Heritage Intelligence

Mendengar intelijen ingatan langsung tertuju kepada James Bond 007, CIA, KGB, dan Mossad. Institusi intelijen Negara yang bekerja dalam ketertutupan dan menyeramkan seperti kisah Victor Ostrovsky atau novel Body of Lies karya David Ignatius. Intelijen Benda Cagar Budaya (Heritage Intelligence) bukan merupakan pengenjawantahan dari Lembaga Intelijen Negara, melainkan pekerjaan penelitian dan pendokumentasian tentang keberadaan benda cagar budaya yang ada di Indonesia. Banyaknya peninggalan kekayaan artefak sejarah yang telah lenyap atau musnah, sehingga menciptakan kerugian besar hampir disetiap sektor baik dari Ilmu pengetahuan, sosial-budaya, ekonomi dan pertahanan keamanan Negara.
Ketidak berdayaan pembuktian kekayaan dan kerugian Negara tentang peninggalan sejarah, yang telah hilang maupun masih ada merupakan 'titik lemah' untuk dapat menjelaskan dan mempertanggung jawabkan kepada publik.
Sebagaimana contoh hancurnya bangunan di proklamasi, dimana potret nyata detik-detik bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Pertanyaan kerugian apa saja yang diciptakan dari kehancuran bangunan proklamasi tersebut? Ternyata ketika di 'bedah' anatominya sungguh membuat kepala cekot-cekot, dari sisi Ilmu pengetahuan bukti nyata keberadaan fisik bangunan sudah tidak ada. Di dalam ranah berbeda seperti contoh ketika pulau Sipadan dan Ligitan diakui oleh Mahkamah Internasional di Belanda, fisik bangunan yang terdapat dikedua pulau tersebut adalah milik Malaysia. Pada akhirnya secara de jure maupun de fakto pulau Sipadan dan Ligitan milik sah Malaysia.
Terperanjat bahwa eksistensi fisik bangunan bukan persoalan sederhana, cara pandang melihat fisik bangunan selama ini hanya dilihat dari 'kaca mata kuda' yang melulu diukur dari perspektif estetika dan ekonomis semata. Padahal sebuah bangunan diciptakan melampaui tapal batas estetika dan ekonomi, sebagaimana masyarakat Jawa membangun rumah Panggang pe Ceregancet mirip dengan jasad hidup yang tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan kehidupan penghuninya.

Database Benda Cagar Budaya

Film petualangan Indiana Jones, National Treasure, dan Da Vinci Code, membuat adrenalin penonton terpacu. Kecerdasan mengumpulkan serpihan informasi yang tercecer, sehingga teka-teki dapat terpecahkan dan disusun ulang. Sungguh sebuah inspirasi. Tersebar dan terseraknya artefak benda cagar budaya dari berbagai wujud, baik dari sisa-sisa peninggalan kerajaan Nusantara sampai peninggalan kolonial. Sampai saat ini masih dalam 'terawangan' sebagai analogi berjalan dikegelapan tanpa cahaya. Keberadaan UU.No.5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya dan UU.No.26 Tahun 2007 Tentang Tata Ruang masih dalam tahap konsepsional, belum memasuki 'ranah' operasional di dalam pelestarian benda cagar budaya. Inventarisasi pendokumentasiaan sebagai database keberadaan benda cagar budaya dari berbagai ragam bentuk, sampai saat ini masih belum dapat direalisasikan. Padahal database tersebut merupakan 'peta hidup' sebagai alat deteksi dini, perihal kelangsungan pelestarian benda cagar budaya di Indonesia. Karena bila terwujud pendokumentasian tersebut, publik dapat mengetahui dan menjaga pelestarian dari benda cagar budaya yang dilindungi oleh Negara. Fungsi database dapat memberikan suguhan informasi, berapa jumlah benda cagar budaya yang dimiliki seperti Gedung, Benteng, Rumah, Masjid, Gereja, Vihara, Pusaka dan lain sebagainya. Dengan adanya informasi keberadaan artefak sejarah ini, penghancuran dan pencurian dapat maksimal dihindari.
Pendokumentasian mempunyai peran ganda di satu sisi dapat menjadi alat kontrol, disisi lain merupakan alat sosialisasi dari Undang-Undang tentang Benda Cagar Budaya yang murah dan efektif kepada warga Negara.

Benda Cagar Budaya dan Keamanan Nasional

Perjuangan panjang Vasco da Gama (1497-1499) mencapai India melalui Tanjung Harapan telah berhasil gilang gemilang, dari keberhasilan ini maka terbuka lebar pintu masuk pelayaran bangsa Eropa ke Asia. Setelah Tanjung Harapan ditundukkan, kini giliran Melaka dikuasai Portugal (1511).
Di dalam kurun waktu 11 tahun tepatnya pada tahun 1522 ekspedisi Ferdinand Magellan dari Spanyol berhasil mencapai Maluku, selisih waktu 57 tahun (1522-1579) Francis Drake dari Inggris datang menyusul ke kewilayah 'surga rempah-rempah' Maluku. Berawal dari rempah-rempah nafsu serakah untuk menguasai dalam wajah kolonialisme tertancap di bumi Maluku, gesekan kepentingan untuk saling menguasai antara Portugal dan Spanyol di Maluku pada abad XVI tidak dapat terhindarkan. Maka keluar perjanjian Tordesillas (1494) dan menyusul perjanjian Saragossa (1527) antara Spanyol dan Portugal. Hal hasil dari perjanjian tersebut Portugal dapat menguasai Maluku.
Kilasan sejarah tersebut merupakan 'rekam jejak' kolonialisme pertama kali hadir di bumi jamrud khatulistiwa, taktik dan strategi kolonial di dalam melakukan infiltrasi sampai menuju invasi dapat ketahui. Fakta penjajahan dapat ditelusuri melalui artefak seperti Benteng Victoria (1605) yang dibangun Portugal di Maluku, berfungsi sebagai benteng pertahanan. Juga Benteng Oranje (1607) di Ternate yang dibangun oleh Cornelis Matelief de Jonge (Belanda). Benteng ini pernah dijadikan pusat pemerintahan tertinggi Hindia Belanda (Gubernur Jenderal) Pieter Both, Herald Reynst, Laurenz Reaal, dan Jan Pieterszoon Coen.
Dari Benteng pertahanan sampai rute perjalanan alur laut kolonial memasuki Nusantara, sebagaimana diketemukannya beberapa artefak kapal laut kolonial yang karam di dasar laut. Dan legitimasi Mahkamah Internasional tentang batas kedaulatan wilayah Negara Kesatuan republik Indonesia (NKRI), mengacu pada peninggalan tanah jajahan Belanda. Dengan demikian 'patok batas' secara fisik peninggalan Belanda, kedepan menjadi sesuatu yang vital di dalam pembuktian wilayah kedaulatan Negara.
Walaupun bukan konteks benda cagar budaya, tetapi masih dalam 'satu tarikan nafas' peristiwa dikuasainya Pulau Sipadan dan Ligitan oleh Malaysia, karena lemahnya bukti otentik di Mahkamah Internasional. Merupakan pertanda urgensinya fisik bangunan dalam wilayah hukum Internasional. Serta perluasan pembangunan fisik didaratan Singapura melalui 'pasir laut', hampir saja mencaplok kedaulatan Indonesia khususnya pulau Nipa dan pulau lainnya disekitar wilayah propinsi kepulauan Riau. Satu lagi peristiwa penghancuran taman didepan stasiun Beos kota, dimana wilayah itu merupakan 'ring satu' zona benda cagar budaya. Kepentingan bisnis lebih penting daripada keamanan. Pembangunan shelter busway dan terowongan untuk pedestrian mengakibatkan dampak buruk bagi bangunan tua disekitarnya. Tercatat sedikitnya empat bangunan tua yang langsung terkena dampak negative yang diakibatkan dewatering saat pembangunan terowongan tersebut, keseimbangan air tanah disekitar lokasi terganggu. Dan keempat bangunan tua mengalami penurunan pondasi, dan dampak negatif apa yang akan tercipta kedepan? Tidak ada yang dapat mengatahui dan diperlukan kajian mendalam. Sampai saat ini kejelasan tentang barang sitaan Negara dari hasil penangkapan eksplorasi kapal VOC yang karam secara illegal, berapa jumlah dan nilai harta karun tersebut dan disimpan dimana masih dalam misteri.
Saksi bisu benda cagar budaya ternyata faktual dapat 'berbunyi' dan berkata jujur tanpa ada rekayasa maupun kebohongan.

Intelijen Benda Cagar Budaya (Heritage Intelligence)

Cegah tangkal di dalam pelestarian benda cagar budaya sudah waktunya diperkuat, perhitungan secara matematis tentang kekayaan 'adi luhung' bangsa Indonesia belum dapat direalisasikan. Kemampuan IPTEK di dalam kalkulasi sumber daya alam (SDA) kekayaan laut sudah dapat dihandalkan di negri kepulauan ini, padahal dahulu sebelum teori tersebut ada masih merupakan sesuatu yang 'ghaib' diwilayah alam bawah sadar. Sosok manusia dapat terbang Gatot Kaca yang hanya ada dalam cerita pewayangan, tersentak bahwa cerita itu bukan mitos melainkan teknos dengan kemampuan di dalam rekayasa teknologi kapal terbang (Dirgantara Indonesia).
Eksistensi heritage intelligence di dalam melakukan penelitian dan pendokumentasian, serta dapat juga melakukan 'audit' benda cagar budaya, merupakan pemecah dari kebekuan dan kerapuhan mengatasi permasalahan benda cagar budaya. Generasi kedepan perlu diberikan 'menu' visualitas bukan virtualitas. Melalaui intelijen benda cagar budaya sesuatu yang absurd menjadi rasional, investigasi tapak tilas untuk dapat mengumpulkan kembali serpihan sejarah yang tercecer dan hilang. Seperti analogi menjahit pakaian yang sudah usang termakan jaman, memerlukan sentuhan ketekunan penjahit handal. Semoga.***

BAROUSAI, BARUS, ATAU FANSUR: KISAH CEMERLANG DARI BERIBU TAHUN SILAM

BAROUSAI, BARUS, ATAU FANSUR:

KISAH CEMERLANG DARI BERIBU TAHUN SILAM

Kota bandar di tepian pantai barat Sumatra yang berabad lalu menjadi sebuah perkampungan multi-etnis yang penuh guyub, sarat daya tarik bagi para pedagang di hampir seluruh penjuru bumi, juga menjadi pintu masuknya berbagai peradaban dan agama-agama besar di bumi Nusantara itu kini telah sepi.

BARUS saat ini hanya sebuah ibukota Kecamatan, di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatra Utara. Posisinya berada di pinggir pantai barat Sumatera, sekitar 60 km sebelah utara Sibolga, atau sekitar 414 km dari Medan. Tidak ada yang istimewa. Begitu juga dengan Desa Lobutua, sekitar 4 km ke arah barat dari Barus. Juga layaknya sebuah desa, sepi. Meskipun sesekali para peziarah datang silih-berganti, menapaki sejarah sebuah kota banda yang jauh di awal abad masehi pernah begitu cemerlang dan menggemparkan sekujur bumi.

Dan boleh jadi, Barus adalah satu-satunya kota yang tercatat di dalam buku yang terbit di awal masehi, sehingga menempatkannya sebagai kota tertua di bumi Nusantara. Adalah Claudius Ptolomaios[1], seorang geograf Yunani yang dalam bukunya dari abad ke dua Masehi, Geographike Hyphegesis menuliskan nama negeri Barousai di Chryse Chora (Pulau Emas) yang antara lain oleh van der Meulen disimpulkan sebagai Sumatra[2].

Tapi apa gerangan yang menjadikan kota bandar ini begitu mempesona orang Yunani, China, India, dan bahkan juga para Pharao di Mesir kuno?

Jawabnya tak lain adalah kapur barus (bhs Belanda: kamfer, dan mungkin dari kata kapur yang diucapkan kofur oleh bangsa Arab).[3] Konon, kapur barus asal kota barus inilah yang paling banyak dicari karena kualitasnya yang terbaik, paling laku dan harganya kurang lebih 8 kali lebih mahal daripada kapur-kapur barus asal tempat lain[4]. Dalam catatan pelancong Italia, Marco Polo bahkan disebutkan bahwa, harga kapur barus kala itu setara dengan harga emas dengan berat yang sama[5].

Seorang Belanda pernah menulis bahwa kemenyan dari Barus, telah dipakai sebagai salah satu bahan mengawetkan (membalsem) mayat raja-raja di Mesir sebelum Masehi[6]. Jika dugaan ini benar, maka berarti kota bandar Barus ini sudah ada sejak 5.000 tahun SM. Perkiraan akhir itu, didasarkan pada temuan bahan pengawet dari berbagai mummy Fir'aun Mesir Kuno salah satu pengawetnya menggunakan kanper atau kapur Barus. Sejarawan era kemerdekaan Moh. Yamin, bahkan memperkirakan bahwa, perdagangan rempah-rempah dan tentu saja kamfer, sudah dilakukan pedagang Nusantara sejak 6.000 tahun lalu ke berbagai penjuru dunia.

Hasil penelitian Innis Miller terhadap naskah Historia Naturalis karya Plinius di abad pertama juga sudah menunjukkan bahwa, para pedagang Nusantara pun ternyata sudah menjajakan komoditas mereka sampai ke Asia Barat dan Afrika Timur sejak abad permulaan Masehi[7]. Sementara Prof. Kern[8] pernah menulis bahwa Kota “P’o-lu-chi” yang dimaksud I Tsing di abad ke-7, tidak lain dari Barus[9]. Seorang penyair Arab sebelum Islam, Amru al-Qais (meninggal tahun 530 Masehi), sangat memuji keharuman kafur dalam syair-syairnya[10].

Begitu pentingnya kota Barus ini—mungkin bisa disamakan dengan Paris pada abad modern yang terkenal dengan inovasi parfumnya—maka sejak zaman dulu dalam dunia dagang telah dikenal nama-nama Baros, Balus, Pansur, Fansur, Pansuri[11], Kalasaputra[12], Karpura-dwipa, Barusai, Waru-saka dan lain-lain.

Dan tentu, seperti kata pepatah, ada gula ada semut. Pesona kapur barus dari selatan ini menggoda banyak pendatang. Sebagaimana dicatatan Ptolomaios, selain para penjelajah dari Yunani, juga datang pedagang dari Venesia, India, Arab dan Tiongkok. Selain itu, sekelompok penyebar ajaran Kristen Sekte Nestorian dari Konstantinopel, pusat Kerajaan Byzantium Timur, juga menjejakkan kakinya di Barus. Kelompok itu diperkirakan datang sekira tahun 600 M dan mendirikan gereja pertama di Desa Pancuran, Barus.

Dewan Gereja-gereja di Indonesia juga memercayai sejak tahun 645 Masehi di daerah Barus telah masuk umat Kristen dari sekte Nestorian. Keyakinan tersebut didasarkan pada buku kuno tulisan Shaikh Abu Salih al-Armini. Sementara itu, penjelajah dari Armenia Mabousahl mencatat bahwa pada abad ke-12 telah terdapat Gereja Nestorian.

Lalu datanglah para pedagang Arab memasuki Barus sekira 627-643 M atau sekitar tahun 1 Hijriah, dan menyebarkan agama Islam di daerah itu. Di antaranya Wahab bin Qabishah mendarat di Pulau Mursala pada 627 M. Ada juga utusan Khulafaur Rasyidin, bernama Syekh Ismail akan ke Samudera Pasai dan singgah di Barus, sekira tahun 634 M. Dan sejak itu pula, tercatat bangsa Arab (Islam) mendirikan koloni di Barus. Bangsa Arab menamakan Barus dengan sebutan Fansur atau Fansuri, misalnya oleh penulis Sulaiman pada 851 M dalam bukunya "Silsilatus Tawarikh."

Kedatangan bangsa Arab yang kemudian menyebarkan agama Islam itu juga disebutkan dalam berita-berita Cina, Hsin-Tang-shu[13] (Catatan Dinasti Tang, 618-907), dan Chu-fan-chi[14] (Catatan Negeri-negeri Asing) yang ditulis Chau Ju-kua pada tahun 1225. Di dalam dua kronik Cina itu banyak bercerita tentang Ta-shi, istilah Cina untuk menyebut Arab. (Chu-fan-chi menerangkan bahwa Ta-shi mempunyai seorang Buddha (maksudnya Nabi) yang bernama Ma-ha-mat (Muhammad). Dalam sehari mereka lima kali sembahyang, dan setiap tahun berpuasa selama sebulan penuh. Dinasti Ta-shi ada dua macam, yaitu white-robed Ta-shi (Arab berjubah putih) atau Pon-ni-mo-huan (Bani Marwan, atau Bani Umayyah), serta black-robed Ta-shi (Arab berjubah hitam) yang didirikan raja A-po-lo-pa (Abul-Abbas)[15]. Pada tahun 651 Masehi, raja Ta-shi (Arab) bernama Han-mi-mo-mi-ni mengirimkan utusan ke istana Cina[16]. Hampir dapat dipastikan bahwa nama Han-mi-mo-mi-ni dalam ucapan Cina ini adalah untuk Amir al-Mu’minin, gelar resmi para khalifah Islam, dan “raja Ta-shi” yang mengirimkan utusan itu adalah Khalifah `Utsman ibn Affan yang memerintah dari tahun 644 sampai 656. Hsin-Tang-shu mencatat bahwa pada tahun 674 terdapat pemukiman pedagang Ta-shi (Arab) di Po-lu-shih, daerah pantai barat Sumatera.[17]

Tentu, dapat dibayangkan betapa makmurnya kota Barus pada awal abad masehi ini, dengan penduduk yang sebagian besar terdiri atas kaum pedagang. Pertanyaannya kemudian, siapakah yang menggerakkan semua perdagangan hingga jauh ke negeri seberang itu?

Seorang bekas kontrolir Belanda, G.J.J. Deutz, sewaktu bertugas di Barus,[18] menulis bahwa menurut rakyat setempat di Desa Lobutua pernah didapat penduduk sebuah batu bertulis pada dua bagian. Tetapi sayang, batu itu pada tahun 1857 dipecahkan oleh Raja Barus bernama Mara Pangkat. Pada tahun 1872 Deutz banyak menemukan pecahan batu peninggalan zaman Hindu yang telah dilupakan orang, telah berlumut. Dan baru pada tahun 1932, prasasti itu diterjemahkan Profesor Nila-kanti Sastri dari Universitas Madras.[19]

Prasasti itu menyebutkan bahwa paling sedikit sejak abad ke-11, telah bermukim di kota Barus sebuah koloni bangsa Tamil. Menurut batu Lobutua itu, mereka tergabung dalam sebuah perusahaan bernama “kelompok 500″ yang tidak asing lagi bagi orang-orang India waktu itu. Perusahaan swasta yang mereka wakili, merupakan perusahaan dagang cukup kuat, merdeka dalam tindakan dan tidak gampang tunduk pada salah satu raja yang berkuasa di sekitar Barus. Mereka yang berdiam di Barus inilah yang membeli beberapa hasil dari rakyat—utamanya kapur barus—untuk diekspor ke luar negeri.

Menurut Gnillout Claude[20], Barus adalah sebuah kota kuno di pantai barat Propinsi Sumatera Utara yang terkenal di seluruh Asia, sejak lebih dari seribu tahun, berkat hasil hutannya. Selain itu, nama Barus juga muncul dalam sejarah peradaban Melayu dengan Hamzah Fansuri, penyair mistik terkenal yang baru-baru ini ditemukan kembali makamnya di Mekkah. Sementara itu, tim arkeolog dari Ecole Francaise D’extreme-Orient (EFEO) Perancis bekerjasama dengan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua-Barus, menemukan bahwa pada sekitar abad 9-12 Masehi, Barus telah menjadi sebuah perkampungan multi-etnis dari berbagai suku bangsa seperti Arab, Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu, dan sebagainya. Tim tersebut juga menemukan banyak benda-benda berkualitas tinggi yang usianya sudah ratusan dan bahkan ribuan tahun dan ini menandakan dahulu kala kehidupan di Barus itu sangatlah makmur.

Dan semua kemakmuran itu berkat aroma kapur barus yang diolah dari kayu kamfer. Hanya kini, komoditi yang begitu mempesona di masa silam itu, hingga konon juga dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5. 000 tahun sebelum Masehi itu, kini sudah lama tidak lagi diproduksi

Di komplek makam Syekh Machmud yang tertata rapi dan terletak di Bukit Papan Tinggi dan memang betul-betul tinggi sehingga harus melewati 710 anak tangga ini, menggantung sebuah tulisan, “Beri Salam dan Alas Kaki dibuka.” Seakan mengakhiri sebuah kisah perjalanan sebuah kota bandar di tepian pantai barat Sumatra yang berabad lalu menjadi sebuah perkampungan multi-etnis yang penuh guyub, sarat daya tarik bagi para pedagang di hampir seluruh penjuru bumi, juga menjadi pintu masuknya berbagai peradaban dan agama-agama besar di bumi Nusantara itu kini telah sepi.**



[1] Barus telah disebut oleh Ptolomeus kira kira tahun 150 Masehi. (Kozok, 1991, 14)

[2] W. J. van der Meulen, “Suvarnadvipa and the Chryse Chersonesos”, Indonesia, 18, October 1974, h. 1

[3] Encyclopdeia van Nederlandsch Indie

[4] Ada tiga jenis kapur barus pada saat itu yaitu: Kapur barus dari Kalimantan dan Sumatera (Dryobalanops aromatica), Kapur barus dari China dan Jepang (Cinnamomum Camphora) yang banyak beredar dipasaran dan yang ketiga adalah Blumea balsami- fera, yang diproduksi di China dengan nama kapur barus Ngai. Harga dari kapur barus asal Sumatera ini kira-kira 138 kali lebih mahal dari kapur barus China dan Jepang. (Hobson-Jobson, Glossary of Anglo-Indian Words and Phares)

[5]Travel of Marco Polo,” Buku 3 Bab 9 dan Buku 2 Bab 8 by Marco Polo dan Rustichello of Pisa

[6] Sumatra Benzoe, Disertasi P.H. Brans

[7] J. Innis Miller, The Spice Trade of the Roman Empire, Oxford University Press, London, 1969, terutama Bab “The Cinnamon Route”

[8] Verspreide Geschriften No VI, halaman 15

[9] Po-lu-chi atau Po-lu-suo terkadang sering keliru diterjemahkan dalam text China dengan Bo-si atau Persia. Barus ini juga sering disebut sebagai Bon-cu, Bian-shu atau Bin-cuo. (Roderich Ptak, Possible Chinese Reference to the Barus Area (Ming to Tang) in Claude Guillot (ed.) Histoire de Barus, Sumatera: Le Site de Lobu Tua I, Etudes et Documents, Paris, Cahier d’Archipel 30, 1998, pp. 119-138)

[10] Oliver W. Wolters, Early Indonesian Commerce, Cornell University Press, Ithaca, New York, 1967, terutama Bab 8

[11] Dari Desa Pansur sedikit di utara Barus

[12] Dari kata Kalasan, daerah penghasil kapur barus antara Kota Barus dan Sungai Chenendang

[13] Diterjemahkan oleh Paul Pelliot, “Deux Itineraires de Chine en Inde a la Fin du VIIIe Siecle”, BEFEO, 4, 1904, hal. 132-413

[14] Diterjemahkan oleh Friedrich Hirth dan W. W. Rockhill, Chau Ju-kua: His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries, entitled CHU-FAN-CHI, Imperial Academy of Sciences, St.Petersburg, 1911

[15] Lihat: F. Hirth dan W.W.Rockhill, hh. 114-124

[16] Berita ini tercantum dalam kronik Tung-tien buku 193 nomor 22b. Lihat: F.Hirth dan W.W.Rockhill, h. 119

[17] Paul Pelliot, h. 297. Lihat juga W. P. Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources, Bhratara, Jakarta, cetak ulang 1960, h. 14.

[18] Barus, G.J.J. Deutz, Tijdschr No. 22 tahun 1875

[19] A Tamil Merchant-guild in Sumatera oleh Prof. N. Sastri dalam Tijdschr No 72 tahun 1932

[20] “Lobu Tua Sejarah Barus”, Obor, 2002

Selasa, 16 September 2008

Perbatasan
Berebut Batas Minyak Ambalat




Peta Ambalat (GATRA/Puti Indria)TIGA kapal perang RI seminggu ini mondar-mandir di Laut Sulawesi. Tepatnya di perbatasan Indonesia-Malaysia. Dua kapal perang lagi, KRI K.S. Tubun dan KRI Tongkol, sudah pula ancang-ancang untuk bergabung. Kedua kapal itu siap meluncur dari Dermaga Ujung, Surabaya. "Begitu ada perintah dari Panglima TNI, kami langsung bergerak," kata Letnan Kolonel (Laut) Ibnu Parna, Komandan Pangkalan TNI-AL Tarakan.

Heboh itu muncul gara-gara Ambalat, sebuah blok di kawasan perairan di Laut Sulawesi. Daerah yang jaraknya 150 kilometer arah timur Tawau atau dua jam perjalanan dengan boat dari Tarakan itu diklaim Malaysia sebagai wilayahnya. Padahal, sesuai dengan peta yang dimiliki Indonesia, wilayah yang berada beberapa mil selatan pulau "terbaru" Malaysia, Sipadan dan Ligitan, itu sah milik Indonesia.

Maka, ketika sebuah pesawat Malaysia jenis Beechcraft B-200 T Super King pada siang 26 Februari lalu kepergok nyelonong masuk wilayah Indonesia sejauh tiga mil, KRI Wiratno segera memberi peringatan. Kapal antikapal selam jenis Parchim eks Jerman itu memang tengah berpatroli rutin di kawasan Ambalat.

Sinyal gawat itu turut mengundang KRI Nuku yang sedang berjaga di Kepulauan Maluku bergegas merapat ke Laut Sulawesi. Sehari kemudian, kapal cepat KRI Rencong, yang diperkuat 50 personel dan empat rudal, meluncur dari Selat Makassar ke perbatasan. Total, jika dua kapal dari Surabaya sudah berangkat, hampir 300 prajurit TNI-AL berikut perlengkapan perangnya siaga di sana. "Tegangnya persis saat sengketa Sipadan-Ligitan," ujar Ibnu.

Suasana panas di perbatasan itu pun segera merembet ke Jakarta. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Kamis lalu, segera mengusung masalah ini ke dalam rapat terbatas para menteri. Hadir Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Menteri Perhubungan, Menteri Sekretaris Negara, Panglima TNI, serta Kepala Staf Angkatan Laut dan Angkatan Darat. Sebelumnya SBY juga bertemu Menteri Luar Negeri.

Hasilnya, Menteri Perhubungan Hatta Radjasa diminta meneruskan upaya pemasangan rambu suar di Karang Unarang, sebuah karang di wilayah Ambalat (baca: Petaka Rambu Suar). Di sisi lain, pihak TNI diminta bersiap siaga menjaga perbatasan. "Kewajiban TNI untuk menjaga kedaulatan negara dan mengamankan tiap jengkal wilayah," kata Endiartono Sutarto, Panglima TNI.

Ketegangan RI-Malaysia itu bermula pada 16 Februari lalu. Saat itu, Malaysia lewat perusahaan minyak Petronas memberikan konsesi eksplorasi (kontrak bagi hasil) kepada Shell di Ambalat. Daerah terpencil di kawasan timur Pulau Kalimantan ini diduga memiliki kandungan minyak dan gas berlimpah.

Tindakan Malaysia itu membuat Indonesia berang. Departemen Luar Negeri RI buru-buru melayangkan nota diplomatik resmi kepada Pemerintah Malaysia. Isinya, konsesi yang diberikan Malaysia itu telah melanggar kedaulatan Indonesia karena blok Ambalat terhitung bagian dari wilayah Indonesia. Lagi pula, sejak 1961, Pemerintah Indonesia sudah menjalankan konsesi minyak di Ambalat.

Protes yang diajukan Departemen Luar Negeri itu sebenarnya bukan yang pertama. Sebelumnya, Indonesia berkali-kali protes ketika tahun 1979, Malaysia membuat peta yang memasukkan Ambalat ke wilayahnya. "Padahal, di tahun 1966, konsesi minyak Permina (sekarang Pertamina) diakui Malaysia sebagai 'exercise of Indonesia's right to the continental shelf'," kata Arif Havas Oegroseno, Direktur Perjanjian Politik, Keamanan, dan Kewilayahan, Departemen Luar Negeri.

Shell sendiri, lewat Pertamina, pernah melakukan konsesi eksplorasi di Ambalat pada 1999-2001. Terakhir, Indonesia mengikat kerja sama konsesi serupa dengan perusahaan minyak Amerika Serikat, Unocal, Desember 2004, senilai US$ 1,5 juta.

Hal itu dibenarkan oleh Dirjen Migas, Departemen ESDM, Iin Arifin Takhyan. "Kita buka wilayah kerja di situ sejak dulu dan tidak ada protes," kata Iin. Saat ini, Iin menambahkan, ada dua wilayah kerja di sana yang tumpang tindih dengan Malaysia. Yaitu blok Bukat yang merupakan wilayah kerja perusahaan minyak Italia, ENI, dan blok Ambalat yang dikuasai Unocal. "Blok Bukat cuma sedikit overlap-nya. Sedangkan Ambalat hampir seluruhnya terambil," kata Iin lagi.

Untungnya, sampai sekarang kegiatan eksplorasi ENI dan Unocal tak terganggu. "Kami meminta mereka terus jalan," ujar Iin.

Hal serupa dilakukan Pemerintah Malaysia. Menteri Luar Negeri Malaysia, Datuk Seri Syed Hamid Albar, meminta Shell tetap melakukan pengeboran. "Protes dari Indonesia tidak seharusnya menghentikan kita. Itu biasa dalam proses diplomasi," kata Albar, seperti dikutip dari kantor berita Malaysia, Bernama.

Sama seperti angkatan bersenjata RI yang melakukan pengawasan perbatasan, angkatan perang Malaysia pun bersikeras meneruskan patroli di tempat yang sama. "Itu wilayah kami, dan kami berhak mengawasi. Tugas kami adalah menjaga keamanan selama eksplorasi Petronas berlangsung," kata Panglima Angkatan Perang Malaysia, Tan Sri Mohd. Zahidi Zainuddin.

Walhasil, ketegangan antara kedua pihak pun tidak terhindarkan. Malaysia ngotot dengan merujuk pada peta 1979 yang dikeluarkannya. Dalam peta itu tercantum bahwa Ambalat (mereka mengistilahkannya dengan blok ND-6) adalah wilayah Malaysia. Selain itu, "Karena Sipadan dan Ligitan adalah wilayah baru Malaysia, maka ND-6 merupakan wilayah kedaulatan kita," kata Abdullah Ahmad Badawi, sang perdana menteri.

Pernyataan itu langsung ditentang oleh pihak RI. "Nonsense borderline!" kata Havas, gusar. Menurut Havas, peta 1979 telah memicu protes negara-negara yang berbatasan langsung dengan Malaysia sejak kemunculannya. "Tak jelas dasar perhitungan Malaysia menentukan garis batas teritorialnya yang tertera di peta itu," ujar ketua tim landas kontinen itu. Anehnya, kata Havas, ketika Indonesia memprotes dan menanyakan dasar perhitungan itu, Malaysia sama sekali tak punya jawaban.

Padahal, penentuan batas laut tidak hanya bergantung pada kemauan satu negara pantai yang dinyatakan dalam hukum nasionalnya. Juga harus berdasar hukum internasional. Dengan kata lain, menurut Havas, peta 1979 buatan Malaysia itu tak punya kekuatan hukum. Itu sebabnya, Havas yakin, Indonesia bakal menang bila perkara ini diselesaikan lewat Mahkamah Internasional (ICJ).

Sayang, ide Havas itu bertepuk sebelah tangan. Sampai sekarang, Malaysia belum memberikan sinyal yang sama. Padahal, untuk maju ke ICJ perlu persetujuan kedua pihak. Lalu, haruskah dua negara tetangga ini unjuk kekuatan militer?

Amalia K. Mala, Bernadetta Febriana, dan Taufan Luko Bahana (Surabaya)
[Nasional, Gatra Nomor 17 Beredar Senin, 7 Maret 2005]

0 komentar: