Heritage Intelligence

Mendengar intelijen ingatan langsung tertuju kepada James Bond 007, CIA, KGB, dan Mossad. Institusi intelijen Negara yang bekerja dalam ketertutupan dan menyeramkan seperti kisah Victor Ostrovsky atau novel Body of Lies karya David Ignatius. Intelijen Benda Cagar Budaya (Heritage Intelligence) bukan merupakan pengenjawantahan dari Lembaga Intelijen Negara, melainkan pekerjaan penelitian dan pendokumentasian tentang keberadaan benda cagar budaya yang ada di Indonesia. Banyaknya peninggalan kekayaan artefak sejarah yang telah lenyap atau musnah, sehingga menciptakan kerugian besar hampir disetiap sektor baik dari Ilmu pengetahuan, sosial-budaya, ekonomi dan pertahanan keamanan Negara.
Ketidak berdayaan pembuktian kekayaan dan kerugian Negara tentang peninggalan sejarah, yang telah hilang maupun masih ada merupakan 'titik lemah' untuk dapat menjelaskan dan mempertanggung jawabkan kepada publik.
Sebagaimana contoh hancurnya bangunan di proklamasi, dimana potret nyata detik-detik bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Pertanyaan kerugian apa saja yang diciptakan dari kehancuran bangunan proklamasi tersebut? Ternyata ketika di 'bedah' anatominya sungguh membuat kepala cekot-cekot, dari sisi Ilmu pengetahuan bukti nyata keberadaan fisik bangunan sudah tidak ada. Di dalam ranah berbeda seperti contoh ketika pulau Sipadan dan Ligitan diakui oleh Mahkamah Internasional di Belanda, fisik bangunan yang terdapat dikedua pulau tersebut adalah milik Malaysia. Pada akhirnya secara de jure maupun de fakto pulau Sipadan dan Ligitan milik sah Malaysia.
Terperanjat bahwa eksistensi fisik bangunan bukan persoalan sederhana, cara pandang melihat fisik bangunan selama ini hanya dilihat dari 'kaca mata kuda' yang melulu diukur dari perspektif estetika dan ekonomis semata. Padahal sebuah bangunan diciptakan melampaui tapal batas estetika dan ekonomi, sebagaimana masyarakat Jawa membangun rumah Panggang pe Ceregancet mirip dengan jasad hidup yang tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan kehidupan penghuninya.

Database Benda Cagar Budaya

Film petualangan Indiana Jones, National Treasure, dan Da Vinci Code, membuat adrenalin penonton terpacu. Kecerdasan mengumpulkan serpihan informasi yang tercecer, sehingga teka-teki dapat terpecahkan dan disusun ulang. Sungguh sebuah inspirasi. Tersebar dan terseraknya artefak benda cagar budaya dari berbagai wujud, baik dari sisa-sisa peninggalan kerajaan Nusantara sampai peninggalan kolonial. Sampai saat ini masih dalam 'terawangan' sebagai analogi berjalan dikegelapan tanpa cahaya. Keberadaan UU.No.5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya dan UU.No.26 Tahun 2007 Tentang Tata Ruang masih dalam tahap konsepsional, belum memasuki 'ranah' operasional di dalam pelestarian benda cagar budaya. Inventarisasi pendokumentasiaan sebagai database keberadaan benda cagar budaya dari berbagai ragam bentuk, sampai saat ini masih belum dapat direalisasikan. Padahal database tersebut merupakan 'peta hidup' sebagai alat deteksi dini, perihal kelangsungan pelestarian benda cagar budaya di Indonesia. Karena bila terwujud pendokumentasian tersebut, publik dapat mengetahui dan menjaga pelestarian dari benda cagar budaya yang dilindungi oleh Negara. Fungsi database dapat memberikan suguhan informasi, berapa jumlah benda cagar budaya yang dimiliki seperti Gedung, Benteng, Rumah, Masjid, Gereja, Vihara, Pusaka dan lain sebagainya. Dengan adanya informasi keberadaan artefak sejarah ini, penghancuran dan pencurian dapat maksimal dihindari.
Pendokumentasian mempunyai peran ganda di satu sisi dapat menjadi alat kontrol, disisi lain merupakan alat sosialisasi dari Undang-Undang tentang Benda Cagar Budaya yang murah dan efektif kepada warga Negara.

Benda Cagar Budaya dan Keamanan Nasional

Perjuangan panjang Vasco da Gama (1497-1499) mencapai India melalui Tanjung Harapan telah berhasil gilang gemilang, dari keberhasilan ini maka terbuka lebar pintu masuk pelayaran bangsa Eropa ke Asia. Setelah Tanjung Harapan ditundukkan, kini giliran Melaka dikuasai Portugal (1511).
Di dalam kurun waktu 11 tahun tepatnya pada tahun 1522 ekspedisi Ferdinand Magellan dari Spanyol berhasil mencapai Maluku, selisih waktu 57 tahun (1522-1579) Francis Drake dari Inggris datang menyusul ke kewilayah 'surga rempah-rempah' Maluku. Berawal dari rempah-rempah nafsu serakah untuk menguasai dalam wajah kolonialisme tertancap di bumi Maluku, gesekan kepentingan untuk saling menguasai antara Portugal dan Spanyol di Maluku pada abad XVI tidak dapat terhindarkan. Maka keluar perjanjian Tordesillas (1494) dan menyusul perjanjian Saragossa (1527) antara Spanyol dan Portugal. Hal hasil dari perjanjian tersebut Portugal dapat menguasai Maluku.
Kilasan sejarah tersebut merupakan 'rekam jejak' kolonialisme pertama kali hadir di bumi jamrud khatulistiwa, taktik dan strategi kolonial di dalam melakukan infiltrasi sampai menuju invasi dapat ketahui. Fakta penjajahan dapat ditelusuri melalui artefak seperti Benteng Victoria (1605) yang dibangun Portugal di Maluku, berfungsi sebagai benteng pertahanan. Juga Benteng Oranje (1607) di Ternate yang dibangun oleh Cornelis Matelief de Jonge (Belanda). Benteng ini pernah dijadikan pusat pemerintahan tertinggi Hindia Belanda (Gubernur Jenderal) Pieter Both, Herald Reynst, Laurenz Reaal, dan Jan Pieterszoon Coen.
Dari Benteng pertahanan sampai rute perjalanan alur laut kolonial memasuki Nusantara, sebagaimana diketemukannya beberapa artefak kapal laut kolonial yang karam di dasar laut. Dan legitimasi Mahkamah Internasional tentang batas kedaulatan wilayah Negara Kesatuan republik Indonesia (NKRI), mengacu pada peninggalan tanah jajahan Belanda. Dengan demikian 'patok batas' secara fisik peninggalan Belanda, kedepan menjadi sesuatu yang vital di dalam pembuktian wilayah kedaulatan Negara.
Walaupun bukan konteks benda cagar budaya, tetapi masih dalam 'satu tarikan nafas' peristiwa dikuasainya Pulau Sipadan dan Ligitan oleh Malaysia, karena lemahnya bukti otentik di Mahkamah Internasional. Merupakan pertanda urgensinya fisik bangunan dalam wilayah hukum Internasional. Serta perluasan pembangunan fisik didaratan Singapura melalui 'pasir laut', hampir saja mencaplok kedaulatan Indonesia khususnya pulau Nipa dan pulau lainnya disekitar wilayah propinsi kepulauan Riau. Satu lagi peristiwa penghancuran taman didepan stasiun Beos kota, dimana wilayah itu merupakan 'ring satu' zona benda cagar budaya. Kepentingan bisnis lebih penting daripada keamanan. Pembangunan shelter busway dan terowongan untuk pedestrian mengakibatkan dampak buruk bagi bangunan tua disekitarnya. Tercatat sedikitnya empat bangunan tua yang langsung terkena dampak negative yang diakibatkan dewatering saat pembangunan terowongan tersebut, keseimbangan air tanah disekitar lokasi terganggu. Dan keempat bangunan tua mengalami penurunan pondasi, dan dampak negatif apa yang akan tercipta kedepan? Tidak ada yang dapat mengatahui dan diperlukan kajian mendalam. Sampai saat ini kejelasan tentang barang sitaan Negara dari hasil penangkapan eksplorasi kapal VOC yang karam secara illegal, berapa jumlah dan nilai harta karun tersebut dan disimpan dimana masih dalam misteri.
Saksi bisu benda cagar budaya ternyata faktual dapat 'berbunyi' dan berkata jujur tanpa ada rekayasa maupun kebohongan.

Intelijen Benda Cagar Budaya (Heritage Intelligence)

Cegah tangkal di dalam pelestarian benda cagar budaya sudah waktunya diperkuat, perhitungan secara matematis tentang kekayaan 'adi luhung' bangsa Indonesia belum dapat direalisasikan. Kemampuan IPTEK di dalam kalkulasi sumber daya alam (SDA) kekayaan laut sudah dapat dihandalkan di negri kepulauan ini, padahal dahulu sebelum teori tersebut ada masih merupakan sesuatu yang 'ghaib' diwilayah alam bawah sadar. Sosok manusia dapat terbang Gatot Kaca yang hanya ada dalam cerita pewayangan, tersentak bahwa cerita itu bukan mitos melainkan teknos dengan kemampuan di dalam rekayasa teknologi kapal terbang (Dirgantara Indonesia).
Eksistensi heritage intelligence di dalam melakukan penelitian dan pendokumentasian, serta dapat juga melakukan 'audit' benda cagar budaya, merupakan pemecah dari kebekuan dan kerapuhan mengatasi permasalahan benda cagar budaya. Generasi kedepan perlu diberikan 'menu' visualitas bukan virtualitas. Melalaui intelijen benda cagar budaya sesuatu yang absurd menjadi rasional, investigasi tapak tilas untuk dapat mengumpulkan kembali serpihan sejarah yang tercecer dan hilang. Seperti analogi menjahit pakaian yang sudah usang termakan jaman, memerlukan sentuhan ketekunan penjahit handal. Semoga.***

BAROUSAI, BARUS, ATAU FANSUR: KISAH CEMERLANG DARI BERIBU TAHUN SILAM

BAROUSAI, BARUS, ATAU FANSUR:

KISAH CEMERLANG DARI BERIBU TAHUN SILAM

Kota bandar di tepian pantai barat Sumatra yang berabad lalu menjadi sebuah perkampungan multi-etnis yang penuh guyub, sarat daya tarik bagi para pedagang di hampir seluruh penjuru bumi, juga menjadi pintu masuknya berbagai peradaban dan agama-agama besar di bumi Nusantara itu kini telah sepi.

BARUS saat ini hanya sebuah ibukota Kecamatan, di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatra Utara. Posisinya berada di pinggir pantai barat Sumatera, sekitar 60 km sebelah utara Sibolga, atau sekitar 414 km dari Medan. Tidak ada yang istimewa. Begitu juga dengan Desa Lobutua, sekitar 4 km ke arah barat dari Barus. Juga layaknya sebuah desa, sepi. Meskipun sesekali para peziarah datang silih-berganti, menapaki sejarah sebuah kota banda yang jauh di awal abad masehi pernah begitu cemerlang dan menggemparkan sekujur bumi.

Dan boleh jadi, Barus adalah satu-satunya kota yang tercatat di dalam buku yang terbit di awal masehi, sehingga menempatkannya sebagai kota tertua di bumi Nusantara. Adalah Claudius Ptolomaios[1], seorang geograf Yunani yang dalam bukunya dari abad ke dua Masehi, Geographike Hyphegesis menuliskan nama negeri Barousai di Chryse Chora (Pulau Emas) yang antara lain oleh van der Meulen disimpulkan sebagai Sumatra[2].

Tapi apa gerangan yang menjadikan kota bandar ini begitu mempesona orang Yunani, China, India, dan bahkan juga para Pharao di Mesir kuno?

Jawabnya tak lain adalah kapur barus (bhs Belanda: kamfer, dan mungkin dari kata kapur yang diucapkan kofur oleh bangsa Arab).[3] Konon, kapur barus asal kota barus inilah yang paling banyak dicari karena kualitasnya yang terbaik, paling laku dan harganya kurang lebih 8 kali lebih mahal daripada kapur-kapur barus asal tempat lain[4]. Dalam catatan pelancong Italia, Marco Polo bahkan disebutkan bahwa, harga kapur barus kala itu setara dengan harga emas dengan berat yang sama[5].

Seorang Belanda pernah menulis bahwa kemenyan dari Barus, telah dipakai sebagai salah satu bahan mengawetkan (membalsem) mayat raja-raja di Mesir sebelum Masehi[6]. Jika dugaan ini benar, maka berarti kota bandar Barus ini sudah ada sejak 5.000 tahun SM. Perkiraan akhir itu, didasarkan pada temuan bahan pengawet dari berbagai mummy Fir'aun Mesir Kuno salah satu pengawetnya menggunakan kanper atau kapur Barus. Sejarawan era kemerdekaan Moh. Yamin, bahkan memperkirakan bahwa, perdagangan rempah-rempah dan tentu saja kamfer, sudah dilakukan pedagang Nusantara sejak 6.000 tahun lalu ke berbagai penjuru dunia.

Hasil penelitian Innis Miller terhadap naskah Historia Naturalis karya Plinius di abad pertama juga sudah menunjukkan bahwa, para pedagang Nusantara pun ternyata sudah menjajakan komoditas mereka sampai ke Asia Barat dan Afrika Timur sejak abad permulaan Masehi[7]. Sementara Prof. Kern[8] pernah menulis bahwa Kota “P’o-lu-chi” yang dimaksud I Tsing di abad ke-7, tidak lain dari Barus[9]. Seorang penyair Arab sebelum Islam, Amru al-Qais (meninggal tahun 530 Masehi), sangat memuji keharuman kafur dalam syair-syairnya[10].

Begitu pentingnya kota Barus ini—mungkin bisa disamakan dengan Paris pada abad modern yang terkenal dengan inovasi parfumnya—maka sejak zaman dulu dalam dunia dagang telah dikenal nama-nama Baros, Balus, Pansur, Fansur, Pansuri[11], Kalasaputra[12], Karpura-dwipa, Barusai, Waru-saka dan lain-lain.

Dan tentu, seperti kata pepatah, ada gula ada semut. Pesona kapur barus dari selatan ini menggoda banyak pendatang. Sebagaimana dicatatan Ptolomaios, selain para penjelajah dari Yunani, juga datang pedagang dari Venesia, India, Arab dan Tiongkok. Selain itu, sekelompok penyebar ajaran Kristen Sekte Nestorian dari Konstantinopel, pusat Kerajaan Byzantium Timur, juga menjejakkan kakinya di Barus. Kelompok itu diperkirakan datang sekira tahun 600 M dan mendirikan gereja pertama di Desa Pancuran, Barus.

Dewan Gereja-gereja di Indonesia juga memercayai sejak tahun 645 Masehi di daerah Barus telah masuk umat Kristen dari sekte Nestorian. Keyakinan tersebut didasarkan pada buku kuno tulisan Shaikh Abu Salih al-Armini. Sementara itu, penjelajah dari Armenia Mabousahl mencatat bahwa pada abad ke-12 telah terdapat Gereja Nestorian.

Lalu datanglah para pedagang Arab memasuki Barus sekira 627-643 M atau sekitar tahun 1 Hijriah, dan menyebarkan agama Islam di daerah itu. Di antaranya Wahab bin Qabishah mendarat di Pulau Mursala pada 627 M. Ada juga utusan Khulafaur Rasyidin, bernama Syekh Ismail akan ke Samudera Pasai dan singgah di Barus, sekira tahun 634 M. Dan sejak itu pula, tercatat bangsa Arab (Islam) mendirikan koloni di Barus. Bangsa Arab menamakan Barus dengan sebutan Fansur atau Fansuri, misalnya oleh penulis Sulaiman pada 851 M dalam bukunya "Silsilatus Tawarikh."

Kedatangan bangsa Arab yang kemudian menyebarkan agama Islam itu juga disebutkan dalam berita-berita Cina, Hsin-Tang-shu[13] (Catatan Dinasti Tang, 618-907), dan Chu-fan-chi[14] (Catatan Negeri-negeri Asing) yang ditulis Chau Ju-kua pada tahun 1225. Di dalam dua kronik Cina itu banyak bercerita tentang Ta-shi, istilah Cina untuk menyebut Arab. (Chu-fan-chi menerangkan bahwa Ta-shi mempunyai seorang Buddha (maksudnya Nabi) yang bernama Ma-ha-mat (Muhammad). Dalam sehari mereka lima kali sembahyang, dan setiap tahun berpuasa selama sebulan penuh. Dinasti Ta-shi ada dua macam, yaitu white-robed Ta-shi (Arab berjubah putih) atau Pon-ni-mo-huan (Bani Marwan, atau Bani Umayyah), serta black-robed Ta-shi (Arab berjubah hitam) yang didirikan raja A-po-lo-pa (Abul-Abbas)[15]. Pada tahun 651 Masehi, raja Ta-shi (Arab) bernama Han-mi-mo-mi-ni mengirimkan utusan ke istana Cina[16]. Hampir dapat dipastikan bahwa nama Han-mi-mo-mi-ni dalam ucapan Cina ini adalah untuk Amir al-Mu’minin, gelar resmi para khalifah Islam, dan “raja Ta-shi” yang mengirimkan utusan itu adalah Khalifah `Utsman ibn Affan yang memerintah dari tahun 644 sampai 656. Hsin-Tang-shu mencatat bahwa pada tahun 674 terdapat pemukiman pedagang Ta-shi (Arab) di Po-lu-shih, daerah pantai barat Sumatera.[17]

Tentu, dapat dibayangkan betapa makmurnya kota Barus pada awal abad masehi ini, dengan penduduk yang sebagian besar terdiri atas kaum pedagang. Pertanyaannya kemudian, siapakah yang menggerakkan semua perdagangan hingga jauh ke negeri seberang itu?

Seorang bekas kontrolir Belanda, G.J.J. Deutz, sewaktu bertugas di Barus,[18] menulis bahwa menurut rakyat setempat di Desa Lobutua pernah didapat penduduk sebuah batu bertulis pada dua bagian. Tetapi sayang, batu itu pada tahun 1857 dipecahkan oleh Raja Barus bernama Mara Pangkat. Pada tahun 1872 Deutz banyak menemukan pecahan batu peninggalan zaman Hindu yang telah dilupakan orang, telah berlumut. Dan baru pada tahun 1932, prasasti itu diterjemahkan Profesor Nila-kanti Sastri dari Universitas Madras.[19]

Prasasti itu menyebutkan bahwa paling sedikit sejak abad ke-11, telah bermukim di kota Barus sebuah koloni bangsa Tamil. Menurut batu Lobutua itu, mereka tergabung dalam sebuah perusahaan bernama “kelompok 500″ yang tidak asing lagi bagi orang-orang India waktu itu. Perusahaan swasta yang mereka wakili, merupakan perusahaan dagang cukup kuat, merdeka dalam tindakan dan tidak gampang tunduk pada salah satu raja yang berkuasa di sekitar Barus. Mereka yang berdiam di Barus inilah yang membeli beberapa hasil dari rakyat—utamanya kapur barus—untuk diekspor ke luar negeri.

Menurut Gnillout Claude[20], Barus adalah sebuah kota kuno di pantai barat Propinsi Sumatera Utara yang terkenal di seluruh Asia, sejak lebih dari seribu tahun, berkat hasil hutannya. Selain itu, nama Barus juga muncul dalam sejarah peradaban Melayu dengan Hamzah Fansuri, penyair mistik terkenal yang baru-baru ini ditemukan kembali makamnya di Mekkah. Sementara itu, tim arkeolog dari Ecole Francaise D’extreme-Orient (EFEO) Perancis bekerjasama dengan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua-Barus, menemukan bahwa pada sekitar abad 9-12 Masehi, Barus telah menjadi sebuah perkampungan multi-etnis dari berbagai suku bangsa seperti Arab, Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu, dan sebagainya. Tim tersebut juga menemukan banyak benda-benda berkualitas tinggi yang usianya sudah ratusan dan bahkan ribuan tahun dan ini menandakan dahulu kala kehidupan di Barus itu sangatlah makmur.

Dan semua kemakmuran itu berkat aroma kapur barus yang diolah dari kayu kamfer. Hanya kini, komoditi yang begitu mempesona di masa silam itu, hingga konon juga dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5. 000 tahun sebelum Masehi itu, kini sudah lama tidak lagi diproduksi

Di komplek makam Syekh Machmud yang tertata rapi dan terletak di Bukit Papan Tinggi dan memang betul-betul tinggi sehingga harus melewati 710 anak tangga ini, menggantung sebuah tulisan, “Beri Salam dan Alas Kaki dibuka.” Seakan mengakhiri sebuah kisah perjalanan sebuah kota bandar di tepian pantai barat Sumatra yang berabad lalu menjadi sebuah perkampungan multi-etnis yang penuh guyub, sarat daya tarik bagi para pedagang di hampir seluruh penjuru bumi, juga menjadi pintu masuknya berbagai peradaban dan agama-agama besar di bumi Nusantara itu kini telah sepi.**



[1] Barus telah disebut oleh Ptolomeus kira kira tahun 150 Masehi. (Kozok, 1991, 14)

[2] W. J. van der Meulen, “Suvarnadvipa and the Chryse Chersonesos”, Indonesia, 18, October 1974, h. 1

[3] Encyclopdeia van Nederlandsch Indie

[4] Ada tiga jenis kapur barus pada saat itu yaitu: Kapur barus dari Kalimantan dan Sumatera (Dryobalanops aromatica), Kapur barus dari China dan Jepang (Cinnamomum Camphora) yang banyak beredar dipasaran dan yang ketiga adalah Blumea balsami- fera, yang diproduksi di China dengan nama kapur barus Ngai. Harga dari kapur barus asal Sumatera ini kira-kira 138 kali lebih mahal dari kapur barus China dan Jepang. (Hobson-Jobson, Glossary of Anglo-Indian Words and Phares)

[5]Travel of Marco Polo,” Buku 3 Bab 9 dan Buku 2 Bab 8 by Marco Polo dan Rustichello of Pisa

[6] Sumatra Benzoe, Disertasi P.H. Brans

[7] J. Innis Miller, The Spice Trade of the Roman Empire, Oxford University Press, London, 1969, terutama Bab “The Cinnamon Route”

[8] Verspreide Geschriften No VI, halaman 15

[9] Po-lu-chi atau Po-lu-suo terkadang sering keliru diterjemahkan dalam text China dengan Bo-si atau Persia. Barus ini juga sering disebut sebagai Bon-cu, Bian-shu atau Bin-cuo. (Roderich Ptak, Possible Chinese Reference to the Barus Area (Ming to Tang) in Claude Guillot (ed.) Histoire de Barus, Sumatera: Le Site de Lobu Tua I, Etudes et Documents, Paris, Cahier d’Archipel 30, 1998, pp. 119-138)

[10] Oliver W. Wolters, Early Indonesian Commerce, Cornell University Press, Ithaca, New York, 1967, terutama Bab 8

[11] Dari Desa Pansur sedikit di utara Barus

[12] Dari kata Kalasan, daerah penghasil kapur barus antara Kota Barus dan Sungai Chenendang

[13] Diterjemahkan oleh Paul Pelliot, “Deux Itineraires de Chine en Inde a la Fin du VIIIe Siecle”, BEFEO, 4, 1904, hal. 132-413

[14] Diterjemahkan oleh Friedrich Hirth dan W. W. Rockhill, Chau Ju-kua: His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries, entitled CHU-FAN-CHI, Imperial Academy of Sciences, St.Petersburg, 1911

[15] Lihat: F. Hirth dan W.W.Rockhill, hh. 114-124

[16] Berita ini tercantum dalam kronik Tung-tien buku 193 nomor 22b. Lihat: F.Hirth dan W.W.Rockhill, h. 119

[17] Paul Pelliot, h. 297. Lihat juga W. P. Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources, Bhratara, Jakarta, cetak ulang 1960, h. 14.

[18] Barus, G.J.J. Deutz, Tijdschr No. 22 tahun 1875

[19] A Tamil Merchant-guild in Sumatera oleh Prof. N. Sastri dalam Tijdschr No 72 tahun 1932

[20] “Lobu Tua Sejarah Barus”, Obor, 2002

Sabtu, 13 September 2008

ANTROPOLOGI INDONESIA 67, 2002
Tentang Perbatasan dan Studi Perbatasan:
Sebuah Pengantar
Riwanto Tirtosudarmo
(Lembaga Ilmu Pengeahuan Indonesia)


Perbatasan sebuah negara, atau state’s border, dikenal bersamaan dengan lahirnya negara.
Negara dalam pengertian modern sudah mulai dikenal sejak abad ke-18 di Eropa. Perbatasan
negara merupakan sebuah ruang geografis yang sejak semula merupakan wilayah perebutan
kekuasaan antarnegara, yang terutama ditandai oleh adanya pertarungan untuk memperluas
batas-batas antarnegara. Sebagai bagian dari sejarah dan eksistensi negara, riwayat daerah
perbatasan tidak mungkin dilepaskan dari sejarah kelahiran dan berakhirnya berbagai negara.
Dalam kaitan ini menarik untuk mencermati kelahiran negara-bangsa (nation-state) sebagai bentuk
negara modern yang berkembang sejalan dengan merebaknya ethnic nationalism dan national
identity. Anthony D. Smith dalam bukunya Ethnic Origin of Nations (1986) menggambarkan
identitas nasional sebagai a collective cultural phenomenon yang mengandung berbagai elemen
dasar, seperti adanya kekhasan bahasa, sentimen-sentimen, dan simbolisme yang merekatkan
sebuah komuniti yang mendiami suatu teritori tertentu.
Pada awal sejarah kelahirannya, negara-bangsa, menurut Smith, identik dengan ‘negaraetnis’.
Pada awalnya, batas-batas teritorial dari negara-bangsa merupakan refleksi dari batasbatas
geografis sebuah etnis tertentu. Perkembangan selanjutnya dari negara-bangsa
memperlihatkan bahwa kesamaan cita-cita, yang tidak jarang bersifat lintas-etnis, lebih mengemuka
sebagai dasar dari eksistensi sebuah negara-bangsa. Perbatasan sebuah negara dalam konteks
semacam itu menunjukkan kompleksitas tersendiri yang memperlihatkan bahwa batas negara
tidak hanya membelah etnisitas yang berbeda. Ia bahkan membelah etnis yang sama, karena
dialaminya sejarah kebangsaan yang berbeda oleh warga etnis yang sama.
Pertama-tama, ‘perbatasan’ adalah konsep geografis-spasial. Ia baru menjadi konsep sosial
ketika kita berbicara tentang masyarakat yang menghuni atau melintasi daerah perbatasan.
Sebagai konsep geografis, masalah perbatasan telah selesai ketika kedua negara yang memiliki
wilayah perbatasan yang sama menyepakati batas-batas wilayah negaranya. Permasalahan
justru muncul ketika perbatasan dilihat dari perspektif sosial, karena sejak itulah batasan-batasan
yang bersifat konvensional mencair. Perbatasan memperoleh makna yang baru sebagai konstruksi
sosial dan kultural yang tidak lagi terikat pada pengertian yang bersifat teritorial.
Tulisan-tulisan utama yang dihimpun dalam nomor khusus ini merupakan pemaparan berbagai
aspek yang muncul di daerah perbatasan dari perspektif ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan.
Dalam perspektif itu, perbatasan tidak lagi dipandang sekedar sebagai geographical space,
tetapi lebih sebagai socio-cultural space. Dalam perspektif sosio-kultural inilah tulisan-tulisan
yang ditampilkan dapat dilihat sebagai sebuah upaya rintisan untuk mengembangkan studi atau
kajian tentang perbatasan (borderland studies). Di luar Indonesia dan Asia Tenggara, kajian
tentang perbatasan telah berkembang, terutama di pusat-pusat ilmu sosial di Eropa Barat dan
iv
ANTROPOLOGI INDONESIA 67, 2002
Amerika Utara, dan telah menjadi field of studies yang baru.
Pada nomor khusus ini, kami beruntung memperoleh dua artikel yang membicarakan perbatasan
dalam tataran teoretis-konseptual. Artikel pertama ditulis oleh Reed Wadley (Border Studies
beyond Indonesia: A Comparative Perspective), dan yang kedua oleh Alexander Hortsmann
(Incorporation and Resistance: Border-Crossing and Social Transformation in Southeast Asia).
Kedua penulis adalah sejumlah kecil dari ahli antropologi yang memberikan perhatian khusus
pada studi perbatasan di kawasan Asia Tenggara. Ditampilkannya kedua tulisan yang bersifat
teoretis-konseptual ini diharapkan dapat menjadi rangsangan bagi para ilmuwan sosial di Indonesia
dan Asia Tenggara untuk mulai melakukan kajian tentang berbagai aspek sosial dan
kebudayaan di daerah perbatasan. Tulisan Wadley menyajikan sebuah perspektif bersifat
komparatif mengenai kajian tentang perbatasan di dunia, khususnya di Afrika dan Amerika
bagian barat-laut. Tujuan yang ingin dicapai oleh tulisan ini ialah menempatkan kajian tentang
perbatasan di Kalimantan dalam konteks perbandingan yang lebih luas. Esai Horstmann yang
merupakan telaah terhadap state of the arts dari kajian tentang perbatasan mengemukakan tentang
semakin disadarinya perbatasan sebagai laboratorium perubahan sosial-budaya, khususnya di
Asia Tenggara. Esai ini mencoba mendiskusikan konsep yang koheren tentang batas, daerah
perbatasan, dan daerah frontier, serta mengidentifikasi pertanyaan-pertanyaan penelitian dan
agenda masa depan dari studi perbatasan.
Di Indonesia, kajian atau studi tentang perbatasan masih berada pada tahap paling awal.
Kajian-kajian yang ada umumnya masih dilakukan dengan pendekatan konvensional, dalam arti
belum menggunakan konsep-konsep dari kerangka teoretis yang mulai dikembangkan oleh
berbagai pusat kajian tentang perbatasan, baik di Eropa maupun Amerika. Dalam pendekatan
yang konvensional, daerah perbatasan terutama masih dipandang dalam kacamata pertahanankeamanan
suatu negara, atau dilihat sebagai sekedar daerah frontier yang masih harus
dikembangkan secara ekonomi.
Dalam kumpulan tulisan ini, Riwanto Tirtosudarmo (Kalimantan Barat sebagai Daerah
Perbatasan: Sebuah Perspektif Demografi-Politik) mencoba menggunakan pendekatan demografipolitik
dalam mengkaji daerah perbatasan Kalimantan Barat. Uraian Riwanto masih berada dalam
perspektif konvensional yang didominasi oleh pemahaman perbatasan sebagai domain yang
harus dijaga secara strategis dan militer dari berbagai kemungkinan infiltrasi dari luar. Pada sisi
yang lain, Leonard Andaya (Orang Asli and Melayu Relations: A Cross-Border Perspective)
justru melihat perbatasan sebagai seorang ahli sejarah dari kacamata yang sangat berbeda.
Perbatasan tidak diartikan sebagai batas-batas fisik-geografis, tetapi sebagai batas-sosial dan
kultural. Uraian historisnya tentang pergeseran batas-batas identitas yang terjadi pada Orang
Asli dan Melayu di Malaysia merupakan contoh pendekatan yang baru dalam studi perbatasan.
Tulisan Riwanto dan Andaya, yang diangkat dari makalah yang disajikan dalam panel tentang
Dinamika Sosial-Budaya di Daerah Perbatasan Indonesia-Malaysia: Pengalaman Masa Lalu,
Masa Kini dan Prospek Masa Depan pada Simposium Internasional Jurnal ANTROPOLOGI
INDONESIA ke-2 di Padang, 2001, diharapkan dapat mendorong minat para peneliti untuk mengkaji
lebih lanjut berbagai masalah perbatasan.
Minat terhadap kajian tentang perbatasan di Kalimantan sesungguhnya telah mulai
berkembang. Hal itu terlihat dari cukup besarnya jumlah pemakalah untuk panel tentang perbatasan
dalam Simposium Internasional Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA ke-2 di Padang. John Haba
v
ANTROPOLOGI INDONESIA 67, 2002
dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia mengulas masalah: Pola Hubungan Sosial Antara
Kelompok Etnis di Entikong dan Jagoi Babang, Kalimantan Barat. Noboru Ishikawa dari Kyoto
University menyampaikan makalah berjudul Genesis of Nation Space: A Case from the Borderland
of Southwestern Sarawak, 1871–1941, dan Kristof Obidzinsky dari Amsterdam University
tentang Nunukan/Tawau Interface-Economy and Politics of Cross-Border Timber Trade in
Historical Perspective. Kedua tulisan ini sayang tidak dapat disertakan dalam nomor khusus ini
karena telah direncanakan sebelumnya oleh kedua penulis untuk diterbitkan di media lain.
Demikian pula halnya dengan makalah pelengkap yang dikirimkan oleh Polline Bala (Interecthnic
Ties along the Kalimantan Sarawak Border in Highlands Borneo: The Kalabit and Lun Berian
Case in the Kelabit-Karayan Highlands). Dua tulisan lain tentang perbatasan dalam penerbitan
ini juga berasal dari makalah dalam simposium internasional tersebut, yaitu tulisan Robert Siburian
(Entikong: Daerah Tanpa Krisis Ekonomi di Daerah Perbatasan Kalimantan-Sarawak) dan Fariastuti
(Mobility of People and Goods across the Borger of West Kalimantan and Sarawak). Karena
sifat pemaparannya sebagai suatu laporan penelitian, kedua tulisan tersebut diterbitkan dalam
Rubrik Berita Penelitian.
Salah satu lembaga yang berusaha mengembangkan penelitian tentang masalah-masalah
perbatasan di Indonesia adalah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, khususnya Pusat
Penelitian Politik, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan, dan Pusat Peneltian
Kependudukan. Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI, misalnya, saat ini bekerja
sama dengan The Toyota Foundation melakukan penelitian di Kalimantan Barat (2000) dan
Kalimantan Timur (2001). Laporan penelitian di Kalimantan Barat telah diterbitkan sebagai buku
berjudul Dinamika Sosial dan Budaya di Daerah Perbatasan Kalimantan Barat dan Sarawak,
dan saat ini sedang disiapkan penerbitan hasil penelitian di Kalimantan Timur. Sebagian hasil
penelitian di Kalimantan Timur akan dipresentasikan dalam panel bertema: The Making and
Unmaking of Borneo’s Borderland dalam 7th Borneo Research Council Conference yang akan
diselenggarakan di Kota Kinibalu, Sabah, tanggal 15–18 Juli 2002.
Pada nomor khusus ini juga ditampilkan tulisan dari Goh Beng Lan berjudul Cultural Hibridity
in Southeast Asia: Locating What’s Local and Specific as also Comparative and Global. Tulisan
yang berasal dari makalah dalam panel Conceptual and Comparative Issues of the Local and the
Global: Perspectives from Indonesia's Neighbours dalam Simposium Internasional Jurnal
ANTROPOLOGI INDONESIA ke-2 itu tidak secara khusus mengupas soal perbatasan. Namun,
tulisan itu dianggap tepat untuk disertakan dalam edisi khusus ini, karena analisisnya dapat
memberikan pemahaman secara komprehensif tentang dimensi global dari berbagai perubahan
bersifat lokal di kawasan Asia Tenggara. Kajian dan studi tentang perbatasan perlu mencermati
pengaruh globalisasi yang tidak mungkin dihindari atas persepsi aktor-aktor di tingkat negara
dan di luar lingkup negara. Demikian pula halnya dengan pengaruh globalisasi terhadap respons
komuniti-komuniti lokal yang menghuni wilayah perbatasan, akan nasib dan masa depannya.
vi

0 komentar: