Heritage Intelligence

Mendengar intelijen ingatan langsung tertuju kepada James Bond 007, CIA, KGB, dan Mossad. Institusi intelijen Negara yang bekerja dalam ketertutupan dan menyeramkan seperti kisah Victor Ostrovsky atau novel Body of Lies karya David Ignatius. Intelijen Benda Cagar Budaya (Heritage Intelligence) bukan merupakan pengenjawantahan dari Lembaga Intelijen Negara, melainkan pekerjaan penelitian dan pendokumentasian tentang keberadaan benda cagar budaya yang ada di Indonesia. Banyaknya peninggalan kekayaan artefak sejarah yang telah lenyap atau musnah, sehingga menciptakan kerugian besar hampir disetiap sektor baik dari Ilmu pengetahuan, sosial-budaya, ekonomi dan pertahanan keamanan Negara.
Ketidak berdayaan pembuktian kekayaan dan kerugian Negara tentang peninggalan sejarah, yang telah hilang maupun masih ada merupakan 'titik lemah' untuk dapat menjelaskan dan mempertanggung jawabkan kepada publik.
Sebagaimana contoh hancurnya bangunan di proklamasi, dimana potret nyata detik-detik bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Pertanyaan kerugian apa saja yang diciptakan dari kehancuran bangunan proklamasi tersebut? Ternyata ketika di 'bedah' anatominya sungguh membuat kepala cekot-cekot, dari sisi Ilmu pengetahuan bukti nyata keberadaan fisik bangunan sudah tidak ada. Di dalam ranah berbeda seperti contoh ketika pulau Sipadan dan Ligitan diakui oleh Mahkamah Internasional di Belanda, fisik bangunan yang terdapat dikedua pulau tersebut adalah milik Malaysia. Pada akhirnya secara de jure maupun de fakto pulau Sipadan dan Ligitan milik sah Malaysia.
Terperanjat bahwa eksistensi fisik bangunan bukan persoalan sederhana, cara pandang melihat fisik bangunan selama ini hanya dilihat dari 'kaca mata kuda' yang melulu diukur dari perspektif estetika dan ekonomis semata. Padahal sebuah bangunan diciptakan melampaui tapal batas estetika dan ekonomi, sebagaimana masyarakat Jawa membangun rumah Panggang pe Ceregancet mirip dengan jasad hidup yang tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan kehidupan penghuninya.

Database Benda Cagar Budaya

Film petualangan Indiana Jones, National Treasure, dan Da Vinci Code, membuat adrenalin penonton terpacu. Kecerdasan mengumpulkan serpihan informasi yang tercecer, sehingga teka-teki dapat terpecahkan dan disusun ulang. Sungguh sebuah inspirasi. Tersebar dan terseraknya artefak benda cagar budaya dari berbagai wujud, baik dari sisa-sisa peninggalan kerajaan Nusantara sampai peninggalan kolonial. Sampai saat ini masih dalam 'terawangan' sebagai analogi berjalan dikegelapan tanpa cahaya. Keberadaan UU.No.5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya dan UU.No.26 Tahun 2007 Tentang Tata Ruang masih dalam tahap konsepsional, belum memasuki 'ranah' operasional di dalam pelestarian benda cagar budaya. Inventarisasi pendokumentasiaan sebagai database keberadaan benda cagar budaya dari berbagai ragam bentuk, sampai saat ini masih belum dapat direalisasikan. Padahal database tersebut merupakan 'peta hidup' sebagai alat deteksi dini, perihal kelangsungan pelestarian benda cagar budaya di Indonesia. Karena bila terwujud pendokumentasian tersebut, publik dapat mengetahui dan menjaga pelestarian dari benda cagar budaya yang dilindungi oleh Negara. Fungsi database dapat memberikan suguhan informasi, berapa jumlah benda cagar budaya yang dimiliki seperti Gedung, Benteng, Rumah, Masjid, Gereja, Vihara, Pusaka dan lain sebagainya. Dengan adanya informasi keberadaan artefak sejarah ini, penghancuran dan pencurian dapat maksimal dihindari.
Pendokumentasian mempunyai peran ganda di satu sisi dapat menjadi alat kontrol, disisi lain merupakan alat sosialisasi dari Undang-Undang tentang Benda Cagar Budaya yang murah dan efektif kepada warga Negara.

Benda Cagar Budaya dan Keamanan Nasional

Perjuangan panjang Vasco da Gama (1497-1499) mencapai India melalui Tanjung Harapan telah berhasil gilang gemilang, dari keberhasilan ini maka terbuka lebar pintu masuk pelayaran bangsa Eropa ke Asia. Setelah Tanjung Harapan ditundukkan, kini giliran Melaka dikuasai Portugal (1511).
Di dalam kurun waktu 11 tahun tepatnya pada tahun 1522 ekspedisi Ferdinand Magellan dari Spanyol berhasil mencapai Maluku, selisih waktu 57 tahun (1522-1579) Francis Drake dari Inggris datang menyusul ke kewilayah 'surga rempah-rempah' Maluku. Berawal dari rempah-rempah nafsu serakah untuk menguasai dalam wajah kolonialisme tertancap di bumi Maluku, gesekan kepentingan untuk saling menguasai antara Portugal dan Spanyol di Maluku pada abad XVI tidak dapat terhindarkan. Maka keluar perjanjian Tordesillas (1494) dan menyusul perjanjian Saragossa (1527) antara Spanyol dan Portugal. Hal hasil dari perjanjian tersebut Portugal dapat menguasai Maluku.
Kilasan sejarah tersebut merupakan 'rekam jejak' kolonialisme pertama kali hadir di bumi jamrud khatulistiwa, taktik dan strategi kolonial di dalam melakukan infiltrasi sampai menuju invasi dapat ketahui. Fakta penjajahan dapat ditelusuri melalui artefak seperti Benteng Victoria (1605) yang dibangun Portugal di Maluku, berfungsi sebagai benteng pertahanan. Juga Benteng Oranje (1607) di Ternate yang dibangun oleh Cornelis Matelief de Jonge (Belanda). Benteng ini pernah dijadikan pusat pemerintahan tertinggi Hindia Belanda (Gubernur Jenderal) Pieter Both, Herald Reynst, Laurenz Reaal, dan Jan Pieterszoon Coen.
Dari Benteng pertahanan sampai rute perjalanan alur laut kolonial memasuki Nusantara, sebagaimana diketemukannya beberapa artefak kapal laut kolonial yang karam di dasar laut. Dan legitimasi Mahkamah Internasional tentang batas kedaulatan wilayah Negara Kesatuan republik Indonesia (NKRI), mengacu pada peninggalan tanah jajahan Belanda. Dengan demikian 'patok batas' secara fisik peninggalan Belanda, kedepan menjadi sesuatu yang vital di dalam pembuktian wilayah kedaulatan Negara.
Walaupun bukan konteks benda cagar budaya, tetapi masih dalam 'satu tarikan nafas' peristiwa dikuasainya Pulau Sipadan dan Ligitan oleh Malaysia, karena lemahnya bukti otentik di Mahkamah Internasional. Merupakan pertanda urgensinya fisik bangunan dalam wilayah hukum Internasional. Serta perluasan pembangunan fisik didaratan Singapura melalui 'pasir laut', hampir saja mencaplok kedaulatan Indonesia khususnya pulau Nipa dan pulau lainnya disekitar wilayah propinsi kepulauan Riau. Satu lagi peristiwa penghancuran taman didepan stasiun Beos kota, dimana wilayah itu merupakan 'ring satu' zona benda cagar budaya. Kepentingan bisnis lebih penting daripada keamanan. Pembangunan shelter busway dan terowongan untuk pedestrian mengakibatkan dampak buruk bagi bangunan tua disekitarnya. Tercatat sedikitnya empat bangunan tua yang langsung terkena dampak negative yang diakibatkan dewatering saat pembangunan terowongan tersebut, keseimbangan air tanah disekitar lokasi terganggu. Dan keempat bangunan tua mengalami penurunan pondasi, dan dampak negatif apa yang akan tercipta kedepan? Tidak ada yang dapat mengatahui dan diperlukan kajian mendalam. Sampai saat ini kejelasan tentang barang sitaan Negara dari hasil penangkapan eksplorasi kapal VOC yang karam secara illegal, berapa jumlah dan nilai harta karun tersebut dan disimpan dimana masih dalam misteri.
Saksi bisu benda cagar budaya ternyata faktual dapat 'berbunyi' dan berkata jujur tanpa ada rekayasa maupun kebohongan.

Intelijen Benda Cagar Budaya (Heritage Intelligence)

Cegah tangkal di dalam pelestarian benda cagar budaya sudah waktunya diperkuat, perhitungan secara matematis tentang kekayaan 'adi luhung' bangsa Indonesia belum dapat direalisasikan. Kemampuan IPTEK di dalam kalkulasi sumber daya alam (SDA) kekayaan laut sudah dapat dihandalkan di negri kepulauan ini, padahal dahulu sebelum teori tersebut ada masih merupakan sesuatu yang 'ghaib' diwilayah alam bawah sadar. Sosok manusia dapat terbang Gatot Kaca yang hanya ada dalam cerita pewayangan, tersentak bahwa cerita itu bukan mitos melainkan teknos dengan kemampuan di dalam rekayasa teknologi kapal terbang (Dirgantara Indonesia).
Eksistensi heritage intelligence di dalam melakukan penelitian dan pendokumentasian, serta dapat juga melakukan 'audit' benda cagar budaya, merupakan pemecah dari kebekuan dan kerapuhan mengatasi permasalahan benda cagar budaya. Generasi kedepan perlu diberikan 'menu' visualitas bukan virtualitas. Melalaui intelijen benda cagar budaya sesuatu yang absurd menjadi rasional, investigasi tapak tilas untuk dapat mengumpulkan kembali serpihan sejarah yang tercecer dan hilang. Seperti analogi menjahit pakaian yang sudah usang termakan jaman, memerlukan sentuhan ketekunan penjahit handal. Semoga.***

BAROUSAI, BARUS, ATAU FANSUR: KISAH CEMERLANG DARI BERIBU TAHUN SILAM

BAROUSAI, BARUS, ATAU FANSUR:

KISAH CEMERLANG DARI BERIBU TAHUN SILAM

Kota bandar di tepian pantai barat Sumatra yang berabad lalu menjadi sebuah perkampungan multi-etnis yang penuh guyub, sarat daya tarik bagi para pedagang di hampir seluruh penjuru bumi, juga menjadi pintu masuknya berbagai peradaban dan agama-agama besar di bumi Nusantara itu kini telah sepi.

BARUS saat ini hanya sebuah ibukota Kecamatan, di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatra Utara. Posisinya berada di pinggir pantai barat Sumatera, sekitar 60 km sebelah utara Sibolga, atau sekitar 414 km dari Medan. Tidak ada yang istimewa. Begitu juga dengan Desa Lobutua, sekitar 4 km ke arah barat dari Barus. Juga layaknya sebuah desa, sepi. Meskipun sesekali para peziarah datang silih-berganti, menapaki sejarah sebuah kota banda yang jauh di awal abad masehi pernah begitu cemerlang dan menggemparkan sekujur bumi.

Dan boleh jadi, Barus adalah satu-satunya kota yang tercatat di dalam buku yang terbit di awal masehi, sehingga menempatkannya sebagai kota tertua di bumi Nusantara. Adalah Claudius Ptolomaios[1], seorang geograf Yunani yang dalam bukunya dari abad ke dua Masehi, Geographike Hyphegesis menuliskan nama negeri Barousai di Chryse Chora (Pulau Emas) yang antara lain oleh van der Meulen disimpulkan sebagai Sumatra[2].

Tapi apa gerangan yang menjadikan kota bandar ini begitu mempesona orang Yunani, China, India, dan bahkan juga para Pharao di Mesir kuno?

Jawabnya tak lain adalah kapur barus (bhs Belanda: kamfer, dan mungkin dari kata kapur yang diucapkan kofur oleh bangsa Arab).[3] Konon, kapur barus asal kota barus inilah yang paling banyak dicari karena kualitasnya yang terbaik, paling laku dan harganya kurang lebih 8 kali lebih mahal daripada kapur-kapur barus asal tempat lain[4]. Dalam catatan pelancong Italia, Marco Polo bahkan disebutkan bahwa, harga kapur barus kala itu setara dengan harga emas dengan berat yang sama[5].

Seorang Belanda pernah menulis bahwa kemenyan dari Barus, telah dipakai sebagai salah satu bahan mengawetkan (membalsem) mayat raja-raja di Mesir sebelum Masehi[6]. Jika dugaan ini benar, maka berarti kota bandar Barus ini sudah ada sejak 5.000 tahun SM. Perkiraan akhir itu, didasarkan pada temuan bahan pengawet dari berbagai mummy Fir'aun Mesir Kuno salah satu pengawetnya menggunakan kanper atau kapur Barus. Sejarawan era kemerdekaan Moh. Yamin, bahkan memperkirakan bahwa, perdagangan rempah-rempah dan tentu saja kamfer, sudah dilakukan pedagang Nusantara sejak 6.000 tahun lalu ke berbagai penjuru dunia.

Hasil penelitian Innis Miller terhadap naskah Historia Naturalis karya Plinius di abad pertama juga sudah menunjukkan bahwa, para pedagang Nusantara pun ternyata sudah menjajakan komoditas mereka sampai ke Asia Barat dan Afrika Timur sejak abad permulaan Masehi[7]. Sementara Prof. Kern[8] pernah menulis bahwa Kota “P’o-lu-chi” yang dimaksud I Tsing di abad ke-7, tidak lain dari Barus[9]. Seorang penyair Arab sebelum Islam, Amru al-Qais (meninggal tahun 530 Masehi), sangat memuji keharuman kafur dalam syair-syairnya[10].

Begitu pentingnya kota Barus ini—mungkin bisa disamakan dengan Paris pada abad modern yang terkenal dengan inovasi parfumnya—maka sejak zaman dulu dalam dunia dagang telah dikenal nama-nama Baros, Balus, Pansur, Fansur, Pansuri[11], Kalasaputra[12], Karpura-dwipa, Barusai, Waru-saka dan lain-lain.

Dan tentu, seperti kata pepatah, ada gula ada semut. Pesona kapur barus dari selatan ini menggoda banyak pendatang. Sebagaimana dicatatan Ptolomaios, selain para penjelajah dari Yunani, juga datang pedagang dari Venesia, India, Arab dan Tiongkok. Selain itu, sekelompok penyebar ajaran Kristen Sekte Nestorian dari Konstantinopel, pusat Kerajaan Byzantium Timur, juga menjejakkan kakinya di Barus. Kelompok itu diperkirakan datang sekira tahun 600 M dan mendirikan gereja pertama di Desa Pancuran, Barus.

Dewan Gereja-gereja di Indonesia juga memercayai sejak tahun 645 Masehi di daerah Barus telah masuk umat Kristen dari sekte Nestorian. Keyakinan tersebut didasarkan pada buku kuno tulisan Shaikh Abu Salih al-Armini. Sementara itu, penjelajah dari Armenia Mabousahl mencatat bahwa pada abad ke-12 telah terdapat Gereja Nestorian.

Lalu datanglah para pedagang Arab memasuki Barus sekira 627-643 M atau sekitar tahun 1 Hijriah, dan menyebarkan agama Islam di daerah itu. Di antaranya Wahab bin Qabishah mendarat di Pulau Mursala pada 627 M. Ada juga utusan Khulafaur Rasyidin, bernama Syekh Ismail akan ke Samudera Pasai dan singgah di Barus, sekira tahun 634 M. Dan sejak itu pula, tercatat bangsa Arab (Islam) mendirikan koloni di Barus. Bangsa Arab menamakan Barus dengan sebutan Fansur atau Fansuri, misalnya oleh penulis Sulaiman pada 851 M dalam bukunya "Silsilatus Tawarikh."

Kedatangan bangsa Arab yang kemudian menyebarkan agama Islam itu juga disebutkan dalam berita-berita Cina, Hsin-Tang-shu[13] (Catatan Dinasti Tang, 618-907), dan Chu-fan-chi[14] (Catatan Negeri-negeri Asing) yang ditulis Chau Ju-kua pada tahun 1225. Di dalam dua kronik Cina itu banyak bercerita tentang Ta-shi, istilah Cina untuk menyebut Arab. (Chu-fan-chi menerangkan bahwa Ta-shi mempunyai seorang Buddha (maksudnya Nabi) yang bernama Ma-ha-mat (Muhammad). Dalam sehari mereka lima kali sembahyang, dan setiap tahun berpuasa selama sebulan penuh. Dinasti Ta-shi ada dua macam, yaitu white-robed Ta-shi (Arab berjubah putih) atau Pon-ni-mo-huan (Bani Marwan, atau Bani Umayyah), serta black-robed Ta-shi (Arab berjubah hitam) yang didirikan raja A-po-lo-pa (Abul-Abbas)[15]. Pada tahun 651 Masehi, raja Ta-shi (Arab) bernama Han-mi-mo-mi-ni mengirimkan utusan ke istana Cina[16]. Hampir dapat dipastikan bahwa nama Han-mi-mo-mi-ni dalam ucapan Cina ini adalah untuk Amir al-Mu’minin, gelar resmi para khalifah Islam, dan “raja Ta-shi” yang mengirimkan utusan itu adalah Khalifah `Utsman ibn Affan yang memerintah dari tahun 644 sampai 656. Hsin-Tang-shu mencatat bahwa pada tahun 674 terdapat pemukiman pedagang Ta-shi (Arab) di Po-lu-shih, daerah pantai barat Sumatera.[17]

Tentu, dapat dibayangkan betapa makmurnya kota Barus pada awal abad masehi ini, dengan penduduk yang sebagian besar terdiri atas kaum pedagang. Pertanyaannya kemudian, siapakah yang menggerakkan semua perdagangan hingga jauh ke negeri seberang itu?

Seorang bekas kontrolir Belanda, G.J.J. Deutz, sewaktu bertugas di Barus,[18] menulis bahwa menurut rakyat setempat di Desa Lobutua pernah didapat penduduk sebuah batu bertulis pada dua bagian. Tetapi sayang, batu itu pada tahun 1857 dipecahkan oleh Raja Barus bernama Mara Pangkat. Pada tahun 1872 Deutz banyak menemukan pecahan batu peninggalan zaman Hindu yang telah dilupakan orang, telah berlumut. Dan baru pada tahun 1932, prasasti itu diterjemahkan Profesor Nila-kanti Sastri dari Universitas Madras.[19]

Prasasti itu menyebutkan bahwa paling sedikit sejak abad ke-11, telah bermukim di kota Barus sebuah koloni bangsa Tamil. Menurut batu Lobutua itu, mereka tergabung dalam sebuah perusahaan bernama “kelompok 500″ yang tidak asing lagi bagi orang-orang India waktu itu. Perusahaan swasta yang mereka wakili, merupakan perusahaan dagang cukup kuat, merdeka dalam tindakan dan tidak gampang tunduk pada salah satu raja yang berkuasa di sekitar Barus. Mereka yang berdiam di Barus inilah yang membeli beberapa hasil dari rakyat—utamanya kapur barus—untuk diekspor ke luar negeri.

Menurut Gnillout Claude[20], Barus adalah sebuah kota kuno di pantai barat Propinsi Sumatera Utara yang terkenal di seluruh Asia, sejak lebih dari seribu tahun, berkat hasil hutannya. Selain itu, nama Barus juga muncul dalam sejarah peradaban Melayu dengan Hamzah Fansuri, penyair mistik terkenal yang baru-baru ini ditemukan kembali makamnya di Mekkah. Sementara itu, tim arkeolog dari Ecole Francaise D’extreme-Orient (EFEO) Perancis bekerjasama dengan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua-Barus, menemukan bahwa pada sekitar abad 9-12 Masehi, Barus telah menjadi sebuah perkampungan multi-etnis dari berbagai suku bangsa seperti Arab, Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu, dan sebagainya. Tim tersebut juga menemukan banyak benda-benda berkualitas tinggi yang usianya sudah ratusan dan bahkan ribuan tahun dan ini menandakan dahulu kala kehidupan di Barus itu sangatlah makmur.

Dan semua kemakmuran itu berkat aroma kapur barus yang diolah dari kayu kamfer. Hanya kini, komoditi yang begitu mempesona di masa silam itu, hingga konon juga dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5. 000 tahun sebelum Masehi itu, kini sudah lama tidak lagi diproduksi

Di komplek makam Syekh Machmud yang tertata rapi dan terletak di Bukit Papan Tinggi dan memang betul-betul tinggi sehingga harus melewati 710 anak tangga ini, menggantung sebuah tulisan, “Beri Salam dan Alas Kaki dibuka.” Seakan mengakhiri sebuah kisah perjalanan sebuah kota bandar di tepian pantai barat Sumatra yang berabad lalu menjadi sebuah perkampungan multi-etnis yang penuh guyub, sarat daya tarik bagi para pedagang di hampir seluruh penjuru bumi, juga menjadi pintu masuknya berbagai peradaban dan agama-agama besar di bumi Nusantara itu kini telah sepi.**



[1] Barus telah disebut oleh Ptolomeus kira kira tahun 150 Masehi. (Kozok, 1991, 14)

[2] W. J. van der Meulen, “Suvarnadvipa and the Chryse Chersonesos”, Indonesia, 18, October 1974, h. 1

[3] Encyclopdeia van Nederlandsch Indie

[4] Ada tiga jenis kapur barus pada saat itu yaitu: Kapur barus dari Kalimantan dan Sumatera (Dryobalanops aromatica), Kapur barus dari China dan Jepang (Cinnamomum Camphora) yang banyak beredar dipasaran dan yang ketiga adalah Blumea balsami- fera, yang diproduksi di China dengan nama kapur barus Ngai. Harga dari kapur barus asal Sumatera ini kira-kira 138 kali lebih mahal dari kapur barus China dan Jepang. (Hobson-Jobson, Glossary of Anglo-Indian Words and Phares)

[5]Travel of Marco Polo,” Buku 3 Bab 9 dan Buku 2 Bab 8 by Marco Polo dan Rustichello of Pisa

[6] Sumatra Benzoe, Disertasi P.H. Brans

[7] J. Innis Miller, The Spice Trade of the Roman Empire, Oxford University Press, London, 1969, terutama Bab “The Cinnamon Route”

[8] Verspreide Geschriften No VI, halaman 15

[9] Po-lu-chi atau Po-lu-suo terkadang sering keliru diterjemahkan dalam text China dengan Bo-si atau Persia. Barus ini juga sering disebut sebagai Bon-cu, Bian-shu atau Bin-cuo. (Roderich Ptak, Possible Chinese Reference to the Barus Area (Ming to Tang) in Claude Guillot (ed.) Histoire de Barus, Sumatera: Le Site de Lobu Tua I, Etudes et Documents, Paris, Cahier d’Archipel 30, 1998, pp. 119-138)

[10] Oliver W. Wolters, Early Indonesian Commerce, Cornell University Press, Ithaca, New York, 1967, terutama Bab 8

[11] Dari Desa Pansur sedikit di utara Barus

[12] Dari kata Kalasan, daerah penghasil kapur barus antara Kota Barus dan Sungai Chenendang

[13] Diterjemahkan oleh Paul Pelliot, “Deux Itineraires de Chine en Inde a la Fin du VIIIe Siecle”, BEFEO, 4, 1904, hal. 132-413

[14] Diterjemahkan oleh Friedrich Hirth dan W. W. Rockhill, Chau Ju-kua: His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries, entitled CHU-FAN-CHI, Imperial Academy of Sciences, St.Petersburg, 1911

[15] Lihat: F. Hirth dan W.W.Rockhill, hh. 114-124

[16] Berita ini tercantum dalam kronik Tung-tien buku 193 nomor 22b. Lihat: F.Hirth dan W.W.Rockhill, h. 119

[17] Paul Pelliot, h. 297. Lihat juga W. P. Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources, Bhratara, Jakarta, cetak ulang 1960, h. 14.

[18] Barus, G.J.J. Deutz, Tijdschr No. 22 tahun 1875

[19] A Tamil Merchant-guild in Sumatera oleh Prof. N. Sastri dalam Tijdschr No 72 tahun 1932

[20] “Lobu Tua Sejarah Barus”, Obor, 2002

Selasa, 16 September 2008

PERKEMBANGAN INTERNASIONAL DAN KEPENTINGAN NASIONAL INDONESIA
Edy Prasetyono

Perkembangan Global
Saat ini tidak ada negara yang mampu berdiri sendiri untuk memenuhi kepentingan nasional mereka. Dalam waktu yang sama tingkat kerapuhan yaitu tingkat sensitifitas terhadap perkembangan internasional makin tinggi akibat makin terbukanya sistem internasional di bidang komunikasi dan teknologi, arus manusia dan kapital. Di satu sisi hal ini membuka peluang bagi negara untuk melakukan kerjasama untuk mencapai kepentingan mereka. Keterkaitan kepentingan dan aktor dengan perkembangan internasional/global menyebabkan setiap konflik, terlebih konflik bersenjata, akan makin mahal harganya bagi setiap negara.
Tetapi perlu juga diperhatikan adanya perkembangan-perkembangan global yang negatif yaitu adanya kejahatan lintas nasional (transnational crimes) yang makin sulit di atasi, melemahnya batas nasional masing-masing negara, dan bahkan munculnya sentimen-sentimen komunalisme dan primordialisme akibat tekanan kekuatan globalisasi. Keamanan nasional menjadi lebih kompleks karena masalah-masalah politik dan ekonomi dalam negeri saat ini terkait dengan masalah-masalah transnasional security threats, misalnya drug trafficking, illlegal migration, money laundering, pemalsuan uang, illegal small arms transfer, penyebaran senjata pemusnah massal baik nuklir maupun kimia, dan terorisme internasional.
Semua transnational crimes tersebut telah memanfaatkan kekuatan-kekuatan yang membentuk globalisasi dengan mengeksploitasi kemajuan teknologi, kebebasan bergerak barang, jasa dan manusia, dan transaksi-transaksi internasional yang lain. Semua ini membuat mereka bisa mengembangkan kegiatan kejahatan internasional dan terorisme internasional. Perlu dikemukakan disini bahwa setiap tahun berlangsung pencucian uang sekitar AS$ 1 trilyun, dan 500 milyar dollar diantaranya berasal dari perdagangan obat terlarang. Biasanya kegiatan mereka menjadi satu dengan penyelundupan senjata yang tentu sangat memperngaruhi stabilitas dan keamanan nasional suatu negara.
Jadi secara umum, perkembangan global akan menjadi agenda semua bangsa di dunia dan bahkan menentukan kebijakan negara-negara tertentu, terutama Amerika Serikat dna negara-negara besar , yang sering menjadi sumber ketegangan antara negara-negara besar tersebut dengan negara-negara berkembang. Tampaknya sistem internasional yang akan terbentuk tidak lagi didasarkan atas konsep kedaulatan nasional yang sempit dan kaku, melainkan akan dibentuk oleh masalah –masalah transnasional baik bidang politik maupun ekonomi. Aktor-aktor yang terlibat didalma sistem intenasional tersebut akan juga makin bervariasi yang mencakup aktor negara (state actor) dan aktor bukan negara (non-state actor) dimana konflik yang mungkin muncul akan bersifat asimetri antara yang kuat dan lemah. Ada kecenderungan kuat bahwa konflik yang akan terjadi tidak hanya konflik antar negara (between states), melainkan konflik antar negara dengan non-state actor yang kemudian mempengaruhi hubungan antar negara. Di dalam konteks ini maka kejahatan internasional dan aksi-aksi terorisme akan menjadi isu dominan hubungan internasional.
Msalahnya adalah apakah dengan agenda-agenda baru internasional yang mencakup demokrasi, lingkungan hidup, kejahatan transnasional dan masalah terorisme internasional akan menjadikan sistem internasional akan makin didominasi oleh negara-negara besar? Apakah dengan munculnya isu-isu tersebut negara-negara besar akan menjadi lebih unilateral dalam hubungannya dengan negara-negara yang lebih kecil atau lemah?
Dalam kaitan ini Amerika Serikat menjadi sumber kekhawatiran. Segera setelah terjadinya serangan terhadap Pentagon dan Gedung WTC AS menunjukkan kebijakan yang unilateral dengan menempatkan ancaman terorisme sebagai agenda dan kepentingan bersama masyarakat internasional dalam pembentuk sistem internasional. Presiden Bush waktu itu menyatakan: “Every nation, in every region, now has a decision to make. Either you are with us , or you are with the terorist”.
Sikap unilateral AS telah menjadi sumber ketegangan baik dalam hubungan antar negara maupun dalam konteks politik domestik. Di dalam negeri, gerakan radikalisasi makin mendapat tempat. Terjadi saling kecurigaan antar negara. Semua ini menempatkan negara-negara di kawasan dalam pilihan-pilihan kebijakan dan tindakan yang lebih terbatas dan pragmatis dengan biaya ekonomi, sosial, dan politik yang besar.
Tetapi, sebenarnya ada kesadaran yang sangat kuat di kalangan para pembantu Bush bahwa tanpa kerjasama dengan negara-negara lain, kepentingan AS tidak mungkin akan terpenuhi. Meskipun retorika-retorika yang dipakai oleh Presiden Bush kelihatan sangat keras dan sepihak, tetapi para pembantunya
untuk kawasan Asia Pasifik memahami betul bahwa pendekatan sepihak/ unilateral tidak akan memecahkan masalah. Para pembantu Bush di Asia Pasifik adalah mereka yang sudah terlibat dalam upaya kerjasama keamanan yang bersifat multilateral. Mereka memahami bahwa untuk memerangi terorisme dan kejahatan internasional yang lain, perlu ada bantuan untuk pembangunan nasional di masing-masing negara, tidak hanya dibidang ekonomi, tapi juga di bidang politik dan kerjasama militer. Ini tentu sangat relevan dengan situasi di Indonesia dimana penanganan masalah-masalah dalam negeri akan sangat menentukan sistem politik dan ekonomi Indonesia yang sangat berpengaruh terhadap kestabilan di kawasan Asia Tenggara dan Asia Pasifik.
Perkembangan Regional
Perkembangan global di atas membawa implikasi regional di kawasan Asia Tenggara dan Asia Pasifik secara umum. Tetapi perlu juga di perhatikan bahwa di kawasan Asia Pasifik telah terdapat beberapa masalah keamanan dan politik yang mewarnai hubungan antar negara di kawasan ini yang berakar pada sejarah, sengketa perbatasan dan teritorial, dan kecurigaan satu sama lain. Beberapa implikasi adalah sebagai berikut:
1. Kehadiran Amerika Serikat msih merupakan faktor sangat penting bagi stabilits kawasan. Dalam kaitan AS menjalankan strategi dua pilar. Pilar pertama yaitu tetap mempertahankan hubungan-hubungan bilateral dengan para sekutu dan negara-negar sahabat melalui berbagai bentuk kerjasama militer. Pilar kedua adalah dengan ikut terlibat dalam proses kerjasama keamanan multilateral di kawasan.
2. Dalam kaitan dengan konfigurasi kekuatan di kawasan, faktor Cina menjadi pusat perhatian. Bangkitnya Cina sebagai kekuatan utama di Asia Pasifik adalah hal yang tidak bisa dihindarkan. Diperkirakan bahwa Cina akan menjadi kekuatan di dunia yang mampu menyaingi AS, paling tidak di kawasan Asia Tenggara dan Timur. Bangkitnya Cina akan menghadirkan tantangan dan sekaligus kesempatan. Pembangunan kekuatan militernya masih terus dilakukan dan kehadiran mereka di Laut Cina Selatan makin meningkat. Bahkan lebih signifikan, sejak bubarnya Uni Sovyet pada tahun 1991, Cina berusaha untuk membentuk sistem internasional yang bersifat multipolar untuk menghadapi pengaruh militer dan ekonomi AS sebagai satu-satunya negara adidaya. Ini bisa dilihat sebagai upaya Cina untuk membentuk hubungan kemitraan strategis dengan Rusia dalam untuk menghadapi kebijakan strategis AS misalnya perluasan NATO, National Missile Defence, dan isu Taiwan. Cina juga telah memperluas pengaruh strategisnya di kawasan Asia Tengah dengna membentuk apa yang disebut sebagai the Shanghai Cooperation
Organization. Tetapi, dalam waktu yang sama Cina mempunyai kepentingan stabilitas dan ekonomi untuk kepentingan nasional mereka. Dengan adanya pembangunan ekonomi dan hubungan dagang yang makin intensif dengan negara-negara lain, Cina justru membutuhkan lingkungan yang aman dan bersahabat dengan negara lain.
3. Faktor Jepang. Dewasa ini, meskipun sudah terjadi hubungan ekonomi yang intensif, masih ada juga kecurigaan di kawasan tentang kebangkitan militer Jepang. Ini kekhawatiran yang wajar karena faktor sejarah dan juga karena melihat kekuatan militer Jepang dan potensinya untuk berkembang lebih jauh karena dukungan kekuatan ekonomi dan kekuatan teknologinya. Saat ini, dengan melakukan interpretasi ulang terhadap konstitusi Jepang, dengan mengeluarkan UU Anti-Terorisme, Jepang bisa mengirim kekuatan militernya untuk melakukan operasi militer ke luar negeri, meskipun itu masih sebatas untuk membantu AS. Jepang bahkan siap terlibat dalam proyek TMD (Theatre Missile Defence) dengan AS untuk keamanan nuklir di kawasan Asia Timur atau Pasifik Barat.
4. Meskipun demikian, kekhawatiran terhadap Jepang tidak didasari oleh argumen yang komprehensif dan kuat. Bagaimanapun Jepang sangat menyadari bahwa 75% dari suplai energi ke Jepang untuk kepentingan industri Jepang juga melewati Asia Tenggara. Karena itu ia tidak akan mengorbankan hubungannnya dengna negara-negara di kawasan terutama Indonesia. Lagipula masih terdapat halangan politik sangat besar di Jepang untuk mengembangkan kebijakan yang bersifat militeris. Pasal 9 Konstitusi Jepang masih menimbulkan perdebatan apakah kekuatan militer yang sekarang ada sesuai atau bertentangan dengan konstitusi Jepang. Selain itu, anggaran militer Jepang tetap akan dibatasi pad tingkat kurang lebih 1 persen dari GNP, prinsip non-nuklir (tidak menyimpan, memproduksi, dan tidak menggunakan), dan kerjasama dengan AS. Jepang sekarang dan wilayah sekitarnya sangat berbeda dari tahun 1930-an.
5. Faktor India juga akan berpengaruh pada kestabilan kawasan. Kekuatan militer, terutama angkatan laut India maju dengan pesat dan bahkan kini mulai beroperasi di sekitar perairan Nicobar dan Andaman (di sebelah utara Aceh). Saat ini mereka sedang membangun dua gugus satuan kekuatan kapal induk, merencanakan membeli 150 SU-30 dan meng-upgrade TU-124, dan mengoperasikan 4 AWACs.
6. Austalia. Australia mempunyai kepentingan langsung atas kestabilan kawasan. Dalam berbagai dokumen kebijakan keamanan Australia
terlihat bagaimana kawasan Asia Tenggara dan Pasifik Selatan menjadi dasar pengembangan kemampuan militer Australia. Tetapi perlu dicatat bahwa dalam hubungan antara Indonesia dan Australia isu politik lebih sensitif daripada isu militer. Kedua pihak sering dengan mudah saling curiga dan terjadi mispersepsi yang mempengaruhi situasi pilitik domestik.
7. Hubungan antar negara ASEAN juga masih menyisakan masalah-masalah bilateral baik karena sejarah, teritorial, sumber-sumber alam, maupun karena isu-isu baru. Dipercaya bahwa masalah-masalah ini tidak akan menjadi konflik bersenjata. Tetapi akan tetap melahirkan beban politik dan kesalahpahaman yang menghambat kerjasama ASEAN. Dalam banyak hal, isu-isu transnasional, terutama terorisme, money laundering, dan penyelundupan senjata yang berkembang di Asia Tenggara adalah akibat ketidakmampuan ASEAN untuk bergerak daalam aksi yang kongkrit kerena perbedaan kepentingan akibat perubahan regional dan domestik di masing- masing negara anggota.
8. Harus juga diperhatikan bahwa untuk kawasan Asia Pasifik, konflik akan lebuh banyak berdimensi maritim. Penyelundupan manusia, penyebaran aksi terorisme, kejahatan internasional yang lain akan banyak memanfaatkan dimensi laut, terutama di negara-negara yang kemampuan patroli dan pengawasan wilayah lautnya sangat lemah seperti Indonesia. International Maritime Bureau misalnya menyatakan bahwa perairan Indonesia dan Selat Malaka merupakan wilayah laut yang paling rawan terhadap bajak laut; dari 285 kejadian bajak laut di seluruh dunia, 117 diantaranya terjadi di kawasan ini. Bahkan ada kaitan yang erat antara terorisme, separatisme, dan terorisme internasional dengan memanfaatkan atau mengeksploitasi jalur-jalur laut yang mampu dikontrol oleh Indonesia, sehingga mereka bisa bergerak dengan bebas untuk memasuki Indonesia.
9. Perkembangan-perkembangan baru akibat interaksi trans-nasional baik berupa kejahatan internasional, terorisme, perdagangan obat terlarang, dan penyelundupan senjata gelap, persaingan di kawasan, dan adanya isu-isu demokrasi membuat batas-batas nasional menjadi semakin kabur. Argumen tentang kemutlakan kedaulatan nasioan lambat laun didefinisi kembali. Kesalahan dalam menangani masalah atau konflik di dalam negeri akan dengan mudah menjadi bahan infiltrasi kekuatan eksternal yang justru banyak dalam bentuk non-state actors dengan jaringan internasional mereka.

Edy Prasetyono adalah Ketua Departemen Hubungan Internasional, Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta, Indonesia. Anggota Working Group on Security Sector Reform, ProPatria, dan Anggota Tim Strategic Defence Review, Departemen Pertahanan Republik Indonesia, 2003.

0 komentar: