Senin, 01 November 2004 (Kompas)

Dilema Perbatasan Indonesia
Soal Lama yang Belum Juga Selesai

KEPUTUSAN pengadilan atas status Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan yang dimenangkan oleh Malaysia, belum lama ini, hanyalah salah satu episode dari persoalan perbatasan yang banyak dihadapi Indonesia. Selain dengan Malaysia, yang belum sepenuhnya juga selesai, wilayah Kepulauan Nusantara kita yang sangat luas juga masih menyimpan problema perbatasan dengan Singapura, Tawau, Filipina, Vietnam, India, dan Thailand.

UNTUNGNYA, masalah perbatasan itu tidak sampai membuat kita harus berperang dengan negara lain karena masing-masing negara tampaknya juga memahami problema yang bersumber dari peninggalan masa lalu itu, ketika umumnya negara-negara di kawasan ini masih di bawah penjajahan Eropa.

Salah satu masalah perbatasan yang mulai mencuat akhir- akhir ini adalah klaim atas perairan laut di "dagu" kepala Pulau Kalimantan, yang posisinya tidak jauh dengan Sipadan dan Ligitan. Inti persoalannya, menurut Arif Havas Oegroseno, Direktur Perjanjian Bidang Politik, Keamanan, dan Urusan Teritorial Departemen Luar Negeri RI, adalah klaim Malaysia melalui peta yang dibuat negara jiran itu pada tahun 1979.

"Dalam peta itu, Malaysia menarik garis-garis batas teritorialnya tanpa patokan-patokan yang jelas sehingga untuk di sekitar Kalimantan sebelah timur dan utara Sulawesi, Malaysia mengambil sebagian wilayah Filipina dan juga wilayah kita," ungkapnya.

Dia menambahkan, posisi Indonesia terhadap peta tahun 1979 itu sudah sangat jelas karena nota protes resmi sudah disampaikan sejak 8 Februari 1980 lalu, dan nota protes terus dilancarkan hingga saat ini. Dasar keberatan Indonesia adalah klaim batas wilayah secara unilateral jelas tidak memiliki kekuatan hukum. Selain itu, delimitasi batas maritim harus dengan perundingan sesuai dengan hukum internasional dan praktik negara-negara selama ini.

Keputusan International Court of Justice (ICJ) 18 Desember 1951 dalam kasus tentang perikanan, misalnya, menegaskan, "Delimitasi batas laut memiliki aspek internasional, tidak hanya bergantung pada kehendak satu negara pantai yang dinyatakan dalam hukum nasionalnya. Keabsahan delimitasi bagi negara lain didasarkan pada hukum internasional."

Selain itu, ada putusan ICJ lain yang juga semakin menguatkan argumen Indonesia, yaitu keputusan ICJ dalam kasus Gulf of Maine, yang menyatakan, "Delimitasi batas maritim harus dilakukan dengan perjanjian antarpara pihak. Jika hal tersebut tidak mungkin, perlu diupayakan penyelesaian melalui pihak ketiga. Delimitasi tersebut harus didasarkan pada kriteria yang pantas dan metode yang bisa dipraktikkan untuk menjamin hasil yang pantas pula (equitable criteria and practical method to ensure an equitable result)."

Selain itu, Arif juga menegaskan, ada sejumlah peraturan internasional lain yang intinya adalah sama, yaitu penetapan batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan landas kontinen haruslah ditetapkan dengan perjanjian. "Dengan demikian, karena dari awal posisi Indonesia adalah menolak peta batas Malaysia 1979 itu, maka peta tersebut tidak bisa dijadikan dasar untuk penetapan batas Malaysia," ujar Arif.

Pada kenyataannya, bukan hanya Indonesia yang mengajukan protes terhadap peta Malaysia 1979 itu, Filipina pun telah mengajukan protes, begitu juga China, Singapura, Thailand, Vietnam, dan Inggris yang melakukan protes atas nama Brunei Darussalam. Sampai saat ini, protes-protes dari berbagai negara itu belum ada yang diselesaikan sepenuhnya oleh Malaysia

"Kita juga sudah meminta Malaysia menjelaskan mana titik-titik dasar untuk penarikan garis-garis batas itu, tetapi mereka tidak pernah mau menjelaskannya, sehingga sampai sekarang pun kita tidak tahu dari mana Malaysia bisa mengambil inilah garis-garis batas wilayah Malaysia," ujar Arif menjelaskan.

MESKI tidak bergaung keras seperti sengketa atas Pulau Sipadan dan Ligitan, adanya "protes" Malaysia atas rencana Pemerintah RI menawarkan blok penambangan minyak di timur blok Ambalat yang sudah ada saat ini (lihat peta), mengingatkan kembali pada persoalan peta Malaysia tahun 1979 yang memang belum selesai.

Indonesia, lanjut Arif, telah memberikan konsesi minyak kepada berbagai perusahaan minyak di kawasan timur Kalimantan itu sejak tahun 1966 lalu. Peta konsesi minyak Permina (sekarang Pertamina) 1966 itu diakui oleh Malaysia sebagai "Exercise of Indonesia’s Rights to Continental Shelf".

"Makanya mengherankan kalau sekarang mereka meributkan itu. Blok yang kita tawarkan itu bukan blok yang baru dibuka, tetapi sudah ada sejak lama. Yang sekarang akan kita lakukan adalah menawarkan blok di sampingnya yang luasnya sekitar 4.175 kilometer persegi, yang dalam peta Malaysia 1979 itu disebut dengan ND 6 atau Blok Y dan ND 7 atau Blok Z," papar Arif.

Jika melihat pada peta wilayah itu, tidak terlalu mengherankan apabila Malaysia mempersoalkan rencana Indonesia menawarkan eksplorasi penambangan minyak baru di dekat Pulau Sebatik, pulau yang wilayahnya dibagi dua antara Indonesia dan Malaysia itu. Pasalnya, wilayah di sekitar itu memang diduga mempunyai kekayaan minyak yang layak untuk dieksploitasi. Di utara Kalimantan Timur itu pun Indonesia sudah membuka sejumlah blok penambangan minyak, antara lain Blok Simenggaris, Bengara I dan II, Bangkudulis, Tarakan, Sembakung, Bukat, dan Ambalat.

Untunglah, berbeda dengan soal Sipadan-Ligitan yang berujung "kekalahan" untuk Indonesia, dalam sengketa wilayah maritim dengan Malaysia itu pihak Indonesia jauh lebih percaya diri dan yakin akan menang kalaupun akhirnya harus diperkarakan di Mahkamah Internasional.

Hal itu juga terlihat dari keengganan Malaysia sendiri untuk mempersoalkan wilayahnya atas dasar peta tahun 1979 itu dengan lebih ofensif.

"Kalaupun harus menyelesaikan ini secara hukum, kita bisa membawa persoalan ini ke International Tribunal of The Law of The Sea. Namun, dalam hukum laut ada klausula yang mengharuskan untuk berunding dan mendapatkan penyelesaian," kata Arif yang juga merupakan Ketua Tim Landas Kontinen Indonesia.

WALAU mungkin membutuhkan waktu dan perundingan yang cukup lama, memang alangkah baiknya jika dalam lima tahun ke depan ini Departemen Luar Negeri RI dan Pemerintah Indonesia secara keseluruhan bisa menyelesaikan persoalan tapal batas wilayah RI tersebut, baik landas kontinen, laut teritorial, maupun wilayah ZEE. Belajar dari pengalaman Sipadan dan Ligitan, sudah saatnya pula kita memanfaatkan kekayaan pulau dan segenap wilayah perairan Indonesia itu. Kita tidak cukup lagi hanya bisa menyebutkan mempunyai 33.000 lebih pulau, tetapi tidak cukup mengenalinya dengan baik, apalagi memanfaatkannya.

Di sisi lain, Arif menambahkan, Indonesia juga mempunyai peluang untuk memperpanjang wilayah ZEE-nya di sebelah barat Pulau Sumatera hingga sejauh 350 mil. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membuka kesempatan bagi negara-negara tertentu yang memang wilayahnya mempunyai peluang untuk memperluas ZEE-nya dari 200 mil menjadi 350 mil.

"Soalnya, dari hasil studi awal wilayah laut di barat Sumatera itu kekayaan lautnya kurang menjanjikan. Meski demikian, alangkah baiknya kalau kita bisa meneliti wilayah itu, dan kalau memang potensial dimanfaatkan, maka kita masih bisa mengajukan perluasan itu karena batas akhir submission- nya untuk Indonesia pada tahun 2009 nanti," papar Arif.

Kembali ke soal batas wilayah, menurut dia, hingga saat ini Indonesia masih mempunyai persoalan ZEE dengan India, Thailand, Malaysia, dan Vietnam. Yang lebih menyedihkan, untuk wilayah Sulawesi, persoalan landas kontinen, ZEE, maupun laut teritorial seluruhnya belum beres benar alias masih ada sejumlah persoalan. Soal perbatasan Indonesia yang sudah selesai justru di wilayah timur, yaitu dengan Papua Niugini dan Australia.

Masalahnya, soal penyelesaian perbatasan bukanlah soal satu pihak saja, karena terkait juga dengan pihak lain yang bersinggungan dengan kita. Maknanya, juga harus ada kemauan dari para tetangga kita untuk menyelesaikan soal wilayah negara yang belum selesai itu.

Oleh karena itu, Arif mengungkapkan, memang tidak mudah untuk menyelesaikan berbagai persoalan perbatasan itu, terlebih lagi sebagian besar persoalan perbatasan itu bukanlah persoalan Sovereignty (kedaulatan penuh), tetapi lebih Sovereign Rights (hak berdaulat). Beda di antara keduanya memang cukup besar. Dalam Sovereignty, si pemilik wilayah berhak sepenuhnya berbuat apa pun di atas wilayahnya itu.

Sedangkan dalam Sovereign Rights, hanya sebagian saja yang dimiliki sebuah negara pemilik, selebihnya pihak lain pun bisa menggunakannya dengan dasar persetujuan negara pemilik.

"Sipadan dan Ligitan itu sangat krusial diperjuangkan karena menyangkut Sovereignty, sedangkan yang terjadi di blok Ambalat itu bukan," ujar Arif menambahkan.

Terlepas dari apa pun jenis hak kepemilikannya, inilah salah satu tantangan bagi para diplomat Indonesia untuk segera menuntaskan berbagai persoalan perbatasan yang masih tersisa sehingga tidak meninggalkan persoalan batas wilayah RI hingga ke anak cucu kita. (OKI)