Heritage Intelligence

Mendengar intelijen ingatan langsung tertuju kepada James Bond 007, CIA, KGB, dan Mossad. Institusi intelijen Negara yang bekerja dalam ketertutupan dan menyeramkan seperti kisah Victor Ostrovsky atau novel Body of Lies karya David Ignatius. Intelijen Benda Cagar Budaya (Heritage Intelligence) bukan merupakan pengenjawantahan dari Lembaga Intelijen Negara, melainkan pekerjaan penelitian dan pendokumentasian tentang keberadaan benda cagar budaya yang ada di Indonesia. Banyaknya peninggalan kekayaan artefak sejarah yang telah lenyap atau musnah, sehingga menciptakan kerugian besar hampir disetiap sektor baik dari Ilmu pengetahuan, sosial-budaya, ekonomi dan pertahanan keamanan Negara.
Ketidak berdayaan pembuktian kekayaan dan kerugian Negara tentang peninggalan sejarah, yang telah hilang maupun masih ada merupakan 'titik lemah' untuk dapat menjelaskan dan mempertanggung jawabkan kepada publik.
Sebagaimana contoh hancurnya bangunan di proklamasi, dimana potret nyata detik-detik bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Pertanyaan kerugian apa saja yang diciptakan dari kehancuran bangunan proklamasi tersebut? Ternyata ketika di 'bedah' anatominya sungguh membuat kepala cekot-cekot, dari sisi Ilmu pengetahuan bukti nyata keberadaan fisik bangunan sudah tidak ada. Di dalam ranah berbeda seperti contoh ketika pulau Sipadan dan Ligitan diakui oleh Mahkamah Internasional di Belanda, fisik bangunan yang terdapat dikedua pulau tersebut adalah milik Malaysia. Pada akhirnya secara de jure maupun de fakto pulau Sipadan dan Ligitan milik sah Malaysia.
Terperanjat bahwa eksistensi fisik bangunan bukan persoalan sederhana, cara pandang melihat fisik bangunan selama ini hanya dilihat dari 'kaca mata kuda' yang melulu diukur dari perspektif estetika dan ekonomis semata. Padahal sebuah bangunan diciptakan melampaui tapal batas estetika dan ekonomi, sebagaimana masyarakat Jawa membangun rumah Panggang pe Ceregancet mirip dengan jasad hidup yang tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan kehidupan penghuninya.

Database Benda Cagar Budaya

Film petualangan Indiana Jones, National Treasure, dan Da Vinci Code, membuat adrenalin penonton terpacu. Kecerdasan mengumpulkan serpihan informasi yang tercecer, sehingga teka-teki dapat terpecahkan dan disusun ulang. Sungguh sebuah inspirasi. Tersebar dan terseraknya artefak benda cagar budaya dari berbagai wujud, baik dari sisa-sisa peninggalan kerajaan Nusantara sampai peninggalan kolonial. Sampai saat ini masih dalam 'terawangan' sebagai analogi berjalan dikegelapan tanpa cahaya. Keberadaan UU.No.5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya dan UU.No.26 Tahun 2007 Tentang Tata Ruang masih dalam tahap konsepsional, belum memasuki 'ranah' operasional di dalam pelestarian benda cagar budaya. Inventarisasi pendokumentasiaan sebagai database keberadaan benda cagar budaya dari berbagai ragam bentuk, sampai saat ini masih belum dapat direalisasikan. Padahal database tersebut merupakan 'peta hidup' sebagai alat deteksi dini, perihal kelangsungan pelestarian benda cagar budaya di Indonesia. Karena bila terwujud pendokumentasian tersebut, publik dapat mengetahui dan menjaga pelestarian dari benda cagar budaya yang dilindungi oleh Negara. Fungsi database dapat memberikan suguhan informasi, berapa jumlah benda cagar budaya yang dimiliki seperti Gedung, Benteng, Rumah, Masjid, Gereja, Vihara, Pusaka dan lain sebagainya. Dengan adanya informasi keberadaan artefak sejarah ini, penghancuran dan pencurian dapat maksimal dihindari.
Pendokumentasian mempunyai peran ganda di satu sisi dapat menjadi alat kontrol, disisi lain merupakan alat sosialisasi dari Undang-Undang tentang Benda Cagar Budaya yang murah dan efektif kepada warga Negara.

Benda Cagar Budaya dan Keamanan Nasional

Perjuangan panjang Vasco da Gama (1497-1499) mencapai India melalui Tanjung Harapan telah berhasil gilang gemilang, dari keberhasilan ini maka terbuka lebar pintu masuk pelayaran bangsa Eropa ke Asia. Setelah Tanjung Harapan ditundukkan, kini giliran Melaka dikuasai Portugal (1511).
Di dalam kurun waktu 11 tahun tepatnya pada tahun 1522 ekspedisi Ferdinand Magellan dari Spanyol berhasil mencapai Maluku, selisih waktu 57 tahun (1522-1579) Francis Drake dari Inggris datang menyusul ke kewilayah 'surga rempah-rempah' Maluku. Berawal dari rempah-rempah nafsu serakah untuk menguasai dalam wajah kolonialisme tertancap di bumi Maluku, gesekan kepentingan untuk saling menguasai antara Portugal dan Spanyol di Maluku pada abad XVI tidak dapat terhindarkan. Maka keluar perjanjian Tordesillas (1494) dan menyusul perjanjian Saragossa (1527) antara Spanyol dan Portugal. Hal hasil dari perjanjian tersebut Portugal dapat menguasai Maluku.
Kilasan sejarah tersebut merupakan 'rekam jejak' kolonialisme pertama kali hadir di bumi jamrud khatulistiwa, taktik dan strategi kolonial di dalam melakukan infiltrasi sampai menuju invasi dapat ketahui. Fakta penjajahan dapat ditelusuri melalui artefak seperti Benteng Victoria (1605) yang dibangun Portugal di Maluku, berfungsi sebagai benteng pertahanan. Juga Benteng Oranje (1607) di Ternate yang dibangun oleh Cornelis Matelief de Jonge (Belanda). Benteng ini pernah dijadikan pusat pemerintahan tertinggi Hindia Belanda (Gubernur Jenderal) Pieter Both, Herald Reynst, Laurenz Reaal, dan Jan Pieterszoon Coen.
Dari Benteng pertahanan sampai rute perjalanan alur laut kolonial memasuki Nusantara, sebagaimana diketemukannya beberapa artefak kapal laut kolonial yang karam di dasar laut. Dan legitimasi Mahkamah Internasional tentang batas kedaulatan wilayah Negara Kesatuan republik Indonesia (NKRI), mengacu pada peninggalan tanah jajahan Belanda. Dengan demikian 'patok batas' secara fisik peninggalan Belanda, kedepan menjadi sesuatu yang vital di dalam pembuktian wilayah kedaulatan Negara.
Walaupun bukan konteks benda cagar budaya, tetapi masih dalam 'satu tarikan nafas' peristiwa dikuasainya Pulau Sipadan dan Ligitan oleh Malaysia, karena lemahnya bukti otentik di Mahkamah Internasional. Merupakan pertanda urgensinya fisik bangunan dalam wilayah hukum Internasional. Serta perluasan pembangunan fisik didaratan Singapura melalui 'pasir laut', hampir saja mencaplok kedaulatan Indonesia khususnya pulau Nipa dan pulau lainnya disekitar wilayah propinsi kepulauan Riau. Satu lagi peristiwa penghancuran taman didepan stasiun Beos kota, dimana wilayah itu merupakan 'ring satu' zona benda cagar budaya. Kepentingan bisnis lebih penting daripada keamanan. Pembangunan shelter busway dan terowongan untuk pedestrian mengakibatkan dampak buruk bagi bangunan tua disekitarnya. Tercatat sedikitnya empat bangunan tua yang langsung terkena dampak negative yang diakibatkan dewatering saat pembangunan terowongan tersebut, keseimbangan air tanah disekitar lokasi terganggu. Dan keempat bangunan tua mengalami penurunan pondasi, dan dampak negatif apa yang akan tercipta kedepan? Tidak ada yang dapat mengatahui dan diperlukan kajian mendalam. Sampai saat ini kejelasan tentang barang sitaan Negara dari hasil penangkapan eksplorasi kapal VOC yang karam secara illegal, berapa jumlah dan nilai harta karun tersebut dan disimpan dimana masih dalam misteri.
Saksi bisu benda cagar budaya ternyata faktual dapat 'berbunyi' dan berkata jujur tanpa ada rekayasa maupun kebohongan.

Intelijen Benda Cagar Budaya (Heritage Intelligence)

Cegah tangkal di dalam pelestarian benda cagar budaya sudah waktunya diperkuat, perhitungan secara matematis tentang kekayaan 'adi luhung' bangsa Indonesia belum dapat direalisasikan. Kemampuan IPTEK di dalam kalkulasi sumber daya alam (SDA) kekayaan laut sudah dapat dihandalkan di negri kepulauan ini, padahal dahulu sebelum teori tersebut ada masih merupakan sesuatu yang 'ghaib' diwilayah alam bawah sadar. Sosok manusia dapat terbang Gatot Kaca yang hanya ada dalam cerita pewayangan, tersentak bahwa cerita itu bukan mitos melainkan teknos dengan kemampuan di dalam rekayasa teknologi kapal terbang (Dirgantara Indonesia).
Eksistensi heritage intelligence di dalam melakukan penelitian dan pendokumentasian, serta dapat juga melakukan 'audit' benda cagar budaya, merupakan pemecah dari kebekuan dan kerapuhan mengatasi permasalahan benda cagar budaya. Generasi kedepan perlu diberikan 'menu' visualitas bukan virtualitas. Melalaui intelijen benda cagar budaya sesuatu yang absurd menjadi rasional, investigasi tapak tilas untuk dapat mengumpulkan kembali serpihan sejarah yang tercecer dan hilang. Seperti analogi menjahit pakaian yang sudah usang termakan jaman, memerlukan sentuhan ketekunan penjahit handal. Semoga.***

BAROUSAI, BARUS, ATAU FANSUR: KISAH CEMERLANG DARI BERIBU TAHUN SILAM

BAROUSAI, BARUS, ATAU FANSUR:

KISAH CEMERLANG DARI BERIBU TAHUN SILAM

Kota bandar di tepian pantai barat Sumatra yang berabad lalu menjadi sebuah perkampungan multi-etnis yang penuh guyub, sarat daya tarik bagi para pedagang di hampir seluruh penjuru bumi, juga menjadi pintu masuknya berbagai peradaban dan agama-agama besar di bumi Nusantara itu kini telah sepi.

BARUS saat ini hanya sebuah ibukota Kecamatan, di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatra Utara. Posisinya berada di pinggir pantai barat Sumatera, sekitar 60 km sebelah utara Sibolga, atau sekitar 414 km dari Medan. Tidak ada yang istimewa. Begitu juga dengan Desa Lobutua, sekitar 4 km ke arah barat dari Barus. Juga layaknya sebuah desa, sepi. Meskipun sesekali para peziarah datang silih-berganti, menapaki sejarah sebuah kota banda yang jauh di awal abad masehi pernah begitu cemerlang dan menggemparkan sekujur bumi.

Dan boleh jadi, Barus adalah satu-satunya kota yang tercatat di dalam buku yang terbit di awal masehi, sehingga menempatkannya sebagai kota tertua di bumi Nusantara. Adalah Claudius Ptolomaios[1], seorang geograf Yunani yang dalam bukunya dari abad ke dua Masehi, Geographike Hyphegesis menuliskan nama negeri Barousai di Chryse Chora (Pulau Emas) yang antara lain oleh van der Meulen disimpulkan sebagai Sumatra[2].

Tapi apa gerangan yang menjadikan kota bandar ini begitu mempesona orang Yunani, China, India, dan bahkan juga para Pharao di Mesir kuno?

Jawabnya tak lain adalah kapur barus (bhs Belanda: kamfer, dan mungkin dari kata kapur yang diucapkan kofur oleh bangsa Arab).[3] Konon, kapur barus asal kota barus inilah yang paling banyak dicari karena kualitasnya yang terbaik, paling laku dan harganya kurang lebih 8 kali lebih mahal daripada kapur-kapur barus asal tempat lain[4]. Dalam catatan pelancong Italia, Marco Polo bahkan disebutkan bahwa, harga kapur barus kala itu setara dengan harga emas dengan berat yang sama[5].

Seorang Belanda pernah menulis bahwa kemenyan dari Barus, telah dipakai sebagai salah satu bahan mengawetkan (membalsem) mayat raja-raja di Mesir sebelum Masehi[6]. Jika dugaan ini benar, maka berarti kota bandar Barus ini sudah ada sejak 5.000 tahun SM. Perkiraan akhir itu, didasarkan pada temuan bahan pengawet dari berbagai mummy Fir'aun Mesir Kuno salah satu pengawetnya menggunakan kanper atau kapur Barus. Sejarawan era kemerdekaan Moh. Yamin, bahkan memperkirakan bahwa, perdagangan rempah-rempah dan tentu saja kamfer, sudah dilakukan pedagang Nusantara sejak 6.000 tahun lalu ke berbagai penjuru dunia.

Hasil penelitian Innis Miller terhadap naskah Historia Naturalis karya Plinius di abad pertama juga sudah menunjukkan bahwa, para pedagang Nusantara pun ternyata sudah menjajakan komoditas mereka sampai ke Asia Barat dan Afrika Timur sejak abad permulaan Masehi[7]. Sementara Prof. Kern[8] pernah menulis bahwa Kota “P’o-lu-chi” yang dimaksud I Tsing di abad ke-7, tidak lain dari Barus[9]. Seorang penyair Arab sebelum Islam, Amru al-Qais (meninggal tahun 530 Masehi), sangat memuji keharuman kafur dalam syair-syairnya[10].

Begitu pentingnya kota Barus ini—mungkin bisa disamakan dengan Paris pada abad modern yang terkenal dengan inovasi parfumnya—maka sejak zaman dulu dalam dunia dagang telah dikenal nama-nama Baros, Balus, Pansur, Fansur, Pansuri[11], Kalasaputra[12], Karpura-dwipa, Barusai, Waru-saka dan lain-lain.

Dan tentu, seperti kata pepatah, ada gula ada semut. Pesona kapur barus dari selatan ini menggoda banyak pendatang. Sebagaimana dicatatan Ptolomaios, selain para penjelajah dari Yunani, juga datang pedagang dari Venesia, India, Arab dan Tiongkok. Selain itu, sekelompok penyebar ajaran Kristen Sekte Nestorian dari Konstantinopel, pusat Kerajaan Byzantium Timur, juga menjejakkan kakinya di Barus. Kelompok itu diperkirakan datang sekira tahun 600 M dan mendirikan gereja pertama di Desa Pancuran, Barus.

Dewan Gereja-gereja di Indonesia juga memercayai sejak tahun 645 Masehi di daerah Barus telah masuk umat Kristen dari sekte Nestorian. Keyakinan tersebut didasarkan pada buku kuno tulisan Shaikh Abu Salih al-Armini. Sementara itu, penjelajah dari Armenia Mabousahl mencatat bahwa pada abad ke-12 telah terdapat Gereja Nestorian.

Lalu datanglah para pedagang Arab memasuki Barus sekira 627-643 M atau sekitar tahun 1 Hijriah, dan menyebarkan agama Islam di daerah itu. Di antaranya Wahab bin Qabishah mendarat di Pulau Mursala pada 627 M. Ada juga utusan Khulafaur Rasyidin, bernama Syekh Ismail akan ke Samudera Pasai dan singgah di Barus, sekira tahun 634 M. Dan sejak itu pula, tercatat bangsa Arab (Islam) mendirikan koloni di Barus. Bangsa Arab menamakan Barus dengan sebutan Fansur atau Fansuri, misalnya oleh penulis Sulaiman pada 851 M dalam bukunya "Silsilatus Tawarikh."

Kedatangan bangsa Arab yang kemudian menyebarkan agama Islam itu juga disebutkan dalam berita-berita Cina, Hsin-Tang-shu[13] (Catatan Dinasti Tang, 618-907), dan Chu-fan-chi[14] (Catatan Negeri-negeri Asing) yang ditulis Chau Ju-kua pada tahun 1225. Di dalam dua kronik Cina itu banyak bercerita tentang Ta-shi, istilah Cina untuk menyebut Arab. (Chu-fan-chi menerangkan bahwa Ta-shi mempunyai seorang Buddha (maksudnya Nabi) yang bernama Ma-ha-mat (Muhammad). Dalam sehari mereka lima kali sembahyang, dan setiap tahun berpuasa selama sebulan penuh. Dinasti Ta-shi ada dua macam, yaitu white-robed Ta-shi (Arab berjubah putih) atau Pon-ni-mo-huan (Bani Marwan, atau Bani Umayyah), serta black-robed Ta-shi (Arab berjubah hitam) yang didirikan raja A-po-lo-pa (Abul-Abbas)[15]. Pada tahun 651 Masehi, raja Ta-shi (Arab) bernama Han-mi-mo-mi-ni mengirimkan utusan ke istana Cina[16]. Hampir dapat dipastikan bahwa nama Han-mi-mo-mi-ni dalam ucapan Cina ini adalah untuk Amir al-Mu’minin, gelar resmi para khalifah Islam, dan “raja Ta-shi” yang mengirimkan utusan itu adalah Khalifah `Utsman ibn Affan yang memerintah dari tahun 644 sampai 656. Hsin-Tang-shu mencatat bahwa pada tahun 674 terdapat pemukiman pedagang Ta-shi (Arab) di Po-lu-shih, daerah pantai barat Sumatera.[17]

Tentu, dapat dibayangkan betapa makmurnya kota Barus pada awal abad masehi ini, dengan penduduk yang sebagian besar terdiri atas kaum pedagang. Pertanyaannya kemudian, siapakah yang menggerakkan semua perdagangan hingga jauh ke negeri seberang itu?

Seorang bekas kontrolir Belanda, G.J.J. Deutz, sewaktu bertugas di Barus,[18] menulis bahwa menurut rakyat setempat di Desa Lobutua pernah didapat penduduk sebuah batu bertulis pada dua bagian. Tetapi sayang, batu itu pada tahun 1857 dipecahkan oleh Raja Barus bernama Mara Pangkat. Pada tahun 1872 Deutz banyak menemukan pecahan batu peninggalan zaman Hindu yang telah dilupakan orang, telah berlumut. Dan baru pada tahun 1932, prasasti itu diterjemahkan Profesor Nila-kanti Sastri dari Universitas Madras.[19]

Prasasti itu menyebutkan bahwa paling sedikit sejak abad ke-11, telah bermukim di kota Barus sebuah koloni bangsa Tamil. Menurut batu Lobutua itu, mereka tergabung dalam sebuah perusahaan bernama “kelompok 500″ yang tidak asing lagi bagi orang-orang India waktu itu. Perusahaan swasta yang mereka wakili, merupakan perusahaan dagang cukup kuat, merdeka dalam tindakan dan tidak gampang tunduk pada salah satu raja yang berkuasa di sekitar Barus. Mereka yang berdiam di Barus inilah yang membeli beberapa hasil dari rakyat—utamanya kapur barus—untuk diekspor ke luar negeri.

Menurut Gnillout Claude[20], Barus adalah sebuah kota kuno di pantai barat Propinsi Sumatera Utara yang terkenal di seluruh Asia, sejak lebih dari seribu tahun, berkat hasil hutannya. Selain itu, nama Barus juga muncul dalam sejarah peradaban Melayu dengan Hamzah Fansuri, penyair mistik terkenal yang baru-baru ini ditemukan kembali makamnya di Mekkah. Sementara itu, tim arkeolog dari Ecole Francaise D’extreme-Orient (EFEO) Perancis bekerjasama dengan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua-Barus, menemukan bahwa pada sekitar abad 9-12 Masehi, Barus telah menjadi sebuah perkampungan multi-etnis dari berbagai suku bangsa seperti Arab, Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu, dan sebagainya. Tim tersebut juga menemukan banyak benda-benda berkualitas tinggi yang usianya sudah ratusan dan bahkan ribuan tahun dan ini menandakan dahulu kala kehidupan di Barus itu sangatlah makmur.

Dan semua kemakmuran itu berkat aroma kapur barus yang diolah dari kayu kamfer. Hanya kini, komoditi yang begitu mempesona di masa silam itu, hingga konon juga dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5. 000 tahun sebelum Masehi itu, kini sudah lama tidak lagi diproduksi

Di komplek makam Syekh Machmud yang tertata rapi dan terletak di Bukit Papan Tinggi dan memang betul-betul tinggi sehingga harus melewati 710 anak tangga ini, menggantung sebuah tulisan, “Beri Salam dan Alas Kaki dibuka.” Seakan mengakhiri sebuah kisah perjalanan sebuah kota bandar di tepian pantai barat Sumatra yang berabad lalu menjadi sebuah perkampungan multi-etnis yang penuh guyub, sarat daya tarik bagi para pedagang di hampir seluruh penjuru bumi, juga menjadi pintu masuknya berbagai peradaban dan agama-agama besar di bumi Nusantara itu kini telah sepi.**



[1] Barus telah disebut oleh Ptolomeus kira kira tahun 150 Masehi. (Kozok, 1991, 14)

[2] W. J. van der Meulen, “Suvarnadvipa and the Chryse Chersonesos”, Indonesia, 18, October 1974, h. 1

[3] Encyclopdeia van Nederlandsch Indie

[4] Ada tiga jenis kapur barus pada saat itu yaitu: Kapur barus dari Kalimantan dan Sumatera (Dryobalanops aromatica), Kapur barus dari China dan Jepang (Cinnamomum Camphora) yang banyak beredar dipasaran dan yang ketiga adalah Blumea balsami- fera, yang diproduksi di China dengan nama kapur barus Ngai. Harga dari kapur barus asal Sumatera ini kira-kira 138 kali lebih mahal dari kapur barus China dan Jepang. (Hobson-Jobson, Glossary of Anglo-Indian Words and Phares)

[5]Travel of Marco Polo,” Buku 3 Bab 9 dan Buku 2 Bab 8 by Marco Polo dan Rustichello of Pisa

[6] Sumatra Benzoe, Disertasi P.H. Brans

[7] J. Innis Miller, The Spice Trade of the Roman Empire, Oxford University Press, London, 1969, terutama Bab “The Cinnamon Route”

[8] Verspreide Geschriften No VI, halaman 15

[9] Po-lu-chi atau Po-lu-suo terkadang sering keliru diterjemahkan dalam text China dengan Bo-si atau Persia. Barus ini juga sering disebut sebagai Bon-cu, Bian-shu atau Bin-cuo. (Roderich Ptak, Possible Chinese Reference to the Barus Area (Ming to Tang) in Claude Guillot (ed.) Histoire de Barus, Sumatera: Le Site de Lobu Tua I, Etudes et Documents, Paris, Cahier d’Archipel 30, 1998, pp. 119-138)

[10] Oliver W. Wolters, Early Indonesian Commerce, Cornell University Press, Ithaca, New York, 1967, terutama Bab 8

[11] Dari Desa Pansur sedikit di utara Barus

[12] Dari kata Kalasan, daerah penghasil kapur barus antara Kota Barus dan Sungai Chenendang

[13] Diterjemahkan oleh Paul Pelliot, “Deux Itineraires de Chine en Inde a la Fin du VIIIe Siecle”, BEFEO, 4, 1904, hal. 132-413

[14] Diterjemahkan oleh Friedrich Hirth dan W. W. Rockhill, Chau Ju-kua: His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries, entitled CHU-FAN-CHI, Imperial Academy of Sciences, St.Petersburg, 1911

[15] Lihat: F. Hirth dan W.W.Rockhill, hh. 114-124

[16] Berita ini tercantum dalam kronik Tung-tien buku 193 nomor 22b. Lihat: F.Hirth dan W.W.Rockhill, h. 119

[17] Paul Pelliot, h. 297. Lihat juga W. P. Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources, Bhratara, Jakarta, cetak ulang 1960, h. 14.

[18] Barus, G.J.J. Deutz, Tijdschr No. 22 tahun 1875

[19] A Tamil Merchant-guild in Sumatera oleh Prof. N. Sastri dalam Tijdschr No 72 tahun 1932

[20] “Lobu Tua Sejarah Barus”, Obor, 2002

Kamis, 11 September 2008

Pasal 33 UUD 1945 sebagai Orientasi Kebijakan Publik:
MEMBEBASKAN RAKYAT DARI ANCAMAN BENCANA SOSIAL

Indonesia kita hari ini, bak perempuan hamil tua, yang dengan segala daya merawat dan menahan sakit karena desakan jabang bayi ”peradaban” di antara dua harapan akan datangnya sang bayi dalam keadaan sehat dan lucu—Indonesia yang lebih baik—atau cedera dan kematian.

DI halaman Indonesia kita hari ini tengah berkecamuk tiga gurita kekuatan yang saling berebut pengaruh secara ketat, yakni negara, pasar, dan masyarakat sipil. Pada saat yang hampir bersamaan, muncul pula tiga kecenderungan utama masyarakat kita dewasa ini, yakni konsumsi, kompetisi, dan konflik. Di sudut lainnya, terdapat pula tiga akar persoalan sosial yang melahirkan bencana menggiriskan, yakni kemiskinan, kekerasan, dan ketidakadilan struktural.
Ketiga akar persoalan itu—kemiskinan, kekerasan, dan ketidakadilan struktural—tumbuh dan merajalela di hampir seluruh pelosok negeri. Ini memang bukan monopoli Indonesia, karena juga terjadi hampir di setiap belahan bumi. De facto tidak satupun negara di dunia ini yang bebas dari ketiga jenis bencana sosial tersebut.
Dikatakan sebagai bencana sosial sebab ketiganya timbul sebagai akibat dialektika tesis–antitesis–sintesis dalam perspektif perkembangan—juga kemunduran—peradaban manusia. Peradaban dimaksud adalah aneka produk dari setiap jenis tindakan, kebijakan maupun intervensi yang dilakukan oleh tiga pilar utama penyangga negara—juga tata dunia saat ini—yaitu pilar politik (negara), pilar ekonomi (pasar), dan pilar sosial (masyarakat sipil) berikut perubahan sosial yang menyertainya sebagai konsekuensi langsung-logis atas tindakan, kebijakan serta intervensi itu sendiri.
Bencana sosial tersebut juga bersifat masif-destruktif dan struktural-kultural. Masif karena terjadi di hampir setiap titik dalam peta geo-politik dan destruktif karena menelan korban umat manusia dalam kuantitas yang signifikan bahkan mampu melumpuhkan kemampuan survival manusia. Bersifat struktural-kultural oleh karena “dalang” bencana sosial ini melibatkan para pemegang otoritas formal-legal yang memang memiliki kekuasaan dan kewenangan untuk menentukan masa depan serta nasib sebagian atau hampir seluruh anak-anak negeri. Sedangkan aspek kultural bencana sosial dimaksud dapat terlihat dari nilai-nilai dasar, ideologi atau paham, juga teori yang menjadi landasan pada setiap jenis tindakan, produk kebijakan publik, maupun intervensi yang dilakukan.
Dengan menyadari bahwa bencana sosial hakekatnya timbul karena ulah manusia sendiri dan memiliki dampak yang tidak kalah destruktifnya daripada bencana alam, maka upaya mereduksi bencana sosial mestinya perlu dilakukan sejak dini sebagai langkah antisipasi dan menjadi bagian sistem pengingat dini (early warning system) bersama dalam konteks hubungan trilateral negara, pasar dan masyarakat.
Persoalannya kemudian, negara-negara di dunia kini dewasa ini sudah tidak mungkin lagi bisa mengisolasi dirinya sendiri. Kesalingbergantungan satu negara dengan negara lainnya, bukan lagi wacana, tetapi telah menjadi realitas dan keniscayaan, menjadi kampung global. Sebuah produk kebijakan publik dari suatu negara juga semakin tidak lagi bersih dari pengaruh dan kepentingan negara lain. Sebab narasi besar yang berkisar pada rivalitas ideologi dan Perang Dingin, memang telah runtuh, seiring runtuhnya Tembok Berlin pada tahun 1989.
Kala itu, dunia sempat semilir dengan harapan baru akan keberagaman kultur lokal yang akan bermekaran. Budaya bangsa-bangsa semakin aneka warna. Multiragam. Narasi-narasi kecil bermunculan. Kesalingtergantungan antar negara dan bangsa akan mendorong terjadinya kemakmuran global. Bagi para penganjur globalisasi, ’air pasang naik akan mengangkat semua sampan’, menyediakan keuntungan ekonomi menyeluruh pada semua lapisan masyarakat.
Namun semua itu ternyata hanya ilusi. Kenyataan menunjukkan, yang terangkat dan melaju hanya sekumpulan kecil perahu olah raga atau kapal-kapal pesiar mewah (yacht). Perahu-perahu bermotor kecil atau tanpa motor, digilas dan ditepikan, menjadi rongsokan, dan mati mengenaskan.
Persoalannya kemudian, seperti dikatakan Terry Eagleton dalam After Theory, “tidak benar narasi besar telah hilang. Globalisasi adalah narasi besar dewasa ini”. Akibatnya mudah diduga, kemiskinan, kekerasan, dan ketidakadilan struktural pun melanda di banyak negara.
Para pengusung globalisasi tetap bergeming dengan semua keburukan yang dihasilakknya. Bahkan, misalnya Stave Change, CEO perusahaan teknologi. Trend Micro, menjelaskan dengan lebih gamblang. ”Adalah kutuk bahwa, budaya nasional amat berbeda-beda. Kami menyusun siasat bagaimana mempertobatkan semua orang agar memeluk satu kultur bisnis, tak peduli darimana mereka berasal,” demikian dikatakan Stave Change pada Business Week edisi 22 Oktober 2003.
Bagaimana dengan Indonesia kita?
Posisi Indonesia, sebagai sebuah “negara dunia ketiga” yang sedang berjuang mewujudkan demokrasi ala penganut globalisasi (Barat) dengan populasi mayoritas beragama Islam dengan kekayaan alam yang melimpah dipandang oleh “Barat” sebagai mitra strategis. Sekadar kalkulasi sederhana, jika Indonesia mampu mengurangi tingkat kemiskinan sebagaimana ditargetkan dalam tujuan Deklarasi Milenium (MDGs) yang ditandatangani hampir sebagian besar negara anggota PBB pada 8 September tahun 2000, maka jumlah ini akan berdampak pada pengurangan kaum miskin dunia. Ujung-ujungnya, kemampuan konsumsi masyarakat meningkat dan ini berarti kabar baik bagi para kapitalis dunia, minimal ekspansi pasar dapat dilakukan. Demikian halnya jika Indonesia berhasil menegakkan demokrasi—versi Barat, maka ia menjadi satu-satunya negara dengan populasi Islam terbesar di dunia yang akan lebih diterima dan “menyenangkan” pihak Barat. Kepastian hukum, penghormatan atas HAM dan martabat manusia serta keterbukaan masyarakat Indonesia sebagai buah keberhasilan praktek demokrasi jelas akan menaikkan citra positif dan posisi tawar Indonesia dalam sistem tata dunia yang dihegemoni para kampiun kapitalis neo-liberal.
Dalam perjuangan serupa itu, Indonesia kita hari ini, bak perempuan hamil tua, yang dengan segala daya merawat dan menahan sakit karena desakan jabang bayi ”peradaban” di antara dua harapan akan datangnya sang bayi dalam keadaan sehat dan lucu—Indonesia yang lebih baik—atau cedera dan kematian. Semua bergantung pada kebijakan-kebijakan publik yang diproduksi. Adakah negara dan bangsa ini akan kita siapkan menjadi santapan kerakusan narasi besar baru itu, atau kita bertekat baja, mensinergikan semua daya dan upaya, dan terus bekerja cerdas juga keras untuk keluar dari segala jebakan dan tampil penuh martabat, sebagaimana—minus kekurangan intrinsiknya—Vladimir V. Putin membawa Rusia sebagaimana yang bisa kita saksikan dewasa ini?
Krisis 1998 dan Pelajaran dari Rusia
Akhir dekade 1980-an hingga 1990-an, sejumlah negara-negara Asia mulai melakukan deregulasi pasar keuangan. Tujuannya adalah untuk memudahkan masuknya dana asing. Menurut Stiglitz dalam Globalization and Its Discontent, deregulasi pasar keuangan ini dilakukan bukan karena negara-negara itu perlu menarik dana-dana asing. Tetapi, lebih karena tekanan internasional (IMF dan Bank Dunia) termasuk tekanan dari Departemen Keuangan AS.
Akibat deregulasi tersebut, gelontoran dana-dana asing pun meningkat cepat, terutama yang sifatnya berjangka pendek. Dan, sebagaimana dana itu masuk cepat, dana itu juga bisa keluar cepat.
Persoalannya kemudian, dana-dana berjangka pendek itu kemudian dipergunakan oleh swasta untuk membiayai sektor properti yang membutuhkan pengembalian lebih lama. Akibatnya, ketika dana-dana panas itu ditarik keluar, krisis moneter pun begitu cepat melanda Asia. Dimulai pada awal Juli 1997, ketika mata uang Thailand, Bath terdepresiasi hebat. Sejurus kemudian, krisis itu melanda Korea Selatan, Malaysia, Filipina, Indonesia, dan juga Rusia.
Lalu datanglah Dana Moneter Internasional (IMF) menawarkan jalan keluar, dengan resep yang sama persis seperti yang dilakukan pada negara-negara Amerika Latin, ketika menghadapi resesi pada dekade 1980-an. Menurut Stiglitz, resep yang sama untuk dua kawasan ini jelas salah karena akar persoalan ekonomi yang berbeda.
Problem di Asia bukanlah akibat pemerintahan yang sembrono mengelola keuangan negara, tetapi sektor swasta yang gegabah. Karena itu, memaksakan pemerintah mengurangi pengeluaran dan mengontrol kebijakan moneter hanya menjadikan suku bunga naik. Hal ini semakin memperparah kerusakan ekonomi, sehingga krisis mata uang pun bergeser menjadi krisis ekonomi, dan kemudian menjadi krisis multidimensi.
Namun, pada dekade 1990-an, Konsensus Washington yang merupakan paket pemerintah Amerika Serikat (AS) untuk mempromosikan sistem perekonomian pasar yang antara lain dilakukan melalui IMF dan Bank Dunia (WB) masih dianggap sebagai salah satu jalan utama menuju kemakmuran. Karena itu, banyak negara—termasuk Indonesia dan juga Rusia—bersedia menerima konsensus tersebut.
Dan Boris Yeltsin, setelah terpilih menjadi presiden lewat pemilu langsung pertama di Rusia pada Juni 1991 kemudian mencanangkan bahwa, Rusia akan menjalankan reformasi ekonomi menuju mekanisme pasar secara radikal, sesuai rekomendasi AS dan IMF. Di dalamnya, termasuk program swastanisasi atas perusahaan-perusahaan negara yang memang dipaksakan untuk membuat Wall Street atau perusahaan multinasional, memiliki jalan lempang guna menguasai atau memiliki perusahaan-perusahaan tersebut, yang menghasilkan ”perampokan negara” lewat proses swastanisasi. Hal yang sama juga dilakukan Indonesia, setelah Orde Baru tumbang dan masih terus dilakukan sampai sekarang.
Apa yang terjadi kemudian dengan Rusia?
Perubahan ekonomi dari sistem terencana menuju mekanisme pasar membutuhkan waktu lama dan bertahap. Pola inilah yang dipilih China dan beberapa negara di Eropa Timur, eks Blok Komunis. Namun Yeltsin memilih jalur cepat, melalui paket program terapi kejut sebagaimana disarankan AS dan IMF. Dan hasilnya? Sendi-sendi kelembagaan ekonomi Rusia lumpuh. Negara mengalami kebangkrutan, tentara Rusia sempat digaji dengan sayur-mayur hasil pertanian kolektif karena kas negara kosong, dan bila pada era Uni Sovyet, hanya terdapat dua persen penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan, maka setelah resep IMF dan Departemen Keuangan AS diterapkan, prosentase penduduk di bawah garis kemiskinan di Rusia meningkat menjadi 50 persen. Ketimpangan status sosial ekonomi pun meningkat tajam.
Menurut Jerry F Hough (The Logic of Economic Reform in Rusia), kekacauan ekonomi di Rusia bukanlah karena aktor-aktor bisnis, pejabat korup, dan oligarkhi, tetapi karena implementasi terburu-buru atas sistem ekonomi pasar. Tidak sedikit yang mengatakan bahwa Rusia seharusnya bertahan dengan reformasi moderat yang juga didukung beberapa orang dekat Vladimir V. Putin, yang kemudian menggantikan Yeltsin. Seperti juga Hough, yang mengatakan Rusia seharusnya mengambil jalur reformasi gradual seperti yang dilakukan China.
Namun, ada kubu di Rusia yang menginginkan reformasi yang cepat. Dilepaskanlah kontrol terhadap harga-harga kebutuhan pokok kemudian terbukti menyebabkan Rusia mengalami inflasi hebat. Hal serupa juga terjadi di Indonesia, ketika kendali Bulog terhadap sembilan bahan kebutuhan pokok dilepaskan. Dan di balik itu semua, kebijakan ini ternyata dilakukan demi melancarkan impor tepung terigu AS ke Indonesia.
Sementara menurut Anne Williamson dalam The Rape of Rusia yang ditulisnya pada situs russian.org, kehancuran Rusia adalah akibat ulah oligarkhi yang dekat dengan keluarga Yeltsin yang menjalankan bisnis korup dengan bantuan presiden AS George W.Bush dan terutama pemerintahan di bawah presiden AS Bill Clinton dalam kolaborasi dengan bankir Wall Street. Hal ini juga didukung oleh para orang rakus di Departemen Keuangan AS, Harvard Institute for International Development, dan manipulator dari lembaga bergengsi seperti Nordex, IMF, Bank Dunia, dan Bank Sentral AS (Federal Reserve).
Sampai kemudian, 31 Desember 1999, Yeltsin yang sudah sakit-sakitan akhirnya mengundurkan diri dan mengumumkan pemilu dini yang diselenggarakan pada awal 2000. Jabatan presiden pun diserahkan pada Vladimir V.Putin.
Kala itu, kondisi perekonomian Rusia begitu porak-poranda. Rata-rata gaji bulanan warga Rusia telah anjlok dari sekitar US$ 177/bulan pada 1998 menjadi US$ 57/bulan pada Januari 1999. Angka inflasi naik menjadi 91 pada periode yang sama.
Putin yang pada mulanya didukung oligarki, akhirnya memenangi pemilu di awal tahun 2000. Namun, tak lama setelah dilantik, Putin mencanangkan jarak pada semua oligarki sambil mendekatkan diri pada para koleganya, orang-orang KGB
Bagi pemerintahan Rusia, keberadaan oligarkhi memang sudah begitu menjengkelkan. Posisi mereka yang kian kuat, menjadikan pemerintah tidak bisa lagi mengontrolnya. Para oligarkhi yang dijuluki ”warga baru Rusia” ini juga hanya sedikit membayar pajak. Bahkan, ada banyak perusahaan yang sama sekali tidak membayar pajak. Selain itu, sepak terjang mereka juga sudah terlalu menakutkan.
Menurut Federico Varese (The Russian Mafia Private Protection in an New Market Economy), di negara dengan kelangkaan sistem hukum dan dimana reformasi sedang terjadi, perlindungan kepemilikan rapuh, negara lemah dan tak mampu memberi perlindungan, maka cara lain seperti mafia pun bermunculan.
Ini semua menjadi keprihatinan besar Putin. Perasaan serupa juga menghinggapi silovski , julukan bagi jajaran pemerintahan Putin yang telah diisi para eks KGB dan kepolisian. Namun, mengatasi oligrakhi juga tidak mudah. Putin dan silovskinya membutuhkan waktu untuk konsolidasi.
Sampai kemudian, sekitar awal 2003, silovski menduduki sekitar 70 persen dari jumlah total staf Kremlin—julukan bagi pemerintahan Rusia. Merekapun kemudian mencanangkan pemulihan kekuasaan negara di berbagai bidang, seperti politik, keamanan, dan juga ekonomi. Momentum balas dendam terhadap oligarkhi pun makin mengkrital. Kejaksaan Rusia mulai menangani kasus Yukos Oil.
Namun, di saat Kremlin gencar bertindak menangani oligrakhi, muncul perlawanan dari Barat, termasuk Uni Eropa. Hal ini menjadi perhatian Barat karena muncul kecenderungan baru nasionalisme Rusia yang kian menguat. Tapi Putin dan silovski tidak peduli.
Pada April 2003, Kantor Auditor Rusia didatangi empat tokoh dari AS dan tiga dari Eropa dalam rangka misi Barat untuk meredam tindakan Rusia pada oligarkhi. Namun sekali lagi, Kremlin bergeming. Pada saat kedatangan delegasi Barat itu, telah diteliti proses swastanisasi atas 140 perusahaan negara di masa lalu. Saat itu, sudah ditemukan 56 jenis pelanggaran. Dan, Igor Shuvalov, salah satu penasehat ekonomi Putin, mengingatkan publik dan oligarkhi bahwa, akan banyak lagi usaha swasta yang dinasionalisasikan.
Bagi silovski, kekayaan alam adalah milik rakyat dan atas nama rakyat. Negara harus mengontrol setiap eksploitasi kekayaan alam. Peran asing pun dibatasi pada sektor yang berkaitan dengan kekayaan alam. Pandangan silovski soal kekayaan alam ini berlawanan dengan kalangan oligarkhi seperti pemegang saham mayoritas perusahaan minyak Yukos, Mikhail Khodorskovsky, turunan Yahudi yang menjalin hubungan mesra dengan para pemimpin negara-negara Barat.
Baron muda—lahir 26 Juni, 1963—perampok minyak negara ini menggunakan penasehat hukum dan ahli keuangan Barat. Karyawannya digaji cukup besar. Laporan keuangan diterbitkan secara rutin, terutama setelah dekade 2000-an.
Khodorkovsky juga melakukan sesuatu yang di permukaan terlihat baik. Misalnya, membentuk Yayasan Rusia Terbuka, yang mendorong pendidikan dan kegiatan budaya. Khodorkovsky merekrut mantan Menlu AS, Henry Kissinger, Lord Rothschild, dan mantan dubes AS untuk Rusia, Artur Hartman, sebagai direksi di yayasan itu. Semua upaya Kodorkovsky ini juga sering disebut sebagai ”Open Mike”.
Selain menanamkan keterbukaan, ia juga merangkul asing, khususnya AS. Ia mencanangkan penjualan sahamnya di Yukos. Rencana selanjutnya, Yukos akan dimerger dengan ExxonMobil, salah satu raksasa minyak asal AS.
Kodorkovsky juga gencar menebar uang pada partai-partai yang haus dana. Ia pun mendekati Partai Komunis, termasuk pihak yang bersekutu dengan Putin. Ia juga mencoba merangkul partai-partai reformasi demokrat, menyuap 100 anggota parlemen di majelis rendah Rusia (Duma) untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah agar menguntungkan bisnisnya, di samping juga menebar dana pada media-media yang berpengaruh agar menurunkan laporan dan tajuk rencana yang mengkritik Putin.
Pengaruh Open Mike yang digadang Kodorkovsky pun kian menguat. Hal ini membuat Putin dan silovski geram. Karena itu, sepulang dari Camp David, AS, usai bertemu George W Bush, pada Oktober 2003, Putin memerintahkan penangkapan, pengadilan, dan pemenjaran bagi Kodorkovsky.
Barat pun bereaksi keras. Bursa saham Rusia anjlok. Departemen Luar Negeri AS berang, ExxonMobil dan investor lain mengancam tak akan berinvestasi di Rusia. PM Israel, Ariel Sharon, sebelum pingsan, pernah mengatakan kepada Putin bahwa Putin telah melakukan kesalahan dengan memenjarakan Kodorkovsky.
Namun, Putin jalan terus. Backing Kodorkovsky pun digusur. Alexander Voloshin, Kepala Staf Angkatan Bersenjata Rusia dan pendukung Korodkovsky dari era Yeltsin dipaksa mundur secara cepat.
Silovski berargumen, AS juga melakukan penyelidikan terhadap Enron, raksasa energi AS yang melakukan penipuan keuangan. Kasus Khodorkovsky sendiri bermula pada penipuan terkait dengan privatisasi pada tahun 1994. Pada tahun 2004, penipuan ini terungkap. Sejumlah pekerja di perusahaan Khodorkovsky didakwa telah pernah melakukan korupasi, penyuapan, dan pembunuhan. Khodorkovsky juga dituduh mencuri aset negara, menipu aparat perpajakan. Inilah yang kemudian menjadi salah satu dasar bagi silovski untuk mengambil alih aset Yukos.
Dan AS yang mendukung Open Mike tetap tidak peduli dengan alasan pemberangusan yang dilakukan Putin. AS terus mengkritik bahwa Rusia makin menjauh dari jalan demokrasi. Kritikan AS ini pun dijawab langsung Putin sebagai sebuah kritik yang tidak punya taktik dan tak bisa dihormati.
Sejak itu, dukungan publik domestik Rusia terhadap kepemimpinan Putin pun kian tak terbendung. Tahun 2007, majalah Time, memilih Putin sebagai Man of the Year. Dukungan publik terhadap Putin—termasuk pada kebijakan-kebijakan politiknya yang tidak selalu demokratis—didasarkan pada beberapa sebab.
Pertama, di bawah Putin, Rusia seakan mendapatkan kembali statusnya sebagai kekuatan besar dunia, status yang sempat tergerus pasca bubarnya Uni Soviet. Komunitas internasional saat ini sudah harus mulai memperhitungkan kembali Rusia sebagai salah satu faktor penting yang menentukan situasi politik dunia. Selain itu, kehidupan perekonomian yang sempat kolaps di sepanjang tahun 1990-an dapat dibenahi dalam dua periode kepemimpinan Putin.
Kedua, demokrasi telah memberikan ‘pengalaman kurang menyenangkan’ kepada mayoritas masyarakat Rusia. Di bawah slogan demokrasi, rakyat Rusia menyaksikan bermunculannya para tycoons atau kelompok elit ekonomi baru (oligarkhi) yang berhasil memanfaatkan peluang untuk menguasai aset-aset strategis negara pasca bubarnya Soviet, hanya untuk kemudian melarikan kekayaannya keluar negeri. Kemunculan kelompok tersebut mengakibatkan makin tajamnya kesenjangan ekonomi dalam negeri Rusia yang babak belur pasca bubarnya Soviet. Para tycoons tersebut diantaranya adalah Boris Berezovsky dan Roman Abramovich yang keduanya kini bermukim di London, serta Mikhail Kodorkovsky, eks bos Yukos Oil, yang kini mendekam di penjara pemerintah Rusia.
Ketiga, masyarakat Rusia telah pula menyaksikan rangkaian episode gagalnya proses konsolidasi demokrasi di negara-negara pecahan Uni Soviet lainnya seperti di Georgia dan, yang terkini, di Ukraina serta Kyrgiztan. Ketiga negara terebut adalah ‘proyek percontohan’ atas proyek demokratisasi di post-Soviet Spaces pasca hiruk pikuknya revolusi-revolusi Berwarna (Colored Revolutions) yang melanda kawasan tersebut tahun 2004-2005 silam. Hingga saat ini, ketiga negara tersebut masih terus berkutat dengan proses konsolidasi serta konflik domestik yang tak berkesudahan akibat gagalnya para elit pada masing-masing negara tadi untuk mengawal proses transisi tersebut. Kondisi demikian menimbulkan keraguan bagi rakyat Rusia untuk menempuh jalan serupa.
Keempat, adalah faktor historis dan kultural di dalam tubuh masyarakat Rusia sendiri. Pertentangan pandangan antara kelompok tradisionalis dan westernis yang telah berlangsung semenjak masa imperial masih terus berlangsung hingga saat ini. Administrasi pemerintahan Presiden Putin saat ini didominasi oleh kelompok silovski, yang cenderung berpandangan tradisionalis. Kondisi tersebut kemudian berpengaruh pada orientasi dari pemerintahan Putin yang lebih menekankan pentingnya keberadaan birokrasi pemerintahan yang kuat serta sentimen-sentimen historis mengenai kebangkitan kembali atas kejayaan Rusia (Russia’s Greatness) dengan berkaca pada kejayaan Rusia di era imperial dan Soviet ketimbang demokrasi, terutama demokrasi liberal, yang dianggap sebagai bentuk penetrasi kebudayaan Barat yang diusung kelompok westernis yang jumlahnya minoritas.
Globalisasi dan Politik Identitas
Menurut Marshal I Goldman dalam Putin and the Oligarchs (Foreign Affairs Council on Foreign Relation, AS, edisi November/Desember 2004), peninjauan kembali swastanisasi perusahaan-perusahaan negara yang terburu-buru, penangkapan Khodorkovsky, dan pengambilalihan aset Yukos Oil oleh Putin dan silovski adalah tindakan yang tepat, yakni pembenahan Negara. Dan karena itu pula, dukungan publik domestik pada Putin terus membesar, karena upaya Putin dirasakan publik Rusia mampu mengembalikan harga diri bangsa.
Secara legal formal, Rusia menganut sistem pemerintahan yang berbasiskan pada demokrasi. Penegasan tersebut terdapat di dalam konstitusi federal. Tapi pada prakteknya Putin cenderung melakukan ‘kebijakan politik terpusat’, yakni memusatkan kekuasaan politik dibawah kekuasaan institusi Presiden, yang semakin intensif dilakukannya sejak masa jabatannya yang kedua tahun 2004. Kritik, baik yang datang dari dalam maupun luar Rusia, termasuk dari Amerika Serikat dan Uni Eropa, hingga saat ini tidak mampu menggoyang Putin dari kursi kepemimpinan nasional Rusia.
Demokrasi Rusia mengalami semacam paradoks. Pada satu sisi Demokrasi masih dianggap sebagai bentuk pemerintahan paling ideal bagi masyarakat Rusia, paling tidak secara legal-formal. Akan tetapi, pengalaman traumatik akan kekacauan-kekacauan politik (political catastrophes) yang terjadi pasca Glasnost dan Perestroika, serta sebab-sebab lain yang telah dikemukakan sebelumnya, membuat mayoritas rakyat Rusia merasa ‘nyaman’ berada di bawah figur pemimpin yang kuat seperti Putin. Sekalipun gaya kepemimpinannya tidak selalu sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Tapi saya kira, itulah wujud kematangan Rusia dalam melakukan sintesa sebagai jalan tengah untuk mempertemukan globalisasi (fundamentalisme pasar) dengan kepentingan domestik, sebagai bagian dari politik identitas Rusia. Sementara bangsa ini, hingga saat ini, masih terasa begitu gagap menghadapi terjangan globalisasi di satu sisi dan menguatnya politik identitas di sisi lainnya. Secara umum, bangsa ini lebih memilih politik identitas sebagai tameng menghadapi terjangan globalisasi ketimbang secara cerdas mencari kompromi diantara dua nilai tersebut. Akibatnya, praktik intimidasi, kekerasan, konflik horisontal-vertikal menjadi begitu kerap mengedepan.
Kemudian, ketika semua itu diperhadapkan dengan kemiskinan, pengangguran, bencana alam, sebagian dari kita pun mulai merasa gamang, jangan-jangan ”bayi peradaban” yang akan dilahirkan ibu pertiwi begitu penuh cacat, atau bahkan mengantarkan pada kematian. Selanjutnya, ketika masalah SARA juga mulai merenggut toleransi dan perasaan saudara sesama warga, kegamangan itu pun kian menjadi-jadi, mendorong kita mencari pegangan. Dan akhirnya, yang kita temukan adalah apa yang sejak runtuhnya Orde Baru jarang kita bicarakan: Pancasila, rumah kita bersama, ideologi bangsa dan negara, sebuah belief system, pedoman hidup, dan rumusan cita-cita atau nilai-nilai.
Persoalannya kemudian, di tengah kemiskinan, kekerasan, dan ketidakadilan sosial serta kecenderungan untuk konsumsi, kompetisi, dan konflik yang terasa kian intens, harapan rakyat cenderung diletakkan pada hal-hal yang sederhana, dan bukan hal-hal yang serba makro dan mendasar. Harapan rakyat adalah, jika ada Ormas yang melakukan intimidasi terhadap anggota masyarakat lainnya, Presiden langsung naik panggung dan dengan tegas menyatakan, ”Republik ini tidak dibangun atas dasar agama, suku, ras, dan golongan. Karena itu, hal yang aneh-aneh harus bubar.” Ketegasan kepemimpinan serupa itu merevitalisasi dua sila sekaligus. Ketuhanan Yang Maha Esa dan Persatuan Indonesia.
Harapan rakyat ketika BBM di pasar internasional naik tinggi, Presiden langsung naik panggung dan mengatakan, ”sebagai Presiden, saya tidak mau rakyat saya menghadapi kesengsaraan yang teramat sangat. Pemerintah memang tengah tidak punya uang untuk mengatasi beban berat itu. Kita akan tinjau kembali seluruh kontrak-kontrak karya atas eksploitasi sumber-sumber energi kita agar kepentingan rakyat kita diutamakan, atau jika perlu, pemerintah akan mencari utang demi rakyat.” Saya kira ini akan menjadi energi bagi rakyat yang tidak akan habis-habisnya bagi revitalisasi Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
Harapan rakyat dalam pembangunan demokrasi kita adalah Presiden menegaskan bahwa, ”dalam sistem demokrasi kita, hal-hal yang menyangkut nilai tertinggi bangsa ini, seperti persatuan, keputusan harus melalui musyawarah dan mufakat. Voting tidak dapat digunakan sebagai mekanisme pengambilan keputusan atas aneka masalah yang mengandung resiko memecah, yang mengancam persatuan, dan keutuhan bangsa.” Ketegasan ini akan merevitalisasi Keadilan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijakan dalam Permusyawaratan Perwakilan.
Kemudian untuk Keadilan Sosial, harapan rakyat adalah dapat menikmati air bersih, transportasi umum yang murah, aman, dan nyaman, selokan dan sungai tidak mampet sehingga tidak banjir, mendapatkan sekolah dengan mudah, murah, dan berkualitas, ketika sakit rumah sakit-rumah sakit tidak memilih orang dengan dompet tebal atau tipis, mudah mengurus KTP, SIM, dan surat-surat, ruang-ruang kota tidak sekadar dijejali dengan mall dan gedung-gedung tinggi, tetapi juga taman untuk cangkruk, tempat anak-anak bermain sepak bola tidak lagi di badan jalan, pedagang kakilima tidak perlu dijejali kegelisahan oleh datangnya aparat penertiban, dan sebagainya.
Melalui pemenuhan atas harapan-harapan rakyat yang sederhana itu, impian kita merevitalisasi Pancasila dan menjadikannya sebagai rumah kita bersama tidak lagi sekadar utopia. Dan ini artinya, kebijakan publik yang diproduksi mestinya mengarah pada pemenuhan harapan-harapan rakyat yang sederhana itu.
Kebijakan Publik
Kebijakan (policy) adalah sebuat instrument pemerintahan, bukan saja dalam arti government—menyangkut aparatur negara—melainkan juga governance—menyentuh berbagai bentuk kelembagaan—baik swasta, dunia usaha maupun masyarakat madani (civil society). Kebijakan pada intinya merupakan keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan tindakan yang secara langsung mengatur pengelolaan dan pendistribusian sumberdaya alam, financial, dan manusia demi kepentingan public, yakni rakyat banyak, penduduk, masyarakat, atau warga Negara. Kebijakan merupakan hasil dari adanya sinergi, kompromi atau bahkan kompetisi antara berbagai gagasan, teori, ideologi, dan kepentingan-kepentingan yang mewakili system politik suatu Negara.
Banyak sekali definsi mengenai kebijakan public. Sebagian besar ahli memberi pengertian kebijakan public dalam kaitannya dengan keputusan atau ketetapan pemerintah untuk melakukan suatu tindakan yang dianggap akan membawa dampak baik bagi kehidupan warganya. Bahkan, dalam pengertian yang lebih luas, kebijakan publik sering diartikan sebagai ’apa saja yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan’. Seperti kata Bridgman dan Davis (The Australian Policy Handbook), seringkali, kebijakan publik tidak lebih dari pengertian mengenai ’whatever government choose to do or not to do’.
Kadang-kadang, kebijakan publik menunjuk pada istilah atau konsep untuk menjelaskan pilihan-pilihan tindakan tertentu yang sangat khas atau spesifik, seperti kepada bidang-bidang tertentu dalam sektor-sektor fasilitas umum, transportasi, pendidikan, kesehatan, perumahan, atau kesejahteraan. Urusan-urusan yang menyangkut kelistrikan, air, jalan raya, sekolah, rumah sakit, perumahan rakyat, lembaga-lembaga rehabilitasi sosial adalah beberapa contoh yang termasuk dalam bidang kebijakan publik.
Beragam pengertian mengenai kebijakan publik ini tidak bisa dihindarkan, karena kata kebijakan merupakan penjelasan ringkas yang berupaya untuk menerangkan berbagai kegiatan mulai dari pembuatan keputusan-keputusan, penerapan, dan evaluasinya. Telah banyak upaya untuk mendefiniskan kebijakan publik secara jelas, namun pengertiannya tetap saja menyentuh wilayah-wilayah yang seringkali tumpang tindah, ambigu, dan luas. Beberapa kalangan mendefinisikan kebijakan publik hanya sebatas dokumen-dokumen resmi, seperti perundang-undangan dan perturan pemerintah. Sebagian lagi, mengartikan kebijakan publik sebagai pedoman, acuan, strategi dan kerangka tindakan yang dipilih atau ditetapkan sebagai garis besar atau roadmap pemerintah dalam melakukan kegiatan pembangunan.
Dalam tulisan ini, saya mengambil posisi bahwa setiap perundang-undangan adalah kebijakan, namun tidak setiap kebijakan diwujudkan dalam bentuk perundang-undangan. Hogwood dan Gunn seperti dikutip dalam Bridgman dan Davis menyatakan bahwa, kebijakan publik adalah seperangkat tindakan pemerintah yang didesain untuk mencapai hasil-hasil tertentu. Ini tidak berarti bahwa makna kebijakan hanyalah milik atau domain pemerintah saja. Organisasi-organisasi non-pemerintah dan lembaga-lembaga voluntir lainnya mempunyai kebijakan-kebijakan pula. Namun, kebijakan mereka tidak dapat diartikan sebagai kebijakan publik karena tidak memakai sumberdaya publlik atau memiliki legalitas hukum sebagaimana lembaga pemerintah.
Mengacu pada Hogwood dan Gunn, Bridgman dan Davis menyatakan bahwa kebijakan publik sedikitnya mencakup hal-hal sebagai berikut: (1) Bidang kegiatan sebagai ekspresi dari tujuan umum atau pernyataan-pernyataan yang ingin dicapai; (2) Proposal tertentu yang mencerminkan keputusan-keputusan pemerintah yang telah dipilih; (3) Kewenangan formal seperti undang-undang atau peraturan pemerintah; (4) Program, yakni seperangkat kegiatan yang mencakup rencana penggunaan sumberdaya lembaga dan strategi pencapaian tujuan; (5) Keluaran, yaitu apa yang nyata telah disediakan oleh pemerintah sebagai produk dari kegiatan tertentu; (6) Teori yang menjelaskan bahwa jika kita melakukan X, maka akan diikuti oleh Y; dan (7) Proses yang berlangsung dalam periode waktu tertentu yang relatif panjang.
Selanjutnya, Bridgeman dan Davis menerangkan bahwasanya kebijakan publik sedikitnya memiliki tiga dimensi yang saling bertautan, yakni sebagai pilihan tindakan legal secara hukum (authoritative choice), sebagai hipotesis (hypothesis), dan sebagai tujuan (objective).
Kebijakan publik dalam dimensi sebagai pilihan tindakan legal karena produknya dibuat oleh orang yang memiliki legitimasi dalam sistem pemerintahan. Keputusan-keputusan itu mengikat legitimasi dalam sistem pemerintahan. Meskipun demikian, keputusan-keputusan legal belum tentu dapat direalisasikan seluruhnya. Selalu saja ada ruang atau kesenjangan antara harapan dan kenyataan, antara apa yang sudah direncanakan dengan apa yang dapat dilaksanakan, Kebijakan sebagai keputusan legal bukan juga berarti bahwa pemerintah selalu memiliki kewenangan dalam menangani berbagai isu. Setiap pemerintahan biasanya bekerja berdasarkan warisan kebiasaan-kebiasaan pemerintahan terdahulu. Rutinitas birokrasi yang diterima biasanya merefleksikan keputusan kebijakan lama yang sudah terbukti efektif jika diterapkan. Dalam konteks ini, adalah penting mengembangkan proses kebijakan yang partisipatif dan dapat diterima secara luas sehingga dapat menjamin bahwa usulan dan aspirasi masyarakat dapat diputuskan secara teratur dan mencapai hasil baik.
Bagaimanapun, kebijakan publik lahir dari dunia politik yang melibatkan proses yang kompleks. Gagasan dapat datang dari berbagai sumber, seperti kepentingan para politisi, lembaga-lembaga pemerintah, interpretasi para birokrat, serta intervensi kelompok-kelompok kepentingan, media, dan warga negara.
Kebijakan publik sebagai hipotesis karena kebijakan dibuat berdasarkan teori, model atau hipotesis mengenai sebab dan akibat. Kebijakan-kebijakan senantiasa bersandar pada asumsi-asumsi mengenai perilaku. Kebijakan selalu mengandung insentif yang mendorong orang untuk melakukan sesuatu atau disinsentif yang mendorong orang tidak melakukan sesuatu. Kebijakan harus mampu menyatukan perkiraan-perkiraan (proyeksi) mengenai keberhasilan yang akan dicapai dan mekanisme mengenai kegagalan yang mungkin terjadi.
Karena itu, memahami kebijakan publik sebagai hipotesis membutuhkan kalkulasi-kalkulasi ekonomi dan sosial. Memandang kebijakan publik sebagai hipotesis juga menekankan pentingnya pelajaran dan temuan-temuan dari hasil implementasi dan evaluasi. Pembuatan kebijakan publik yang baik didasari kemampuan dalam memahami pelajaran-pelajaran dari pengalaman-pengalaman kebijakan sebelumnya dan menerapkan pelajaran-pelajaran itu dalam langkah perumusan kebijakan berikutnya. Karena banyaknya pemain dan kepentingan dalam perumusan sebuah kebijakan publik, mengintegrasikan pengalaman penerapan kebijakan dengan penerapan kebijakan berikutnya bukanlah hal yang mudah. Namun, dengan orientasi yang terfokus—harga diri bangsa dan kesejahteraan serta harapan sederhana rakyat banyak—saya kira bisa dijadikan jalan keluarnya.
Selanjutnya, kebijakan sebagai tujuan mengacu pada kenyataan bahwa kebijakan adalah a mean to an end, alat untuk mencapai sebuah tujuan. Betapapun, kebijakan publik pada akhirnya menyangkut pencapaian tujuan publik. Artinya, kebijakan publik adalah seperangkat tindakan pemerintah yang didesain untuk mencapai hasil-hasil tertentu yang diharapkan oleh publik sebagai konstituen pemerintah.
Kenaikan BBM: Sebuah Analisa Kebijakan
Analisa kebijakan adalah informasi dan pengetahuan yang dapat digunakan untuk merumuskan kebijakan dalam rangka menyelesaikan masalah publik tertentu. Informasi dan pengetahuan selain digunakan untuk merumuskan masalah kebijakan, juga dapat dipakai untuk memilih model kebijakannya. Model kebijakan pada dasarnya menggunakan serangkaian model untuk menjelaskan mengapa masalah terjadi dan mencari solusi terhadap masalah kebijakan?
Menurut Dunn (Pengantar Analisis Kebijakan Publik: Terjemahan), model yang dipilih harus dapat dijadikan sebagai dasar untuk mengidentifikasi alternatif kebijakan dan memproduksi informasi mengenai konsekwensi dari setiap alternatif kebijakan. Dalam hal ini, model kebijakan dibedakan menjadi dua, yaitu model kebijakan deskriptif dan model kebijakan normatif.
Kebijakan menaikkan BBM dapat dikatakan menggunakan model kebijakan deskriptif, karena kebijakan kenaikan BBM memiliki alasan atau argumentasi bahwa kebijakan ini ditempuh sebagai sebab dan konskuensi dari pilihan kebijakan pemerintah yang mengintegrasikan tata niaga BBM ke dalam struktur pasar dunia yang liberal. Alasan munculnya suatu kebijakan sebagai sebab dan konskuensi dari suatu pilihan kebijakan sebelumnya merupakan tujuan dari model kebijakan deskriptif, (Dunn, 2003:234).
Dengan memakai analisis model kebijakan seperti ini sebenarnya dapat diprediksikan sebab dan resiko yang harus ditanggung pemerintah ketika memilih kebijakan mengikuti arus pasar bebas yang liberal. Mengikuti sistem pasar bebas yang liberal konskuensinya adalah mememilih kebijakan dimana dalam tata niaga BBM negara tidak “dibenarkan” memberikan subsidi, tetapi biarkan harga BBM mengikuti mekanisme pasar yang memnyediakan ruang kompetisi secara penuh. Kebijakan menaikkan harga BBM merupakan bentuk ketertundukan negara terhadap mekanisme pasar bebas yang liberal.
Teori-teori kebijakan yang umum dipakai untuk menjelaskan isu dan argumentasi sebuah kebijakan diantaranya; teori kepentingan (pluralisme dan neo-marxisme), teori institusionalisme, teori pelaku rasional (rational actor), dan teori gagasan (ideational approach). Setiap teori yang dipakai akan berimplikasi pada pendekatan yang dipilih dalam merumuskan permasalahan dan membangun argumentasi kebijakan.
Dalam konteks kebijakan kenaikan BBM, teori institusi atau teori pelaku rasional bisa dipakai sebagai pisau analisis untuk menjelaskan mengapa pemerintah menempuh cara seperti itu. Teori perilaku rasional berpandangan bahwa aktor-aktor pembuat kebijakan (politisi, birokrat) cenderung mempertimbangkan kepentingan individunya dalam melakukan prosesi kebijakan. Pemerintah berkepentingan terhadap kucuran hutang luar negeri (IMF, World Bank), sehingga tuntutan para lembaga donor untuk mengurangi subsidi BBM, menjadi pilihan pemerintah. Demikian pula pandangan yang dikemukakan oleh teori institusi, dengan otoritas kekuasaan dan kewenangan menafsirkan aturan main (misalnya aturan Pertamina yang harus memberikan keuntungan kepada negara), institusi eksekutif menafsirkan permasalahan terletak di subsidi BBM yang membebani APBN. Dua pandangan teoritis ini berimplikasi kepada pendekatan yang dipakai dalam prosesi kebijakan, yaitu lebih memilih memakai pendekatan negara sebagai subyek yang memiliki otoritas dominan dalam memformulasikan kebijakan (state centered approach).
Teori dan pendekatan yang telah ditemukenali tersebut, kemudian menjadi pisau analisa dalam melakukan analisis kebijakan menaikkan harga BBM. Dalam hal ini tahapan perumusan masalah menjadi kata kuncinya.
Tahapan ini merumuskan apa sebenarnya yang menjadi masalah kebijakan untuk segera dipecahkan. Tahapannya bermula dari pengakuan atau “dirasakannya keberadaan” suatu situasi masalah. Perpindahan dari situasi masalah harus melalui suatu “pencarian masalah” yang masih multi tafsir (meta problem), kemudian perpindahan menuju permasalahan paradigmatik (subtantive problem) dilalui melalui “pendefinisian masalah”, sampai akhirnya dapat ditemukan spesifikasi masalah yang kemudian menjadi agenda setting dari suatu kebijakan (formal problem). Dari masalah formal yang telah spesifik menjadi kebijakan, kemudian kembali lagi pada situasi masalah yang merupakan hasil dari “pengenalan masalah”. Siklus perumusan masalah ini berlangsung terus, sampai kebijakan yang dihasilkannya benar-benar merepresentasikan masalah yang dihadapi di tingkat publik.
Dalam perumusan masalah merupakan titik krusial yang membutuhkan niat baik atau pun komitmen dari otoritas pemerintah, sehingga pada tahapan tahapan yang dilalui tersebut dapat menghasilkan klasifikasi secara jelas dan tegas, mana yang termasuk masalah privat dan mana masalah yang tergolong masalah publik.
Kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga BBM (2005 maupun 2008) diawali oleh pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang menyatakan bahwa APBN negara terbebani berat oleh pemberian subsidi BBM. Solusi untuk mengurangi beban itu alternatifnya hanya satu, mengurangi subsidi BBM alias harga BBM dinaikkan.
Ketika pernyataan ini dikemukakan oleh otoritas pemerintah, sebenarnya pemerintah bukan lagi pada tahap merumuskan masalah yang mengharapkan respon dari publik. Tetapi pemerintah melakukan sosialisasi agenda kebijakan menaikkan harga BBM. Langkah pemerintah ini telah mendistorsi langkah-langkah perumusan masalah secara sepihak tanpa melibatkan publik atau para aktor di tingkat legislatif dan kelompok strategis lainnya. Sehingga yang terjadi adalah pemerintah telah mencapai tahap menemukan spesifikasi masalah (formal problem), sedangkan masyarakat sedang berada dalam tahapan mengakui “situasi bermasalah”. Kalau pemerintah agenda settingnya telah mencapai agenda kebijakan berapa persen kenaikan BBM itu dan bentuk kompensasinya formulasi seperti apa, masyarakat pada tahap tersebut baru merasakan bahwa harga BBM yang selama ini diterima ternyata “membebani” APBN, dan itu merupakan masalah bagi negara. Dalam konteks seperti ini nampak jelas bahwa apa yang dirasakan pemerintah sebagai masalah publik, bagi sebagian besar masyarakat hal tersebut bukan sebagai masalah. Perdebatan bukan dalam kontek mana masalah publik dan mana masalah privat, tetapi harga BBM yang berlaku sekarang ini bermasalah ataukah bukan sebagai masalah.
Ketika pemerintah berargumentasi bahwa kebijakan menaikkan harga BBM dilandasi oleh terbebaninya APBN oleh subsidi BBM, penolakan argumentasi ini banyak terjadi. Publik sebenarnya meletakkan masalah utamanya adalah mengapa negara Indonesia yang kaya sumber daya alam di bidang gas, minyak dan hasil tambang lainnya, harus melakukan impor dari luar negeri. Kwik Kian Gie dengan tegas menolak argumen pemerintah, “keterangan pemerintah yang diberikan sebagai alasan adanya keharusan menaikkan harga BBM sangat menyesatkan. Sebenarnya, setinggi apa pun harga minyak dunia, pemerintah tidak perlu menambah biaya, bahkan pendapatan negara akan bertambah. Minyak mentah yang ada di perut bumi Indonesia ini adalah milik rakyat, jadi bangsa Indonesia tidak perlu membeli minyak mentah dari luar negeri”, (Kompas, 24 Desember 2004). Protes Kwik tersebut ingin mengingatkan kepada pemerintah bahwa sesungguhnya persoalan mendasar dalam bidang BBM itu bukan mengurangi subsidi, tetapi bagaiman efisiensi dan memaksimalkan produksi minyak mentah dalam negeri bisa dilakukan.
Pertanyaannya kemudian, benarkah konteks dan argumentasi kebijakan yang dipilih pemerintah berorientasi kepada kepentingan publik (society oriented), ataukah argumentasi kebijakan itu dilatarbelakangi kepentingan negara (state oriented) dalam konteks menjalankan kesepakatan dengan pihak ketiga/pengusaha atau luar negeri?
Secara ideologis, apa yang dirumuskan para pendiri bangsa di dalam konstitusi dasar negara (termasuk UUD 1945 hasil amandemen) adalah mengikuti aliran sistem ekonomi sosialis. Krisis hebat pada awal tahun 1930-an menjadi momentum bagi menjalarnya ekonomi sosialis ke seluruh dunia, termasuk wacana yang menjadi diskursus aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia. Bung Hatta dalam buku “Krisis Ekonomi dan kapitalisme” yang ditulisnya pada tahun 1934, mengingatkan kepada pengikut aliran ekonomi kapitalis, bahwa krisis telah menjadi sesuatu yang inhern dalam sistem ekonomi kapitalis, (Prisma Nomer 1, 1976).
Peringatan Bung Hatta itu dalam konteks Indonesia kontemporer ternyata menjadi kenyataan, yaitu ketika terjadi krisis ekonomi 1997/1998. Suatu krisis ekonomi yang bukan sekedar berakar dari ketidakseimbangan dalam mengelola finansial, tetapi lebih substantif lagi kerena buah tanaman ekonomi kapitalistik yang sengaja ditancapkan para arsitek ekonomi orde baru (mafia Berkeley). Manurut Mansor Fakih (Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi), tanaman ekonomi kapitalistik ini menyuburkan perilaku negara (state performance) yang lebih beorientasi kepada kepentingannya (mendapatkan hutang luar negeri, mencapai terget pertumbuhan ekonomi) dibandingkan memenuhi amanat konstitusi dasar untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat/publik.
Perilaku negara (para elit dalam pemerintahan) ini dapat dilacak ketika mereka menafsirkan subtansi dan arah konstitusi dasar untuk menjadi rujukan bagi regulasi yang mengatur tentang kebijakan ekonomi. Apa yang dipantangkan dalam konstitusi dasar, sering dilanggar sendiri oleh otoritas negara. Sehingga yang terjadi dalam kebijakan publik, kepentingan masyarakat ditinggalkan dalam proses kebijakannya tetapi selalu ditempatkan sebagai obyek atau sasaran kebijakan.
Kasus subsidi BBM kalau kita mengacu kepada pasal 33 konstitusi dasar negara, jelas itu merupakan tanggung jawab negara. Penting dicatat, sistem ekonomi yang dianut adalah eknomi sosial bukan ekonomi pasar/liberal. Maka keberadaan Pertamina sebagai BUMN yang memiliki otoritas mengelola asset strategis ini, harus mampu menyediakan subsidi BBM bagi rakyat bukan malah menyerahkannya ke makanisme pasar. Yang menyedihkan, ketika konsistensi logika eknomi sosial ini belum diimplementasikan, negara justru melakukan privatisasi atau swastanisasi Pertamina menjadi PT Perseroan. Perubahan Pertamina dari BUMN menjadi PT Perseroan ini berimplikasi serius dalam kinerja dan orientasi. Maka wajar jika Gas Elpiji kemudian harganya juga dinaikan karena yang dipakai adalah logika pasar, tidak peduli jika sebelumnya pemerintah dalam mempromosikan pemakaian gas elpiji supaya masyarakat lebih ringan biayanya dan tidak tergantung terus pada minyak tanah.
Persoalan yang sedang dihadapi bangsa ini berkaitan dengan distribusi BBM adalah dampak simultan yang kompleks dari akses dalam mendapatkan komoditi ini yang tidak bisa secara leluasa dan harga yang menjadi mahal. Harga BBM yang naik akan menjadi katalisator atau membenarkan para pedagang di sektor lain yang bersentuhan dengan kebutuhan pokok sehari juga ikut-ikutan menaikkan harganya. Bahkan dalam kasus yang sekarang terjadi-sebagaimana telah terjadi sebelumnya-kenaikan harga BBM yang baru saja direncanakan, telah mendorong dan mensyahkan para pedagang menaikkan harga dagangannya.
Situasi semacam ini yang menjadi momok bagi masyarakat yang hingga saat ini belum juga terbebas dari segitga cekaman bencana sosial: kemiskinan, kekeraran, dan ketidakadilan struktural, sehingga setiap ada kenaikkan harga BBM sekecil apapun persentasenya pasti memunculkan aksi penolakan. Selain itu, penolakan kebijakan kenaikan BBM seperti sekarang ini muncul karena basis logika yang dipakai publik selalu mengkaitkan kenaikan harga BBM dengan menaiknya harga-harga komiditi lainnya (efek domino). Sementara pemerintah dalam membangun basis logika menaikkan harga BBM memakai logika linear-matematis yang mempercayai betul bahwa mekanisme “pasar yang berkompetisi secara sempurna” selalu terjadi. Logika publik yang tidak bertemu dengan logika pemerintah inilah yang menimbulkan kesan bahwa pemerintah telah kehilangan orientasi dalam merumuskan kebijakan publiknya.
Orientasi kebijakan publik yang diamanatkan konstitusi dasar negara (Pasal 33 UUD 1945) padahal telah jelas dan tegas, bahwa sistem ekonomi yang dipilih negara ini adalah sistem ekonomi pasar bebas yang sosial bukan sistem pasar bebas yang liberal, (Kompas, 22 Desember 2004). Lebih lanjut amanat tersebut ingin menyelenggarakan pelayanan publik (terlebih yang menyangkut hajat hidup semua orang) dengan mekanisme sosialis, yaitu negara melindungi, menjamin dan merealisasikan pemenuhan hajat hidup tersebut secara leluasa, terjangkau dan murah. Berdasarkan amanat ini maka alasan atau argumen pemerintah menaikkan harga BBM karena menghindari beban berat yang harus dipikul oleh APBN, tidak sesuai dengan makna ekonomi pasar bebas yang sosial sebagaimana diamanatkan secara implisit oleh UUD 1945.
Persoalan orientasi dalam formulasi kebijakan publik ini kalau menurut Grindle dan Thomas, (Public Choices and Policy Change) terkait dengan kemampuan para pengambil kebijakan dalam merespon tekanan internasional (pasar bebas). Jika komitmen kita pada ekonomi sosial jelas dan tegas, mengapa kita harus kalah terhadap tekanan internasional yang memaksakan negara ini mengadopsi ekonomi pasar?
Di sinilah saya kira pelajaran dari Putin dan silovski dengan kebijakannya meninjau kembali privatisasi perusahaan-perusahaan negara yang serba tergesa, penangkapan baron muda Khodorkovsky, dan pengambilalihan aset Yukos Oil, serta mengembangkan demokrasi sesuai kebutuhan domestik Rusia menarik kita timba.
Protes, kecaman, bahkan ancaman boikot para elit yang diwakili para oligarkhi yang didukung Barat (pemerintahan AS dan negara-negara Eropa Barat, lembaga-lembaga multilateral seperti IMF dan World Bank, serta para CEO multinational corporation yang menjanjikan banyak investasi) tidaklah sebanding dengan harga diri bangsa dan kepentingan rakyat banyak di dalam negeri Rusia. Sebab, seperti dikatakan WS Rendra dalam sebuah puisinya (Sajak Tahun Baru 1990):
“Setelah para cukong berkomplot dengan para tiran,
setelah hak azasi di negara miskin ditekan
demi kejayaan negara maju,
bagaimana wajah kemanusiaan?
Di jalan orang dibius keajaiban iklan
di rumah ia tegang, marah dan berdusta.
Impian mengganti perencanaan.
Penataran mengganti penyadaran.
Kota metropolitan di dunia ketiga
adalah nadi
dari jantung negara maju.
Nadi yang akan mengidap kanker
yang akan membunuh daya hidup desa-desa
dan akhirnya, tanpa bisa dikuasai lagi,
menjadi jahat, hina dan berbahaya.
Itulah penumpukan yang tanpa peredaran. ”

Terimakasih. Merdeka!!

0 komentar: