Heritage Intelligence

Mendengar intelijen ingatan langsung tertuju kepada James Bond 007, CIA, KGB, dan Mossad. Institusi intelijen Negara yang bekerja dalam ketertutupan dan menyeramkan seperti kisah Victor Ostrovsky atau novel Body of Lies karya David Ignatius. Intelijen Benda Cagar Budaya (Heritage Intelligence) bukan merupakan pengenjawantahan dari Lembaga Intelijen Negara, melainkan pekerjaan penelitian dan pendokumentasian tentang keberadaan benda cagar budaya yang ada di Indonesia. Banyaknya peninggalan kekayaan artefak sejarah yang telah lenyap atau musnah, sehingga menciptakan kerugian besar hampir disetiap sektor baik dari Ilmu pengetahuan, sosial-budaya, ekonomi dan pertahanan keamanan Negara.
Ketidak berdayaan pembuktian kekayaan dan kerugian Negara tentang peninggalan sejarah, yang telah hilang maupun masih ada merupakan 'titik lemah' untuk dapat menjelaskan dan mempertanggung jawabkan kepada publik.
Sebagaimana contoh hancurnya bangunan di proklamasi, dimana potret nyata detik-detik bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Pertanyaan kerugian apa saja yang diciptakan dari kehancuran bangunan proklamasi tersebut? Ternyata ketika di 'bedah' anatominya sungguh membuat kepala cekot-cekot, dari sisi Ilmu pengetahuan bukti nyata keberadaan fisik bangunan sudah tidak ada. Di dalam ranah berbeda seperti contoh ketika pulau Sipadan dan Ligitan diakui oleh Mahkamah Internasional di Belanda, fisik bangunan yang terdapat dikedua pulau tersebut adalah milik Malaysia. Pada akhirnya secara de jure maupun de fakto pulau Sipadan dan Ligitan milik sah Malaysia.
Terperanjat bahwa eksistensi fisik bangunan bukan persoalan sederhana, cara pandang melihat fisik bangunan selama ini hanya dilihat dari 'kaca mata kuda' yang melulu diukur dari perspektif estetika dan ekonomis semata. Padahal sebuah bangunan diciptakan melampaui tapal batas estetika dan ekonomi, sebagaimana masyarakat Jawa membangun rumah Panggang pe Ceregancet mirip dengan jasad hidup yang tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan kehidupan penghuninya.

Database Benda Cagar Budaya

Film petualangan Indiana Jones, National Treasure, dan Da Vinci Code, membuat adrenalin penonton terpacu. Kecerdasan mengumpulkan serpihan informasi yang tercecer, sehingga teka-teki dapat terpecahkan dan disusun ulang. Sungguh sebuah inspirasi. Tersebar dan terseraknya artefak benda cagar budaya dari berbagai wujud, baik dari sisa-sisa peninggalan kerajaan Nusantara sampai peninggalan kolonial. Sampai saat ini masih dalam 'terawangan' sebagai analogi berjalan dikegelapan tanpa cahaya. Keberadaan UU.No.5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya dan UU.No.26 Tahun 2007 Tentang Tata Ruang masih dalam tahap konsepsional, belum memasuki 'ranah' operasional di dalam pelestarian benda cagar budaya. Inventarisasi pendokumentasiaan sebagai database keberadaan benda cagar budaya dari berbagai ragam bentuk, sampai saat ini masih belum dapat direalisasikan. Padahal database tersebut merupakan 'peta hidup' sebagai alat deteksi dini, perihal kelangsungan pelestarian benda cagar budaya di Indonesia. Karena bila terwujud pendokumentasian tersebut, publik dapat mengetahui dan menjaga pelestarian dari benda cagar budaya yang dilindungi oleh Negara. Fungsi database dapat memberikan suguhan informasi, berapa jumlah benda cagar budaya yang dimiliki seperti Gedung, Benteng, Rumah, Masjid, Gereja, Vihara, Pusaka dan lain sebagainya. Dengan adanya informasi keberadaan artefak sejarah ini, penghancuran dan pencurian dapat maksimal dihindari.
Pendokumentasian mempunyai peran ganda di satu sisi dapat menjadi alat kontrol, disisi lain merupakan alat sosialisasi dari Undang-Undang tentang Benda Cagar Budaya yang murah dan efektif kepada warga Negara.

Benda Cagar Budaya dan Keamanan Nasional

Perjuangan panjang Vasco da Gama (1497-1499) mencapai India melalui Tanjung Harapan telah berhasil gilang gemilang, dari keberhasilan ini maka terbuka lebar pintu masuk pelayaran bangsa Eropa ke Asia. Setelah Tanjung Harapan ditundukkan, kini giliran Melaka dikuasai Portugal (1511).
Di dalam kurun waktu 11 tahun tepatnya pada tahun 1522 ekspedisi Ferdinand Magellan dari Spanyol berhasil mencapai Maluku, selisih waktu 57 tahun (1522-1579) Francis Drake dari Inggris datang menyusul ke kewilayah 'surga rempah-rempah' Maluku. Berawal dari rempah-rempah nafsu serakah untuk menguasai dalam wajah kolonialisme tertancap di bumi Maluku, gesekan kepentingan untuk saling menguasai antara Portugal dan Spanyol di Maluku pada abad XVI tidak dapat terhindarkan. Maka keluar perjanjian Tordesillas (1494) dan menyusul perjanjian Saragossa (1527) antara Spanyol dan Portugal. Hal hasil dari perjanjian tersebut Portugal dapat menguasai Maluku.
Kilasan sejarah tersebut merupakan 'rekam jejak' kolonialisme pertama kali hadir di bumi jamrud khatulistiwa, taktik dan strategi kolonial di dalam melakukan infiltrasi sampai menuju invasi dapat ketahui. Fakta penjajahan dapat ditelusuri melalui artefak seperti Benteng Victoria (1605) yang dibangun Portugal di Maluku, berfungsi sebagai benteng pertahanan. Juga Benteng Oranje (1607) di Ternate yang dibangun oleh Cornelis Matelief de Jonge (Belanda). Benteng ini pernah dijadikan pusat pemerintahan tertinggi Hindia Belanda (Gubernur Jenderal) Pieter Both, Herald Reynst, Laurenz Reaal, dan Jan Pieterszoon Coen.
Dari Benteng pertahanan sampai rute perjalanan alur laut kolonial memasuki Nusantara, sebagaimana diketemukannya beberapa artefak kapal laut kolonial yang karam di dasar laut. Dan legitimasi Mahkamah Internasional tentang batas kedaulatan wilayah Negara Kesatuan republik Indonesia (NKRI), mengacu pada peninggalan tanah jajahan Belanda. Dengan demikian 'patok batas' secara fisik peninggalan Belanda, kedepan menjadi sesuatu yang vital di dalam pembuktian wilayah kedaulatan Negara.
Walaupun bukan konteks benda cagar budaya, tetapi masih dalam 'satu tarikan nafas' peristiwa dikuasainya Pulau Sipadan dan Ligitan oleh Malaysia, karena lemahnya bukti otentik di Mahkamah Internasional. Merupakan pertanda urgensinya fisik bangunan dalam wilayah hukum Internasional. Serta perluasan pembangunan fisik didaratan Singapura melalui 'pasir laut', hampir saja mencaplok kedaulatan Indonesia khususnya pulau Nipa dan pulau lainnya disekitar wilayah propinsi kepulauan Riau. Satu lagi peristiwa penghancuran taman didepan stasiun Beos kota, dimana wilayah itu merupakan 'ring satu' zona benda cagar budaya. Kepentingan bisnis lebih penting daripada keamanan. Pembangunan shelter busway dan terowongan untuk pedestrian mengakibatkan dampak buruk bagi bangunan tua disekitarnya. Tercatat sedikitnya empat bangunan tua yang langsung terkena dampak negative yang diakibatkan dewatering saat pembangunan terowongan tersebut, keseimbangan air tanah disekitar lokasi terganggu. Dan keempat bangunan tua mengalami penurunan pondasi, dan dampak negatif apa yang akan tercipta kedepan? Tidak ada yang dapat mengatahui dan diperlukan kajian mendalam. Sampai saat ini kejelasan tentang barang sitaan Negara dari hasil penangkapan eksplorasi kapal VOC yang karam secara illegal, berapa jumlah dan nilai harta karun tersebut dan disimpan dimana masih dalam misteri.
Saksi bisu benda cagar budaya ternyata faktual dapat 'berbunyi' dan berkata jujur tanpa ada rekayasa maupun kebohongan.

Intelijen Benda Cagar Budaya (Heritage Intelligence)

Cegah tangkal di dalam pelestarian benda cagar budaya sudah waktunya diperkuat, perhitungan secara matematis tentang kekayaan 'adi luhung' bangsa Indonesia belum dapat direalisasikan. Kemampuan IPTEK di dalam kalkulasi sumber daya alam (SDA) kekayaan laut sudah dapat dihandalkan di negri kepulauan ini, padahal dahulu sebelum teori tersebut ada masih merupakan sesuatu yang 'ghaib' diwilayah alam bawah sadar. Sosok manusia dapat terbang Gatot Kaca yang hanya ada dalam cerita pewayangan, tersentak bahwa cerita itu bukan mitos melainkan teknos dengan kemampuan di dalam rekayasa teknologi kapal terbang (Dirgantara Indonesia).
Eksistensi heritage intelligence di dalam melakukan penelitian dan pendokumentasian, serta dapat juga melakukan 'audit' benda cagar budaya, merupakan pemecah dari kebekuan dan kerapuhan mengatasi permasalahan benda cagar budaya. Generasi kedepan perlu diberikan 'menu' visualitas bukan virtualitas. Melalaui intelijen benda cagar budaya sesuatu yang absurd menjadi rasional, investigasi tapak tilas untuk dapat mengumpulkan kembali serpihan sejarah yang tercecer dan hilang. Seperti analogi menjahit pakaian yang sudah usang termakan jaman, memerlukan sentuhan ketekunan penjahit handal. Semoga.***

BAROUSAI, BARUS, ATAU FANSUR: KISAH CEMERLANG DARI BERIBU TAHUN SILAM

BAROUSAI, BARUS, ATAU FANSUR:

KISAH CEMERLANG DARI BERIBU TAHUN SILAM

Kota bandar di tepian pantai barat Sumatra yang berabad lalu menjadi sebuah perkampungan multi-etnis yang penuh guyub, sarat daya tarik bagi para pedagang di hampir seluruh penjuru bumi, juga menjadi pintu masuknya berbagai peradaban dan agama-agama besar di bumi Nusantara itu kini telah sepi.

BARUS saat ini hanya sebuah ibukota Kecamatan, di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatra Utara. Posisinya berada di pinggir pantai barat Sumatera, sekitar 60 km sebelah utara Sibolga, atau sekitar 414 km dari Medan. Tidak ada yang istimewa. Begitu juga dengan Desa Lobutua, sekitar 4 km ke arah barat dari Barus. Juga layaknya sebuah desa, sepi. Meskipun sesekali para peziarah datang silih-berganti, menapaki sejarah sebuah kota banda yang jauh di awal abad masehi pernah begitu cemerlang dan menggemparkan sekujur bumi.

Dan boleh jadi, Barus adalah satu-satunya kota yang tercatat di dalam buku yang terbit di awal masehi, sehingga menempatkannya sebagai kota tertua di bumi Nusantara. Adalah Claudius Ptolomaios[1], seorang geograf Yunani yang dalam bukunya dari abad ke dua Masehi, Geographike Hyphegesis menuliskan nama negeri Barousai di Chryse Chora (Pulau Emas) yang antara lain oleh van der Meulen disimpulkan sebagai Sumatra[2].

Tapi apa gerangan yang menjadikan kota bandar ini begitu mempesona orang Yunani, China, India, dan bahkan juga para Pharao di Mesir kuno?

Jawabnya tak lain adalah kapur barus (bhs Belanda: kamfer, dan mungkin dari kata kapur yang diucapkan kofur oleh bangsa Arab).[3] Konon, kapur barus asal kota barus inilah yang paling banyak dicari karena kualitasnya yang terbaik, paling laku dan harganya kurang lebih 8 kali lebih mahal daripada kapur-kapur barus asal tempat lain[4]. Dalam catatan pelancong Italia, Marco Polo bahkan disebutkan bahwa, harga kapur barus kala itu setara dengan harga emas dengan berat yang sama[5].

Seorang Belanda pernah menulis bahwa kemenyan dari Barus, telah dipakai sebagai salah satu bahan mengawetkan (membalsem) mayat raja-raja di Mesir sebelum Masehi[6]. Jika dugaan ini benar, maka berarti kota bandar Barus ini sudah ada sejak 5.000 tahun SM. Perkiraan akhir itu, didasarkan pada temuan bahan pengawet dari berbagai mummy Fir'aun Mesir Kuno salah satu pengawetnya menggunakan kanper atau kapur Barus. Sejarawan era kemerdekaan Moh. Yamin, bahkan memperkirakan bahwa, perdagangan rempah-rempah dan tentu saja kamfer, sudah dilakukan pedagang Nusantara sejak 6.000 tahun lalu ke berbagai penjuru dunia.

Hasil penelitian Innis Miller terhadap naskah Historia Naturalis karya Plinius di abad pertama juga sudah menunjukkan bahwa, para pedagang Nusantara pun ternyata sudah menjajakan komoditas mereka sampai ke Asia Barat dan Afrika Timur sejak abad permulaan Masehi[7]. Sementara Prof. Kern[8] pernah menulis bahwa Kota “P’o-lu-chi” yang dimaksud I Tsing di abad ke-7, tidak lain dari Barus[9]. Seorang penyair Arab sebelum Islam, Amru al-Qais (meninggal tahun 530 Masehi), sangat memuji keharuman kafur dalam syair-syairnya[10].

Begitu pentingnya kota Barus ini—mungkin bisa disamakan dengan Paris pada abad modern yang terkenal dengan inovasi parfumnya—maka sejak zaman dulu dalam dunia dagang telah dikenal nama-nama Baros, Balus, Pansur, Fansur, Pansuri[11], Kalasaputra[12], Karpura-dwipa, Barusai, Waru-saka dan lain-lain.

Dan tentu, seperti kata pepatah, ada gula ada semut. Pesona kapur barus dari selatan ini menggoda banyak pendatang. Sebagaimana dicatatan Ptolomaios, selain para penjelajah dari Yunani, juga datang pedagang dari Venesia, India, Arab dan Tiongkok. Selain itu, sekelompok penyebar ajaran Kristen Sekte Nestorian dari Konstantinopel, pusat Kerajaan Byzantium Timur, juga menjejakkan kakinya di Barus. Kelompok itu diperkirakan datang sekira tahun 600 M dan mendirikan gereja pertama di Desa Pancuran, Barus.

Dewan Gereja-gereja di Indonesia juga memercayai sejak tahun 645 Masehi di daerah Barus telah masuk umat Kristen dari sekte Nestorian. Keyakinan tersebut didasarkan pada buku kuno tulisan Shaikh Abu Salih al-Armini. Sementara itu, penjelajah dari Armenia Mabousahl mencatat bahwa pada abad ke-12 telah terdapat Gereja Nestorian.

Lalu datanglah para pedagang Arab memasuki Barus sekira 627-643 M atau sekitar tahun 1 Hijriah, dan menyebarkan agama Islam di daerah itu. Di antaranya Wahab bin Qabishah mendarat di Pulau Mursala pada 627 M. Ada juga utusan Khulafaur Rasyidin, bernama Syekh Ismail akan ke Samudera Pasai dan singgah di Barus, sekira tahun 634 M. Dan sejak itu pula, tercatat bangsa Arab (Islam) mendirikan koloni di Barus. Bangsa Arab menamakan Barus dengan sebutan Fansur atau Fansuri, misalnya oleh penulis Sulaiman pada 851 M dalam bukunya "Silsilatus Tawarikh."

Kedatangan bangsa Arab yang kemudian menyebarkan agama Islam itu juga disebutkan dalam berita-berita Cina, Hsin-Tang-shu[13] (Catatan Dinasti Tang, 618-907), dan Chu-fan-chi[14] (Catatan Negeri-negeri Asing) yang ditulis Chau Ju-kua pada tahun 1225. Di dalam dua kronik Cina itu banyak bercerita tentang Ta-shi, istilah Cina untuk menyebut Arab. (Chu-fan-chi menerangkan bahwa Ta-shi mempunyai seorang Buddha (maksudnya Nabi) yang bernama Ma-ha-mat (Muhammad). Dalam sehari mereka lima kali sembahyang, dan setiap tahun berpuasa selama sebulan penuh. Dinasti Ta-shi ada dua macam, yaitu white-robed Ta-shi (Arab berjubah putih) atau Pon-ni-mo-huan (Bani Marwan, atau Bani Umayyah), serta black-robed Ta-shi (Arab berjubah hitam) yang didirikan raja A-po-lo-pa (Abul-Abbas)[15]. Pada tahun 651 Masehi, raja Ta-shi (Arab) bernama Han-mi-mo-mi-ni mengirimkan utusan ke istana Cina[16]. Hampir dapat dipastikan bahwa nama Han-mi-mo-mi-ni dalam ucapan Cina ini adalah untuk Amir al-Mu’minin, gelar resmi para khalifah Islam, dan “raja Ta-shi” yang mengirimkan utusan itu adalah Khalifah `Utsman ibn Affan yang memerintah dari tahun 644 sampai 656. Hsin-Tang-shu mencatat bahwa pada tahun 674 terdapat pemukiman pedagang Ta-shi (Arab) di Po-lu-shih, daerah pantai barat Sumatera.[17]

Tentu, dapat dibayangkan betapa makmurnya kota Barus pada awal abad masehi ini, dengan penduduk yang sebagian besar terdiri atas kaum pedagang. Pertanyaannya kemudian, siapakah yang menggerakkan semua perdagangan hingga jauh ke negeri seberang itu?

Seorang bekas kontrolir Belanda, G.J.J. Deutz, sewaktu bertugas di Barus,[18] menulis bahwa menurut rakyat setempat di Desa Lobutua pernah didapat penduduk sebuah batu bertulis pada dua bagian. Tetapi sayang, batu itu pada tahun 1857 dipecahkan oleh Raja Barus bernama Mara Pangkat. Pada tahun 1872 Deutz banyak menemukan pecahan batu peninggalan zaman Hindu yang telah dilupakan orang, telah berlumut. Dan baru pada tahun 1932, prasasti itu diterjemahkan Profesor Nila-kanti Sastri dari Universitas Madras.[19]

Prasasti itu menyebutkan bahwa paling sedikit sejak abad ke-11, telah bermukim di kota Barus sebuah koloni bangsa Tamil. Menurut batu Lobutua itu, mereka tergabung dalam sebuah perusahaan bernama “kelompok 500″ yang tidak asing lagi bagi orang-orang India waktu itu. Perusahaan swasta yang mereka wakili, merupakan perusahaan dagang cukup kuat, merdeka dalam tindakan dan tidak gampang tunduk pada salah satu raja yang berkuasa di sekitar Barus. Mereka yang berdiam di Barus inilah yang membeli beberapa hasil dari rakyat—utamanya kapur barus—untuk diekspor ke luar negeri.

Menurut Gnillout Claude[20], Barus adalah sebuah kota kuno di pantai barat Propinsi Sumatera Utara yang terkenal di seluruh Asia, sejak lebih dari seribu tahun, berkat hasil hutannya. Selain itu, nama Barus juga muncul dalam sejarah peradaban Melayu dengan Hamzah Fansuri, penyair mistik terkenal yang baru-baru ini ditemukan kembali makamnya di Mekkah. Sementara itu, tim arkeolog dari Ecole Francaise D’extreme-Orient (EFEO) Perancis bekerjasama dengan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua-Barus, menemukan bahwa pada sekitar abad 9-12 Masehi, Barus telah menjadi sebuah perkampungan multi-etnis dari berbagai suku bangsa seperti Arab, Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu, dan sebagainya. Tim tersebut juga menemukan banyak benda-benda berkualitas tinggi yang usianya sudah ratusan dan bahkan ribuan tahun dan ini menandakan dahulu kala kehidupan di Barus itu sangatlah makmur.

Dan semua kemakmuran itu berkat aroma kapur barus yang diolah dari kayu kamfer. Hanya kini, komoditi yang begitu mempesona di masa silam itu, hingga konon juga dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5. 000 tahun sebelum Masehi itu, kini sudah lama tidak lagi diproduksi

Di komplek makam Syekh Machmud yang tertata rapi dan terletak di Bukit Papan Tinggi dan memang betul-betul tinggi sehingga harus melewati 710 anak tangga ini, menggantung sebuah tulisan, “Beri Salam dan Alas Kaki dibuka.” Seakan mengakhiri sebuah kisah perjalanan sebuah kota bandar di tepian pantai barat Sumatra yang berabad lalu menjadi sebuah perkampungan multi-etnis yang penuh guyub, sarat daya tarik bagi para pedagang di hampir seluruh penjuru bumi, juga menjadi pintu masuknya berbagai peradaban dan agama-agama besar di bumi Nusantara itu kini telah sepi.**



[1] Barus telah disebut oleh Ptolomeus kira kira tahun 150 Masehi. (Kozok, 1991, 14)

[2] W. J. van der Meulen, “Suvarnadvipa and the Chryse Chersonesos”, Indonesia, 18, October 1974, h. 1

[3] Encyclopdeia van Nederlandsch Indie

[4] Ada tiga jenis kapur barus pada saat itu yaitu: Kapur barus dari Kalimantan dan Sumatera (Dryobalanops aromatica), Kapur barus dari China dan Jepang (Cinnamomum Camphora) yang banyak beredar dipasaran dan yang ketiga adalah Blumea balsami- fera, yang diproduksi di China dengan nama kapur barus Ngai. Harga dari kapur barus asal Sumatera ini kira-kira 138 kali lebih mahal dari kapur barus China dan Jepang. (Hobson-Jobson, Glossary of Anglo-Indian Words and Phares)

[5]Travel of Marco Polo,” Buku 3 Bab 9 dan Buku 2 Bab 8 by Marco Polo dan Rustichello of Pisa

[6] Sumatra Benzoe, Disertasi P.H. Brans

[7] J. Innis Miller, The Spice Trade of the Roman Empire, Oxford University Press, London, 1969, terutama Bab “The Cinnamon Route”

[8] Verspreide Geschriften No VI, halaman 15

[9] Po-lu-chi atau Po-lu-suo terkadang sering keliru diterjemahkan dalam text China dengan Bo-si atau Persia. Barus ini juga sering disebut sebagai Bon-cu, Bian-shu atau Bin-cuo. (Roderich Ptak, Possible Chinese Reference to the Barus Area (Ming to Tang) in Claude Guillot (ed.) Histoire de Barus, Sumatera: Le Site de Lobu Tua I, Etudes et Documents, Paris, Cahier d’Archipel 30, 1998, pp. 119-138)

[10] Oliver W. Wolters, Early Indonesian Commerce, Cornell University Press, Ithaca, New York, 1967, terutama Bab 8

[11] Dari Desa Pansur sedikit di utara Barus

[12] Dari kata Kalasan, daerah penghasil kapur barus antara Kota Barus dan Sungai Chenendang

[13] Diterjemahkan oleh Paul Pelliot, “Deux Itineraires de Chine en Inde a la Fin du VIIIe Siecle”, BEFEO, 4, 1904, hal. 132-413

[14] Diterjemahkan oleh Friedrich Hirth dan W. W. Rockhill, Chau Ju-kua: His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries, entitled CHU-FAN-CHI, Imperial Academy of Sciences, St.Petersburg, 1911

[15] Lihat: F. Hirth dan W.W.Rockhill, hh. 114-124

[16] Berita ini tercantum dalam kronik Tung-tien buku 193 nomor 22b. Lihat: F.Hirth dan W.W.Rockhill, h. 119

[17] Paul Pelliot, h. 297. Lihat juga W. P. Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources, Bhratara, Jakarta, cetak ulang 1960, h. 14.

[18] Barus, G.J.J. Deutz, Tijdschr No. 22 tahun 1875

[19] A Tamil Merchant-guild in Sumatera oleh Prof. N. Sastri dalam Tijdschr No 72 tahun 1932

[20] “Lobu Tua Sejarah Barus”, Obor, 2002

Selasa, 16 September 2008

MEMANFAATKAN KEBERADAAN ALKI GUNA MENCEGAH DISINTEGRASI BANGSA
Laksamana Pertama TNI A.Y. Jimmy Masykur (Situs TNI AL)

1. PENDAHULUAN
1. Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention on the Law of the sea 1982 (UNCLOS 82) elalui Undang-Undang N0. 17 tahun 1985. Sebagai konsekuensinya Indonesia harus tunduk dan terikat pada hak dan kewajiban yang ada dalam pasal-pasal pada konvensi tersebut. Salah satu hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Negara Kepulauan adalah menetapkan Alur Laut Kepulauan seperti tertuang dalam pasal 53 UNCLOS 82. Untuk mengantisipasi hal tersebut, TNI AL melalui Forum Strategi TNI AL tahun 1991 di Seskoal telah menyusun konsep awal 3 (tiga) Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) Utara-Selatan. Pada tingkat nasional, pembahasan penetapan rencana ALKI dilaksanakan melalui Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Inter departemen yang berlangsung pada tanggal 17-19 Januari 1995. Rakernas ini menghasilkan konsep yang sama dengan hasil Forum Strategi TNI AL 1991 di Seskoal, yaitu ALKI-I, ALKI-II, ALKI-III dengan 3 (tiga) cabang titik selatan IIIA, IIIB dan IIIC dengan tambahan usulan 19 peraturan.

2. Ketiga ALKI tersebut setelah mempertimbangkan berbagai kepentingan sektoral yang terkait, antara lain kepentingan pertahanan keamanan (darat, laut dan udara), keadaan hidrooseanografi, masalah lingkungan laut dan kawasan konservasi laut, kegiatan-kegiatan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam terutama minyak dan gas, kegiatan-kegiatan penangkapan ikan, kepentingan dan keselamatan pelayaran dan penerbangan nasionalnya serta keberadaan kabel-kabel dan pipa-pipa bawah laut. ALKI tidak berbentuk koridor, tetapi yang ditetapkan hanyalah titik-titik dari axisnya dan kapal-kapal yang lewat dapat berlayar 25 NM ke kiri dan 25 NM ke kanan dengan ketentuan tidak boleh dekat ke pantai pulau-pulau Indonesia lebih dari 10% dari jarak antar pulau-pulau tersebut. ALKI terbuka bagi semua kapal yang akan melintasi perairan Indonesia secara cepat dan terus menerus berdasarkan UNCLOS 82. Kapal-kapal perang, kapal-kapal yang membawa barang-barang yang berbahaya serta kapal-kapal penangkap ikan asing yang melintasi perairan Indonesia untuk keperluan transit dari suatu bagian ZEE atau laut bebas/lepas ke bagian ZEE atau laut bebas/lepas melalui ALKI. Pada akhirnya melalui sidang MSC 69 IMO tanggal 11-20 Mei 1998 secara internasional ketiga ALKI tersebut disetujui dan diakui berlaku secara positif.

3. Pada kenyataannya sering timbul berbagai pelanggaran/kasus keamanan di sepanjang ALKI. Pelanggaran/kasus tersebut dapat berupa gangguan terhadap kapal-kapal pengguna ALKI yang mengalami perompakan atau bahaya navigasi. Selama empat tahun terakhir, menurut data dari Biro Maritim Internasional (IMB) menunjukkan bahwa perompakan paling sering terjadi di perairan Indonesia. Kasus yang lain juga dapat berupa terjadinya pelanggaran peraturan dan Undang-undang oleh kapal-kapal pengguna ALKI selama berlayar melintasi ALKI seperti pengambilan sumber daya alam dan kekayaan alam secara ilegal, riset dan survei ilegal, penyelundupan barang komoditas dan imigrasi gelap. Apabila hal ini dibiarkan akan berdampak terhadap tidak terkendalinya ALKI dengan kehadiran kapal-kapal asing (kapal perang, kapal survei, kapal penangkap ikan, kapal lain yang bertujuan mengeksplorasi hasil sumber kekayaan alam) yang pada akhirnya mengganggu Integritas Nasional.

4. UU No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah mulai diberlakukan pada Januari 2000 terutama pasal-pasal yang tidak memerlukan Peraturan Pemerintah. UU ini merupakan lokomotif bagi UU lain pada era reformasi menuju paradigma baru pembangunan nasional yang berbasis kepada kemampuan daerah. UU lain yang bersifat sentralistik harus segera menyesuaikan. Implikasi dari UU ini yang berkaitan dengan peran Aparat Keamanan di daerah adalah : Pasal 3 dan 10 UU No. 22 tahun 1999 mengatur kewenangan daerah di wilayah laut, karena 12 mil dari garis pantai merupakan kewenangan Propinsi dan sepertiga merupakan kewenangan Kabupaten/Kota. Hal ini perlu diwaspadai apabila tidak dicermati langsung juga akan mengganggu Integritas Nasional.
2. BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 37 TAHUN 2002 TANGGAL 28 JUNI 2002, TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL DAN PESAWAT UDARA ASING DALAM MELAKSANAKAN HAK LINTAS ALUR LAUT KEPULAUAN MELALUI ALUR LAUT KEPULAUAN YANG DITETAPKAN, PADA BAB II MENYATAKAN SEBAGAI BERIKUT :
1. Pasal 2.

Kapal dan pesawat udara asing dapat melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan, untuk pelayaran atau penerbangan dari satu bagian laut bebas atau zona ekonomi eksklusif ke bagian lain laut bebas atau zona eksklusif melintasi laut teritorial dan perairan kepulauan Indonesia.
2. Pasal 3.
1. Pelaksanaan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan melalui alur laut atau melalui udara di atas alur laut yang ditetapkan sebagai alur laut kepulauan yang dapat digunakan untuk pelaksanaan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan tersebut sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 11.
2. Pelaksanaan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini di bagian-bagian lain Perairan Indonesia dapat dilaksanakan setelah di bagian-bagian lain tersebut ditetapkan alur laut kepulauan yang dapat digunakan untuk pelaksanaan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan tersebut.
3. Pasal 4.
1. Kapal dan pesawat udara asing yang melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan harus melintas secepatnya melalui atau terbang di atas alur laut kepulauan dengan cara normal, semata-mata untuk melakukan transit yang terus menerus, langsung, cepat, dan tidak terhalang.
2. Kapal atau pesawat udara asing yang melaksanakan lintas alur laut kepulauan, selama melintas tidak boleh menyimpang lebih dari 25 (dua puluh lima) mil laut ke kedua sisi dari garis sumbu alur laut kepulauan, dengan ketentuan bahwa kapal dan pesawat udara tersebut tidak boleh berlayar atau terbang dekat ke pantai kurang dari 10 % (sepuluh per seratus) jarak antara titik-titik yang terdekat pada pulau-pulau yang berbatasan dengan alur laut kepulauan tersebut.
3. Kapal dan pesawat udara asing sewaktu melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan tidak boleh melakukan ancaman atau menggunakan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, atau kemerdekaan politik Republik Indonesia, atau dengan cara lain apapun yang melanggar asas-asas Hukum Internasional yang terdapat dalam Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa.
4. Kapal perang dan pesawat udara militer asing, sewaktu melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan, tidak boleh melakukan latihan perang-perangan atau latihan menggunakan senjata macam apapun dengan mempergunakan amunisi.
5. Kecuali dalam keadaan ”force majeure” atau dalam hal musibah, pesawat udara yang melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan tidak boleh melakukan pendaratan di wilayah Indonesia.
6. Semua kapal asing sewaktu melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan tidak boleh berhenti atau berlabuh jangkar atau mondar-mandir, kecuali dalam hal ”force majeure” atau dalam hal keadaan musibah atau memberikan pertolongan kepada orang atau kapal yang sedang dalam keadaan musibah.
7. Kapal atau pesawat udara asing yang melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan tidak boleh melakukan siaran gelap atau melakukan gangguan terhadap sistem telekomunikasi dan tidak boleh melakukan komunikasi langsung dengan orang atau kelompok orang yang tidak berwenang dalam wilayah Indonesia.
4. Pasal 5.

Kapal atau pesawat udara asing, termasuk kapal atau pesawat udara riset atau survey hidrografi, sewaktu melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan, tidak boleh melakukan kegiatan riset kelautan atau survey hidrografi, baik dengan mempergunakan peralatan deteksi maupun peralatan pengambil contoh, kecuali telah memperoleh ijin untuk hal itu.
5. Pasal 6.
1. Kapal asing, termasuk kapal penangkap ikan, sewaktu melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan, tidak boleh melakukan kegiatan perikanan.
2. Kapal penangkap ikan asing, sewaktu melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan, selain memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat 1), juga wajib menyimpan peralatan penangkap ikannya ke dalam palka.
3. Kapal dan pesawat udara asing, sewaktu melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan tidak boleh menaikkan ke atas kapal atau menurunkan dari kapal orang, barang atau mata uang dengan cara yang bertentangan dengan perundang-undangan kepabeanan, keimigrasian, fiskal, dan kesehatan, kecuali dalam keadaan ”force majeure” atau dalam keadaan musibah.
6. Pasal 7.
1. Kapal asing sewaktu melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan wajib menaati peraturan, prosedur, dan praktek internasional mengenai keselamatan pelayaran yang diterima secara umum, termasuk peraturan tentang pencegahan tabrakan kapal di laut.
2. Kapal asing sewaktu melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan dalam suatu alur laut, sebagaimana telah ditetapkan suatu Skema Pemisah Lintas untuk pengaturan keselamatan pelayaran, wajib menaati pengaturan Skema Pemisah Lintas tersebut.
3. Kapal asing sewaktu melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan tidak boleh menimbulkan gangguan atau kerusakan pada sarana atau fasilitas navigasi serta kabel-kabel dan pipa-pipa bawah air.
4. Kapal asing sewaktu melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan dalam suatu alur laut kepulauan, karena terdapat instalasi-instalasi untuk eksplorasi atau eksploitasi sumber daya alam hayati atau non hayati, tidak boleh berlayar terlalu dekat dengan zona terlarang yang lebarnya 500 (lima ratus) meter yang ditetapkan di sekeliling instalasi tersebut.
7. Pasal 8.
1. Pesawat udara sipil asing yang melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan harus :
1. Menaati peraturan udara yang ditetapkan oleh Organisasi Penerbangan Sipil Internasional mengenai keselamatan penerbangan.
2. Setiap waktu memonitor frekuensi radio yang ditunjuk oleh otorita pengawas lalu lintas udara yang berwenang yang ditetapkan secara internasional atau frekuensi radio darurat internasional yang sesuai.
2. Pesawat udara negara asing yang melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan harus :
1. Menghormati peraturan udara mengenai keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1) huruf (a) ;
2. Memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat 1) huruf (b).
8. Pasal 9.
1. Kapal asing yang melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan dilarang membuang minyak, limbah minyak, dan bahan-bahan perusak lainnya ke dalam lingkungan laut, dan untuk melakukan kegiatan yang bertentangan dengan peraturan dan standar internasional untuk mencegah, mengurangi, dan mengendalikan pencemaran laut yang berasal dari kapal.
2. Kapal asing yang melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan dilarang melakukan dumping di Perairan Indonesia.
3. Kapal asing bertenaga nuklir, atau mengangkut bahan nuklir, atau barang atau bahan lain yang karena sifatnya berbahaya atau beracun yang melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan, harus membawa dokumen dan mematuhi tindakan pencegahan khusus yang ditetapkan oleh Perjanjian Internasional bagi kapal-kapal yang demikian.
9. Pasal 10.
1. Orang atau badan hukum yang bertanggung jawab atas pengoperasian atau muatan kapal atau pesawat udara niaga asing atau kapal atau pesawat udara pemerintah asing yang digunakan untuk tujuan niaga wajib bertanggung jawab atas kerugian atau kerusakan yang diderita oleh Indonesia sebagai akibat tidak ditaatinya ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9 sewaktu melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan melalui Perairan Indonesia.
2. Negara bendara kapal atau negara pendaftaran pesawat udara memikul tanggung jawab internasional untuk setiap kerugian atau kerusakan yang diderita oleh Indonesia sebagai akibat tidak ditaatinya ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9 oleh suatu kapal perang atau pesawat udara negara asing, sewaktu melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan melalui Perairan Indonesia.
3. KEBIJAKSANAAN OTONOMI DAERAH
1. Pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan atas UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, sebagai pengganti UU No.5 Tahun 1974 dan UU No.5 Tahun 1979. Hal-hal yang mendasar dalam undang-undang ini adalah mendorong untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peranserta masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

2. Kewenangan Daerah sesuai pasal 7 dan 10 UU No. 22 Tahun 1999 mencakup antara lain :
1. Kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal dan agama. Dengan demikian, kependudukan di daerah yang menjadi salah satu urusan bidang pemerintahan menjadi kewenangan daerah dalam hal ini Daerah Kabupaten/Kota. Urusan kependudukan antara lain berupa pengendalian pertumbuhan, mobilitas maupun kualitas dan penyiapan ruang untuk menampung masyarakat dengan kegiatan produktivitasnya sesuai amanat GBHN agar tercipta pemanfaatan dan penggunaan tanah secara adil, transparan dan produktif dengan mengutamakan hak-hak rakyat setempat.
2. Kewenangan mengelola sumber daya nasional, berarti meliputi sumber daya alam, sumber daya buatan dan sumber daya manusia yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan. Ini berarti, daerah berwenang mengatur, mengupayakan dan menciptakan suatu kondisi yang memungkinkan penduduk mampu berkembang mengembangkan peran dan fungsinya secara mandiri. Hal ini sesuai dengan misi GBHN 1999 sebagaimana ditetapkan bahwa pemberdayaan masyarakat dan seluruh kekuatan ekonomi nasional dengan mengembangkan sistim ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan, berbasis sumber daya alam dan sumber manusia yang produktif, mandiri, maju, berdaya saing, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. GBHN juga menggariskan pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam secara selektif dan pemeliharaan lingkungan hidup, sehingga kualitas ekosistem tetap terjaga, dengan memperhatikan kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal serta penataan ruang.
3. Kewenangan di laut meliputi eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut, pengaturan kepentingan administratif, tata ruang dan penegakan hukum sebatas wilayah daerah di laut.
3. Melalui kewenangan otonomi ini, dapat diharapkan bahwa pelayanan pemerintah kepada masyarakat akan lebih baik kualitasnya. Upaya pemberdayaan masyarakat dan sumber daya alam bisa lebih efisien dan efektif berdasarkan asumsi bahwa pemerintah daerah lebih tahu akan potensi yang dapat dikembangkan dari masyarakatnya, dan lebih paham tentang aspek sosial budaya untuk menunjang pembangunan. Apabila pemerintahan di daerah benar-benar mampu untuk menyerap aspirasi masyarakat, maka dapat diharapkan perumusan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dapat membuat masyarakat lebih mandiri dari waktu ke waktu. Dengan pemberian kewenangan dan keleluasaan yang cukup kepada daerah untuk mengemban tugas-tugas pembangunan, maka sasaran-sasaran pembangunan diharapkan akan semakin tepat untuk kesejahteraan rakyat, karena pemerintah daerah lebih tahu tentang pembangunan macam apa yang paling mungkin dikembangkan untuk memacu kemajuan masyarakat daerahnya.
4. Khusus untuk Propinsi atau Kabupaten Kepulauan, masih ditemukan persoalan kewenangan pengelolaan atas pulau-pulau kecil yang berada lebih jauh dari 24 mil dari pantai pulau utama propinsi atau 4 mil dari pantai pulau utama kabupaten. Dalam UU No. 22 Tahun 1999, tidak tersurat yang dimaksudkan dengan garis pantai tersebut. Seyogyanya, kewenangan wilayah propinsi adalah sejauh 12 mil diukur dari titik luar kepulauan atau pulau terluar yang berada dalam wilayah propinsi sesuai UU. Demikian halnya dengan kewenangan kabupaten, sejauh 4 mil diukur dari titik terluar kepulauan atau pulau terluar yang berada dalam wilayah kabupaten sesuai UU.
4. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI
1. Pelanggaran aturan ALKI
1. Belum banyak negara pengguna ALKI meratifikasi UNCLOS’82 menaati aturan ALKI.
2. Masih adanya kegiatan kapal perang asing dan kapal terbang asing yang melakukan kegiatan latihan perang.
3. Adanya penafsiran yang berbeda terhadap istilah ”Normal Mode” yaitu tetap menyelam bagi kapal selam atau mengoperasikan pesawat terbang bagi kapal induk (sayap tetap atau sayap putar).
4. Belum semua kapal bermuatan nuklir atau berpendorong dengan bahan bakar nuklir yang melintas ALKI melaporkan kepada Pemerintah Republik Indonesia.
5. Masih banyak kapal ikan asing yang melintas ALKI atau bahkan menyimpang sambil menangkap ikan.
6. Terdapat pula kapal yang lego jangkar di ALKI padahal telah digambarkan di peta, bahwa dilokasi terdapat kabel laut.
7. Ada pula yang mencemari lingkungan yang membuang polusi di ALKI sambil berlayar, (mencuci tangki, membuang B3, sampah-sampah kapal).
8. Memanfaatkan ALKI untuk ”illegal entry”, penyeludupan barang, senjata dan amunisi serta barang elektronik lainnya.
9. Melakukan kegiatan survei dan pemetaan liar.
10. Membuat ALKI lain di luar 3 ALKI yang tersedia.
2. Akibat berlakunya UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah :
1. Pada awal berlakunya UU Otda ini pada tahun 1999 masyarakat di Pulau Masalembo (Propinsi Jatim) menyandera kapal-kapal ikan asal Tegal (Propinsi Jateng) dengan alasan menangkap ikan di luar wilayahnya. Apabila akan mengambil kembali kapal ikannya, diwajibkan menyetor sejumlah dana sebagai kompensasi karena hasil lautnya dijarah oleh nelayan dari wilayah lain.
2. Sengketa wilayah Kepulauan Seribu masih ramai dibicarakan hingga kini. Sengketa itu didorong oleh adanya Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 1999 tentang perubahan status Kecamatan Kepulauan Seribu. Padahal sebelumnya pemerintah telah mengeluarkan UU Nomor 22 Tahun 1999 tetang Otonomi Daerah, yang salah satu isinya menetapkan batas wilayah laut suatu propinsi sejauh 12 mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas atau ke arah perairan kepulauan. Ini artinya sebagian wilayah Kepulauan Seribu, ”seharusnya” menjadi bagian teritorial Propinsi Banten. Namun, kenyataannya Kepulauan Seribu masih masuk dalam wilayah DKI Jakarta. Duplikasi wilayah karena kedua UU tersebut sampai saat ini luput dari perhatian para petinggi di negara ini. Akibatnya sengketa wilayah antara ”Banten dan Betawi” di Kepulauan Seribu tak dapat dihindarkan. Konon dalam catatan sejarah, Kepulauan Seribu menjadi incaran karena posisi strategisnya dalam jalur pelayaran kapal dagang. Kini potensi sumber daya alamnya juga menjadi perhatian. Apalagi dengan otonomi daerah, Pemerintah Daerah (Pemda), dalam hal ini Pemda Kabupaten Tangerang, diberi wewenang untuk mengatur dan mengelola wilayahnya sesuai UU Otonomi. Hal inilah yang membuat Pemda Kabupaten Tangerang bersikeras mengincar ke-22 pulau di kawasan Kepulauan Seribu untuk menghimpun Pendapatan Asli Daerah (PAD). (Kompas 28 Nopember 2001).
3. Propinsi Jambi bertekad mempertahankan Pulau Berhala yang masih disengketakan dengan Riau. Pengamat sejarah dan Budayawan Universitas Jambi (UNJA), Fachruddin Saudagar, mengatakan bahwa fakta dan bukti sejarah yang dimiliki membuktikan pulau itu masuk wilayah Jambi. Ia mengatakan Jambi bukan merebut pulau yang berada di Selat Malaka itu dari Propinsi Riau. Menurutnya Propinsi Riau justru yang berusaha merebut pulau itu, dan tidak mengakui kedaulatan pembentukan Propinsi Jambi 1957, setelah berpisah dari Propinsi Sumatera Bagian Tengah (Sumbagteng) meliputi Jambi, Sumatera Barat, Riau. Menurutnya, dalam peta ”Top Karesidenan” Jambi yang dibuat zaman Hindia Belanda di Batavia (kini Jakarta) tahun1910, disebutkan Pulau Berhala, masuk wilayah Jambi. Demikian juga dalam piagam ”Tanah Simpang” dan ”Tanah Kumpeh Hilir” yang ditulis ulang pada tahun 1211H. (Republika 14 Februari 2002).
5. KONSEPSI MEMANFAATKAN ALUR LAUT KEPULAUAN INDONESIA
1. Ada beberapa hal yang perlu dicermati dalam perumusan penerapan konsepsi Alur Laut Kepulauan Indonesia, yaitu :
1. Tegaknya kedaulatan Negara Kepulauan Indonesia.
2. Persatuan dan kesatuan, bahwa di samping satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa, juga satu kesatuan di bidang ekonomi, bidang hukum dan sosial budaya.
3. Stabilitas dalam negeri, bahwa kondisi keamanan dalam negeri yang memberi rasa aman untuk iklim berbagai kegiatan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat adalah mutlak.
4. Kesejahteraan rakyat menjadi ukuran bagi terjaganya martabat dari masyarakat yang mendiami pulau-pulau terutama di sekitar ALKI yang tersebar dan dibatasi oleh yang menjadi penghubungnya dengan sarana transportasi dan komunikasi yang memadai.

Bilamana kondisi-kondisi tersebut dapat diwujudkan, diharapkan dapat memberikan respon terhadap meningkatnya harkat dan martabat bangsa Indonesia dan sisi lain juga memperkuat Ketahanan Nasional.
2. Penetapan ALKI adalah untuk kepentingan Indonesia sendiri, karena jika ditetapkan, maka kapal-kapal asing dapat melakukan pelayaran Lintas Alur Laut Kepulauan melalui rute-rute yang biasa dipakai dalam pelayaran internasional. Semua ALKI tersebut terbuka bagi semua kapal yang ingin melintasi Perairan Indonesia secara cepat, terus menerus berdasarkan ketentuan ”ARCHIPELAGIC SEA LANES PASSAGE” dalam konsepsi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hukum laut 1982. Keberadaan ALKI ini perlu konsepsi pemanfaatannya mempertahankan Integritas Nasional dengan menyusun strategi untuk dilaksanakan agar mampu mengakomodasikan kepentingan masyarakat internasional dan kepentingan masyarakat Indonesia sendiri khususnya di bidang pertahanan keamanan.

3. Berlakunya Otonomi Daerah di Indonesia mengakibatkan masing-masing Pemerintah Daerah berlomba-lomba untuk mendapatkan tambahan dengan mengekspansi wilayahnya dengan maksud makin luas wilayah nya makin besar kemungkinan didapat anggaran untuk membiayai pembangunan di daerahnya. Namun hal ini berakibat benturan dengan wilayah lain yang berbatasan, diduga pula bahwa ekspansi ke daerah lain melalui eksplorasi di laut dapat menambah APBDnya.
6. KEBIJAKSANAAN
1. Kebijaksanaan yang ditempuh untuk menjawab bagaimana menjadikan keberadaan Alur Laut Kepulauan Indonesia guna mempertahankan Integritas Nasional adalah : ”Memanfaatkan keberadaan Alur Laut Kepulauan Indonesia sebagai konsekwensi berlakunya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982 dan Undang-Undang Otonomi Daerah dalam rangka Mempertahankan Integritas Nasional”. Rezim ”Archipelagic Sea Lanes Passage” Alur Laut Kepulauan merupakan suatu kompromi yang mengakomodasikan kepentingan Negara Kepulauan dan hak negara lain untuk berlayar melalui Perairan Negara Kepulauan.

2. Tujuan.

Tujuan kebijaksanaan tersebut adalah agar upaya memanfaatkan keberadaan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) memperoleh perhatian serius dan direncanakan secara terarah dan terpadu sesuai kepentingan internasional dan kepentingan otonomi daerah guna mempertahankan Integritas Nasional.
1. Bidang Politik
1. Kerjasama internasional dengan negara tetangga dan negara-negara lainnya dengan prinsip saling menghargai dan menghormati kedaulatan negara masing-masing, baik yang telah meratifikasi UNCLOS 82 maupun yang belum.
2. Terumuskannya secara jelas posisi-posisi Alur Laut Kepulauan Indonesia dan tertuang dalam Undang-Undang.
3. Terwujudnya Otonomi Daerah yang berkeadilan dan terjalinnya hubungan antara pusat dengan daerah dalam hubungan antar daerah.
2. Bidang Ekonomi

Pembangunan ekonomi diarahkan untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mandiri dan andal berdasarkan demokrasi ekonomi untuk meningkatkan kemakmuran seluruh rakyat secara selaras, adil dan merata, dengan memerankan rakyat sebagai subyek dan obyek pembangunan.
3. Bidang Sosial Budaya
1. Pembangunan di bidang sosial budaya diarahkan untuk meningkatkan kesadaran dan wawasan kebangsaan, kesatuan dan persatuan, dan terwujudnya masyarakat madani yang maju, mandiri, sejahtera dan berkeadilan.
2. Mengembangkan pemanfaatan potensi kelautan sebagai lapangan kerja dan mata pencaharian yang memiliki prospek unggul.
4. Bidang Hankam

Pembangunan kekuatan TNI/POLRI untuk mampu memelihara kedaulatan, mengamankan wilayah kepulauan dan melakukan penegakan hukum khususnya ALKI.
7. STRATEGI

Strategi yang dapat ditempuh sesuai dengan kepentingan internasional dan kepentingan Otonomi Daerah adalah :
1. Mengkoordinasikan, menginformasikan dan mensosialisasikan keberadaan ALKI kepada dunia internasional negara-negara pengguna laut.
2. Melaksanakan monitoring, surveilance dan pengendalian ALKI demi mengantisipasi 19 aturan ALKI yang telah ditentukan dan pemasangan sarana bantu navigasi yang diperlukan serta pemetaan yang lebih akurat dan terinci di daerah tertentu.
3. Menyiapkan Rencana Umum Tata Ruang di daerah khususnya batas wilayah administrasi laut di sekitar ALKI dengan diberlakukannya otonomi daerah guna menghindari konflik kepentingan, mengkoordinasikan, menginformasikan mensosialisasikan kepada masyarakat di wilayahnya.
4. Menyusun program secara terencana dan berkesinambungan.
1. Jangka Pendek (5 s.d. 10 Tahun)
1. Bidang Politik
1. Meningkatkan peran para diplomat termasuk di dalamnya adalah pejabat Kementerian Luar Negeri, para Duta Besar, Utusan khusus dan para pejabat Pemerintahan lainnya yang terkait dengan masalah Luar Negeri.
2. Secara intens melakukan diplomasi dengan negara-negara tetangga yang memiliki konflik perbatasan dan wilayah teritorial, untuk menjajagi dan mencari cara-cara penyelesaian terbaik.
3. Meningkatkan kembali peran Indonesia di forum ASEAN dan pemanfaatan sebagai media dalam penyelesaian masalah yang dialami oleh negara-negara ASEAN, dengan prioritas masalah perbatasan dan meningkatkan stabilitas kawasan ASEAN.
4. Menggalang hubungan dengan negara-negara melalui forum persidangan IMO (International Maritime Organization), forum PBB dan forum-forum lainnya untuk menggalang dukungan internasional tentang konsepsi Alur Laut Kepulauan Indonesia.
5. Mengefektifkan peran Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Hukum dan Perundang-Undangan untuk mensosialisasikan Regulasi Nasional dan menginventariskan peraturan yang sudah tertinggal dan disesuaikan dengan semangat Otonomi Daerah guna menghindari tumpang tindih, saling menguasai pulau dan memperluas laut wilayahnya dengan mengutamakan Integritas Nasional.
2. Bidang Ekonomi

Mendorong peran aktif masyarakat termasuk para nelayan dan pihak swasta untuk memanfaatkan dan mengelola sumber kekayaan alam laut, guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
3. Bidang Sosial Budaya
1. Secara bertahap mendorong terlaksananya transformasi budaya yang terkait dengan mata pencaharian, budaya potensi kelautan adalah alternatif sumber kehidupan yang menjamin kelangsungan hidup secara baik.
2. Meningkatkan kesadaran dan wawasan kebangsaan masyarakat di daerah perbatasan, bahwa mereka adalah bagian dari kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia.
4. Bidang Hankam

Mengefektifkan peran kekuatan peran Aparat Keamanan (TNI/POLRI) yang tersedia, untuk secara optimal menjaga wilayah kedaulatan Indonesia dan melakukan penegakan hukum terhadap kejahatan/pelanggaran yang terjadi di wilayah kepulauan Indonesia.
2. Jangka Panjang (10 s.d. 20 tahun)
1. Bidang Politik
1. Melanjutkan dan menetapkan peran para diplomat dan pejabat Pemerintahan lainnya terhadap langkah-langkah yang dilakukan pada tahap jangka pendek, meliputi pengentasan, penyelesaian konflik perbatasan dan teritorial, mengokohkan kembali peran ASEAN, dan memantapkan hubungan dengan negara-negara lain melalui forum internaional seperti PBB dan IMO.
2. Mengupayakan rumusan secara pasti posisi-posisi Alur Laut Kepulauan Indonesia yang tertuang dalam Undang-Undang.
3. Mengupayakan ratifikasi Konsepsi Alur Laut Kepulauan Indonesia dan peraturan perundangan-undangan lainnya.
4. Melengkapi peraturan perundangan lainnya yang berkaitan dengan pengelolaan, pelestarian dan pengamanan sumber kekayaan alam dan lautan.
5. Memantapkan pelaksanaan Otonomi Daerah, sehingga mendorong pelaksanaan pembangunan di daerah, dengan melakukan koordinasi, komunikasi dan sosialisasi antar daerah di sekitar ALKI demi terwujudnya Integritas Nasional.
2. Bidang Ekonomi

Meningkatkan dan memantapkan peranserta masyarakat kecil dan pihak swasta untuk lebih memantapkan dan mengelola sumber kekayaan alam laut, agar kesejahteraan masyarakat lebih merata.
3. Bidang Sosial Budaya
1. Meningkatkan dan memantapkan transformasi budaya masyarakat agraris ke masyarakat bahari bagi para generasi muda.
2. Memantapkan wawasan kebangsaan masyarakat di daerah perbatasan.
4. Bidang Hankam.
1. Secara bertahap membangun Aparat Keamanan (TNI /POLRI), agar mampu menegakkan kedaulatan Negara Kepulauan Indonesia, memelihara kedamaian, dan melakukan penegakan hukum terhadap kejahatan/pelanggaraan yang terjadi di wilayah kepulauan Indonesia terutama di ALKI secara optimal.
2. Menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran masyarakat untuk mengamankan wilayah kepulauan Indonesia, menjaga sumber kekayaan alam Indonesia dan melestarikan lingkungan hidup secara swakarsa demi terjaminnya Integritas Nasional.
8. UPAYA
1. Melanjutkan koordinasi, informasi dan sosialisasi keberadaan ALKI kepada dunia internasional khususnya negara-negara pengguna laut secara terus menerus dan berlanjut.
1. Subyek

Pemerintah, dhi. Menkopolsoskam, Deplu, Dephan, Dephub, Dep KP, Depkum/Ham, Mabes TNI melaksanakan Koordinasi, informasi dan sosialisasi ALKI dan aturan-aturannya.
2. Obyek

Negara-negara pengguna laut yang melintasi ALKI guna kepentingan militer maupun ekonominya seperti Amerika Serikat, Australia, Jepang, Inggris maupun negara-negara tetangga di Asia Tenggara.
3. Metoda
1. Melaksanakan koordinasi hasil-hasil pertemuan secara informal dan bilateral dengan negara-negara pengguna, bahwa ALKI perlu dijajagi kemungkinan pengembangannya bekerjasama dengan negara-negara tersebut untuk meningkatkan keselamatan pelayaran.
2. Menginformasikan bahwa ALKI secara hukum bukan merupakan kewajiban Indonesia, namun untuk kepentingan keselamatan dan kepentingan Indonesia sendiri.
3. Mensosialisasikan ketentuan-ketentuan yang berlaku di ALKI melalui publikasi umum, termasuk ”Notice To Mariners” disertai peta-peta yang menggambarkan garis aksisnya, letak-letak anjungan, kabel-kabel dan pipa-pipa bawah laut, kawasan konservasi laut, daerah-daerah penangkapan ikan padat, daerah dumping, daerah-daerah berbahaya bagi pelayaran (”NAVIGATION HAZARDS”) yang diketahui, termasuk kedangkalan-kedangkalan, anjungan-anjungan yang ditinggalkan dan kerangka-kerangka kapal karam lainnya dan ”NOTICES TO AIRMEN” (NOTAM) yang berisi route udara di atas ALKI dan jalur-jalur penerbangan (AIR WAYS) yang memotong ALKI.
2. Melaksanakan suatu program jangka pendek dan jangka panjang dan kebijaksanaan untuk memonitor (Monitoring), mengawasi (Surveilance) dan mengendalikan (Controling) di ALKI termasuk ketentuan dalam 19 aturan yang telah disosialisasikan, pemasangan sarana bantu navigasi serta membangun ”Puskodal ALKI”.
1. Subyek :
1. Pemerintah : aparat keamanan laut (TNI/POLRI, BC, KPLP, IMIGRASI), Dep KP, DEPHUB (Radio Pantai).
2. Masyarakat maritim (KII, Nelayan, desa pesisir)
2. Obyek :
1. Kapal perang/Pesawat terbang asing.
2. Kapal ikan asing.
3. Kapal tanker asing.
4. Kapal survei asing.
5. Kapal bermuatan nuklir, plutonium dan B3.
3. Metoda :
1. Monitoring dengan sarana yang telah tersedia yang dimiliki oleh aparat keamanan laut (Radio pantai, kapal dan pesawat terbang) yang secara bertahap diprogramkan untuk dilengkapi maupun oleh masyarakat maritim (Siswasnas) dan satelit.
2. Mengawasi (Surveilance) dengan sarana yang selama ini telah ada baik yang menggunakan sarana visual (pos pengamat) maupun dengan peralatan elektronik sederhana atau yang canggih (Radar pantai, Radar kapal, Radar pangkalan AL/AU).
3. Mengendalikan (Controling) baik dengan menggunakan sarana penindak awal maupun sarana penindak lanjut dengan kapal/pesawat terbang pemerintah (Kapal dan Pesawat terbang).
4. Pemasangan sarana bantu Navigasi yang diperlukan (Radar pantai, Pelampung, Suar) dan pemetaan yang lebih akurat dan terinci di daerah tertentu.
5. Program membangun / mendirikan secara bertahap Pusat Kendali Operasi (PUSKODAL) ALKI di sepanjang Jalur ALKI I, II dan III untuk kebutuhan keamanan negara maupun kebutuhan ekonomi dan perdagangan.
3. Menyiapkan RUTR di daerah khususnya batas wilayah administrasi laut di sekitar ALKI dengan diberlakukan otonomi daerah guna menghindari konflik kepentingan dengan mengkoordinasikan, menginformasikan dan mensosialisasikan kepada masyarakat di wilayahnya.
1. Subyek :
1. Pemerintah daerah di wilayah ALKI I, II, III.
2. Aparat keamanan laut/udara ALKI I, II, III.
2. Obyek :

Masyarakat di wilayah propinsi di sekitar ALKI I, II, III.
3. Metoda :
1. Menghentikan perluasan wilayah dengan mengklaim pulau-pulau tertentu dengan mengirimkan penduduk kepulauan tersebut, sehingga menimbulkan konflik dengan penduduk setempat/lokal dengan cara mengkoordinasikan penyusunan RUTR, selanjutnya menginformasikan dan mensosialisasikannya kepada masyarakat di wilayahnya dengan mencapai solusi yang sekecil mungkin timbulnya konflik.
2. Memanfaatkan APBD tanpa harus melakukan kegiatan yang mengklaim wilayah propinsi lain guna menghindari konflik antar wilayah dengan menentukan bidang ekonomi yang menguntungkan antar wilayah.
4. Agar tujuan dan sasaran yang ditetapkan dalam kebijaksanaan serta strategi di atas dapat tercapai menurut subyek, obyek dan metoda yang ditentukan, maka perlu dilakukan berbagai upaya seleksi bidang masing-masing sebagai berikut :
1. Bidang Politik
1. Meningkatkan kemampuan dan peran para diplomat/Dubes RI, terutama untuk Dubes di negara yang sedang konflik.
2. Melakukan upaya diplomasi dengan negara tetangga dan negara yang belum melakukan ratifikasi tentang konsep Alur Laut Kepulauan Indonesia dengan mengadakan hubungan kerjasama internasional.
3. Melakukan ”lobby” dengan negara lain guna mendukung konsepsi ALKI, melalui forum ASEAN, PBB, IMO dan forum-forum lainnya.
4. Membuat undang-undang tentang batas-batas kewilayahan Indonesia sebagai negara kepulauan karena ALKI ada di dalamnya dan disampaikan kepada PBB untuk menjadi konvensi, selanjutnya dituangkan dalam UUD 1945.
5. Meningkatkan peran Departemen Luar Negeri dan Departemen Dalam Negeri untuk proaktif mengusulkan kepada DPR dalam pembuatan undang-undang tentang kelautan, undang-undang tentang perikanan dan undang-undang lainnya.
2. Bidang Ekonomi
1. Mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dalam pemanfaatan sumber kekayan laut yang merata di seluruh wilayah kepulauan Indonesia, termasuk Indonesia Bagian Timur.
2. Mengembangkan infrastruktur untuk meningkatkan produktifitas, perdagangan serta jasa dengan pengadaan alat-alat transportasi dan komunikasi serta sarana dan prasarana pendukungnya yang optimal dapat dilaksanakan di dalam era globalisasi.
3. Membuat undang-undang tentang perlindungan dan pelestarian lingkungan dan kekayaan laut Indonesia.
4. Meningkatkan peranan dan potensi masyarakat pesisir untuk melakukan pemanfaatan SKA dan keamanan di wilayahnya, agar hasil kekayaan laut dapat dimanfaatkan secara maksimal.
5. Meningkatkan peran serta swasta untuk mengelola potensi kelautan di daerah.
3. Bidang Budaya
1. Meningkatkan kualitas dan kinerja aparatur negara sejalan dengan otonomi daerah, sehingga masyarakat di wilayahnya berperanserta aktif serta bersama-sama secara sinergis mempertahankan nilai-nilai budayanya masing-masing dengan penuh toleransi untuk mencegah timbulnya disintegrasi bangsa, prioritas pada masyarakat khususnya di sekitar ALKI dan di daerah perbatasan.
2. Mengembangkan proses transformasi dari masyarakat agraris menuju masyarakat bahari serta meningkatkan etos kerja dan pelayanan untuk dapat mencapai produktifitas yang maksimal.
3. Menegakkan supremasi hukum di wilayahnya masing-masing sesuai dengan kewenangan dalam otonomi daerah dengan saling koordinasi, saling menginformasikan dan mensosialisasikan kepada masyarakat di wilayahnya.
4. Bidang Hankam
1. Meningkatkan profesionalisme aparat penegak hukum TNI dan POLRI dalam menjalankan penegakan hukum laut internasional untuk mengamankan wilayah nasional.
2. Mengembangkan sistem pertahanan keamanan baik di perbatasan daratan maupun daerah kelautan dengan penyediaan sarana yang memadai.
3. Melakukan kegiatan-kegiatan pengamanan untuk mencegah beroperasinya kapal-kapal asing secara ilegal, kejahatan-kejahatan lintas batas dan kejahatan lain yang akan memberikan dampak terjadinya disintegrasi bangsa.
9. PENUTUP
1. Konsepsi keberadaan Alur Laut Kepulauan Indonesia belum sepenuhnya terlaksana secara ptimal. Hal ini dapat dilihat belum semua negara meratifikasi konsepsi negara kepulauan tersebut, serta masih adanya masalah perbatasan dan masalah lainnya khususnya negara-negara pengguna ALKI.
2. Bidang Politik
1. Diplomasi untuk menggalang dan mendapatkan dukungan Internasional terhadap kepentingan im-plementasi konsep Alur Laut Kepulauan Indonesia masih belum optimal, terutama pada forum IMO, ICAO, PBB, ASEAN dan forum-forum lainnya.
2. Kerjasama bilateral dalam menanggulangi masa-lah perbatasan dan keamanan belum optimal.
3. Regulasi nasional dalam pelaksanaan otonomi daerah belum lengkap dan masih tumpang tindih serta belum kompatibel, sehingga menimbulkan dampak potensi konflik antar daerah.
3. Bidang Ekonomi.
1. Pengelolaan dan pemanfaatan sumber kekayaan alam belum dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat.
2. Kurangnya pemberdayaan masyarakat maritim dan nelayan dalam meningkatkan taraf hidup dan belum ikut berperan sertanya mereka dalam pem-bangunan dalam bidang kelautan.
4. Bidang Sosial Budaya.
1. Belum adanya perubahan pandangan atau trans-formasi masyarakat agraris menuju masyarakat bahari.
2. Pembinaan penduduk perbatasan masih mudah terprovokasi kepentingan negara tetangga dalam penentuan garis-garis batas wilayah, sehingga merugikan negara Indonesia.
5. Bidang Hankam.
1. Fasilitas Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) belum memadai terutama dalam bidang keselamatan dan keamanan navigasi pelayaran
2. Profesionalisme aparat penegak hukum, TNI dan POLRI belum optimal terutama dalam menjalankan tugas penegakan hukum laut internasional untuk mengamankan seluruh wilayah yurisdiksi nasional.
3. Pembangunan kekuatan TNI/POLRI belum mendapat prioritas, dukungan pendanaan sangat terbatas dan belum dapat meningkatkan ketangguhan TNI/POLRI terhadap tantangan, hambatan dan gangguan yang timbul.
6. Dengan belum mampunya kita menegakkan kedaulatan wilayah dengan baik, kondisi wilayah kepulauan dan sumber kekayaan alam belum dapat dipelihara dan diamankan dengan baik serta tingkat kesejahteraan masih memprihatinkan, sehingga hal ini sangat berpengaruh pada tingkat harkat dan martabat bangsa Indonesia di dunia Internasional.
10. SARAN

Dari pembahasan bab-bab terdahulu dan dari kesimpulan dapatlah disarankan beberapa hal sebagai berikut :
1. Bidang Politik
1. Perlunya peningkatan diplomasi efektif untuk menggalang dan meningkatkan hubungan interna-sional guna memperjuangkan kepentingan Indonesia dalam implementasi konsepsi keberadaan Alur Laut Kepulauan Indonesia.
2. Perlunya mempererat kerjasama ”Interstate Goverment” guna menanggulangi masalah perbatasan dan wilayah teritorial, masalah penanggulangan kejahatan lain-lainnya.
3. Perlunya Amandemen UUD 1945 untuk mema-sukkan batas wilayah kepulauan Indonesia berikut ALKI-nya.
4. Regulasi nasional dalam pelaksanaan otonomi daerah perlu dilengkapi agar tidak tumpang tindih dan harus kompatibel guna menghindari konflik antar penduduk.
2. Bidang Ekonomi.
1. Pemberdayaan masyarakat maritim dan nelayan dalam meningkatkan taraf hidup dan ikut berperan serta dalam pembangunan nasional bidang kelautan.
2. Dengan keterbatasan sumber anggaran negara, perlu mendorong dan mengoptimalkan peran swasta untuk pengelolaan kekayaan alam laut, dengan sasaran percepatan peningkatan kesejahteraan rakyat.
3. Bidang Sosial Budaya.
1. Perlunya memacu perubahan pandangan, transformasi masyarakat agraris menuju masyarakat bahari melalui pendidikan masyarakat dan generasi muda.
2. Perlunya pembinaan penduduk perbatasan agar tidak terprovokasi kepentingan negara tetangga dalam penentuan garis-garis batas teritorial negara Indonesia.
4. Bidang Hankam.
1. Fasilitas Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) perlu ditingkatkan terutama dalam bidang berikut :
1. Keselamatan pelayaran seperti; buoy, mercu suar dan Puskodal ALKI.
2. Peralatan telekomunikasi, radar-radar guna pengendalian perhubungan dan pengawasan lalu lintas kapal-kapal di sepanjang ALKI.
3. Peningkatan fasilitas pangkalan dan posisi strategis guna melaksanakan patroli kapal dan pesawat udara pemerintah sebagai penindak awal atau penindak lanjut serta mendukung perbaikan kapal yang mengalami kerusakan, kebocoran maupun kesiapan kapal-kapal tunda samudera.
2. Perlunya peningkatan profesionalisme aparat hukum, TNI dan POLRI dalam menjalankan tugas penegakan hukum laut internasional, untuk meng-amankan seluruh wilayah yurisdiksi Nasional.
3. Dengan dukungan dana yang memadai guna meningkatkan kemampuan TNI/POLRI menganti-sipasi timbulnya tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan di masa yang akan datang dalam meng-hadapi globalisasi.

”Joint the Navy to Sea the World”Bergabunglah dengan AngkatanLaut Untuk melihat dunia,Karena laut tidak hanya sebagaiMedia pertahanan keamanan ...,Tetapi juga media harapan masa depan. A.Y. JIMMY MASYKUR LAKSAMANA PERTAMA TNI

Lulusan AKABRI Laut-XIX/1973, dinas di Kapal-kapal Koarmatim Tahun 1973 s.d. 1995 sebagai Kadiv/Kadep/Palaksa s.d. Ko-mandan KRI. Tahun 1996 s.d 1998 dinas di Seskoal sebagai Kadepstra. Tahun 1998 s.d. 2002 dinas di Koarmabar sebagai Dan Satfib/Dan Satkor/Asops Pangarmabar/Dan Guspurla. Pendidikan terakhir Lemhannas KSA-X/2002. Saat ini menjabat Kepala Kelompok Staf Ahli Kasal “F” Binpotnaskuatmar.

0 komentar: