.000 tahun lalu ke berbagai penjuru dunia.

Hasil penelitian Innis Miller terhadap naskah Historia Naturalis karya Plinius di abad pertama juga sudah menunjukkan bahwa, para pedagang Nusantara pun ternyata sudah menjajakan komoditas mereka sampai ke Asia Barat dan Afrika Timur sejak abad permulaan Masehi[7]. Sementara Prof. Kern[8] pernah menulis bahwa Kota “P’o-lu-chi” yang dimaksud I Tsing di abad ke-7, tidak lain dari Barus[9]. Seorang penyair Arab sebelum Islam, Amru al-Qais (meninggal tahun 530 Masehi), sangat memuji keharuman kafur dalam syair-syairnya[10].

Begitu pentingnya kota Barus ini—mungkin bisa disamakan dengan Paris pada abad modern yang terkenal dengan inovasi parfumnya—maka sejak zaman dulu dalam dunia dagang telah dikenal nama-nama Baros, Balus, Pansur, Fansur, Pansuri[11], Kalasaputra[12], Karpura-dwipa, Barusai, Waru-saka dan lain-lain.

Dan tentu, seperti kata pepatah, ada gula ada semut. Pesona kapur barus dari selatan ini menggoda banyak pendatang. Sebagaimana dicatatan Ptolomaios, selain para penjelajah dari Yunani, juga datang pedagang dari Venesia, India, Arab dan Tiongkok. Selain itu, sekelompok penyebar ajaran Kristen Sekte Nestorian dari Konstantinopel, pusat Kerajaan Byzantium Timur, juga menjejakkan kakinya di Barus. Kelompok itu diperkirakan datang sekira tahun 600 M dan mendirikan gereja pertama di Desa Pancuran, Barus.

Dewan Gereja-gereja di Indonesia juga memercayai sejak tahun 645 Masehi di daerah Barus telah masuk umat Kristen dari sekte Nestorian. Keyakinan tersebut didasarkan pada buku kuno tulisan Shaikh Abu Salih al-Armini. Sementara itu, penjelajah dari Armenia Mabousahl mencatat bahwa pada abad ke-12 telah terdapat Gereja Nestorian.

Lalu datanglah para pedagang Arab memasuki Barus sekira 627-643 M atau sekitar tahun 1 Hijriah, dan menyebarkan agama Islam di daerah itu. Di antaranya Wahab bin Qabishah mendarat di Pulau Mursala pada 627 M. Ada juga utusan Khulafaur Rasyidin, bernama Syekh Ismail akan ke Samudera Pasai dan singgah di Barus, sekira tahun 634 M. Dan sejak itu pula, tercatat bangsa Arab (Islam) mendirikan koloni di Barus. Bangsa Arab menamakan Barus dengan sebutan Fansur atau Fansuri, misalnya oleh penulis Sulaiman pada 851 M dalam bukunya "Silsilatus Tawarikh."

Kedatangan bangsa Arab yang kemudian menyebarkan agama Islam itu juga disebutkan dalam berita-berita Cina, Hsin-Tang-shu[13] (Catatan Dinasti Tang, 618-907), dan Chu-fan-chi[14] (Catatan Negeri-negeri Asing) yang ditulis Chau Ju-kua pada tahun 1225. Di dalam dua kronik Cina itu banyak bercerita tentang Ta-shi, istilah Cina untuk menyebut Arab. (Chu-fan-chi menerangkan bahwa Ta-shi mempunyai seorang Buddha (maksudnya Nabi) yang bernama Ma-ha-mat (Muhammad). Dalam sehari mereka lima kali sembahyang, dan setiap tahun berpuasa selama sebulan penuh. Dinasti Ta-shi ada dua macam, yaitu white-robed Ta-shi (Arab berjubah putih) atau Pon-ni-mo-huan (Bani Marwan, atau Bani Umayyah), serta black-robed Ta-shi (Arab berjubah hitam) yang didirikan raja A-po-lo-pa (Abul-Abbas)[15]. Pada tahun 651 Masehi, raja Ta-shi (Arab) bernama Han-mi-mo-mi-ni mengirimkan utusan ke istana Cina[16]. Hampir dapat dipastikan bahwa nama Han-mi-mo-mi-ni dalam ucapan Cina ini adalah untuk Amir al-Mu’minin, gelar resmi para khalifah Islam, dan “raja Ta-shi” yang mengirimkan utusan itu adalah Khalifah `Utsman ibn Affan yang memerintah dari tahun 644 sampai 656. Hsin-Tang-shu mencatat bahwa pada tahun 674 terdapat pemukiman pedagang Ta-shi (Arab) di Po-lu-shih, daerah pantai barat Sumatera.[17]

Tentu, dapat dibayangkan betapa makmurnya kota Barus pada awal abad masehi ini, dengan penduduk yang sebagian besar terdiri atas kaum pedagang. Pertanyaannya kemudian, siapakah yang menggerakkan semua perdagangan hingga jauh ke negeri seberang itu?

Seorang bekas kontrolir Belanda, G.J.J. Deutz, sewaktu bertugas di Barus,[18] menulis bahwa menurut rakyat setempat di Desa Lobutua pernah didapat penduduk sebuah batu bertulis pada dua bagian. Tetapi sayang, batu itu pada tahun 1857 dipecahkan oleh Raja Barus bernama Mara Pangkat. Pada tahun 1872 Deutz banyak menemukan pecahan batu peninggalan zaman Hindu yang telah dilupakan orang, telah berlumut. Dan baru pada tahun 1932, prasasti itu diterjemahkan Profesor Nila-kanti Sastri dari Universitas Madras.[19]

Prasasti itu menyebutkan bahwa paling sedikit sejak abad ke-11, telah bermukim di kota Barus sebuah koloni bangsa Tamil. Menurut batu Lobutua itu, mereka tergabung dalam sebuah perusahaan bernama “kelompok 500″ yang tidak asing lagi bagi orang-orang India waktu itu. Perusahaan swasta yang mereka wakili, merupakan perusahaan dagang cukup kuat, merdeka dalam tindakan dan tidak gampang tunduk pada salah satu raja yang berkuasa di sekitar Barus. Mereka yang berdiam di Barus inilah yang membeli beberapa hasil dari rakyat—utamanya kapur barus—untuk diekspor ke luar negeri.

Menurut Gnillout Claude[20], Barus adalah sebuah kota kuno di pantai barat Propinsi Sumatera Utara yang terkenal di seluruh Asia, sejak lebih dari seribu tahun, berkat hasil hutannya. Selain itu, nama Barus juga muncul dalam sejarah peradaban Melayu dengan Hamzah Fansuri, penyair mistik terkenal yang baru-baru ini ditemukan kembali makamnya di Mekkah. Sementara itu, tim arkeolog dari Ecole Francaise D’extreme-Orient (EFEO) Perancis bekerjasama dengan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua-Barus, menemukan bahwa pada sekitar abad 9-12 Masehi, Barus telah menjadi sebuah perkampungan multi-etnis dari berbagai suku bangsa seperti Arab, Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu, dan sebagainya. Tim tersebut juga menemukan banyak benda-benda berkualitas tinggi yang usianya sudah ratusan dan bahkan ribuan tahun dan ini menandakan dahulu kala kehidupan di Barus itu sangatlah makmur.

Dan semua kemakmuran itu berkat aroma kapur barus yang diolah dari kayu kamfer. Hanya kini, komoditi yang begitu mempesona di masa silam itu, hingga konon juga dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5. 000 tahun sebelum Masehi itu, kini sudah lama tidak lagi diproduksi

Di komplek makam Syekh Machmud yang tertata rapi dan terletak di Bukit Papan Tinggi dan memang betul-betul tinggi sehingga harus melewati 710 anak tangga ini, menggantung sebuah tulisan, “Beri Salam dan Alas Kaki dibuka.” Seakan mengakhiri sebuah kisah perjalanan sebuah kota bandar di tepian pantai barat Sumatra yang berabad lalu menjadi sebuah perkampungan multi-etnis yang penuh guyub, sarat daya tarik bagi para pedagang di hampir seluruh penjuru bumi, juga menjadi pintu masuknya berbagai peradaban dan agama-agama besar di bumi Nusantara itu kini telah sepi.**



[1] Barus telah disebut oleh Ptolomeus kira kira tahun 150 Masehi. (Kozok, 1991, 14)

[2] W. J. van der Meulen, “Suvarnadvipa and the Chryse Chersonesos”, Indonesia, 18, October 1974, h. 1

[3] Encyclopdeia van Nederlandsch Indie

[4] Ada tiga jenis kapur barus pada saat itu yaitu: Kapur barus dari Kalimantan dan Sumatera (Dryobalanops aromatica), Kapur barus dari China dan Jepang (Cinnamomum Camphora) yang banyak beredar dipasaran dan yang ketiga adalah Blumea balsami- fera, yang diproduksi di China dengan nama kapur barus Ngai. Harga dari kapur barus asal Sumatera ini kira-kira 138 kali lebih mahal dari kapur barus China dan Jepang. (Hobson-Jobson, Glossary of Anglo-Indian Words and Phares)

[5]Travel of Marco Polo,” Buku 3 Bab 9 dan Buku 2 Bab 8 by Marco Polo dan Rustichello of Pisa

[6] Sumatra Benzoe, Disertasi P.H. Brans

[7] J. Innis Miller, The Spice Trade of the Roman Empire, Oxford University Press, London, 1969, terutama Bab “The Cinnamon Route”

[8] Verspreide Geschriften No VI, halaman 15

[9] Po-lu-chi atau Po-lu-suo terkadang sering keliru diterjemahkan dalam text China dengan Bo-si atau Persia. Barus ini juga sering disebut sebagai Bon-cu, Bian-shu atau Bin-cuo. (Roderich Ptak, Possible Chinese Reference to the Barus Area (Ming to Tang) in Claude Guillot (ed.) Histoire de Barus, Sumatera: Le Site de Lobu Tua I, Etudes et Documents, Paris, Cahier d’Archipel 30, 1998, pp. 119-138)

[10] Oliver W. Wolters, Early Indonesian Commerce, Cornell University Press, Ithaca, New York, 1967, terutama Bab 8

[11] Dari Desa Pansur sedikit di utara Barus

[12] Dari kata Kalasan, daerah penghasil kapur barus antara Kota Barus dan Sungai Chenendang

[13] Diterjemahkan oleh Paul Pelliot, “Deux Itineraires de Chine en Inde a la Fin du VIIIe Siecle”, BEFEO, 4, 1904, hal. 132-413

[14] Diterjemahkan oleh Friedrich Hirth dan W. W. Rockhill, Chau Ju-kua: His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries, entitled CHU-FAN-CHI, Imperial Academy of Sciences, St.Petersburg, 1911

[15] Lihat: F. Hirth dan W.W.Rockhill, hh. 114-124

[16] Berita ini tercantum dalam kronik Tung-tien buku 193 nomor 22b. Lihat: F.Hirth dan W.W.Rockhill, h. 119

[17] Paul Pelliot, h. 297. Lihat juga W. P. Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources, Bhratara, Jakarta, cetak ulang 1960, h. 14.

[18] Barus, G.J.J. Deutz, Tijdschr No. 22 tahun 1875

[19] A Tamil Merchant-guild in Sumatera oleh Prof. N. Sastri dalam Tijdschr No 72 tahun 1932

[20] “Lobu Tua Sejarah Barus”, Obor, 2002

Selasa, 16 September 2008

TATA KELOLA PERBATASAN NEGARA KITA
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA, 4-5 AGUSTUS 2008
Oleh:
Prof. Dr. Moh. Mahfud MD
(Universitas Islam Indonesia)1

Tata Kelola Perbatasan Negara Kita1
Moh. Mahfud MD2

Deklarasi Juanda
Kita patut berterima kasih kepada pemerintah Indonesia di bawah
kabinet Djuanda yang pada tanggal 13 Desember 1957 telah
mengeluarkan deklarasi yang sangat penting yakni ”Deklarasi Djuanda”
yang berisi pernyataan atau klaim yang imperatif bahwa Indeonesia
sebagai negara kepulauan merupakan satu kesatuan yang tak terpisah.
Deklarasi Juanda itu berbunyi:
Bahwa segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulaupulau
yang termasuk Negara Indonesia dengan tidak memandang luas atau
lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan negara
Indonesia dan dengan demikian bagian daripada perairan pedalaman atau
nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak negara Indonesia. Lalu
lintas yang damai di perairan pedalaman ini bagi kapal-kapal asing dijamin
selama dan sekadar tidak bertentangan dengan/mengganggu kedaulatan dan
keselamatan Negara Indonesia. Penentuan batas landas lautan teritorial (yang
lebarnya 12 mil) diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik ujung yang
terluar pada pulau-pulau Negara Indonesia. Ketentuan-ketentuan tersebut di
atas akan diatur selekas-lekasnya dengan Undang-undang.
Arti penting deklarasi Juanda itu sangat terasa manakala kita melihat
peta bumi negara Indonesia yang menurut perhitungan Dishidros pada
tahun 1982 berjumlah 17.508 pulau,3 dengan 5.707 mempunyai nama dan
11.801 tak bernama dengan garis pantai sepanjang 108.000 km serta luas
wilayah perairan yang mencapai 7,9 kilometer persegi.4
Deklarasi tersebut merupakan klaim Indonesia atas konsepsi Indonesia
sebagai “negara kepulauan” yakni konsepsi yang menjadikan laut sebagai
penghubung (bukan pemisah) dari pulau-pulau yang semuanya
merupakan satu kesatuan yang utuh. Konsepsi ini sangat penting karena
Indonesia terdiri dari lebih 17.000 pulau yang diantarai oleh laut-laut
yang luas. Konsepsi negara kepulauan ini kemudian dituangkan di dalam
UU No. 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia.
1 Makalah yang dipresentasikan pada Konvensi Kampus V dan Temu Tahunan XI Forum Rektor
Indonesia yang berlangsung di Kampus UII, Yogyakarta, tanggal 4-5 Agustus 2008.
2 Prof. Dr. Moh. Mahfud MD adalah guru besar Hukum Tata Negara pada Fakultas Hukum UII
Yogyakarta, mantan Menteri Pertahanan RI, mantan anggota dan Wakil Ketua Baleg DPR-RI, sekarang
adalah Hakim Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
3 Lihat dalam Bab I (Pendahuluan) Naskah Akademis Rancangan Undang-undang tentang Wilayah
Negara, Baleg DPR-RI, 2006.
4 Lihat pula dalam makalah Dirjen Penataan Ruang Depkimpraswil pada semi lokakarya mengenai
Reposisi dan Revitalisasi Kepulauan Sangihe-Talaud, Jakarta, 12 Maret 2003. Juga dalam Andirini
Pujayanti, Perbatasan Indonesia dalam Perspektif Politik (Editor: Poltak Partogi Nainggoan), Tiga
Putra Utama, Jakarta, 2004, hal. 82.
2
Dengan demikian Deklarasi Djuanda tersebut menegaskan empat hal
penting. Pertama, sikap resmi Indonesia yang ketika itu menghadapi
kesulitan mempersatukan Irian Jaya karena laut-laut di sekitarnya banyak
dianggap sebagai perairan internasional yang bebas dimanfaatkan oleh
siapa pun. Kedua, menegaksan bahwa bumi air dan kekayaan alam yang
terkadung di dalamnya serta ruang udara di atasnya harus benar-benar
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sesuai dengan
amanat pasal 33 UUD 1945. Ketiga, pernyataan tentang bentuk nyata
Indonesia yang bersatu dalam keragaman (bhinneka tunggal ika).
Keempat, menjadi landasan wawasan nusantara dalam pembangunan
nasional yang bertujuan mewujudkan Indonesia sebagai kesatuan politik
ekonomi sosial budaya pertahanan dan keamanan.
Deklarasi itu pulalah yang sejak saat itu menjadi dasar perjuangan
Indonesia untuk mendapat pengakuan internasional atas wilayah-wilayah
kekuasaannya. Perjuangan untuk mendapat pengakuan internasional atas
wilayah-wilayah kekuasaan Indonesia tersebut kemudian memang
menghasilkan pengakuan dunia internasional ketika pada tahun
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan United Nations
Convention on the Law of the Sea yang disingkat UNCLOS atau
Konvensi Hukum Laut tahun 1982 yang memuatnya di dalam Bab IV. Di
dalam Bab IV UNCLOS tersebut dimuat pengakuan dan pengaturan
tentang Archipelagic State atau rezim hukum negara kepulauan yang
antara lain mengakui dan mengembangkan Deklarasi Djuanda dalam hal
pengakuan atas garis pangkal lurus kepulauan di samping garis pangkal
biasa dan garis pangkal lurus sebagai cara pengukuran garis pangkal
kepulauan suatu negara. UNCLOS ini kemudian diratifikasi oleh
Pemerintah Indonesia melalui UU No. 17 Tahun 1985 tentang
Pengesahan UNCLOS.
Dengan Deklarasi Djuanda, UNCLOS, dan Ratifikasi atas UNCLOS
maka kedaulatan Indonesia atas ”bagian-bagian dalam” negaranya yang
dihubungkan oleh laut-laut menjadi jelas dan tak tak dapat ditolak oleh
siapa pun. Yang masih menjadi persoalan pada saat ini adalah
penguasaan atas ”batas-batas terluar” yang masih rentan bagi munculnya
berbagai gangguan atas kedaulatan.
Ancaman intervensi dan disintegrasi
Meskipun demikian sebagai satu negara yang berada di tengah-tengah
dunia internasional dengan beragam kepentingannya, Indonesia tidak sepi
dari ancaman intervensi dan disintegrasi yang akan mencabik-cabiknya.
Itulah sebabnya menjadi sangat penting untuk memberi perhatian
terhadap ketahanan.
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah pilihan final tentang
bentuk negara yang yang hendak kita bangun. Meskipun persatuan atau
3
integrasi bangsa tidak harus dibangun dengan bentuk negara kesatuan5
tetapi jika dilihat dari latar belang sejarahnya, pilihan atas bentuk negara
kesatuan itu dimaksudkan agar persatuan atau integrasi terbangun kokoh
di Indonesia. Dengan demikian Indonesia harus mempunyai ketahanan
yang kokoh dengan mekanisme pertahanan yang andal pula.
Ketahanan tidaklah sama dengan pertahanan, yang satu lebih umum
sebagai konsepsi dasar sedangkan yang lain lebih agak teknis sebagai
konsep implementasi. Pertahanan pada umumnya lebih dikaitkan dengan
tugas militer untuk mempertahankan kedaulatan atau keutuhan negara
baik secara ideologi maupun territori,6 terutama dari ancaman negara lain;
sedangkan ketahanan meliputi banyak hal yang jauh lebih luas untuk
merekatkan ikatan persatuan sebagai bangsa seperti sosial, budaya,
ekonomi, politik, dan sebagainya.
Secara definitif ketahanan dapat dirumuskan sebagai kondisi dinamis
suatu bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung
kemampuan untuk mengembangkan kekuatan nasional dalam
menghadapai dan mengatasi segala macam ancaman, tantangan,
hambatan, dan gangguan baik yang datang dari luar maupun yang datang
dari dalam yang secara langsung maupun tidak langsung membahayakan
integritas, identitas, kelangsungan hidup bangsa dan negara serta
perjuangan mengejar tujuan pembangunan nasional.7
Pembinaan ketahanan ini sangat penting mengingat banyak ancaman
bagi kelangsungan persatuan kita sebagai bangsa dan negara. Ancamanancaman
itu ada yang bersifat internal dan ada yang bersifat eksternal
baik karena perkembangan keadaan dunia maupun karena posisi
Indonesia yang memang rawan untuk dipecah balah. Globalisasi yang
sekarang terjadi di seluruh dunia dapat dikatakan turut mengancam atas
keutuhan nation state seperti Indonesia seperti yang banyak diteorikan
oleh pakar.
Robert J Holton8 dengan merujuk pada David Held9 memetakan
beberapa tantangan yang dihadapi oleh setiap nation state dengan
identifikasi sebagai berikut:
1. Berbagai perusahaaan multinasional yang dikenal sebagai Multi
National Coorporations (MNC’s) dapat memperlemah nation state
5 Persatuan atau integrasi bangsa dan negara dapat juga dibangun di dalam bentuk negara federal. Di
dalam faktanya banyak negara federal yang justeru persatuaannya lebih kokoh (seperti Amerika
Serikat, Jerman, Malaysia) jika dibandingkan dengan negara kesatuan (seperti Inggris, Indonesia, dan
Philippina) yang selalu diganggu oleh separatisme.
6 Di dalam UUD 1945 pertahanan dikaitkan dengan fungsi tentara (militer) yang dibedakan dengan
fungsi keamanan yang dilakukan oleh kepolisian.
7 RM Sunardi, Pembinaan Ketahanan Bangsa dalam Rangka Memperkokoh Kesatuan Negara
Republik Indonesia, PT Kuaternita Adidarma, Jakarta, 2004)
8 Robert J Holton, Globalization at the Nation State, UK: Macmillan, London, 1998, hal. 106.
9 David Held, Democracy and Global Order, From the Modern State to the Cosmopolite Governance,
Politiy Press, 1995, hal. 48-49.
4
karena mereka mengembangkan pasar modal global yang dapat
mempermudah investor dan spekulan untuk mentransfer sejumlah
besar uang dari sebuah negara ke negara lain hanya dalam
hutungan detik dan negara nyaris tak bisa mengontrol pergerakan
ini.
2. Dengan perlindungan hukum internasional banyak lembaga
transnasional seperti World Bank, IMF, Uni Eropah, WTO, dan
PBB telah memepngaruhi kekuasaan negara (nation state) secara
signifikan. Dapat disebut sebagai contoh betapa besar pengaruh
Uni Eropah ketika melebur mata uang dari berbagai negara Eropah
ke dalam mata uang Eropah secara tunggal. Contoh lain yang
spesifik telah terjadi di Indonesia adalah kebijakan reformasi,
deregulasi, dan privatisasi yang dilakukan karena rekomendasi
lembaga internasional seperti IMF. Sedangkan dalam perang
konvensional kita dapat menyebut Irak yang pada tahun 2003
diserang bermai-ramai dengan menggunakan bendera PBB.
3. Adanya kekuatan-kekuatan militer hegemonik yang sering
melemahkan kedaulatan sebuah negara seperti pengiriman pasukan
NATO ke berbagai negara untuk melakukan aksi militer dengan
berusaha menggunakan legalitas dari PBB.
Meskipun dalam kenmyataannya tidak semua pakar setuju pada
pandangan bahwa globalisasi dapat menghancurkan ketahanan suatu
bangsa atau membawa pada the End of Nation State, namun tiga alasan di
atas dapat diterima secara logis bahwa Indonesia sebagai nation state
dapat terancam ketahanan dirinya. Selain itu posisi dan kapasitas
Indonesia memancing daya tarik tersendiri untuk dicabik-cabik atau
ditarik-tarik agar mengikuti salah satu kekuatan atau diintervensi oleh
negara-negara besar di dunia. Ada tiga hal yang menyebabkan Indonesia
akan menjadi sasaran intervensi untuk ditarik ke dalam salah satu
kekuatan negara lain: 10
1. Secara geopolitik Indonesia menduduki Sea Lanes of
Communications (SLOC) atau alur pelayaran vital di antara
Samudera Pasifik dan Samudera Hindia sehingga akan dipaksa
untuk selalu pro Barat atau akomodatif terhadap kepentingankepentingan
Barat. Indonesia menguasai empat dari tujuh selat
strategis di dunia sehingga memiliki bargaining power yang kuat
dalam pengendalian lalu lintas laut yang melewati SLOC itu.
Namun bersamaan dengan kuatnya bargaining power itu terdapat
juga ancaman untuk ditarik-tarik yang dapat mempengaruhi
ketahanan dirinya.
10 Lihat dalam RM Sunardi, op.cit., hal. 194-195
5
2. Indonesia merupakan negara muslim terbesar di dunia yang
bersikap sangat moderat sehingga bisa dipergunakan untuk
mengatasi kecemasan dunia Barat atas perkembangan Islam yang
belakangan ini semakin dahsyat dengan stigmatisasi terorieme
(fundamentalis-radikal). Berbagai bentuk intervensi dan subversi
sangat mungkin akan dilakukan terhadap Indonesia guna
menjadikannya sebagai negara yang tetap moderat. Upaya tersebut
tentu mengandung bibit konflik di dalam Indonesia sendiri yang
berarti mengancam ketahanan dirinya.
3. Indonesia menguasasi separuh dari seluruh wilayah kawasan Asia
Tenggara yang karena power position-nya di kawasan tersebut
menjadi penjuru ASEAN. Dengan posisinya yang sekuat itu maka
secara politik internasional berarti jika (sebuah negara) bisa
memegang Indonesia berarti bisa memegang ASEAN. Indonesia
dapat dijadikan alat oleh Barat untuk membendung pengaruh China
di ASEAN yang oleh Barat dipersepsikan sebagai ancaman bagi
mereka.
Pengelolaan perbatasan
Masalah perbatasan merupakan bagian penting dari ketahanan
negara. Untuk itu setiap negara mempunyai kewenangan menentukan
batas wilayah yurisdiksinya masing-masing. Namun karena batas terluar
wilayah negara senantiasa berbatasan dengan wilayah kedaulatan negara
lain maka penetapan tersebut harus juga memperhatikan kewenangan
otoritas negara lain melalui suatu kerjasama dan pernjanjian, misalnya
dalam bidang survei dan penentuan batas wilayah darat maupun wilyah
laut antara NKRI dengan negara lain yang selama ini tertuang dalam
bentuk MoU maupun perjanjian-perjanjian penetapan garis batas laut.
UUD 1945 hasil amandemen dalam pasal 25A memerintahkan
pembuatan UU kepada pemerintah untuk menetukan batas wilayah
negara yang dapat dijadikan pedoman dalam mempertahankan kedaulatan
NKRI, memperjuangkan kepentingan nasional dan keselamatan bangsa,
memperkuat potensi, memberdayakan dan mengembangkan sumberdaya
alam bagi kemakmuran seluruh bangsa Indonesia. Isi undang-undanga
tentang nilayah negara tersebut selanjutnya didepositkan di PBB agar
diketahui masyarakat internasional, terutama negara-negara yang
berbatasan dengan Indonesia. Perlunya deposit wilayah dan batasbatasnya
ini ke PBB dimaksudkan agar kalau suatu saat ada complain
atau konflik perbatasan ada rujukan yang jelas yang sudah terdaftar di
PBB. Itulah sebabnya pada saat ini kita perlu UU tentang wilayah negara.
Masalah penegasan batas wilayah di dalam sebuah UU menjadi
semakin penting sejalan dengan terjadinya perubahan yang cepat di
berbagai kawasan akibat pengaruh situasi global. Masalah batas wilayah
6
negara bukan hanya menyangkut ancaman dari luar tetapi juga terkait
dengan masalah kedaulatan wilayah dan hak setiap warga negara untuk
mengeksploitasi kekayaan alamnya. Karena sumber kekayaan yang
makin terbatas sedangkan junmlah penduduk yang makin besar maka
perbatasan wilayah menjadi sensitif bagi timbulnya perselisihan
(desputes) dan konflik.
Terlepas dari Deklarasi Djuanda yang sangat monumental bagi
penentuan cakupan kedaulatan Indonesia atas wilayahnya, sampai saat ini
Indonesia masih menghadapi persoalan serius dalam mengelola batas
wilayah terluarnya. Ada tiga masalah dalam kaitan dengan batas wilayah
ini yang sampai saat ini belum terselesaikan secara komprehensif, yakni
belum memadainya perangkat hukum, tumpang tindihnya instutusi yang
menangani, belum tuntasnya perundingan-perundingan bilateral dan/atau
trilateral, dan lemahnya kemampuan mengamankan.
Persoalan perangkat hukum
Perangkat hukum yang mengatur tapal batas Indonesia dengan negaranegara
lain sampai saat iniu belumlah memadai. Meskipun kita sudah
mempunyai banyak MoU namun masih banyak juga titik-titik perbatasan
yang menjadi persengketaan dengan negara lain karena belum tuntas
dirundingkan atau karena perubahan geopolitik dan situasi regional.
Berbagai MoU dengan negara lain sampai sekarang masih terpencarpencar
dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan seperti ada
yang dituangkan dalam bentuk undang-undang, ada yang diberi bentuk
PP, dan ada dituangkan ke bentuk Kepres. Bahkan hal sangat penting
yang seharusnya diatur dengan UU seperti penegasan mengenai kordinat
geografis titik-titik garis pangkal kepulauan Indonesia hanya diatur
dengan PP. Jadi ada persoalan terpencar-pencarnya payung hukum baik
secara vertikal maupun secara horizontal serta cakupannya yang masih
bersifat partial dan tidak komprehensif. Kenyataan ini menyulitkan kita
untuk mendepositkan batas-batas wilayah negara Indonesia ke PBB agar
dapat diketahui oleh negara lain, apalagi masih ada lebih dari 11.000
pulau yang ada di dalam kedaulatan Indonesia yang sampai sekarang
belum mempunyai nama.11
Ada pun berbagai peraturan perundang-undangan yang sudah ada atau
mempunyai kaitan dengan batas wilayah negara ini adalah:
1. Undang-Undang No. 2 Tahun 1971 tentang Perjanjian Antara
Republik Indonesia dan Malaysia tentang Penetapan Garis Batas
Laut Wilayah Kedua Negara di Selat Malaka.
2. Undang-Undang No. 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen
Indonesia.
11 Saat ini pemerintah sedang mengerjakan penentuan dan penamaan atas pulau-pulau kita yang belum
mempunyai nama untuk kemudian didepositkan ke PBB.
7
3. Undang-Undang No. 6 Tahun 1973 tentang Perjanjian Antara
Indonesia dan Australia Mengenai Garis-garis Batas Tertentu
Antara Indonesia dan Papua New Guinea.
4. Undang-Undang No. 7 Tahun 1973 tentang Perjanjian Antara
Republik Indonesia dan Republik Singapura Mengenai Garis Batas
Laut Wilayah Kedua Negara di Selat Singapura.
5. Undang-Undang No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia.
6. Undang-Undang No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United
Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS).
7. Undang-Undang No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan.
8. Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
9. Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional.
10. Undang-Undang No. 3 Tahun 2001 tentang Pertahanan.
11. Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
12. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
13. Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2002 tentang Hak dan
Kewajiban Kapal Asing dalam Melaksanakan Lintas Damai
Melalui Perairan Indonesia.
14. Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2002 tentang Hak dan
Kewijiban Kapal dan Pesawat Udara Asing dalam Melaksanakan
Hak Lintas Alur Laut Kepulauan Melalui Alur Laut Kepulauan
yang Ditetapkan.
15. Kepres No. 89 Tahun 1969 tentang Persetujuan Antara Pemerintah
Republik Indonesia dan Pemerintah Malaysia tentang Penetapan
Garis-garis Landas Kontinen Antara Kedua Negara.
16. Kepres No. 42 Tahun 1971 tentang Persetujuan Antara Pemerintah
Republik Indonesia dan Pemerintah Commonwealth Australia
tentang Penetapan Batas-batas Dasar Laut Tertentu.
17. Kepres No. 20 Tahun 1972 tentang Persetujuan Antara Pemerintah
Republik Indonesia, Pemerintah Malaysia dan Pemerintah
Kerajaan Thailand tentang Penetapan Suatu Garis Batas Landas
Kontinen di Bagian Utara Selat Malaka dan Laut Andaman.
18. Kepres No. 66 Tahun 1972 tentang Persetujuan Bersama Antara
Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Commonwealth
Australia tentang Penetapan Garis Batas Dasar Laut di Daerah
Laut Timur dan Laut Arafura.
19. Kepres No. 51 Tahun 1974 tentang Persetujuan Antara Pemerintah
Republik Indonesia dan Pemerintah Republik India tentang
Penetapan Batas Landas Kontinen Antara Kedua Negara.
8
20. Kepres No.1 Tahun 1977 tentang Persetujuan Antara Pemerintah
Republik Indonesia dan Pemerintah Republik India tentang Garis
Batas Landas Kontinen Tahun 1974 Antara Kedua Negara di Laut
Andaman dan Samudera Hindia.
21. Kepres No. 24 Tahun 1978 tentang Persetujuan Bersama Antara
Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik India,
dan Pemerintah Kerajaan Thailand tentang Penetapan Titik
Pertemuan Tiga Garis Batas dan Penetapan Garis Batas Ketiga
Negara di Laut Andaman.
22. Kepres No. 81 Tahun 1982 tentang Persetujuan Antara Pemerintah
Republik Indonesia dan Pemerintah Papua Nugini tentang Batasbatas
Maritim Antara RI dan Papua Nugini dan Kerjasama tentang
Masalah-masalah yang Bersangkutan Sebagai Hasil Perundingan
Anatara Delegasi Pemerintah Republik Indonesia dan Delegasi
Pemerintah Papua Nugini.
Persoalan institusi yang menangani
Lembaga atau institusi yang mempunyai otoritas untuk menetukan dan
menegaskan serta menangani batas wilayah masih tampak tumpang
tindih. Begitu juga terasa belum ada kordinasi yang memadai antar
instansi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan pengawasan dan
pengelolaan daerah perbatasan. Lembaga yang sekarang diberi otoritas itu
ternyata terpencar-pencar atas berbagai induk institusi sehingga
menyulitkan pengimplementasian sebuah kebijakan yang memusat.
Penguatan otonomi daerah sejak era reformasi semakin menyulitkan
untuk mengefektifkan kordinasi antar lembaga untuk menangani daerahdaerah
perbatasan. Masalah pertahanan, termasuk penjagaan batas
wilayah memang menjadi urusan pusat, tetapi otonomi daerah
menghendaki juga diberikannya wewenang kepada daerah yang bukan
hanya kewajiban dan tanggungjwab. Masalahnya di dalam yurisdiksi
pemerintah daerah itulah sering terjadi pencabutan patok-patok tapal
batas serta terjadinya berbagai tindakan ilegal seperti penyelundupan
kayu, penyelundupan barang, pencurian ikan dan sumber daya alam
lainnya. Begitu juga di daerah perbatasan sering terjadi kejahatan
transnasional seperti penyelundupan wanita dan anak-anak,
penyelundupan narkoba, senjata api, bahan peledak, pembajakan kapal,
terorisme dan sebagainya. Yang pertama-tama terkena akibat dan
dimintai tanggungjawab atas berbagai hal tersebut adalah pemerintah
daerah di wilayah perbatasan yang bersangkutan.
Persoalan perundingan
Perundingan bilateral maupun trilateral antara Indonesia dengan
negara-negara tetangga, khususnya mengenai batas maritim yang harus
9
dipertegas yang meliputi batas laut teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif
(ZEE) dan landas kontinen sampai sekarang belum tuntas. Kesepakatan
mengenai batas maritim sulit dicapai karena berhubungan langsung
dengan hak-hak berdaulat negara dalam mengekplorasi dan
mengekploitasi sumber daya alam yang ada di dalam wilayah teritorial.
Itulah sebabnya penentuan batas wilayah menjadi rumit karena masingmasing
negara ingin menentapkan batas sesuai dengan kehendaknya
masing-masing.
Untuk perbatasan darat memang sudah ada beberapa perjanjian
bilateral yang tuntas dilakukan namun masih banyak pula wilayahwilayah
yang sulit capaian kesepakatannya dalam perundingan sehingga
terus tertunda-tunda. Yang saat ini diperlukan adalah penyelesaian
masalah delineasi dan demarkasi batas darat dengan tiga negara tetangga
kita.
Untuk wilayah udara Indoneisa mengahadapi kerawanan yang sama
bagi penyelenggaraan hankamnya mengingat terbatasnya kapasitas dan
kapabilitas TNI Angkatan Udara untuk menghadapi pelanggaran wilayah
udara yang dapat dilakukan setiap saat oleh negara lain baik yang tidak
disengaja maupun yang sengaja untuk provokasi dan tujuan negatif
lainnya.
Persoalan kemampuan mengamankan
Terkait dengan kapasitas dan kapabilitas seperti yang dikemukakan
pada persoalan yang ketika muncul pula persoalan lain yang kerapkali
menjadi kendala dalam mengamankan batas wilayah yakni lemahnya
kemampuan aparat kita untuk mengamankan batas wilayah. Ketika
menjabat Menteri Pertahanan saya pernah mendapat laporan bahwa di
perbatasan antara Malaysia dan Kalimantan Timur (Inodnesia) banyak
patok-patok batas wilayah yang berpindah masuk ke wilayah Indonesia
sehingga Indonesia kehilangan wilayah darat yang cukup luas. Bahkan
saya pernah menerima informasi bahwa banyak keluarga di perbatasan
tersebut yang pada athun 1971 ikut pemilu di Indonesia, tetapi pada
pemilu tahun 1999 sudah tidak mengikuti pemilu Indonesia karena
tempat tinggalnya sudah berada di luar patok batas terluar Indonesia;
artinya patok batas wilayah sudah berpindah dan menghilangkan banyak
wilayah darat yang semula dimiliki Indonesia.
Ini berarti bahwa pengamanan atas batas wilayah itu lemah karena
patok-patok dapat dengan mudah dipindahkan oleh pihak yang tidak
bertanggungjawab. Untuk mengatasi hal tersebut saya pernah berbicara
dengan menteri pertahanan Malaysia agar melalui forum JBC (Join
Border Committe) dapat dibangun pagar permanen yang panjang (tak
terputus) sebagai batas yang dibuat bersama. Namun sampai sekarang
gagasan tersebut belum terealisasi.
10
Kelemahan aparat kita untuk melindungi batas wilayah, bukan hanya
terjadi di darat seperti di Kalimantan Timur, melainkan juga terjadi untuk
pengamanan kedaulatan atas laut teritorial atau ruang angkasa kita.
Seringkali dilaporkan bahwa kapal-kapal patroli kita tidak mampu
mengimbangi kecepatan kapal-kapal pelanggar batas wilayah laut
teritorial dan angkatan udara kita tidak mampu mendeteksi dengan baik
atau menghalau pesawat asing yang masuk wilayah angkasa Indonesia.
Persoalan kemampuan mengawal batas wilayah yang lemah ini
diperburuk oleh kemampuan kita untuk memajukan pembangunan di
daerah-daerah perbatasan yang biasanya disebut sebagai persoalan
fronties. Warga kita di Bengkayang (daerah darat terluar Indonesia di
Kaltim) banyak yang lebih suka menonton televisi Malaysia atau
”menyeberang” ke negara jiran itu untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari
karena selain barangnya lebih banyak tersedia juga harganya lebih murah.
Hal ini dapat menimbulkan erosi nasionalisme yang dapat menyebabkan
warga kita tidak lagi sensitif (bahkan mungkin ada yang senang) dengan
bergesernya patok batas wilayah yang membawa mereka keluar dari batas
Indonesia dan masuk ke wilayah negara lain. Masalah seperti ini tidak
(belum) kita hadapi di wilayah perbatasan antara NTT dan Timor Leste,
sebab di sana yang terjadi justeru tidak ada orang NTT yang mau
menyeberang ke Timor Leste. Karena jepitan ekonomi justeru orang
Timor Leste itulah yang mungkin lebih ingin menyebrang batas wilayah
untuk menjadi warga negara Indonesia.
Pembentukan UU
Masalah yang harus segera ditangani dalam tata kelola perbatasan
wilayah negara adalah pembentukan UU tentang Wilayah negara
sebagaimana diamanatkan oleh pasal 25A UUD 1945 hasil amandemen.
UU ini nantinya harus mengakomodasi semua peraturan perundangundangan
yang pernah ada secara berserakan ditambah dengan
perkembangan-perkembangan terbaru tentang perbatasan wilayah negara
kita.
Pembentukan UU ini dimaksudkan agar ada kepastian dan kesatuan
hukum yang mengatur perbatasan wilayah negara ini yang nantinya dapat
kita pertahankan melalui kekuatan pertahanan (militer) maupun melalui
diplomasi. Bersamaan dengan pembuatan UU tersebut harus pula segera
diselesaikan pemberian nama atas pulau-pulau yang belum diberi nama
disertai posisi letak masing-masing pulau yang ditentukan di dalam UU.
Hal ini sangat penting untuk dijadikan satu paket dengan UU yang harus
deposit ke PBB sebagai wilayah Indonesia.
Selanjutnya perlu juga ditingkatkan kemampuan aparat dan alat-alat
pertahanan kita agar mampu menjaga kedaulatan sampai ke batas wilayah
terluar Indonesia. Terkait dengan ini dirasa penting pula dibuatnya pagar11
pagar permanen serta pembangunan ekonomi di daerah-daerah perbatasan
darat. Pagar permanen diperlukan untuk menghindari pemindahan patokpatok
seperti yang selama ini sering terjadi, sedangkan pembangunan
ekonomi diuperlukan agar orang-orang kita di area fronties tidak pindah
atau merasa lebih senang hidup di seberang wilayah negara sendiri dan
masuk ke wilayah negara lain.

DAFTAR PUSTAKA
Adi Sudarman, “Aspek Yuridis dalam Penataan Batas Negara,’ dalam Sobar Sutisna,
Pandang Wilayah Perbatasan Indonesia, Pusat Pemetaan Batas Wilayah
Badan Kordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), 2004.
Adirini Pujayanti, Perbatasan Wilayah Indonesia dalam Perspektif Politik (Editor:
Poltak Partogi Nainggolan), Tiga Putra Utama, Jakarta, 2004.
David Held, Democracy and Global Order, From the Modern State to the
Cosmopolite Governance, Polity Press, 1995.
Hasyim Djalal, “Sistem Keamanan Perbatasan di Indonesia,” dalam Sobar Sutisna,
Pandang Wilayah Perbatasan Indonesia, Pusat Pemetaan Batas Wilayah
Bakosurtanal, 2004.
Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), Kajian Singkat Tentang Batas Wilayah
Maritim RI-Malaysia (Kasus Ambalat), 2005.
Mochtar Kusumaatmadja, Bunga Rampai Hukum Laut, Binacipta, Jakarta, 1978.
___________ , Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 2003.
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, LP3ES,
Jakarta, 2006.
Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen UUD 1945,
LP3ES, Jakarta, 2007.
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Naskah Akademis Rancangan
Undang-Undang tentang Wilayah Negara, Badan Legislasi DPR, Jakarta,
2006.
Robert J. Holton, Globalization at the Nation State, UK:Macmillan, London, 1998.
RM Sunardi, Pembinaan Ketahanan Bangsa dalam Rangka Memperkokoh Negara
Kesatuan Republik Indonesia, PT Kuaternita Adidarma, Jakarta, 2004

0 komentar: