Heritage Intelligence

Mendengar intelijen ingatan langsung tertuju kepada James Bond 007, CIA, KGB, dan Mossad. Institusi intelijen Negara yang bekerja dalam ketertutupan dan menyeramkan seperti kisah Victor Ostrovsky atau novel Body of Lies karya David Ignatius. Intelijen Benda Cagar Budaya (Heritage Intelligence) bukan merupakan pengenjawantahan dari Lembaga Intelijen Negara, melainkan pekerjaan penelitian dan pendokumentasian tentang keberadaan benda cagar budaya yang ada di Indonesia. Banyaknya peninggalan kekayaan artefak sejarah yang telah lenyap atau musnah, sehingga menciptakan kerugian besar hampir disetiap sektor baik dari Ilmu pengetahuan, sosial-budaya, ekonomi dan pertahanan keamanan Negara.
Ketidak berdayaan pembuktian kekayaan dan kerugian Negara tentang peninggalan sejarah, yang telah hilang maupun masih ada merupakan 'titik lemah' untuk dapat menjelaskan dan mempertanggung jawabkan kepada publik.
Sebagaimana contoh hancurnya bangunan di proklamasi, dimana potret nyata detik-detik bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Pertanyaan kerugian apa saja yang diciptakan dari kehancuran bangunan proklamasi tersebut? Ternyata ketika di 'bedah' anatominya sungguh membuat kepala cekot-cekot, dari sisi Ilmu pengetahuan bukti nyata keberadaan fisik bangunan sudah tidak ada. Di dalam ranah berbeda seperti contoh ketika pulau Sipadan dan Ligitan diakui oleh Mahkamah Internasional di Belanda, fisik bangunan yang terdapat dikedua pulau tersebut adalah milik Malaysia. Pada akhirnya secara de jure maupun de fakto pulau Sipadan dan Ligitan milik sah Malaysia.
Terperanjat bahwa eksistensi fisik bangunan bukan persoalan sederhana, cara pandang melihat fisik bangunan selama ini hanya dilihat dari 'kaca mata kuda' yang melulu diukur dari perspektif estetika dan ekonomis semata. Padahal sebuah bangunan diciptakan melampaui tapal batas estetika dan ekonomi, sebagaimana masyarakat Jawa membangun rumah Panggang pe Ceregancet mirip dengan jasad hidup yang tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan kehidupan penghuninya.

Database Benda Cagar Budaya

Film petualangan Indiana Jones, National Treasure, dan Da Vinci Code, membuat adrenalin penonton terpacu. Kecerdasan mengumpulkan serpihan informasi yang tercecer, sehingga teka-teki dapat terpecahkan dan disusun ulang. Sungguh sebuah inspirasi. Tersebar dan terseraknya artefak benda cagar budaya dari berbagai wujud, baik dari sisa-sisa peninggalan kerajaan Nusantara sampai peninggalan kolonial. Sampai saat ini masih dalam 'terawangan' sebagai analogi berjalan dikegelapan tanpa cahaya. Keberadaan UU.No.5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya dan UU.No.26 Tahun 2007 Tentang Tata Ruang masih dalam tahap konsepsional, belum memasuki 'ranah' operasional di dalam pelestarian benda cagar budaya. Inventarisasi pendokumentasiaan sebagai database keberadaan benda cagar budaya dari berbagai ragam bentuk, sampai saat ini masih belum dapat direalisasikan. Padahal database tersebut merupakan 'peta hidup' sebagai alat deteksi dini, perihal kelangsungan pelestarian benda cagar budaya di Indonesia. Karena bila terwujud pendokumentasian tersebut, publik dapat mengetahui dan menjaga pelestarian dari benda cagar budaya yang dilindungi oleh Negara. Fungsi database dapat memberikan suguhan informasi, berapa jumlah benda cagar budaya yang dimiliki seperti Gedung, Benteng, Rumah, Masjid, Gereja, Vihara, Pusaka dan lain sebagainya. Dengan adanya informasi keberadaan artefak sejarah ini, penghancuran dan pencurian dapat maksimal dihindari.
Pendokumentasian mempunyai peran ganda di satu sisi dapat menjadi alat kontrol, disisi lain merupakan alat sosialisasi dari Undang-Undang tentang Benda Cagar Budaya yang murah dan efektif kepada warga Negara.

Benda Cagar Budaya dan Keamanan Nasional

Perjuangan panjang Vasco da Gama (1497-1499) mencapai India melalui Tanjung Harapan telah berhasil gilang gemilang, dari keberhasilan ini maka terbuka lebar pintu masuk pelayaran bangsa Eropa ke Asia. Setelah Tanjung Harapan ditundukkan, kini giliran Melaka dikuasai Portugal (1511).
Di dalam kurun waktu 11 tahun tepatnya pada tahun 1522 ekspedisi Ferdinand Magellan dari Spanyol berhasil mencapai Maluku, selisih waktu 57 tahun (1522-1579) Francis Drake dari Inggris datang menyusul ke kewilayah 'surga rempah-rempah' Maluku. Berawal dari rempah-rempah nafsu serakah untuk menguasai dalam wajah kolonialisme tertancap di bumi Maluku, gesekan kepentingan untuk saling menguasai antara Portugal dan Spanyol di Maluku pada abad XVI tidak dapat terhindarkan. Maka keluar perjanjian Tordesillas (1494) dan menyusul perjanjian Saragossa (1527) antara Spanyol dan Portugal. Hal hasil dari perjanjian tersebut Portugal dapat menguasai Maluku.
Kilasan sejarah tersebut merupakan 'rekam jejak' kolonialisme pertama kali hadir di bumi jamrud khatulistiwa, taktik dan strategi kolonial di dalam melakukan infiltrasi sampai menuju invasi dapat ketahui. Fakta penjajahan dapat ditelusuri melalui artefak seperti Benteng Victoria (1605) yang dibangun Portugal di Maluku, berfungsi sebagai benteng pertahanan. Juga Benteng Oranje (1607) di Ternate yang dibangun oleh Cornelis Matelief de Jonge (Belanda). Benteng ini pernah dijadikan pusat pemerintahan tertinggi Hindia Belanda (Gubernur Jenderal) Pieter Both, Herald Reynst, Laurenz Reaal, dan Jan Pieterszoon Coen.
Dari Benteng pertahanan sampai rute perjalanan alur laut kolonial memasuki Nusantara, sebagaimana diketemukannya beberapa artefak kapal laut kolonial yang karam di dasar laut. Dan legitimasi Mahkamah Internasional tentang batas kedaulatan wilayah Negara Kesatuan republik Indonesia (NKRI), mengacu pada peninggalan tanah jajahan Belanda. Dengan demikian 'patok batas' secara fisik peninggalan Belanda, kedepan menjadi sesuatu yang vital di dalam pembuktian wilayah kedaulatan Negara.
Walaupun bukan konteks benda cagar budaya, tetapi masih dalam 'satu tarikan nafas' peristiwa dikuasainya Pulau Sipadan dan Ligitan oleh Malaysia, karena lemahnya bukti otentik di Mahkamah Internasional. Merupakan pertanda urgensinya fisik bangunan dalam wilayah hukum Internasional. Serta perluasan pembangunan fisik didaratan Singapura melalui 'pasir laut', hampir saja mencaplok kedaulatan Indonesia khususnya pulau Nipa dan pulau lainnya disekitar wilayah propinsi kepulauan Riau. Satu lagi peristiwa penghancuran taman didepan stasiun Beos kota, dimana wilayah itu merupakan 'ring satu' zona benda cagar budaya. Kepentingan bisnis lebih penting daripada keamanan. Pembangunan shelter busway dan terowongan untuk pedestrian mengakibatkan dampak buruk bagi bangunan tua disekitarnya. Tercatat sedikitnya empat bangunan tua yang langsung terkena dampak negative yang diakibatkan dewatering saat pembangunan terowongan tersebut, keseimbangan air tanah disekitar lokasi terganggu. Dan keempat bangunan tua mengalami penurunan pondasi, dan dampak negatif apa yang akan tercipta kedepan? Tidak ada yang dapat mengatahui dan diperlukan kajian mendalam. Sampai saat ini kejelasan tentang barang sitaan Negara dari hasil penangkapan eksplorasi kapal VOC yang karam secara illegal, berapa jumlah dan nilai harta karun tersebut dan disimpan dimana masih dalam misteri.
Saksi bisu benda cagar budaya ternyata faktual dapat 'berbunyi' dan berkata jujur tanpa ada rekayasa maupun kebohongan.

Intelijen Benda Cagar Budaya (Heritage Intelligence)

Cegah tangkal di dalam pelestarian benda cagar budaya sudah waktunya diperkuat, perhitungan secara matematis tentang kekayaan 'adi luhung' bangsa Indonesia belum dapat direalisasikan. Kemampuan IPTEK di dalam kalkulasi sumber daya alam (SDA) kekayaan laut sudah dapat dihandalkan di negri kepulauan ini, padahal dahulu sebelum teori tersebut ada masih merupakan sesuatu yang 'ghaib' diwilayah alam bawah sadar. Sosok manusia dapat terbang Gatot Kaca yang hanya ada dalam cerita pewayangan, tersentak bahwa cerita itu bukan mitos melainkan teknos dengan kemampuan di dalam rekayasa teknologi kapal terbang (Dirgantara Indonesia).
Eksistensi heritage intelligence di dalam melakukan penelitian dan pendokumentasian, serta dapat juga melakukan 'audit' benda cagar budaya, merupakan pemecah dari kebekuan dan kerapuhan mengatasi permasalahan benda cagar budaya. Generasi kedepan perlu diberikan 'menu' visualitas bukan virtualitas. Melalaui intelijen benda cagar budaya sesuatu yang absurd menjadi rasional, investigasi tapak tilas untuk dapat mengumpulkan kembali serpihan sejarah yang tercecer dan hilang. Seperti analogi menjahit pakaian yang sudah usang termakan jaman, memerlukan sentuhan ketekunan penjahit handal. Semoga.***

BAROUSAI, BARUS, ATAU FANSUR: KISAH CEMERLANG DARI BERIBU TAHUN SILAM

BAROUSAI, BARUS, ATAU FANSUR:

KISAH CEMERLANG DARI BERIBU TAHUN SILAM

Kota bandar di tepian pantai barat Sumatra yang berabad lalu menjadi sebuah perkampungan multi-etnis yang penuh guyub, sarat daya tarik bagi para pedagang di hampir seluruh penjuru bumi, juga menjadi pintu masuknya berbagai peradaban dan agama-agama besar di bumi Nusantara itu kini telah sepi.

BARUS saat ini hanya sebuah ibukota Kecamatan, di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatra Utara. Posisinya berada di pinggir pantai barat Sumatera, sekitar 60 km sebelah utara Sibolga, atau sekitar 414 km dari Medan. Tidak ada yang istimewa. Begitu juga dengan Desa Lobutua, sekitar 4 km ke arah barat dari Barus. Juga layaknya sebuah desa, sepi. Meskipun sesekali para peziarah datang silih-berganti, menapaki sejarah sebuah kota banda yang jauh di awal abad masehi pernah begitu cemerlang dan menggemparkan sekujur bumi.

Dan boleh jadi, Barus adalah satu-satunya kota yang tercatat di dalam buku yang terbit di awal masehi, sehingga menempatkannya sebagai kota tertua di bumi Nusantara. Adalah Claudius Ptolomaios[1], seorang geograf Yunani yang dalam bukunya dari abad ke dua Masehi, Geographike Hyphegesis menuliskan nama negeri Barousai di Chryse Chora (Pulau Emas) yang antara lain oleh van der Meulen disimpulkan sebagai Sumatra[2].

Tapi apa gerangan yang menjadikan kota bandar ini begitu mempesona orang Yunani, China, India, dan bahkan juga para Pharao di Mesir kuno?

Jawabnya tak lain adalah kapur barus (bhs Belanda: kamfer, dan mungkin dari kata kapur yang diucapkan kofur oleh bangsa Arab).[3] Konon, kapur barus asal kota barus inilah yang paling banyak dicari karena kualitasnya yang terbaik, paling laku dan harganya kurang lebih 8 kali lebih mahal daripada kapur-kapur barus asal tempat lain[4]. Dalam catatan pelancong Italia, Marco Polo bahkan disebutkan bahwa, harga kapur barus kala itu setara dengan harga emas dengan berat yang sama[5].

Seorang Belanda pernah menulis bahwa kemenyan dari Barus, telah dipakai sebagai salah satu bahan mengawetkan (membalsem) mayat raja-raja di Mesir sebelum Masehi[6]. Jika dugaan ini benar, maka berarti kota bandar Barus ini sudah ada sejak 5.000 tahun SM. Perkiraan akhir itu, didasarkan pada temuan bahan pengawet dari berbagai mummy Fir'aun Mesir Kuno salah satu pengawetnya menggunakan kanper atau kapur Barus. Sejarawan era kemerdekaan Moh. Yamin, bahkan memperkirakan bahwa, perdagangan rempah-rempah dan tentu saja kamfer, sudah dilakukan pedagang Nusantara sejak 6.000 tahun lalu ke berbagai penjuru dunia.

Hasil penelitian Innis Miller terhadap naskah Historia Naturalis karya Plinius di abad pertama juga sudah menunjukkan bahwa, para pedagang Nusantara pun ternyata sudah menjajakan komoditas mereka sampai ke Asia Barat dan Afrika Timur sejak abad permulaan Masehi[7]. Sementara Prof. Kern[8] pernah menulis bahwa Kota “P’o-lu-chi” yang dimaksud I Tsing di abad ke-7, tidak lain dari Barus[9]. Seorang penyair Arab sebelum Islam, Amru al-Qais (meninggal tahun 530 Masehi), sangat memuji keharuman kafur dalam syair-syairnya[10].

Begitu pentingnya kota Barus ini—mungkin bisa disamakan dengan Paris pada abad modern yang terkenal dengan inovasi parfumnya—maka sejak zaman dulu dalam dunia dagang telah dikenal nama-nama Baros, Balus, Pansur, Fansur, Pansuri[11], Kalasaputra[12], Karpura-dwipa, Barusai, Waru-saka dan lain-lain.

Dan tentu, seperti kata pepatah, ada gula ada semut. Pesona kapur barus dari selatan ini menggoda banyak pendatang. Sebagaimana dicatatan Ptolomaios, selain para penjelajah dari Yunani, juga datang pedagang dari Venesia, India, Arab dan Tiongkok. Selain itu, sekelompok penyebar ajaran Kristen Sekte Nestorian dari Konstantinopel, pusat Kerajaan Byzantium Timur, juga menjejakkan kakinya di Barus. Kelompok itu diperkirakan datang sekira tahun 600 M dan mendirikan gereja pertama di Desa Pancuran, Barus.

Dewan Gereja-gereja di Indonesia juga memercayai sejak tahun 645 Masehi di daerah Barus telah masuk umat Kristen dari sekte Nestorian. Keyakinan tersebut didasarkan pada buku kuno tulisan Shaikh Abu Salih al-Armini. Sementara itu, penjelajah dari Armenia Mabousahl mencatat bahwa pada abad ke-12 telah terdapat Gereja Nestorian.

Lalu datanglah para pedagang Arab memasuki Barus sekira 627-643 M atau sekitar tahun 1 Hijriah, dan menyebarkan agama Islam di daerah itu. Di antaranya Wahab bin Qabishah mendarat di Pulau Mursala pada 627 M. Ada juga utusan Khulafaur Rasyidin, bernama Syekh Ismail akan ke Samudera Pasai dan singgah di Barus, sekira tahun 634 M. Dan sejak itu pula, tercatat bangsa Arab (Islam) mendirikan koloni di Barus. Bangsa Arab menamakan Barus dengan sebutan Fansur atau Fansuri, misalnya oleh penulis Sulaiman pada 851 M dalam bukunya "Silsilatus Tawarikh."

Kedatangan bangsa Arab yang kemudian menyebarkan agama Islam itu juga disebutkan dalam berita-berita Cina, Hsin-Tang-shu[13] (Catatan Dinasti Tang, 618-907), dan Chu-fan-chi[14] (Catatan Negeri-negeri Asing) yang ditulis Chau Ju-kua pada tahun 1225. Di dalam dua kronik Cina itu banyak bercerita tentang Ta-shi, istilah Cina untuk menyebut Arab. (Chu-fan-chi menerangkan bahwa Ta-shi mempunyai seorang Buddha (maksudnya Nabi) yang bernama Ma-ha-mat (Muhammad). Dalam sehari mereka lima kali sembahyang, dan setiap tahun berpuasa selama sebulan penuh. Dinasti Ta-shi ada dua macam, yaitu white-robed Ta-shi (Arab berjubah putih) atau Pon-ni-mo-huan (Bani Marwan, atau Bani Umayyah), serta black-robed Ta-shi (Arab berjubah hitam) yang didirikan raja A-po-lo-pa (Abul-Abbas)[15]. Pada tahun 651 Masehi, raja Ta-shi (Arab) bernama Han-mi-mo-mi-ni mengirimkan utusan ke istana Cina[16]. Hampir dapat dipastikan bahwa nama Han-mi-mo-mi-ni dalam ucapan Cina ini adalah untuk Amir al-Mu’minin, gelar resmi para khalifah Islam, dan “raja Ta-shi” yang mengirimkan utusan itu adalah Khalifah `Utsman ibn Affan yang memerintah dari tahun 644 sampai 656. Hsin-Tang-shu mencatat bahwa pada tahun 674 terdapat pemukiman pedagang Ta-shi (Arab) di Po-lu-shih, daerah pantai barat Sumatera.[17]

Tentu, dapat dibayangkan betapa makmurnya kota Barus pada awal abad masehi ini, dengan penduduk yang sebagian besar terdiri atas kaum pedagang. Pertanyaannya kemudian, siapakah yang menggerakkan semua perdagangan hingga jauh ke negeri seberang itu?

Seorang bekas kontrolir Belanda, G.J.J. Deutz, sewaktu bertugas di Barus,[18] menulis bahwa menurut rakyat setempat di Desa Lobutua pernah didapat penduduk sebuah batu bertulis pada dua bagian. Tetapi sayang, batu itu pada tahun 1857 dipecahkan oleh Raja Barus bernama Mara Pangkat. Pada tahun 1872 Deutz banyak menemukan pecahan batu peninggalan zaman Hindu yang telah dilupakan orang, telah berlumut. Dan baru pada tahun 1932, prasasti itu diterjemahkan Profesor Nila-kanti Sastri dari Universitas Madras.[19]

Prasasti itu menyebutkan bahwa paling sedikit sejak abad ke-11, telah bermukim di kota Barus sebuah koloni bangsa Tamil. Menurut batu Lobutua itu, mereka tergabung dalam sebuah perusahaan bernama “kelompok 500″ yang tidak asing lagi bagi orang-orang India waktu itu. Perusahaan swasta yang mereka wakili, merupakan perusahaan dagang cukup kuat, merdeka dalam tindakan dan tidak gampang tunduk pada salah satu raja yang berkuasa di sekitar Barus. Mereka yang berdiam di Barus inilah yang membeli beberapa hasil dari rakyat—utamanya kapur barus—untuk diekspor ke luar negeri.

Menurut Gnillout Claude[20], Barus adalah sebuah kota kuno di pantai barat Propinsi Sumatera Utara yang terkenal di seluruh Asia, sejak lebih dari seribu tahun, berkat hasil hutannya. Selain itu, nama Barus juga muncul dalam sejarah peradaban Melayu dengan Hamzah Fansuri, penyair mistik terkenal yang baru-baru ini ditemukan kembali makamnya di Mekkah. Sementara itu, tim arkeolog dari Ecole Francaise D’extreme-Orient (EFEO) Perancis bekerjasama dengan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua-Barus, menemukan bahwa pada sekitar abad 9-12 Masehi, Barus telah menjadi sebuah perkampungan multi-etnis dari berbagai suku bangsa seperti Arab, Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu, dan sebagainya. Tim tersebut juga menemukan banyak benda-benda berkualitas tinggi yang usianya sudah ratusan dan bahkan ribuan tahun dan ini menandakan dahulu kala kehidupan di Barus itu sangatlah makmur.

Dan semua kemakmuran itu berkat aroma kapur barus yang diolah dari kayu kamfer. Hanya kini, komoditi yang begitu mempesona di masa silam itu, hingga konon juga dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5. 000 tahun sebelum Masehi itu, kini sudah lama tidak lagi diproduksi

Di komplek makam Syekh Machmud yang tertata rapi dan terletak di Bukit Papan Tinggi dan memang betul-betul tinggi sehingga harus melewati 710 anak tangga ini, menggantung sebuah tulisan, “Beri Salam dan Alas Kaki dibuka.” Seakan mengakhiri sebuah kisah perjalanan sebuah kota bandar di tepian pantai barat Sumatra yang berabad lalu menjadi sebuah perkampungan multi-etnis yang penuh guyub, sarat daya tarik bagi para pedagang di hampir seluruh penjuru bumi, juga menjadi pintu masuknya berbagai peradaban dan agama-agama besar di bumi Nusantara itu kini telah sepi.**



[1] Barus telah disebut oleh Ptolomeus kira kira tahun 150 Masehi. (Kozok, 1991, 14)

[2] W. J. van der Meulen, “Suvarnadvipa and the Chryse Chersonesos”, Indonesia, 18, October 1974, h. 1

[3] Encyclopdeia van Nederlandsch Indie

[4] Ada tiga jenis kapur barus pada saat itu yaitu: Kapur barus dari Kalimantan dan Sumatera (Dryobalanops aromatica), Kapur barus dari China dan Jepang (Cinnamomum Camphora) yang banyak beredar dipasaran dan yang ketiga adalah Blumea balsami- fera, yang diproduksi di China dengan nama kapur barus Ngai. Harga dari kapur barus asal Sumatera ini kira-kira 138 kali lebih mahal dari kapur barus China dan Jepang. (Hobson-Jobson, Glossary of Anglo-Indian Words and Phares)

[5]Travel of Marco Polo,” Buku 3 Bab 9 dan Buku 2 Bab 8 by Marco Polo dan Rustichello of Pisa

[6] Sumatra Benzoe, Disertasi P.H. Brans

[7] J. Innis Miller, The Spice Trade of the Roman Empire, Oxford University Press, London, 1969, terutama Bab “The Cinnamon Route”

[8] Verspreide Geschriften No VI, halaman 15

[9] Po-lu-chi atau Po-lu-suo terkadang sering keliru diterjemahkan dalam text China dengan Bo-si atau Persia. Barus ini juga sering disebut sebagai Bon-cu, Bian-shu atau Bin-cuo. (Roderich Ptak, Possible Chinese Reference to the Barus Area (Ming to Tang) in Claude Guillot (ed.) Histoire de Barus, Sumatera: Le Site de Lobu Tua I, Etudes et Documents, Paris, Cahier d’Archipel 30, 1998, pp. 119-138)

[10] Oliver W. Wolters, Early Indonesian Commerce, Cornell University Press, Ithaca, New York, 1967, terutama Bab 8

[11] Dari Desa Pansur sedikit di utara Barus

[12] Dari kata Kalasan, daerah penghasil kapur barus antara Kota Barus dan Sungai Chenendang

[13] Diterjemahkan oleh Paul Pelliot, “Deux Itineraires de Chine en Inde a la Fin du VIIIe Siecle”, BEFEO, 4, 1904, hal. 132-413

[14] Diterjemahkan oleh Friedrich Hirth dan W. W. Rockhill, Chau Ju-kua: His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries, entitled CHU-FAN-CHI, Imperial Academy of Sciences, St.Petersburg, 1911

[15] Lihat: F. Hirth dan W.W.Rockhill, hh. 114-124

[16] Berita ini tercantum dalam kronik Tung-tien buku 193 nomor 22b. Lihat: F.Hirth dan W.W.Rockhill, h. 119

[17] Paul Pelliot, h. 297. Lihat juga W. P. Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources, Bhratara, Jakarta, cetak ulang 1960, h. 14.

[18] Barus, G.J.J. Deutz, Tijdschr No. 22 tahun 1875

[19] A Tamil Merchant-guild in Sumatera oleh Prof. N. Sastri dalam Tijdschr No 72 tahun 1932

[20] “Lobu Tua Sejarah Barus”, Obor, 2002

Selasa, 16 September 2008

STRATEGI PENGELOLAAN DAN PERTAHANAN WILAYAH PERBATASAN UDARA REPUBLIK INDONESIA: Tantangan Aspek Politik, Yuridis dan Operasional∗
Oleh: Mufti Makaarim A.∗∗

Awalnya, persoalan pengelolaan wilayah perbatasan negara hanya menjadi salah satu isu sensitif politik dan pertahanan, terutama dalam hal mempengaruhi kerjasama atau ketegangan bilateral antara dua negara yang memiliki wilayah berbatasan langsung. Seiring dengan perkembangan zaman, sensitivitas isu-isu pengelolaan wilayah perbatasan negara juga menjadi problem multilateral dan bahkan internasional, dimana kemajuan tekonologi dan beroperasinya kepentingan negara dan korporasi yang lintas negara memunculkan beragam persoalan terkait perbatasan suatu negara atau aktivitas lintas batas negara.
Di masa lalu, klaim, konflik dan kepentingan-kepentingan kedaulatan mulai dari wilayah perbatasan pada akhirnya diselesaikan melalui perang, yang berujung pada penundukan dan penguasaan wilayah negara serta berakibat juga pada kehancuran sistem politik, ekonomi dan sosial di suatu wilayah yang berhasil dikuasai. Adagium ‘Civis Pacem Para Bellum‘ (siapa yang menginginkan perdamaian harus bersiap untuk berperang) yang dipercaya sebagai justifikasi keluhuran perang telah membungkus beragam motif dibalik sebuah perang, termasuk persoalan-persoalan yang berawal dari wilayah perbatasan.
Sementara di masa kini, dibutuhkan suatu kemajuan dalam kearifan dan kemampuan mendeteksi ancaman, membangun strategi pengelolaan dan pertahanan serta mengatasi ancaman-ancaman tersebut dengan lebih elegan, konstitusional dan tunduk pada ketentuan-ketentuan internasional. Bagaimanapun pilihan pengerahan kekuatan bersenjata pada saat-saat genting dalam sebuah negara modern yang demokratis, termasuk dalam mengatasi persoalan perbatasan (1) merupakan alternatif terakhir (last resort); (2) diputuskan oleh otoritas politik sipil yang sah dan berwenang; (3) semata-mata untuk kepentingan pertahanan negara; (4) ditujukan untuk memulihkan kembali kondisi damai; (5) mematuhi prinsip non-diskriminasi; dan (6) proporsional.
Makalah singkat ini disiapkan untuk menjawab salah satu isu pengelolaan dan pertahanan perbatasan, yaitu perbatasan di wilayah udara Republik Indonesia.1 Dibandingkan
∗ Makalah ringkas ini disiapkan untuk Seminar Penyusunan Perumusan Kebijakan Pengelolaan Terpadu Wilayah Perbatasan, Departemen Pertahanan Republik Indonesia, Hotel Century Park, Jakarta Selasa 5 Agustus 2008
∗∗ Direktur Eksekutif Institute for Defense Security and Peace Studies (IDSPS), Jakarta.
1 Secara teoritik yang dimaksud dengan wilayah udara adalah campuran gas yang membentuk lapisan atmosfir yang mengelilingi bumi. Gas-gas tersebut terdiri dari sejumlah elemen primer seperti nitrogen, oksigen, argon, sedikit hidrogen, karbon dioksida, uap air, helium, neon, krypton, xenon, dan lain-lain. Manusia, hewan dan tumbuhan tidak dapat hidup tanpa oksigen yang ada di udara. Beberapa gas yang terkandung dalam udara pun dapat dipisahkan dari unsur udara lainnya untuk kebutuhan industri dan pengetahuan, mulai dari industri berat, persenjataan hingga penghantar suara dan benda. Dari sini jelas bahwa potensi wilayah udara tidak kalah dengan potensi yang terkandung di darat dan laut. Lebih jelas tentang potensi wilayah udara lihat artikel berjudul Air, dalam Microsoft ® Encarta ® 2006. © 1993-2005 Microsoft Corporation. All rights reserved. 1
dengan penanganan perbatasan darat dan laut yang memiliki klaim yang terukur dan ketentuan yang relatif lebih jelas, penanganan perbatasan udara nyaris tertinggal. Karenanya beragam faktor penghambat mulai dari tingkat politik, legislasi hingga operasi yang selama ini menjadi salah satu penyebab kelambanan pemerintah dalam membangun kebijakan dan kapasitas pengelolaan perbatasan udara harus menjadi suatu concern bersama.

PENGELOLAAN DAN PERTAHANAN PERBATASAN UDARA: Konsepsi Umum
Masalah pengelolaan dan pertahanan di wilayah perbatasan sangat terkait erat dengan konsepsi dasar tentang negara sebagai entitas yang memiliki kedaulatan, penduduk, dan wilayah serta tafsir atau persepsi atas ancaman yang dihadapi. Dengan demikian, pengelolaan dan pertahanan wilayah perbatasan dapat disimpulkan sebagai segala upaya untuk mewujudkan eksistensi suatu negara yang ditandai dengan terlindunginya kedaulatan, penduduk dan wilayah dari pelbagai jenis ancaman. Konsepsi ini merupakan bagian dari satu pemahaman totalitas mengenai konsep ‘keamanan nasional’ yang intinya adalah “kemampuan negara melindungi apa yang ditetapkan sebagai nilai-nilai inti (core values), dimana pencapaiannya merupakan sebuah proses terus-menerus, dengan menggunakan segala elemen power dan resources yang ada serta melingkupi semua aspek kehidupan".2
Struktur dan model ancaman terus berkembang seiring dengan perkembangan aktivitias politik, ekonomi dan rekayasa teknologi di pelbagai negara. Awalnya perdebatan ancaman cenderung umum pada diskursus ancaman dari dalam negeri dan luar negeri serta pada siapa yang mengancam dan terancam. Perkembangan politik dan teknologi kemudian memunculkan sejumlah ancaman kontemporer yang memiliki efek sama dahsyatnya atau bahkan lebih dari serangan militer atau wabah penyakit, seperti embargo ekonomi, embargo udara, operasi mata-mata (surveillance) dengan perangkat satelit, hingga ke penggunaan senjata biologis, terorisme, penyusupan, sabotase dan penyadapan arus komunikasi. Gejala kompleksitas ancaman ini ditunjukkan dengan menurunnya eskalasi operasi militer yang bersifat klasik seperti invasi dan perang terbuka serta meningkatnya perang asimetris melalui aksi-aksi yang lintas batas negara dan kewarganegaraan, langsung berada di jantung politik, ekonomi dan sosial suatu negara.
Kompleksitas ancaman semacam ini –termasuk dalam isu-isu perbatasan—menuntut peran aktif rezim politik demokratis yang memerintah dengan memperhatikan pandangan dan pembacaan aktor-aktor keamanan serta konsistensinya pada kepentingan penjagaan kedaulatan, penduduk dan wilayah.3 Termasuk mekanisme-mekanisme politik dan operasional
2 Rizal Sukma, Keamanan Nasional: Ancaman dan Eskalasi, FGD Pro Patria, 23 September 2003
3 Ada 2 argumen dasar atas pandangan ini: 1. Fungsi pertahanan merupakan hasil kontrak sosial dari warganegara yang terikat oleh aturan main yang telah disepakati. Negara menjadi satu-satunya institusi politik yang absah menyusun dan melaksanakan agenda pertahanan, termasuk menggunakan instrumen koersiv (senjata dan organisasi kekuatan). Karena negara lahir dari sebuah kesepakatan sosial, maka kekuatan pertahanan dan penggunaannya harus mendapat persetujuan dan tunduk pada aturan main yang telah disepakati dalam pembuatan kontrak sosial tersebut; 2. Pertahanan merupakan fungsi yang diarahkan untuk menanggulangi ancaman dan gangguan yang datang dari luar atau kekuatan eksternal (dalam interaksinya dengan negara lain) dan atau yang mengancam kedaulatan, warga negara dan wilayah, sesuai dengan dinamika ancaman dan kapasitas penangkalan yang tersedia atau ingin dibangun. Karenanya diperlukan pendefinisian identitas politik formal terkait 2
terkait pendeteksian, penilaian, perumusan rancangan penanganan dan pertanggungjawaban publik secara politik dan hukum. Mekanisme-mekanisme ini penting untuk menghindari terjadinya ‘inflasi ancaman’ yang disebabkan faktor-faktor: 1). Rekayasa ‘pemerintah’; 2). Kesalahan analisis; dan 3). Bias dari "worst case scenario", yaitu kecenderungan menghindari kemungkinan terjadinya underestimate terhadap ancaman yang ada.4
Pengalaman lepasnya Blok Ambalat ke tangan Malaysia misalnya, bisa jadi sangat dipengaruhi oleh problem ‘inflasi ancaman’ di atas, dimana pemerintah terkesan hanya mengandalkan pendekatan penyelesaian secara hukum dan pengerahan kekuatan TNI. Sementara Malaysia telah melakukan hal-hal yang lebih maju untuk ‘mengambil hati’ penduduk setempat dan publik internasional dengan membangun dan mengelola wilayah tersebut. Sehingga ketika sampai pada titik pengajuan klaim, status klaim kepemilikan oleh Malaysia lebih unggul dengan fakta bahwa seluruh infrastruktur setempat dan kedekatan emosional warga Ambalat di mata internasional cenderung lebih dekat dengan mereka.
Dalam menghadapi tantangan perubahan di atas, penanganan persoalan pengelolaan dan pertahanan di wilayah perbatasan RI juga dituntut untuk melakukan penyesuaian, baik dari segi pembacaan persoalan yang berdimensi pembangunan, administrasi pemerintahan, keamanan dan pertahanan, maupun dari segi pengambilan keputusan dan pembagian peran di tingkat eksekutif-legislatif-yudikatif, pusat-daerah, serta pemerintah-aktor keamanan. Tantangan di atas juga mensyaratkan suatu policy yang komprehensif terkait dasar hukum yang kuat, struktur operasional yang baik dan terkoordinir antar instansi, anggaran yang memadai, serta pengawasan dan pertanggungjawaban yang akuntabel.
Pengelolaan dan pertahanan wilayah perbatasan NKRI juga harus dipahami sebagai fungsi-fungsi yang bersifat permanen, selama eksistensi negara ada. Yang selalu akan berubah dan mengalami penyesuaian adalah, “Analisis ancaman (threat assessment) yang mempengaruhi besaran sumber daya dan kekuatan yang diperlukan dan bagaimana sumber daya dan kekuatan itu diorganisir untuk keperluan pengelolaan dan pertahanan wilayah perbatasan.” Analisis ancaman-lah yang menentukan apakah ancaman tersebut bersifat internal atau eksternal serta apakah penanganannya bersifat defensif atau ofensif. Termasuk apakah penanganan pengelolaan dan pertahanan wilayah perbatasan akan lebih dititikberatkan pada kawasan tertentu dengan memperhatikan derajat ancaman atau optensi ancaman berdasarkan kondisi geografis sebuah negara.
ISU PENGELOLAAN DAN PERTAHANAN UDARA: Banyak Kasus Namun Minim Pewacanaan Dalam Diskursus Politik
Wacana ancaman di wilayah perbatasan sejauh ini cenderung didominasi oleh isu dan problem perbatasan darat dan laut.5 Hal ini dapat dimaklumi mengingat sejumlah kasus-kasus menonjol yang lebih sering mengemuka di media atau terdeteksi secara terbuka berhubungan
kedaulatan (status negara), warga negara dan pihak-pihak yang dilindungi, serta batas-batas wilayah (terkait dengan negara lain).
4 Rizal Sukma, Ibid.
5 Di ranah bawah sadar kita, pengabaian ‘kepemilikan’ wilayah udara sebenarnya juga terjadi. Konsep wawasan nusantara yang dikembangkan misalnya, hanya melihat wilayah nusantara sebagai gugusan pulau di tengah lautan untuk menyebut Indonesia. Sebutan lain untuk negara yang kita gunakan adalah ‘tanah air’ (bukan ‘tanah-air-udara’). 3
dengan wilayah perbatasan darat dan laut. Bergesernya patok perbatasan, aktivitas ekonomi dan rekrutmen milisi, pelintas gelap dan penyelundupan, pencurian, hingga perdagangan pulau kepada sejumlah pemilik warga negara asing dan penguasaan pulau terluar oleh negara jiran adalah sejumlah isu yang kerap muncul di media, menjadi perbincangan hangat dan agenda politik, keamanan dan pertahanan di masyarakat hingga ke level parlemen dan pemerintah.
Hal lain yang mempengaruhi minimnya perhatian terhadap wilayah perbatasan udara adalah terbatasnya aktivitas yang ‘diidentifikasi sebagai pelanggaran atau ancaman di wilayah udara –misalnya hanya dikaitkan dengan pelanggaran penerbangan atau pemantauan oleh radar negeri tetangga. Sejumlah kasus dan pelanggaran tidak jelas penyelesaiannya, baik yang ‘dikhabarkan’ akan diselesaikan melalui jalur hukum maupun diplomasi. Sementara sejumlah ancaman lain menunggu di wilayah udara kita, seperti pengintaian, perlintasan benda-benda asing dan pemanfaatan sumber daya alam di udara. Hal-hal semacam ini tidak dapat dianggap sepele, mengingat wilayah udara merupakan titik strategis untuk mengamati atau memulai suatu tindakan militer yang berakibat fatal terhadap kedaulatan, keselamatan warga negara serta wilayah. Wilayah udara juga mengandung sumber daya alam yang pada suatu saat dapat dimanfaatkan. Walaupun sejumlah arbitrase internasional (dengan merujuk pada kasus yang dianggap melanggar Konvensi Chicago 1944 misalnya) dalam kasus-kasus pelanggaran terhadap wilayah udara cenderung mengecewakan hasilnya, namun bukan berarti keseriusan untuk menanganinya menjadi terabaikan.6
Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa kasus-kasus pelanggaran wilayah udara Indonesia oleh pesawat-pesawat komersil dan militer asing sebenarnya juga mengemuka. Sepanjang tahun 1999-2001 misalnya, seringkali terjadi ketegangan antara Indonesia-Australia lantaran banyaknya penerbangan gelap (black flight) dan penerbangan tanpa izin.7 Sempat pula terjadi ketegangan ketika pesawat-pesawat F-5 Tiger TNI-AU ‘mengusir’ jet-jet F-18 Hornet milik Angkatan Udara Australia yang dinilai telah memasuki wilayah udara Indonesia di atas Pulau Roti tanpa izin. Sebelumnya, di tahun 1993, sebuah F-18 Hornet AS yang tidak diketahui berasal dari kapal induk mana ‘terpaksa’ melakukan technical landing setelah kepergok F-16 IAF di perairan Biak. Pada tahun 2003, 5 pesawat F-18 Hornet AS juga nyaris menembak pesawat F-16 TNI AU yang bermaksud melakukan identifikasi atas penerbangan yang mereka lakukan di barat laut Pulau Bawean. ketika 2 pesawat F-16 TNI AU berusaha mengontak
6 Kasus tertembaknya pesawat mata-mata U-2 milik CIA di atas wilayah udara Soviet Rusia pada 1 Mei 1960 adalah salah satu contoh kasus aktivitas surveillance militer AS ke wilayah Rusia yang mendapat sorotan internasional di tengah ketegangan perang dingin namun tidak terselesaikan secara tuntas. Pesawat yang mampu terbang di atas ketinggian di atas 70.000 kaki (sebuah ketinggian yang hampir tak pernah dilalui pesawat lainnya karena tipisnya lapisan udara dan sulit digapai rudal pertahanan udara Soviet) dengan leluasa mengambil rekaman gambar dari udara dengan kamera super canggih yang bisa membaca koran dari jarak 13 mil. Presiden Nikita Khruschev sangat marah atas pelanggaran wilayah udaranya, terlebih untuk keperluan mata-mata pula. Meski AS melakukan pembelaan sebisanya, Presiden Dwight D. Eisenhower, terpaksa harus mengaku salah dan berjanji tak akan pernah mengulanginya lagi. Sayangnya janji ini tak berumur panjang, 1 Juni 1960, Uni Soviet kembali berhasil menembak jatuh pesawat mata-mata AS lainnya, RB-47, ketika tengah melintas di 30 mil lepas pantai Uni Soviet sebelah utara. Lihat Majalah ANGKASA No 9 JUNI 2000 TAHUN X.
7 Black flight suatu penerbangan yang dilakukan tidak disertai pemberitahuan terhadap otoritas pengawas udara setempat sehingga sama sekali informasi dan identifikasi penerbangan tersebut tidak ada –umumnya penerbangan militer. Sedangkan penerbangan tanpa izin adalah penerbangan regular yang asal, tujuan, dan call sign-nya diketahui namun bermasalah terkait izin rute dan melintas. 4
pesawat F-18 tersebut, mereka justru mengunci (lock on) keduanya dan bersiap untuk menembak. Berdasarkan observasi TNI AU, pesawat-pesawat ini merupakan bagian dari satu Armada Angkatan Laut AS yang terdiri dari 1 kapal induk, 2 kapal fregat dan 1 kapal tanker dan mengaku memiliki izin untuk melintas.8
Dalam kasus di atas, terlepas dari kebenaran adanya izin atau tidak, status Amerika yang belum mengakui atau meratifikasi United Nation Convention on the Law of the Sea (Unclos)) 1982 yang telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang (UU) No 17 Tahun 1985 dan UU No 6 Tahun 1996 yang juga mengakui kedaulatan wilayah udara di atas perairan suatu negara menjadi persoalan lain. Status ini menyebabkan Amerika memiliki pandangan bahwa Di Indonesia ratifikasi ini ditindaklanjuti pemerintah Indonesian dengan penerbitan Peraturan Pemerintah PP No 37/38 Tahun 2002 yang memuat tentang Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I, II dan III, untuk mempertegas status Indonesia sebagai negara kepulauan.9 Namun konvensi ini tidak serta merta dapat diberlakukan terhadap negara-negara yang tidak meratifikasi. Jauh sebelum sejumlah insiden di Indonesia, kasus-kasus serupa terjadi di banyak wilayah udara, terutama pada masa-masa perang dingin AS-Uni Soviet.
Tabel 1. Sejumlah Insiden Pelanggaran Wilayah Udara yang Menghebohkan Dunia
No
Kasus
Waktu
Kegiatan Yang dilakukan
1
Operasi mata-mata CIA dengan menggunakan pesawat jenis U-2 Dragon Lady yang mampu terbang hingga ketinggian 70.000 kaki (25.000 m). Salah satu pesawat jenis ini tertembak jatuh oleh rudak SA-2 Guideline di dekat Sverdlovsk, Uni Soviet. Kejadian ini membuat Nikita Khurshchev, Pemimpin Soviet marah dan mengecam AS habis-habisan pada konferensi Paris.
Sejak 1956 hingga 1 Mei 1960, saat satu pesawat U-2 jatuh tertembak/
Berdasarkan pengakuan sang pilot yang tertangkap, Francis Gary Power, terungkap bahwa pesawat yang sama sebelumnya telah 24 kali melanggar kedaulatan udara Uni Soviet. Awalnya Amerika bersikukuh bahwa penerbangan itu untuk pengamatan cuaca. Akhirnya Presiden Eisenhower meminta maaf dan berjanji bahwa AS tak akan mengulangi pelanggaran wilayah udara Uni Soviet lagi.
2
Operasi pesawat mata-mata CIA jenis U-2 di wilayah udara Kuba. Pada 27 Oktober 1967 satu pesawat U-2 AS tertembak rudal SA-2 di atas Kuba. Lantaran reruntuhan pesawat tak pernah ditemukan, kasus ini tak berbuntut panjang.
Sekitar tahun 1967 hingga tertembaknya satu pesawat U-2 AS pada 27 Oktober 1967
Operasi digelar untuk memonitor rencana Uni Soviet menggelar rudal nuklir antar benua SS-4 Sandal di Kuba. Sehari setelah tertembaknya pesawat U-2 AS, Soviet membatalkan rencana untuk menggelar pangkalan rudalnya.
3
2 Pesawat pencegat F-14 milik AS yang berpangkalan di Kapal Induk USS Nimitz telah merontokkan 2 jet Sukhoi Su-22 Fitter milik Angkatan Udara Libya di atas perairan Teluk Sidra, Libya. Insiden ini meningkatkan ketegangan AS dengan Uni Soviet yang menjadi sekutu Libya.
19 Agustus 1981
Libya menyatakan kedua pesawat AS tersebut telah melanggar wilayah udara Libya sejauh 12 mil dari garis pantai, sementara AS hanya mengakui batas wilayah udara Libya sejauh 3 mil. Beberapa waktu kemudian, pesawat-pesawat pembom F-111 milik AS memasuki
8 http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2003/07/04/brk,20030704-29,id.html
9 Walaupun AS tidak mengakui Unclos, mereka seharusnya juga tunduk pada Konvensi Chicago 1944 dimana pemerintah AS dan pemerintah Indonesia telah meratifikasi –menjadi UU No 15 Tahun 1992 Tentang Penerbangan-- yang juga mengakui kedaulatan penuh suatu negara atas wilayah udara, darat dan perairan. Dalam pasal 1 Konvensi Chicago disebutkan bahwa, “every State has complete and exclusive sovereignity over the airspace above its territory.”
5
wilayah udara negeri di bagian utara Afrika ini dan menjatuhkan bom ke kemah-kemah kediaman pemimpin Libya Moamar Khadafi.
4
Serangan udara Israel ke Reaktor Nuklir Osirak, Irak dengan 14 pesawat berjenis F-15 Eagle/F-16 Fighting Falcon milik Angkatan Udara Israel yang dikenal dengan Operasi Babilon.seluruh dunia mengecam tindakan ini sebagai pelanggaran hukum internasional, termasuk Dewan Keamanan PBB. AS sebagai sekutu Israel pun menangguhkan pengriman sejumlah pesawat F-15/F-16 pesanan Israel.
7 Juni 1981
Pesawat-pesawat ini terbang dengan formasi yang berubah-ubah melintasi wilayah udara Yordania dan Arab Saudi sebelum memasuki wilayah udara Irak. Formasi yang berubah-ubah membuat pesawat-pesawat ini mampu mengelabui radar di ketiga negara tersebut.
5
Penembakan pesawat udara komersil Boeing 747 milik Korean Airlines (KAL 007) oleh pesawat tempur Angkatan Udara Uni Soviet. Akibatnya, 269 penumpang dan awak pesawat tewas. Dunia mengecam keras insiden ini dan menyatakan sebagai pembunuhan masal di udara, tak bisa melakukan sangsi apa-apa lantaran Uni-Soviet bukanlah anggota ICAO. Apalagi sebenarnya Uni Soviet telah mengumumkan daerah itu terlarang bagi setiap penerbangan asing.
September 1983
Pesawat ini memasuki wilayah Kamchatka yang merupakan wilayah udara Uni Soviet. Komunikasi udara dan tembakan peringatan dari pesawat-pesawat Rusia tidak diindahkan pilot Boeing 747 ini. Tepat di atas Sakhalin, beberapa Sukhoi Su-15 Flagon melepaskan rudalnya, sebelum pesawat itu makin merengsek ke daerah larangan terbang (ADIZ) Uni Soviet. Soviet menuduh pesawat tersebut tengah melakukan misi mata-mata dengan kamera di badannya.
6
Penerbangan Cessna 172 yang dipiloti pemuda Jerman Barat Mathias Rust hingga 900 km di wilayah Rusia. Rendahnya kecepatan dan kecilnya ukuran membuat radar Uni Soviet tidak bisa memastikan apakah ini pesawat atau burung. Walau akhirnya Rust dilepaskan, kejadian ini membuat Menhan Uni Soviet, Marsekal Sergei Sokolov harus meletakkan jabatan. Demikian juga Kepala Staf Angkatan Udara Uni Soviet, Alexander Kuldonov, yang dijuluki si penjagal KAL 007.
28 Mei 1987
Dengan menggunakan pesawat sewaan, Rust yang sempat melakukan pengisian bahan bakar di Helsinki, Finlandia, menelusuri jalur Baltik melalui wilayah udara Republik Estonia menuju Kremlin. Rust sempat berputar sebanyak tiga kali di Central Plaza dan menyambar Gedung Lenin Mousoleum sebelum akhirnya mendarat 50 yard sebelum tembok Kremlin.
Sumber: Majalah ANGKASA N0 9 JUNI 2000 TAHUN X
Terhadap insiden-insiden udara semacam ini umumnya diselesaikan melalui mekanisme politik dan diplomasi ketimbang melalui proses hukum. Di Indonesia, reaksi yang diberikan anggota DPR atau elit politik misalnya, cenderung tidak menyelesaikan persoalan; menyesalkan, memanggil pemerintah dan menuntut sikap tegas pemerintah atas kedaulatan yang diobok-obok asing. Di sisi lain, pemerintah dengan beragam pertimbangan menjaga hubungan bilateral, menghindari dampak politik dan ekonomi, dan disi lain menghadapi kendala lemahnya dukungan politik dan instrumen hukum yang ada tidak bisa mendorong proses-
6
proses penyelesaian yang lebih maju. Sejumlah aspek yang menjadi penunjang penyelesaian seperti keterbatasan sumber daya, peralatan dan anggaran juga masih menjadi persoalan.

KAPASITAS LEGISLASI DAN DALAM MENUNJANG PENGELOLAAN DAN PERTAHANAN WILAYAH PERBATASAN UDARA: Belum Maksimal
Sejauh ini sejumlah landasan hukum menjadi dasar dari pelbagai kebijakan dan pelaksanaan kegiatan pengelolaan dan pertahanan di wilayah perbatasan darat, laut dan udara. Sayangnya landasan-landasan tersebut besifat umum dan cenderung sangat berorientasi pada penanganan wilayah darat dan laut.
Undang-undang Dasar (UUD) 1945 dalam pasal 25 E hanya menyatakan bahwa, Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang. Tidak ada penjelasan lebih lanjut terhadap pasal ini. Terkait dengan meknisme pengelolaan dan pengamanan wilayah NKRI, seluruh pembahasan yang pengaturan tidak secara jelas dan tegas menyebutkan isu-isu wilayah perbatasan, terlebih wilayah perbatasan udara.
Merujuk pada sejumlah Undang-undang, wacana tentang pengelolaan dan pertahanan wilayah perbatasan udara pun minim. Dalam UU No 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, penjabaran akan kepentingan perlindungan wilayah perbatasan tidak dijelaskan. Pengertian konsep pertahanan sebagaimana disebut dalam pasal 1 ayat 1 dan 2 masih bersifat sangat umum, yaitu, “(1). Pertahanan negara adalah segala usaha untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. (2). Sistem pertahanan negara adalah sistem pertahanan yang bersifat semesta yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman.” Selebihnya UU ini menjabarkan teknis operasionalisasi pertahanan negara yang bersifat strategis dan general.
UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah hanya mengatur secara umum fungsi pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat dan daerah, namun tidak menyentuh point-point yang eksplisit untuk kewenangan dan mekanisme pengelolaan perbatasan negara, baik darat, laut, maupun udara. UU No 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) hanya mengatur peran-peran operasional TNI sebagai kekuatan pertahanan, bukan pada aspek policy kebijakan pertahanan, apalagi penanganan wilayah perbatasan. Demikian pula UU No 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang dan UU No 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang mengatur rancangan kerja dan pengembangan yang masih berorientasi pada wilayah non perbatasan dan terfokus pada daratan.
Rumusan yang agak terang muncul dalam UU no 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 yang menegaskan orientasi pengembangan wilayah perbatasan dari inward looking menjadi outward looking sebagai pintu gerbang ekonomi dan perdagangan. Termasuk pendekatan kesejahteraan untuk pulau-pulau di wilayah perbatasan. Selanjutnya disebutkan bahwa pengamanan kedaulatan dan negara kdepan meliputi peningkatan kinerja pertahanan dan keamanan secara terpadu di wilayah
7
perbatasan; pengembangan sistem MCS (Monitoring, Control and Survaillance); optimalisasi pengamanan perbatasan dan pulau-pulau terdepan; serta koordinasi penanganan pelanggaran laut. Gambaran untuk penanganan wilayah perbatasan udara tetap belum jelas.

RUU TENTANG WILAYAH NEGARA: Adakah Harapan untuk Pengelolaan dan Pertahanan Wilayah Perbatasan Udara?
Di awal tahun 2008 DPR mengajukan Rancangan Undang-undang Wilayah Negara Kepada Pemerintah. Rancangan yang terdiri dari 37 Pasal dan 11 Bab ini ditindaklanjuti Presiden dengan menunjuk Menteri Hukum dan HAM, Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, dan Menteri Pertahanan untuk melakukan kajian terhadap RUU tersebut, dimana Departemen Dalam Negeri memimpin tim pemerintah dalam pembahasannya di DPR.10
Dalam RUU Wilayah Negara tersebut terdapat beberapa rancangan terkait ketentuan umum, asas dan tujuan, wilayah negara, batas wilayah negara, hak berdaulat, kewenangan, peran serta masyarakat, larangan, kententuan pidana, ketentuan peralihan dan ketentuan penutup. Sejumlah isu dan ketentuan pengelolaan wilayah udara dibahas, walaupun masih mengikuti kebijakan pengelolaan dan pertahanan di wilayah darat dan laut.
Dalam Pasal 1 (satu) ayat 1(satu) RUU ini dinyatakan bahwa, “Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut dengan Wilayah Negara adalah kesatuan geografis yang terdiri dari darat, perairan, dan udara dengan batas-batas yang ditentukan berdasarkan sejarah, perjanjian dan/atau konvensi internasional.” Pasal 4 kembali menegaskan bahwa, “Wilayah Negara merupakan kesatuan wilayah perairan, daratan dan udara yang tidak terpisahkan dengan berciri Nusantara”, dan pasal 6 yang menyatakan, “Wilayah negara meliputi a). wilayah darat termasuk tanah dibawahnya; b). wilayah perairan termasuk dasar laut dan tanah di bawahnya; dan c). wilayah udara di atas wilayah darat dan perairan.” Pasal 22 tentang batas wilayah udara menyatakan bahwa, “Batas Wilayah Negara di udara secara horizontal mengikuti batas wilayah darat dan wilayah perairan.”
Penegasan klaim atas wilayah negara dalam RUU pada beberapa pasal di atas merupakan satu inti penting RUU ini sebagai: 1). Penegasan batas kedaulatan; 2). Penegasan batas kewenangan dan hak penegakan hukum; dan 3). Klaim keperdataan,11 sebagaimana dianut dalam diktum hukum Romawi yang menyatakan, “Cujus est solum, ejus est esque ad coelum” (Siapa yang memiliki tanah, ia memiliki apa yang di atasnya hingga ke langit dan apa yang di bawahnya hingga ke dasar bumi). Klaim atas wilayah negara yang diatur dalam RUU ini juga menganut pandangan wilayah negara dalam 3 dimensi, yaitu daratan sebagai dimensi pertama, perairan/lautan sebagai dimensi kedua dan ruang udara di atas dimensi pertama dan dimensi kedua sebagai dimensi ketiga. Pandangan batas wilayah negara tiga dimensi ini sebelumnya telah diadopsi dalam Konvensi Paris 1919 dan Konvensi Chicago 1944.12
10 http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2008/01/24/brk,20080124-116098,id.html
11 Pandangan Kitab Undang-undang Hukum Perdata kita menganut mazhab diktum ini, dimana pada pasal 571 dinyatakan, “Hak milik atas sebidang tanah mengandung di dalamnya, kepemilikan atas segala yang ada di atasnya dan di dalam tanah..”
12 H. Priyatna Abdurrasyid, Kedaulatan Negara di Ruang Udara (Jakarta: Fikahati Aneska & Badan Arbitrase Nasional Indonesia, 2003), hal. xxiii-xxiv.
8
Namun RUU ini juga memiliki beberapa kekurangan terkait penjabaran lebih lanjut tentang komponen pelaksana utama dan pendukung serta mekanisme dan system kerja yang terintegrasi antara wilayah darat, perairan/laut dan udara. RUU ini juga belum mengatur secara terpisah antara kepentingan pengelolaan dan pertahanan yang walaupun memiliki keterkaitan namun menghajatkan agenda kerja (politik, diplomasi, pembangunan, pertahanan), kebutuhan pendukung (infrastruktur dan suprastruktur), aktor utama dan aktor pendukung, mekanisme akuntabilitas, mobilisasi dan demobilisasi, serta jangka waktu yang berbeda-beda. Termasuk dalam pemetaan ancaman dan hambatan pengelolaan dan pertahanan di setiap wilayah tertentu.
DOKTRIN SWA BHUWANA PAKSA: Heroisme TNI AU di Tengah Beragam Keterbatasan
Doktrin Swa Bhuwana Paksa yang diperkenalkan (kembali) sejak tahun 2000 dimaksudkan “sebagai sumber bagi perumusan petunjuk-petunjuk penyelenggaraan pembinaan kemampuan dan penggunaan kekuatan TNI AU, petunjuk operasi gabungan serta bagi perumusan doktrin-doktrin TNI” (Pasal 3, Keputusan KSAU 24/X/2000). Doktrin tersebut juga secara berkala dapat ditinjau kembali agar sesuai dengan dinamika perkembangan keadaan. Terkait dengan pengaruhnya terhadap peningkatan kapasitas TNI AU dalam mengemban amanat pengamanan wilayah udara, doktrin ini mendapat beberapa catatan kritis, antara lain seperti yang disampaikan Kusnanto Anggoro yang menyatakan bahwa:
􀁹 Landasan konstitusional yang menegaskan kedudukan TNI AU sebagai alat negara, dan landasan konsepsional Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional belum tercermin dalam pembangunan dan pembinaan kemampuan dan kekuatan udara. Sebagai konsekuensi doktrin ini seharusnya sudah dapat dibaca postur (force structure, deployment, dan capability) kekuatan pertahanan udara saat ini dan ke arah mana kekuatan itu akan dikembangkan (orientasi defensif atau offesif).
􀁹 Identifikasi agresi militer dari luar melalui laut dan udara sebagai ancaman eksternal utama yang dihadapi oleh Indonesia tidak disertai ketegasan akan strategi pertahanan yang dibangun, apakah akan bertumpu pada war survival capability, war fighting capability atau war winning capability.
􀁹 Pengakuan keunggulan (kemampuan kekuatan udara dari segi coverage luas tanpa kerawanan, kecepatan, daya jangkau, fleksibilitas, daya terobos tinggi, daya tanggap, dan daya kejut) serta keterbatasan kekuatan udara (kapasitas pangkalan udara dan daya dukungnya) semestinya diibangi dengan pemetaan potensi pertahanan agar kekuatan udara dapat menunaikan fungsi penangkalan dan pertahanan udara.
􀁹 Tumpang tindih peran strategis dan peran operasional, seperti penyelenggaraan operasi udara sebagai operasi terpadu maupun mandiri (kewenangan panglima TNI), pembangunan dan peningkatan kekuatan (Departemen Pertahanan), dan penegakan hukum atas pelanggaran di wilayah udara (landasan hukum yang konstitusional atau berdasarkan konvensi internasional).
􀁹 Perlunya penajaman agar doktrin Swa Bhuwana Paksa menjadi doktrin strategis yang dapat menjadi rujukan bagi doktrin operasioal (taktis) dan sekaligus menjembataninya dengan doktrin pertahanan (militer).13
13 Kusnanto Anggoro, Doktrin Swa Buana Phaksa; Substansi, Konsistensi dan Operssionalisasi, Makalah Focus Group Discussion – Propatria, Jakarta, 05 November 2003 9
OPERASIONALISASI PENGELOLAAN DAN PERTAHANAN PERBATASAN UDARA: Beberapa Catatan
Di tingkat operasionalisasi, pengelolaan dan pertahanan perbatasan secara umum menghadapi tiga tantangan, selain hambatan politik dan yuridis yang telah dijelaskan di atas. Ketiga tantangan tersebut adalah: 1). Ketersediaan blueprint dan sistem operasionalisasinya yang terintegrasi antar sektor dan institusi pemerintah untuk menangani seluruh wilayah perbatasan mulai dari batas terluar di perairan Sabang hingga perairan Merauke; 2). Kebijakan Anggaran dan alokasi sumberdaya yang sustainable dan memenuhi kebutuhan secara menyeluruh; 3). Mekanisme pengawasan demokratis, akuntabilitas publik dan pelibatan publik (investor atau LSM misalnya) untuk turut serta memastikan akuntabilitas dan kredibilitas pengelolaan dan pertahanan di wilayah perbatasan.
Di tingkat yang lebih sepesifik pada bidang pertahanan, beragam tantangan yang dipengaruhi perubahan lingkungan strategis juga mengemuka, seperti munculnya ‘perang modern yang bersifat asimetris, ancaman-ancaman keamanan non-konvensional, kesiapan kekuatan pertahanan, perubahan nilai-nilai politik yang mengedepankan transparansi dan akuntabilitas dan pengakuan pilar Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai faktor fundamental baru dalam negara demoktrastis selain pilar keamanan dan ekonomi.

TANTANGAN KONTEMPORER PERTAHANAN RI
Kompleksitas semacam ini mau tidak mau membutuhkan integrasi seluruh pemangku kepentingan dan tanggung jawab dalam pengamanan wialayah perbatasan, seperti DPR (dengan fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan), Presiden (dengan fungsi sebagai penanggungjawab politik atas kebijakan-kebijakan di wilayah perbatasan, pemberi perintah mobilisasi dan demobilisasi kekuatan pertahanan, dan pengatur fungsi dan peran instrumen-instrumen negara untuk mengatasi ancaman atau menjalankan rencana pengelolaan), Menteri Pertahanan (penanggungjawab politik atas blueprint pertahanan, kesiagaan dan kelengkapan perangkat terutama untuk militer), TNI (penanggungjawab operasional pertahanan, pelaksana utama untuk menghadapi ancaman militer), institusi pemerintahan lainnya (terkait pengelolaan administrasi pemerintahan, penegakan hukum, pemanfaatan sumber daya alam dan 10
pengembangan kesejahteraan penduduk di wilayah perbatasan di bidang kesehatan, pendidikan dan akses-akses ekonomi), serta warga negara (peran bela negara dan kontrol akuntabilitas seluruh aktor di atas).
Lebih spesifik terkait pengelolaan dan pertahanan di wilayah perbatasan udara, problem problem yang bersifat teknis juga terjadi. Seperti diketahui, klaim wilayah perbatasan udara kita mengkuti garis lurus vertikal wilayah perbatasan darat dan perairan atau konsep perbatasan tiga dimensi. Akibatnya penentuan wilayah perbatasan udara terutama di perairan mengikuti konfigurasi perbatasan yang ada dan terpecah-pecah. Akibatnya pemantauan terhadap perbatasan udara menjadi sulit karena factor kesulitan mengetahui secara pasti batasan antara ruang udara Indonesia dan ruang udara bebas (di atas wilayah perairan internasional).
Konsekuensinya, pemerintah Indonesia cenderung memilih sikap berhati-hati terhadap tuduhan pelanggaran wilayah udara Indonesia seperti dalam kasus penyusupan pesawat-pesawat Hornet Angkatan Udara Australia ketimbang terjebak dalam perkara internasional yang belum tentu dimenangkan mengingat minimnya pembuktian –terutama di titik perbatasan. Pencatatan data dan titik aktivitas penerbangan gelap belum berarti memberikan bukti-bukti yang cukup untuk menuntut pelanggaran ini. Terlebih dengan kondisi kemampuan radar dan operasi udara yang belum maksimal, maka kemungkinan untuk ‘menggertak’ pesawat-pesawat yang melakukan penerbangan gelap tersebut cenderung sia-sia.
Sikap semacam ini mungkin merupakan pilihan yang tepat sejauh para pihak yang melakukan pelanggaran tidak menunjukkan aktivitas-aktivitas yang mencurigakan atau tidak sedang dalam status perang dengan Indonesia. Karenanya patut dipikirkan prioritas agenda 11
untuk penanganan keamanan di wilayah perbatasan udara, misalnya dengan penambahan radar militer atau pengedepanan diplomasi untuk kepentingan perlindungan wilayah udara.
Penutup
Beragam kasus terkait keterbatasan TNI AU memantau penerbangan gelap dan menggunakan landasan udara di seluruh wilayah RI, kelemahan-kelemahan ATC Bandar udara dan ketiadaan integrasi kerja radar sipil dan militer dalam sistem Transmission Data Air Situation (TDAS) hingga strategi diplomasi internasional terkait pemanfaatan ruang udara dan antariksa RI hendaknya menjadi pelajaran untuk meningkatkan kapasitas pertahanan di wilayah perbatasan udara NKRI.
Pengelolaan dan pertahanan wilayah udara yang belum maksimal hendaknya juga menjadi prioritas proyeksi strategis kedepan terkait rencana pembangunan dan pemanfaatan sumber daya alam untuk kesejahteraan bangsa Indonesia. Diharapkan juga konsepsi pengelolaan dan pertahanan wilayah perbatasan udara merupakan konsepsi yang integral dengan penanganan wilayah perbatasan darat dan laut serta menjadi bagian dari agenda pembangunan lainnya seperti pengentasan wilayah tertinggal dan pemanfaatan sumber daya yang tersedia untuk pembangunan nasional
Tanpa kedua pandangan ini, maka cita-cita luhur untuk mengamankan dan mengelola seluruh wilayah perbatasan darat, laut dan udara kita hanya akan menjadi konsep dan segala upaya yang dilakukan berjalan di tempat.
Jakarta, 1 Agustus 2008
Mufti MAKAARIM A., adalah Direktur Eksekutif Institute for Defense Security and Peace Studies (IDSPS). Sebelum bekerja di Lembaga Rekonsiliasi dan Perdamaian Indonesia (LERAI) pada 1999 dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) pada 1999-2007 dengan jabatan terakhir Sekjen Federasi Kontras 2004-2007, di samping sebagai peneliti dan penulis lepas untuk isu-isu pertahanan dan keamanan dengan beberapa lembaga Internasional seperti Human Rights First, Human Rights Watch, Amnesty International dan The Redress. Selain sebagai praktisi otodidak, pengetahuan tentang pertahanan, keamanan dan hukum HAM Internasional diperoleh melalui beberapa pendidikan singkat di beberapa lembaga internasional seperti seperti ICRC, Jenewa, Swiss (Armed Conflict & Internal Violence), Clingendael Institute, The Hague, Belanda (Security Sector Reform), East-West Center, Hawaii, AS (Conflict in Asia-Pacific), Danish Institute for Human Rights/DIHR, Copenhagen, Denmark (Ensuring Human Rights in Police Practices), Asian Human Rights Commission/AHRC, Hongkong (International Human Rights Mechanism). Pernah dan masih aktif dalam beberapa jaringan internasional seperti Forum Asia (Bangkok), The Redress (London), SSR-Network (London), Asian Regional Exchange for New Alternatives/ARENA (Seoul, South Korea), Solidarity Movement for Democratization in Asia/SDMA (Gwangju, South Korea), dll.
Beberapa tulisannya dalam isu-isu pertahanan dan keamanan yang telah diterbitkan antara lain Teror Bom di Indonesia (Kontras, 2000) Konflik Maluku (Kontras, 2000), Teror Bom 2002 (Kontras, 2002), Bom Bali 2003 (Imparsial 2003), Reparation For Torture, A Survey of Law and Practice in 30th Selected Countries, (The Redress Trust, London, 2003), Ketika Moncong Senjata Ikut Berniaga: Keterlibatan Militer dalam Bisnis di Bojonegoro, Boven Digoel dan Poso (Kontras, 2004), Analisis Impelementasi UU Anti-Terorisme
12
(Monograph Propatria, 2005), Catatan Monitoring Reformasi Militer 1 tahun Paska Pencabutan Embargo Militer AS (INFID-Kontras-Imparsial, 2005), Enforced Disappearances, Summary And Extrajudicial Killings Inside Indonesia’s Counter Terrorism Laws, Policies And Practices, (ICJ, 2006), Pelanggaran HAM: Warisan (Maut) Keterlibatan Militer di Sektor Bisnis (dalam Jaleswari Pramodhawardani & Andi Widjajanto, “Bisnis Serdadu, Ekonomi Bayangan, The Indonesian Institute, 2007), The Role of Civil Society Organization in Security Sector Reform (Almanak SSR Lesspersi dan DCAF, 2007), Effektivitas Strategi Organisasi Masyarakat SIpil dalam Reformasi Sektor Keamanan di Indonesia 1998-2006 (IDSPS, 2008), dll. 13

0 komentar: