Berebut Batas Minyak Ambalat

Peta Ambalat (GATRA/Puti Indria)TIGA kapal perang RI seminggu ini mondar-mandir di Laut Sulawesi. Tepatnya di perbatasan Indonesia-Malaysia. Dua kapal perang lagi, KRI K.S. Tubun dan KRI Tongkol, sudah pula ancang-ancang untuk bergabung. Kedua kapal itu siap meluncur dari Dermaga Ujung, Surabaya. "Begitu ada perintah dari Panglima TNI, kami langsung bergerak," kata Letnan Kolonel (Laut) Ibnu Parna, Komandan Pangkalan TNI-AL Tarakan.
Heboh itu muncul gara-gara Ambalat, sebuah blok di kawasan perairan di Laut Sulawesi. Daerah yang jaraknya 150 kilometer arah timur Tawau atau dua jam perjalanan dengan boat dari Tarakan itu diklaim Malaysia sebagai wilayahnya. Padahal, sesuai dengan peta yang dimiliki Indonesia, wilayah yang berada beberapa mil selatan pulau "terbaru" Malaysia, Sipadan dan Ligitan, itu sah milik Indonesia.
Maka, ketika sebuah pesawat Malaysia jenis Beechcraft B-200 T Super King pada siang 26 Februari lalu kepergok nyelonong masuk wilayah Indonesia sejauh tiga mil, KRI Wiratno segera memberi peringatan. Kapal antikapal selam jenis Parchim eks Jerman itu memang tengah berpatroli rutin di kawasan Ambalat.
Sinyal gawat itu turut mengundang KRI Nuku yang sedang berjaga di Kepulauan Maluku bergegas merapat ke Laut Sulawesi. Sehari kemudian, kapal cepat KRI Rencong, yang diperkuat 50 personel dan empat rudal, meluncur dari Selat Makassar ke perbatasan. Total, jika dua kapal dari Surabaya sudah berangkat, hampir 300 prajurit TNI-AL berikut perlengkapan perangnya siaga di sana. "Tegangnya persis saat sengketa Sipadan-Ligitan," ujar Ibnu.
Suasana panas di perbatasan itu pun segera merembet ke Jakarta. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Kamis lalu, segera mengusung masalah ini ke dalam rapat terbatas para menteri. Hadir Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Menteri Perhubungan, Menteri Sekretaris Negara, Panglima TNI, serta Kepala Staf Angkatan Laut dan Angkatan Darat. Sebelumnya SBY juga bertemu Menteri Luar Negeri.
Hasilnya, Menteri Perhubungan Hatta Radjasa diminta meneruskan upaya pemasangan rambu suar di Karang Unarang, sebuah karang di wilayah Ambalat (baca: Petaka Rambu Suar). Di sisi lain, pihak TNI diminta bersiap siaga menjaga perbatasan. "Kewajiban TNI untuk menjaga kedaulatan negara dan mengamankan tiap jengkal wilayah," kata Endiartono Sutarto, Panglima TNI.
Ketegangan RI-Malaysia itu bermula pada 16 Februari lalu. Saat itu, Malaysia lewat perusahaan minyak Petronas memberikan konsesi eksplorasi (kontrak bagi hasil) kepada Shell di Ambalat. Daerah terpencil di kawasan timur Pulau Kalimantan ini diduga memiliki kandungan minyak dan gas berlimpah.
Tindakan Malaysia itu membuat Indonesia berang. Departemen Luar Negeri RI buru-buru melayangkan nota diplomatik resmi kepada Pemerintah Malaysia. Isinya, konsesi yang diberikan Malaysia itu telah melanggar kedaulatan Indonesia karena blok Ambalat terhitung bagian dari wilayah Indonesia. Lagi pula, sejak 1961, Pemerintah Indonesia sudah menjalankan konsesi minyak di Ambalat.
Protes yang diajukan Departemen Luar Negeri itu sebenarnya bukan yang pertama. Sebelumnya, Indonesia berkali-kali protes ketika tahun 1979, Malaysia membuat peta yang memasukkan Ambalat ke wilayahnya. "Padahal, di tahun 1966, konsesi minyak Permina (sekarang Pertamina) diakui Malaysia sebagai 'exercise of Indonesia's right to the continental shelf'," kata Arif Havas Oegroseno, Direktur Perjanjian Politik, Keamanan, dan Kewilayahan, Departemen Luar Negeri.
Shell sendiri, lewat Pertamina, pernah melakukan konsesi eksplorasi di Ambalat pada 1999-2001. Terakhir, Indonesia mengikat kerja sama konsesi serupa dengan perusahaan minyak Amerika Serikat, Unocal, Desember 2004, senilai US$ 1,5 juta.
Hal itu dibenarkan oleh Dirjen Migas, Departemen ESDM, Iin Arifin Takhyan. "Kita buka wilayah kerja di situ sejak dulu dan tidak ada protes," kata Iin. Saat ini, Iin menambahkan, ada dua wilayah kerja di sana yang tumpang tindih dengan Malaysia. Yaitu blok Bukat yang merupakan wilayah kerja perusahaan minyak Italia, ENI, dan blok Ambalat yang dikuasai Unocal. "Blok Bukat cuma sedikit overlap-nya. Sedangkan Ambalat hampir seluruhnya terambil," kata Iin lagi.
Untungnya, sampai sekarang kegiatan eksplorasi ENI dan Unocal tak terganggu. "Kami meminta mereka terus jalan," ujar Iin.
Hal serupa dilakukan Pemerintah Malaysia. Menteri Luar Negeri Malaysia, Datuk Seri Syed Hamid Albar, meminta Shell tetap melakukan pengeboran. "Protes dari Indonesia tidak seharusnya menghentikan kita. Itu biasa dalam proses diplomasi," kata Albar, seperti dikutip dari kantor berita Malaysia, Bernama.
Sama seperti angkatan bersenjata RI yang melakukan pengawasan perbatasan, angkatan perang Malaysia pun bersikeras meneruskan patroli di tempat yang sama. "Itu wilayah kami, dan kami berhak mengawasi. Tugas kami adalah menjaga keamanan selama eksplorasi Petronas berlangsung," kata Panglima Angkatan Perang Malaysia, Tan Sri Mohd. Zahidi Zainuddin.
Walhasil, ketegangan antara kedua pihak pun tidak terhindarkan. Malaysia ngotot dengan merujuk pada peta 1979 yang dikeluarkannya. Dalam peta itu tercantum bahwa Ambalat (mereka mengistilahkannya dengan blok ND-6) adalah wilayah Malaysia. Selain itu, "Karena Sipadan dan Ligitan adalah wilayah baru Malaysia, maka ND-6 merupakan wilayah kedaulatan kita," kata Abdullah Ahmad Badawi, sang perdana menteri.
Pernyataan itu langsung ditentang oleh pihak RI. "Nonsense borderline!" kata Havas, gusar. Menurut Havas, peta 1979 telah memicu protes negara-negara yang berbatasan langsung dengan Malaysia sejak kemunculannya. "Tak jelas dasar perhitungan Malaysia menentukan garis batas teritorialnya yang tertera di peta itu," ujar ketua tim landas kontinen itu. Anehnya, kata Havas, ketika Indonesia memprotes dan menanyakan dasar perhitungan itu, Malaysia sama sekali tak punya jawaban.
Padahal, penentuan batas laut tidak hanya bergantung pada kemauan satu negara pantai yang dinyatakan dalam hukum nasionalnya. Juga harus berdasar hukum internasional. Dengan kata lain, menurut Havas, peta 1979 buatan Malaysia itu tak punya kekuatan hukum. Itu sebabnya, Havas yakin, Indonesia bakal menang bila perkara ini diselesaikan lewat Mahkamah Internasional (ICJ).
Sayang, ide Havas itu bertepuk sebelah tangan. Sampai sekarang, Malaysia belum memberikan sinyal yang sama. Padahal, untuk maju ke ICJ perlu persetujuan kedua pihak. Lalu, haruskah dua negara tetangga ini unjuk kekuatan militer?
Amalia K. Mala, Bernadetta Febriana, dan Taufan Luko Bahana (Surabaya)
[Nasional, Gatra Nomor 17 Beredar Senin, 7 Maret 2005]
0 komentar:
Posting Komentar