Heritage Intelligence

Mendengar intelijen ingatan langsung tertuju kepada James Bond 007, CIA, KGB, dan Mossad. Institusi intelijen Negara yang bekerja dalam ketertutupan dan menyeramkan seperti kisah Victor Ostrovsky atau novel Body of Lies karya David Ignatius. Intelijen Benda Cagar Budaya (Heritage Intelligence) bukan merupakan pengenjawantahan dari Lembaga Intelijen Negara, melainkan pekerjaan penelitian dan pendokumentasian tentang keberadaan benda cagar budaya yang ada di Indonesia. Banyaknya peninggalan kekayaan artefak sejarah yang telah lenyap atau musnah, sehingga menciptakan kerugian besar hampir disetiap sektor baik dari Ilmu pengetahuan, sosial-budaya, ekonomi dan pertahanan keamanan Negara.
Ketidak berdayaan pembuktian kekayaan dan kerugian Negara tentang peninggalan sejarah, yang telah hilang maupun masih ada merupakan 'titik lemah' untuk dapat menjelaskan dan mempertanggung jawabkan kepada publik.
Sebagaimana contoh hancurnya bangunan di proklamasi, dimana potret nyata detik-detik bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Pertanyaan kerugian apa saja yang diciptakan dari kehancuran bangunan proklamasi tersebut? Ternyata ketika di 'bedah' anatominya sungguh membuat kepala cekot-cekot, dari sisi Ilmu pengetahuan bukti nyata keberadaan fisik bangunan sudah tidak ada. Di dalam ranah berbeda seperti contoh ketika pulau Sipadan dan Ligitan diakui oleh Mahkamah Internasional di Belanda, fisik bangunan yang terdapat dikedua pulau tersebut adalah milik Malaysia. Pada akhirnya secara de jure maupun de fakto pulau Sipadan dan Ligitan milik sah Malaysia.
Terperanjat bahwa eksistensi fisik bangunan bukan persoalan sederhana, cara pandang melihat fisik bangunan selama ini hanya dilihat dari 'kaca mata kuda' yang melulu diukur dari perspektif estetika dan ekonomis semata. Padahal sebuah bangunan diciptakan melampaui tapal batas estetika dan ekonomi, sebagaimana masyarakat Jawa membangun rumah Panggang pe Ceregancet mirip dengan jasad hidup yang tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan kehidupan penghuninya.

Database Benda Cagar Budaya

Film petualangan Indiana Jones, National Treasure, dan Da Vinci Code, membuat adrenalin penonton terpacu. Kecerdasan mengumpulkan serpihan informasi yang tercecer, sehingga teka-teki dapat terpecahkan dan disusun ulang. Sungguh sebuah inspirasi. Tersebar dan terseraknya artefak benda cagar budaya dari berbagai wujud, baik dari sisa-sisa peninggalan kerajaan Nusantara sampai peninggalan kolonial. Sampai saat ini masih dalam 'terawangan' sebagai analogi berjalan dikegelapan tanpa cahaya. Keberadaan UU.No.5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya dan UU.No.26 Tahun 2007 Tentang Tata Ruang masih dalam tahap konsepsional, belum memasuki 'ranah' operasional di dalam pelestarian benda cagar budaya. Inventarisasi pendokumentasiaan sebagai database keberadaan benda cagar budaya dari berbagai ragam bentuk, sampai saat ini masih belum dapat direalisasikan. Padahal database tersebut merupakan 'peta hidup' sebagai alat deteksi dini, perihal kelangsungan pelestarian benda cagar budaya di Indonesia. Karena bila terwujud pendokumentasian tersebut, publik dapat mengetahui dan menjaga pelestarian dari benda cagar budaya yang dilindungi oleh Negara. Fungsi database dapat memberikan suguhan informasi, berapa jumlah benda cagar budaya yang dimiliki seperti Gedung, Benteng, Rumah, Masjid, Gereja, Vihara, Pusaka dan lain sebagainya. Dengan adanya informasi keberadaan artefak sejarah ini, penghancuran dan pencurian dapat maksimal dihindari.
Pendokumentasian mempunyai peran ganda di satu sisi dapat menjadi alat kontrol, disisi lain merupakan alat sosialisasi dari Undang-Undang tentang Benda Cagar Budaya yang murah dan efektif kepada warga Negara.

Benda Cagar Budaya dan Keamanan Nasional

Perjuangan panjang Vasco da Gama (1497-1499) mencapai India melalui Tanjung Harapan telah berhasil gilang gemilang, dari keberhasilan ini maka terbuka lebar pintu masuk pelayaran bangsa Eropa ke Asia. Setelah Tanjung Harapan ditundukkan, kini giliran Melaka dikuasai Portugal (1511).
Di dalam kurun waktu 11 tahun tepatnya pada tahun 1522 ekspedisi Ferdinand Magellan dari Spanyol berhasil mencapai Maluku, selisih waktu 57 tahun (1522-1579) Francis Drake dari Inggris datang menyusul ke kewilayah 'surga rempah-rempah' Maluku. Berawal dari rempah-rempah nafsu serakah untuk menguasai dalam wajah kolonialisme tertancap di bumi Maluku, gesekan kepentingan untuk saling menguasai antara Portugal dan Spanyol di Maluku pada abad XVI tidak dapat terhindarkan. Maka keluar perjanjian Tordesillas (1494) dan menyusul perjanjian Saragossa (1527) antara Spanyol dan Portugal. Hal hasil dari perjanjian tersebut Portugal dapat menguasai Maluku.
Kilasan sejarah tersebut merupakan 'rekam jejak' kolonialisme pertama kali hadir di bumi jamrud khatulistiwa, taktik dan strategi kolonial di dalam melakukan infiltrasi sampai menuju invasi dapat ketahui. Fakta penjajahan dapat ditelusuri melalui artefak seperti Benteng Victoria (1605) yang dibangun Portugal di Maluku, berfungsi sebagai benteng pertahanan. Juga Benteng Oranje (1607) di Ternate yang dibangun oleh Cornelis Matelief de Jonge (Belanda). Benteng ini pernah dijadikan pusat pemerintahan tertinggi Hindia Belanda (Gubernur Jenderal) Pieter Both, Herald Reynst, Laurenz Reaal, dan Jan Pieterszoon Coen.
Dari Benteng pertahanan sampai rute perjalanan alur laut kolonial memasuki Nusantara, sebagaimana diketemukannya beberapa artefak kapal laut kolonial yang karam di dasar laut. Dan legitimasi Mahkamah Internasional tentang batas kedaulatan wilayah Negara Kesatuan republik Indonesia (NKRI), mengacu pada peninggalan tanah jajahan Belanda. Dengan demikian 'patok batas' secara fisik peninggalan Belanda, kedepan menjadi sesuatu yang vital di dalam pembuktian wilayah kedaulatan Negara.
Walaupun bukan konteks benda cagar budaya, tetapi masih dalam 'satu tarikan nafas' peristiwa dikuasainya Pulau Sipadan dan Ligitan oleh Malaysia, karena lemahnya bukti otentik di Mahkamah Internasional. Merupakan pertanda urgensinya fisik bangunan dalam wilayah hukum Internasional. Serta perluasan pembangunan fisik didaratan Singapura melalui 'pasir laut', hampir saja mencaplok kedaulatan Indonesia khususnya pulau Nipa dan pulau lainnya disekitar wilayah propinsi kepulauan Riau. Satu lagi peristiwa penghancuran taman didepan stasiun Beos kota, dimana wilayah itu merupakan 'ring satu' zona benda cagar budaya. Kepentingan bisnis lebih penting daripada keamanan. Pembangunan shelter busway dan terowongan untuk pedestrian mengakibatkan dampak buruk bagi bangunan tua disekitarnya. Tercatat sedikitnya empat bangunan tua yang langsung terkena dampak negative yang diakibatkan dewatering saat pembangunan terowongan tersebut, keseimbangan air tanah disekitar lokasi terganggu. Dan keempat bangunan tua mengalami penurunan pondasi, dan dampak negatif apa yang akan tercipta kedepan? Tidak ada yang dapat mengatahui dan diperlukan kajian mendalam. Sampai saat ini kejelasan tentang barang sitaan Negara dari hasil penangkapan eksplorasi kapal VOC yang karam secara illegal, berapa jumlah dan nilai harta karun tersebut dan disimpan dimana masih dalam misteri.
Saksi bisu benda cagar budaya ternyata faktual dapat 'berbunyi' dan berkata jujur tanpa ada rekayasa maupun kebohongan.

Intelijen Benda Cagar Budaya (Heritage Intelligence)

Cegah tangkal di dalam pelestarian benda cagar budaya sudah waktunya diperkuat, perhitungan secara matematis tentang kekayaan 'adi luhung' bangsa Indonesia belum dapat direalisasikan. Kemampuan IPTEK di dalam kalkulasi sumber daya alam (SDA) kekayaan laut sudah dapat dihandalkan di negri kepulauan ini, padahal dahulu sebelum teori tersebut ada masih merupakan sesuatu yang 'ghaib' diwilayah alam bawah sadar. Sosok manusia dapat terbang Gatot Kaca yang hanya ada dalam cerita pewayangan, tersentak bahwa cerita itu bukan mitos melainkan teknos dengan kemampuan di dalam rekayasa teknologi kapal terbang (Dirgantara Indonesia).
Eksistensi heritage intelligence di dalam melakukan penelitian dan pendokumentasian, serta dapat juga melakukan 'audit' benda cagar budaya, merupakan pemecah dari kebekuan dan kerapuhan mengatasi permasalahan benda cagar budaya. Generasi kedepan perlu diberikan 'menu' visualitas bukan virtualitas. Melalaui intelijen benda cagar budaya sesuatu yang absurd menjadi rasional, investigasi tapak tilas untuk dapat mengumpulkan kembali serpihan sejarah yang tercecer dan hilang. Seperti analogi menjahit pakaian yang sudah usang termakan jaman, memerlukan sentuhan ketekunan penjahit handal. Semoga.***

BAROUSAI, BARUS, ATAU FANSUR: KISAH CEMERLANG DARI BERIBU TAHUN SILAM

BAROUSAI, BARUS, ATAU FANSUR:

KISAH CEMERLANG DARI BERIBU TAHUN SILAM

Kota bandar di tepian pantai barat Sumatra yang berabad lalu menjadi sebuah perkampungan multi-etnis yang penuh guyub, sarat daya tarik bagi para pedagang di hampir seluruh penjuru bumi, juga menjadi pintu masuknya berbagai peradaban dan agama-agama besar di bumi Nusantara itu kini telah sepi.

BARUS saat ini hanya sebuah ibukota Kecamatan, di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatra Utara. Posisinya berada di pinggir pantai barat Sumatera, sekitar 60 km sebelah utara Sibolga, atau sekitar 414 km dari Medan. Tidak ada yang istimewa. Begitu juga dengan Desa Lobutua, sekitar 4 km ke arah barat dari Barus. Juga layaknya sebuah desa, sepi. Meskipun sesekali para peziarah datang silih-berganti, menapaki sejarah sebuah kota banda yang jauh di awal abad masehi pernah begitu cemerlang dan menggemparkan sekujur bumi.

Dan boleh jadi, Barus adalah satu-satunya kota yang tercatat di dalam buku yang terbit di awal masehi, sehingga menempatkannya sebagai kota tertua di bumi Nusantara. Adalah Claudius Ptolomaios[1], seorang geograf Yunani yang dalam bukunya dari abad ke dua Masehi, Geographike Hyphegesis menuliskan nama negeri Barousai di Chryse Chora (Pulau Emas) yang antara lain oleh van der Meulen disimpulkan sebagai Sumatra[2].

Tapi apa gerangan yang menjadikan kota bandar ini begitu mempesona orang Yunani, China, India, dan bahkan juga para Pharao di Mesir kuno?

Jawabnya tak lain adalah kapur barus (bhs Belanda: kamfer, dan mungkin dari kata kapur yang diucapkan kofur oleh bangsa Arab).[3] Konon, kapur barus asal kota barus inilah yang paling banyak dicari karena kualitasnya yang terbaik, paling laku dan harganya kurang lebih 8 kali lebih mahal daripada kapur-kapur barus asal tempat lain[4]. Dalam catatan pelancong Italia, Marco Polo bahkan disebutkan bahwa, harga kapur barus kala itu setara dengan harga emas dengan berat yang sama[5].

Seorang Belanda pernah menulis bahwa kemenyan dari Barus, telah dipakai sebagai salah satu bahan mengawetkan (membalsem) mayat raja-raja di Mesir sebelum Masehi[6]. Jika dugaan ini benar, maka berarti kota bandar Barus ini sudah ada sejak 5.000 tahun SM. Perkiraan akhir itu, didasarkan pada temuan bahan pengawet dari berbagai mummy Fir'aun Mesir Kuno salah satu pengawetnya menggunakan kanper atau kapur Barus. Sejarawan era kemerdekaan Moh. Yamin, bahkan memperkirakan bahwa, perdagangan rempah-rempah dan tentu saja kamfer, sudah dilakukan pedagang Nusantara sejak 6.000 tahun lalu ke berbagai penjuru dunia.

Hasil penelitian Innis Miller terhadap naskah Historia Naturalis karya Plinius di abad pertama juga sudah menunjukkan bahwa, para pedagang Nusantara pun ternyata sudah menjajakan komoditas mereka sampai ke Asia Barat dan Afrika Timur sejak abad permulaan Masehi[7]. Sementara Prof. Kern[8] pernah menulis bahwa Kota “P’o-lu-chi” yang dimaksud I Tsing di abad ke-7, tidak lain dari Barus[9]. Seorang penyair Arab sebelum Islam, Amru al-Qais (meninggal tahun 530 Masehi), sangat memuji keharuman kafur dalam syair-syairnya[10].

Begitu pentingnya kota Barus ini—mungkin bisa disamakan dengan Paris pada abad modern yang terkenal dengan inovasi parfumnya—maka sejak zaman dulu dalam dunia dagang telah dikenal nama-nama Baros, Balus, Pansur, Fansur, Pansuri[11], Kalasaputra[12], Karpura-dwipa, Barusai, Waru-saka dan lain-lain.

Dan tentu, seperti kata pepatah, ada gula ada semut. Pesona kapur barus dari selatan ini menggoda banyak pendatang. Sebagaimana dicatatan Ptolomaios, selain para penjelajah dari Yunani, juga datang pedagang dari Venesia, India, Arab dan Tiongkok. Selain itu, sekelompok penyebar ajaran Kristen Sekte Nestorian dari Konstantinopel, pusat Kerajaan Byzantium Timur, juga menjejakkan kakinya di Barus. Kelompok itu diperkirakan datang sekira tahun 600 M dan mendirikan gereja pertama di Desa Pancuran, Barus.

Dewan Gereja-gereja di Indonesia juga memercayai sejak tahun 645 Masehi di daerah Barus telah masuk umat Kristen dari sekte Nestorian. Keyakinan tersebut didasarkan pada buku kuno tulisan Shaikh Abu Salih al-Armini. Sementara itu, penjelajah dari Armenia Mabousahl mencatat bahwa pada abad ke-12 telah terdapat Gereja Nestorian.

Lalu datanglah para pedagang Arab memasuki Barus sekira 627-643 M atau sekitar tahun 1 Hijriah, dan menyebarkan agama Islam di daerah itu. Di antaranya Wahab bin Qabishah mendarat di Pulau Mursala pada 627 M. Ada juga utusan Khulafaur Rasyidin, bernama Syekh Ismail akan ke Samudera Pasai dan singgah di Barus, sekira tahun 634 M. Dan sejak itu pula, tercatat bangsa Arab (Islam) mendirikan koloni di Barus. Bangsa Arab menamakan Barus dengan sebutan Fansur atau Fansuri, misalnya oleh penulis Sulaiman pada 851 M dalam bukunya "Silsilatus Tawarikh."

Kedatangan bangsa Arab yang kemudian menyebarkan agama Islam itu juga disebutkan dalam berita-berita Cina, Hsin-Tang-shu[13] (Catatan Dinasti Tang, 618-907), dan Chu-fan-chi[14] (Catatan Negeri-negeri Asing) yang ditulis Chau Ju-kua pada tahun 1225. Di dalam dua kronik Cina itu banyak bercerita tentang Ta-shi, istilah Cina untuk menyebut Arab. (Chu-fan-chi menerangkan bahwa Ta-shi mempunyai seorang Buddha (maksudnya Nabi) yang bernama Ma-ha-mat (Muhammad). Dalam sehari mereka lima kali sembahyang, dan setiap tahun berpuasa selama sebulan penuh. Dinasti Ta-shi ada dua macam, yaitu white-robed Ta-shi (Arab berjubah putih) atau Pon-ni-mo-huan (Bani Marwan, atau Bani Umayyah), serta black-robed Ta-shi (Arab berjubah hitam) yang didirikan raja A-po-lo-pa (Abul-Abbas)[15]. Pada tahun 651 Masehi, raja Ta-shi (Arab) bernama Han-mi-mo-mi-ni mengirimkan utusan ke istana Cina[16]. Hampir dapat dipastikan bahwa nama Han-mi-mo-mi-ni dalam ucapan Cina ini adalah untuk Amir al-Mu’minin, gelar resmi para khalifah Islam, dan “raja Ta-shi” yang mengirimkan utusan itu adalah Khalifah `Utsman ibn Affan yang memerintah dari tahun 644 sampai 656. Hsin-Tang-shu mencatat bahwa pada tahun 674 terdapat pemukiman pedagang Ta-shi (Arab) di Po-lu-shih, daerah pantai barat Sumatera.[17]

Tentu, dapat dibayangkan betapa makmurnya kota Barus pada awal abad masehi ini, dengan penduduk yang sebagian besar terdiri atas kaum pedagang. Pertanyaannya kemudian, siapakah yang menggerakkan semua perdagangan hingga jauh ke negeri seberang itu?

Seorang bekas kontrolir Belanda, G.J.J. Deutz, sewaktu bertugas di Barus,[18] menulis bahwa menurut rakyat setempat di Desa Lobutua pernah didapat penduduk sebuah batu bertulis pada dua bagian. Tetapi sayang, batu itu pada tahun 1857 dipecahkan oleh Raja Barus bernama Mara Pangkat. Pada tahun 1872 Deutz banyak menemukan pecahan batu peninggalan zaman Hindu yang telah dilupakan orang, telah berlumut. Dan baru pada tahun 1932, prasasti itu diterjemahkan Profesor Nila-kanti Sastri dari Universitas Madras.[19]

Prasasti itu menyebutkan bahwa paling sedikit sejak abad ke-11, telah bermukim di kota Barus sebuah koloni bangsa Tamil. Menurut batu Lobutua itu, mereka tergabung dalam sebuah perusahaan bernama “kelompok 500″ yang tidak asing lagi bagi orang-orang India waktu itu. Perusahaan swasta yang mereka wakili, merupakan perusahaan dagang cukup kuat, merdeka dalam tindakan dan tidak gampang tunduk pada salah satu raja yang berkuasa di sekitar Barus. Mereka yang berdiam di Barus inilah yang membeli beberapa hasil dari rakyat—utamanya kapur barus—untuk diekspor ke luar negeri.

Menurut Gnillout Claude[20], Barus adalah sebuah kota kuno di pantai barat Propinsi Sumatera Utara yang terkenal di seluruh Asia, sejak lebih dari seribu tahun, berkat hasil hutannya. Selain itu, nama Barus juga muncul dalam sejarah peradaban Melayu dengan Hamzah Fansuri, penyair mistik terkenal yang baru-baru ini ditemukan kembali makamnya di Mekkah. Sementara itu, tim arkeolog dari Ecole Francaise D’extreme-Orient (EFEO) Perancis bekerjasama dengan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua-Barus, menemukan bahwa pada sekitar abad 9-12 Masehi, Barus telah menjadi sebuah perkampungan multi-etnis dari berbagai suku bangsa seperti Arab, Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu, dan sebagainya. Tim tersebut juga menemukan banyak benda-benda berkualitas tinggi yang usianya sudah ratusan dan bahkan ribuan tahun dan ini menandakan dahulu kala kehidupan di Barus itu sangatlah makmur.

Dan semua kemakmuran itu berkat aroma kapur barus yang diolah dari kayu kamfer. Hanya kini, komoditi yang begitu mempesona di masa silam itu, hingga konon juga dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5. 000 tahun sebelum Masehi itu, kini sudah lama tidak lagi diproduksi

Di komplek makam Syekh Machmud yang tertata rapi dan terletak di Bukit Papan Tinggi dan memang betul-betul tinggi sehingga harus melewati 710 anak tangga ini, menggantung sebuah tulisan, “Beri Salam dan Alas Kaki dibuka.” Seakan mengakhiri sebuah kisah perjalanan sebuah kota bandar di tepian pantai barat Sumatra yang berabad lalu menjadi sebuah perkampungan multi-etnis yang penuh guyub, sarat daya tarik bagi para pedagang di hampir seluruh penjuru bumi, juga menjadi pintu masuknya berbagai peradaban dan agama-agama besar di bumi Nusantara itu kini telah sepi.**



[1] Barus telah disebut oleh Ptolomeus kira kira tahun 150 Masehi. (Kozok, 1991, 14)

[2] W. J. van der Meulen, “Suvarnadvipa and the Chryse Chersonesos”, Indonesia, 18, October 1974, h. 1

[3] Encyclopdeia van Nederlandsch Indie

[4] Ada tiga jenis kapur barus pada saat itu yaitu: Kapur barus dari Kalimantan dan Sumatera (Dryobalanops aromatica), Kapur barus dari China dan Jepang (Cinnamomum Camphora) yang banyak beredar dipasaran dan yang ketiga adalah Blumea balsami- fera, yang diproduksi di China dengan nama kapur barus Ngai. Harga dari kapur barus asal Sumatera ini kira-kira 138 kali lebih mahal dari kapur barus China dan Jepang. (Hobson-Jobson, Glossary of Anglo-Indian Words and Phares)

[5]Travel of Marco Polo,” Buku 3 Bab 9 dan Buku 2 Bab 8 by Marco Polo dan Rustichello of Pisa

[6] Sumatra Benzoe, Disertasi P.H. Brans

[7] J. Innis Miller, The Spice Trade of the Roman Empire, Oxford University Press, London, 1969, terutama Bab “The Cinnamon Route”

[8] Verspreide Geschriften No VI, halaman 15

[9] Po-lu-chi atau Po-lu-suo terkadang sering keliru diterjemahkan dalam text China dengan Bo-si atau Persia. Barus ini juga sering disebut sebagai Bon-cu, Bian-shu atau Bin-cuo. (Roderich Ptak, Possible Chinese Reference to the Barus Area (Ming to Tang) in Claude Guillot (ed.) Histoire de Barus, Sumatera: Le Site de Lobu Tua I, Etudes et Documents, Paris, Cahier d’Archipel 30, 1998, pp. 119-138)

[10] Oliver W. Wolters, Early Indonesian Commerce, Cornell University Press, Ithaca, New York, 1967, terutama Bab 8

[11] Dari Desa Pansur sedikit di utara Barus

[12] Dari kata Kalasan, daerah penghasil kapur barus antara Kota Barus dan Sungai Chenendang

[13] Diterjemahkan oleh Paul Pelliot, “Deux Itineraires de Chine en Inde a la Fin du VIIIe Siecle”, BEFEO, 4, 1904, hal. 132-413

[14] Diterjemahkan oleh Friedrich Hirth dan W. W. Rockhill, Chau Ju-kua: His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries, entitled CHU-FAN-CHI, Imperial Academy of Sciences, St.Petersburg, 1911

[15] Lihat: F. Hirth dan W.W.Rockhill, hh. 114-124

[16] Berita ini tercantum dalam kronik Tung-tien buku 193 nomor 22b. Lihat: F.Hirth dan W.W.Rockhill, h. 119

[17] Paul Pelliot, h. 297. Lihat juga W. P. Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources, Bhratara, Jakarta, cetak ulang 1960, h. 14.

[18] Barus, G.J.J. Deutz, Tijdschr No. 22 tahun 1875

[19] A Tamil Merchant-guild in Sumatera oleh Prof. N. Sastri dalam Tijdschr No 72 tahun 1932

[20] “Lobu Tua Sejarah Barus”, Obor, 2002

Sabtu, 13 September 2008

Selasa, 12 April 2005 Sinar Harapan

Yang Sudah Lama Hilang di Perbatasan…

NUNUKAN – Dari bibir tanpa gincu Suhera, hanya dialek Malaysia yang
terdengar. Ia bertutur tentang pengalaman kerjanya di Malaysia. Hampir
sepuluh tahun, ia jalani hidup di negeri jiran bersama suami dan
anaknya. Tapi peraturan keras dari Malaysia, membuat ia harus berpisah
dengan dua anaknya yang kini diurus saudaranya di Malaysia. Sementara
Suhera bersama suami dan anak terakhirnya sudah dua bulan ini
berdesakan tidur di penampungan Asfira Perdana Jaya di Jalan
Pesantren, Nunukan, Kalimantan Timur.
"Saye nak lame tinggal di sini. Lame nak nunggu urus paspor di Indon.
Toke Malaysie nak bayarin makan saye," ujar Suhera, perempuan berusia
35 tahun tersebut.
Dengan gaji 700 ringgit, perkebunan di Malaysia menjadi tumpuan hidup
keluarganya. Hampir semua keluarganya tinggal di rumah-rumah petak di
Malaysia. Ibunya pun meninggal di sana.
Bukan hanya Suhera yang cakap berbincang dengan dialek Melayu itu.
Hampir sebagian besar penduduk Nunukan mampu melakukannya. Terlebih di
Sebatik, pulau yang berbatasan langsung dengan Indonesia di wilayah darat.
Tengok saja, toko-toko kelontong di sepanjang jalan menuju ke
Pelabuhan Tunon Taka, Nunukan. Berderet makanan dari negeri tetangga
itu lebih mudah didapati. Mereka juga tidak mempersoalkan dengan mata
uang apa pembayaran akan dilakukan. Untuk menukar rupiah ke ringgit,
cukup tengok kanan atau kiri dari tempat Anda berdiri maka penukar
mata uang akan mudah ditemui. Mulai dari makanan ringan sampai susu
formula anak-anak lebih banyak dibuat oleh pabrik Malaysia. Termasuk
minuman bersoda.
Di Sebatik, warung-warung yang berjajar di antara rumah penduduk tidak
membedakan mata uang yang dipakai sebagai alat bayar. "Mau ringgit
atau rupiah tetap kita terima. Biasa kita bayar begitu. Takde
masalah," ujar Atik, yang sudah lama membuka warung di Sungai Nyamuk
Sebatik.
Untuk berbelanja pun, Tawau menjadi pilihan yang lebih masuk akal.
Cukup dengan 15 menit dengan speedboat dan membayar 12 ringgit atau
setara dengan Rp 35. 000, barang belanjaan lebih bervariasi dan ongkos
operasional lebih murah dibandingkan kalau harus berbelanja ke
Tarakan. Masyarakat di Nunukan pun melakukan hal yang sama.

Ketika beberapa orang teman wartawan harus berpindah dari Dermaga
Sebatik ke Komando Pos TNI AL di Sungai Pancang, Pulau Sebatik yang
hanya berjarak sekedip mata, mereka harus membayar 2 ringgit atau
setara dengan Rp 5.000. "Meskipun kita bayar pakai rupiah tetapi
mereka tetap menyebut 2 ringgit untuk ongkosnya," ujar Jimmy, wartawan
Suara Karya.

Lumpuh di Perbatasan
Dalam perjalanan melintas dari Karang Unarang ke Sebatik pun, Malaysia
sudah menyergap diam-diam. Dengan teknologi informasi, Malaysia
berusaha meyakinkan dunia bahwa mereka menguasai wilayah sengketa.
"Digi Welcomes you to Malaysia. We wish you a pleasant stay! To make
alls dial, + (country code) ( area code) (phone number)," pesan ini
otomatis akan muncul di layar telepon selular ketika memasuki wilayah
Karang Unarang. Pesan itu datang dan pergi silih berganti dengan
operator selular Indonesia.
Ketika kita melihat tontonan televisi masyarakat di Nunukan atau
Sebatik, yang lebih mereka akrabi adalah siaran televisi Malaysia. Ini
tidak bisa disalahkan. Hampir sebulan ini pemancar UHF di sana tidak
lagi dihidupkan. Pasalnya, TVRI tidak memiliki dana untuk membeli
kebutuhan solar sebanyak 17 drum. Masri, penduduk Sebatik, mengatakan
untuk dapat menikmati TVRI harus menggunakan parabola seharga Rp 2
juta atau berlangganan televisi kabel.
"Siapa tahu mereka lebih mengenal Perdana Menteri Malaysia daripada
kepala daerahnya," seloroh Wakil Ketua Komisi I Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) Effendy Choirie usai mengunjungi Nunukan dan Sebatik,
minggu lalu. Terlebih ketika Effendy mendapatkan fakta bahwa kondisi
TVRI di Kecamatan Sebatik, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur
memprihatinkan.
Djamil, kameramen televisi yang sudah bekerja selama 18 tahun,
mengatakan di Nunukan terdapat dua pemancar TVRI dan tidak ada satu
pun pemancar televisi swasta. Pemancar di Nunukan berkekuatan 300 Watt
VHF sedangkan di Sebatik 1.000 Watt UHF. Sedangkan Radio dan
Televisyen Malaysia (RTM) kini berkekuatan 10.000 Watt. Siaran mereka
sangat jelas diterima di Nunukan bahkan Tarakan hingga Tanjung Selor,
Kalimantan Timur. Jarak yang bila ditarik garis lebih dari 100
kilometer dari Sebatik. Dengan hanya 300 Watt, TVRI hanya mampu
dinikmati dengan coverage area 10 kilometer. Rendahnya kekuatan
pemancar ini menyebabkan banyak daerah tidak bisa menangkap siaran TVRI.
"Secara informasi, kami sudah lama hilang. Jarang orang yang menonton
TVRI lagi. selain acaranya lebih banyak relay dari Jakarta,
tontonannya juga tidak variatif, lain dengan televisi Malaysia," ujar
Bambang Sugito, reporter TVRI yang sudah 23 tahun mengabdi di lembaga
penyiaran pemerintah tersebut.
Padahal, tidak hanya pada saat ini keberadaan televisi milik
pemerintah itu dibutuhkan. Sebagai televisi publik, stasiun televisi
tersebut wajib memberikan imbangan informasi pada masyarakat yang
selama ini banyak dibanjiri siaran stasiun televisi Malaysia.

Opini Publik
Bagaimana pun, media mempunyai peranan untuk membentuk opini publik,
bukan saja saat ketegangan terjadi di perbatasan Indonesia-Malaysia
ini. Tapi apa daya, akibat rendahnya kekuatan pemancar, banyak daerah
di perbatasan tidak bisa menangkap siaran TVRI.
"Alutsista TVRI sama pentingnya dengan alutsista TNI. TVRI dan RRI di
daerah perbatasan harus mendapat perhatian serius. Peran TVRI maupun
RRI sangat penting dalam memerangi informasi. Kasus Ambalat ini juga
harus menjadi momentum bagi pembenahan TVRI, RRI, dan televisi publik
di daerah-daerah perbatasan," lanjut Effendy.
Oleh sebab itu ke depan, TVRI maupun RRI di daerah-daerah perbatasan
harus mendapatkan perhatian lebih mengingat peran mereka sangat
penting dalam memerangi informasi. Dalam kondisi perang, fungsi radio
maupun televisi sangat dibutuhkan untuk pembentukan opini masyarakat.
"Alutsista (alat utama sistem persenjataan- red) TVRI itu tidak kalah
penting dengan alutsista TNI.
Padahal 20 tahun lalu yang terjadi adalah sebaliknya. Malaysia banyak
belajar dari Indonesia. Pelajar-pelajar Malaysia yang datang mencari
ilmu di Indonesia akrab dengan karya-karya Pramoedya Ananta Toer yang
sempat dilarang di Indonesia sebagai bacaan wajib. Mereka hafal
sajak-sajak Hamzah Fansyuri, Ali Haji, hingga Chairil Anwar yang
menggelora, kelembutan puisi Amir Hamzah, protes-protes Rendra dan
Taufiq Ismail. Mereka paham betul pesan-pesan yang disampaikan
roman-roman Hamka dan Sutan Takdir Alisyahbana.
Tapi 20 tahun lebih sudah berlalu. Malaysia tidak perlu lagi berguru
pada Indonesia. Wilayah perbatasan Malaysia sudah lebih dahulu
dibangun. Kinabalu dan Tawau, misalnya, sudah menjadi etalase negeri
tersebut di batas ujung negaranya. Sementara wajah Indonesia di
perbatasan belum banyak berubah.
"Pemerintah mendengung-dengungk an wilayah perbatasan akan dijadikan
teras bangsa. Tapi kenyatannya nol. Justru Malaysia yang sudah lebih
dahulu membangun. Kalau malam, kita melihat Malaysia penuh dengan
cahaya gemerlapan, sementara ketika mereka memandang perbatasan kita
yang tampak hanya kegelapan," kata Bambang.
Benarlah teguran dari Effendy Choirie bahwa alutsista TVRI dan RRI
tidak kalah penting dari alutsista TNI. Bila pemerintah tidak cepat
menyadari, masyarakat di Sebatik dan Nunukan barangkali akan semakin
akrab dengan semua yang berbau Malaysia. Akankah kita kehilangan lebih
banyak lagi dari masyarakat di perbatasan?
(SH/emmy kuswandari/sofyan asnawi)

2 komentar:

Mbak Dewi.Kalimantan mengatakan...

Selasa, 12 April 2005 Sinar Harapan

Yang Sudah Lama Hilang di Perbatasan…

NUNUKAN – Dari bibir tanpa gincu Suhera, hanya dialek Malaysia yang
terdengar. Ia bertutur tentang pengalaman kerjanya di Malaysia. Hampir
sepuluh tahun, ia jalani hidup di negeri jiran bersama suami dan
anaknya. Tapi peraturan keras dari Malaysia, membuat ia harus berpisah
dengan dua anaknya yang kini diurus saudaranya di Malaysia. Sementara
Suhera bersama suami dan anak terakhirnya sudah dua bulan ini
berdesakan tidur di penampungan Asfira Perdana Jaya di Jalan
Pesantren, Nunukan, Kalimantan Timur.
"Saye nak lame tinggal di sini. Lame nak nunggu urus paspor di Indon.
Toke Malaysie nak bayarin makan saye," ujar Suhera, perempuan berusia
35 tahun tersebut.
Dengan gaji 700 ringgit, perkebunan di Malaysia menjadi tumpuan hidup
keluarganya. Hampir semua keluarganya tinggal di rumah-rumah petak di
Malaysia. Ibunya pun meninggal di sana.
Bukan hanya Suhera yang cakap berbincang dengan dialek Melayu itu.
Hampir sebagian besar penduduk Nunukan mampu melakukannya. Terlebih di
Sebatik, pulau yang berbatasan langsung dengan Indonesia di wilayah darat.
Tengok saja, toko-toko kelontong di sepanjang jalan menuju ke
Pelabuhan Tunon Taka, Nunukan. Berderet makanan dari negeri tetangga
itu lebih mudah didapati. Mereka juga tidak mempersoalkan dengan mata
uang apa pembayaran akan dilakukan. Untuk menukar rupiah ke ringgit,
cukup tengok kanan atau kiri dari tempat Anda berdiri maka penukar
mata uang akan mudah ditemui. Mulai dari makanan ringan sampai susu
formula anak-anak lebih banyak dibuat oleh pabrik Malaysia. Termasuk
minuman bersoda.
Di Sebatik, warung-warung yang berjajar di antara rumah penduduk tidak
membedakan mata uang yang dipakai sebagai alat bayar. "Mau ringgit
atau rupiah tetap kita terima. Biasa kita bayar begitu. Takde
masalah," ujar Atik, yang sudah lama membuka warung di Sungai Nyamuk
Sebatik.
Untuk berbelanja pun, Tawau menjadi pilihan yang lebih masuk akal.
Cukup dengan 15 menit dengan speedboat dan membayar 12 ringgit atau
setara dengan Rp 35. 000, barang belanjaan lebih bervariasi dan ongkos
operasional lebih murah dibandingkan kalau harus berbelanja ke
Tarakan. Masyarakat di Nunukan pun melakukan hal yang sama.

Ketika beberapa orang teman wartawan harus berpindah dari Dermaga
Sebatik ke Komando Pos TNI AL di Sungai Pancang, Pulau Sebatik yang
hanya berjarak sekedip mata, mereka harus membayar 2 ringgit atau
setara dengan Rp 5.000. "Meskipun kita bayar pakai rupiah tetapi
mereka tetap menyebut 2 ringgit untuk ongkosnya," ujar Jimmy, wartawan
Suara Karya.

Lumpuh di Perbatasan
Dalam perjalanan melintas dari Karang Unarang ke Sebatik pun, Malaysia
sudah menyergap diam-diam. Dengan teknologi informasi, Malaysia
berusaha meyakinkan dunia bahwa mereka menguasai wilayah sengketa.
"Digi Welcomes you to Malaysia. We wish you a pleasant stay! To make
alls dial, + (country code) ( area code) (phone number)," pesan ini
otomatis akan muncul di layar telepon selular ketika memasuki wilayah
Karang Unarang. Pesan itu datang dan pergi silih berganti dengan
operator selular Indonesia.
Ketika kita melihat tontonan televisi masyarakat di Nunukan atau
Sebatik, yang lebih mereka akrabi adalah siaran televisi Malaysia. Ini
tidak bisa disalahkan. Hampir sebulan ini pemancar UHF di sana tidak
lagi dihidupkan. Pasalnya, TVRI tidak memiliki dana untuk membeli
kebutuhan solar sebanyak 17 drum. Masri, penduduk Sebatik, mengatakan
untuk dapat menikmati TVRI harus menggunakan parabola seharga Rp 2
juta atau berlangganan televisi kabel.
"Siapa tahu mereka lebih mengenal Perdana Menteri Malaysia daripada
kepala daerahnya," seloroh Wakil Ketua Komisi I Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) Effendy Choirie usai mengunjungi Nunukan dan Sebatik,
minggu lalu. Terlebih ketika Effendy mendapatkan fakta bahwa kondisi
TVRI di Kecamatan Sebatik, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur
memprihatinkan.
Djamil, kameramen televisi yang sudah bekerja selama 18 tahun,
mengatakan di Nunukan terdapat dua pemancar TVRI dan tidak ada satu
pun pemancar televisi swasta. Pemancar di Nunukan berkekuatan 300 Watt
VHF sedangkan di Sebatik 1.000 Watt UHF. Sedangkan Radio dan
Televisyen Malaysia (RTM) kini berkekuatan 10.000 Watt. Siaran mereka
sangat jelas diterima di Nunukan bahkan Tarakan hingga Tanjung Selor,
Kalimantan Timur. Jarak yang bila ditarik garis lebih dari 100
kilometer dari Sebatik. Dengan hanya 300 Watt, TVRI hanya mampu
dinikmati dengan coverage area 10 kilometer. Rendahnya kekuatan
pemancar ini menyebabkan banyak daerah tidak bisa menangkap siaran TVRI.
"Secara informasi, kami sudah lama hilang. Jarang orang yang menonton
TVRI lagi. selain acaranya lebih banyak relay dari Jakarta,
tontonannya juga tidak variatif, lain dengan televisi Malaysia," ujar
Bambang Sugito, reporter TVRI yang sudah 23 tahun mengabdi di lembaga
penyiaran pemerintah tersebut.
Padahal, tidak hanya pada saat ini keberadaan televisi milik
pemerintah itu dibutuhkan. Sebagai televisi publik, stasiun televisi
tersebut wajib memberikan imbangan informasi pada masyarakat yang
selama ini banyak dibanjiri siaran stasiun televisi Malaysia.

Opini Publik
Bagaimana pun, media mempunyai peranan untuk membentuk opini publik,
bukan saja saat ketegangan terjadi di perbatasan Indonesia-Malaysia
ini. Tapi apa daya, akibat rendahnya kekuatan pemancar, banyak daerah
di perbatasan tidak bisa menangkap siaran TVRI.
"Alutsista TVRI sama pentingnya dengan alutsista TNI. TVRI dan RRI di
daerah perbatasan harus mendapat perhatian serius. Peran TVRI maupun
RRI sangat penting dalam memerangi informasi. Kasus Ambalat ini juga
harus menjadi momentum bagi pembenahan TVRI, RRI, dan televisi publik
di daerah-daerah perbatasan," lanjut Effendy.
Oleh sebab itu ke depan, TVRI maupun RRI di daerah-daerah perbatasan
harus mendapatkan perhatian lebih mengingat peran mereka sangat
penting dalam memerangi informasi. Dalam kondisi perang, fungsi radio
maupun televisi sangat dibutuhkan untuk pembentukan opini masyarakat.
"Alutsista (alat utama sistem persenjataan- red) TVRI itu tidak kalah
penting dengan alutsista TNI.
Padahal 20 tahun lalu yang terjadi adalah sebaliknya. Malaysia banyak
belajar dari Indonesia. Pelajar-pelajar Malaysia yang datang mencari
ilmu di Indonesia akrab dengan karya-karya Pramoedya Ananta Toer yang
sempat dilarang di Indonesia sebagai bacaan wajib. Mereka hafal
sajak-sajak Hamzah Fansyuri, Ali Haji, hingga Chairil Anwar yang
menggelora, kelembutan puisi Amir Hamzah, protes-protes Rendra dan
Taufiq Ismail. Mereka paham betul pesan-pesan yang disampaikan
roman-roman Hamka dan Sutan Takdir Alisyahbana.
Tapi 20 tahun lebih sudah berlalu. Malaysia tidak perlu lagi berguru
pada Indonesia. Wilayah perbatasan Malaysia sudah lebih dahulu
dibangun. Kinabalu dan Tawau, misalnya, sudah menjadi etalase negeri
tersebut di batas ujung negaranya. Sementara wajah Indonesia di
perbatasan belum banyak berubah.
"Pemerintah mendengung-dengungk an wilayah perbatasan akan dijadikan
teras bangsa. Tapi kenyatannya nol. Justru Malaysia yang sudah lebih
dahulu membangun. Kalau malam, kita melihat Malaysia penuh dengan
cahaya gemerlapan, sementara ketika mereka memandang perbatasan kita
yang tampak hanya kegelapan," kata Bambang.
Benarlah teguran dari Effendy Choirie bahwa alutsista TVRI dan RRI
tidak kalah penting dari alutsista TNI. Bila pemerintah tidak cepat
menyadari, masyarakat di Sebatik dan Nunukan barangkali akan semakin
akrab dengan semua yang berbau Malaysia. Akankah kita kehilangan lebih
banyak lagi dari masyarakat di perbatasan?
(SH/emmy kuswandari/sofyan asnawi)

Mbak Dewi.Kalimantan mengatakan...

Selasa, 12 April 2005 Sinar Harapan

Yang Sudah Lama Hilang di Perbatasan…

NUNUKAN – Dari bibir tanpa gincu Suhera, hanya dialek Malaysia yang
terdengar. Ia bertutur tentang pengalaman kerjanya di Malaysia. Hampir
sepuluh tahun, ia jalani hidup di negeri jiran bersama suami dan
anaknya. Tapi peraturan keras dari Malaysia, membuat ia harus berpisah
dengan dua anaknya yang kini diurus saudaranya di Malaysia. Sementara
Suhera bersama suami dan anak terakhirnya sudah dua bulan ini
berdesakan tidur di penampungan Asfira Perdana Jaya di Jalan
Pesantren, Nunukan, Kalimantan Timur.
"Saye nak lame tinggal di sini. Lame nak nunggu urus paspor di Indon.
Toke Malaysie nak bayarin makan saye," ujar Suhera, perempuan berusia
35 tahun tersebut.
Dengan gaji 700 ringgit, perkebunan di Malaysia menjadi tumpuan hidup
keluarganya. Hampir semua keluarganya tinggal di rumah-rumah petak di
Malaysia. Ibunya pun meninggal di sana.
Bukan hanya Suhera yang cakap berbincang dengan dialek Melayu itu.
Hampir sebagian besar penduduk Nunukan mampu melakukannya. Terlebih di
Sebatik, pulau yang berbatasan langsung dengan Indonesia di wilayah darat.
Tengok saja, toko-toko kelontong di sepanjang jalan menuju ke
Pelabuhan Tunon Taka, Nunukan. Berderet makanan dari negeri tetangga
itu lebih mudah didapati. Mereka juga tidak mempersoalkan dengan mata
uang apa pembayaran akan dilakukan. Untuk menukar rupiah ke ringgit,
cukup tengok kanan atau kiri dari tempat Anda berdiri maka penukar
mata uang akan mudah ditemui. Mulai dari makanan ringan sampai susu
formula anak-anak lebih banyak dibuat oleh pabrik Malaysia. Termasuk
minuman bersoda.
Di Sebatik, warung-warung yang berjajar di antara rumah penduduk tidak
membedakan mata uang yang dipakai sebagai alat bayar. "Mau ringgit
atau rupiah tetap kita terima. Biasa kita bayar begitu. Takde
masalah," ujar Atik, yang sudah lama membuka warung di Sungai Nyamuk
Sebatik.
Untuk berbelanja pun, Tawau menjadi pilihan yang lebih masuk akal.
Cukup dengan 15 menit dengan speedboat dan membayar 12 ringgit atau
setara dengan Rp 35. 000, barang belanjaan lebih bervariasi dan ongkos
operasional lebih murah dibandingkan kalau harus berbelanja ke
Tarakan. Masyarakat di Nunukan pun melakukan hal yang sama.

Ketika beberapa orang teman wartawan harus berpindah dari Dermaga
Sebatik ke Komando Pos TNI AL di Sungai Pancang, Pulau Sebatik yang
hanya berjarak sekedip mata, mereka harus membayar 2 ringgit atau
setara dengan Rp 5.000. "Meskipun kita bayar pakai rupiah tetapi
mereka tetap menyebut 2 ringgit untuk ongkosnya," ujar Jimmy, wartawan
Suara Karya.

Lumpuh di Perbatasan
Dalam perjalanan melintas dari Karang Unarang ke Sebatik pun, Malaysia
sudah menyergap diam-diam. Dengan teknologi informasi, Malaysia
berusaha meyakinkan dunia bahwa mereka menguasai wilayah sengketa.
"Digi Welcomes you to Malaysia. We wish you a pleasant stay! To make
alls dial, + (country code) ( area code) (phone number)," pesan ini
otomatis akan muncul di layar telepon selular ketika memasuki wilayah
Karang Unarang. Pesan itu datang dan pergi silih berganti dengan
operator selular Indonesia.
Ketika kita melihat tontonan televisi masyarakat di Nunukan atau
Sebatik, yang lebih mereka akrabi adalah siaran televisi Malaysia. Ini
tidak bisa disalahkan. Hampir sebulan ini pemancar UHF di sana tidak
lagi dihidupkan. Pasalnya, TVRI tidak memiliki dana untuk membeli
kebutuhan solar sebanyak 17 drum. Masri, penduduk Sebatik, mengatakan
untuk dapat menikmati TVRI harus menggunakan parabola seharga Rp 2
juta atau berlangganan televisi kabel.
"Siapa tahu mereka lebih mengenal Perdana Menteri Malaysia daripada
kepala daerahnya," seloroh Wakil Ketua Komisi I Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) Effendy Choirie usai mengunjungi Nunukan dan Sebatik,
minggu lalu. Terlebih ketika Effendy mendapatkan fakta bahwa kondisi
TVRI di Kecamatan Sebatik, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur
memprihatinkan.
Djamil, kameramen televisi yang sudah bekerja selama 18 tahun,
mengatakan di Nunukan terdapat dua pemancar TVRI dan tidak ada satu
pun pemancar televisi swasta. Pemancar di Nunukan berkekuatan 300 Watt
VHF sedangkan di Sebatik 1.000 Watt UHF. Sedangkan Radio dan
Televisyen Malaysia (RTM) kini berkekuatan 10.000 Watt. Siaran mereka
sangat jelas diterima di Nunukan bahkan Tarakan hingga Tanjung Selor,
Kalimantan Timur. Jarak yang bila ditarik garis lebih dari 100
kilometer dari Sebatik. Dengan hanya 300 Watt, TVRI hanya mampu
dinikmati dengan coverage area 10 kilometer. Rendahnya kekuatan
pemancar ini menyebabkan banyak daerah tidak bisa menangkap siaran TVRI.
"Secara informasi, kami sudah lama hilang. Jarang orang yang menonton
TVRI lagi. selain acaranya lebih banyak relay dari Jakarta,
tontonannya juga tidak variatif, lain dengan televisi Malaysia," ujar
Bambang Sugito, reporter TVRI yang sudah 23 tahun mengabdi di lembaga
penyiaran pemerintah tersebut.
Padahal, tidak hanya pada saat ini keberadaan televisi milik
pemerintah itu dibutuhkan. Sebagai televisi publik, stasiun televisi
tersebut wajib memberikan imbangan informasi pada masyarakat yang
selama ini banyak dibanjiri siaran stasiun televisi Malaysia.

Opini Publik
Bagaimana pun, media mempunyai peranan untuk membentuk opini publik,
bukan saja saat ketegangan terjadi di perbatasan Indonesia-Malaysia
ini. Tapi apa daya, akibat rendahnya kekuatan pemancar, banyak daerah
di perbatasan tidak bisa menangkap siaran TVRI.
"Alutsista TVRI sama pentingnya dengan alutsista TNI. TVRI dan RRI di
daerah perbatasan harus mendapat perhatian serius. Peran TVRI maupun
RRI sangat penting dalam memerangi informasi. Kasus Ambalat ini juga
harus menjadi momentum bagi pembenahan TVRI, RRI, dan televisi publik
di daerah-daerah perbatasan," lanjut Effendy.
Oleh sebab itu ke depan, TVRI maupun RRI di daerah-daerah perbatasan
harus mendapatkan perhatian lebih mengingat peran mereka sangat
penting dalam memerangi informasi. Dalam kondisi perang, fungsi radio
maupun televisi sangat dibutuhkan untuk pembentukan opini masyarakat.
"Alutsista (alat utama sistem persenjataan- red) TVRI itu tidak kalah
penting dengan alutsista TNI.
Padahal 20 tahun lalu yang terjadi adalah sebaliknya. Malaysia banyak
belajar dari Indonesia. Pelajar-pelajar Malaysia yang datang mencari
ilmu di Indonesia akrab dengan karya-karya Pramoedya Ananta Toer yang
sempat dilarang di Indonesia sebagai bacaan wajib. Mereka hafal
sajak-sajak Hamzah Fansyuri, Ali Haji, hingga Chairil Anwar yang
menggelora, kelembutan puisi Amir Hamzah, protes-protes Rendra dan
Taufiq Ismail. Mereka paham betul pesan-pesan yang disampaikan
roman-roman Hamka dan Sutan Takdir Alisyahbana.
Tapi 20 tahun lebih sudah berlalu. Malaysia tidak perlu lagi berguru
pada Indonesia. Wilayah perbatasan Malaysia sudah lebih dahulu
dibangun. Kinabalu dan Tawau, misalnya, sudah menjadi etalase negeri
tersebut di batas ujung negaranya. Sementara wajah Indonesia di
perbatasan belum banyak berubah.
"Pemerintah mendengung-dengungk an wilayah perbatasan akan dijadikan
teras bangsa. Tapi kenyatannya nol. Justru Malaysia yang sudah lebih
dahulu membangun. Kalau malam, kita melihat Malaysia penuh dengan
cahaya gemerlapan, sementara ketika mereka memandang perbatasan kita
yang tampak hanya kegelapan," kata Bambang.
Benarlah teguran dari Effendy Choirie bahwa alutsista TVRI dan RRI
tidak kalah penting dari alutsista TNI. Bila pemerintah tidak cepat
menyadari, masyarakat di Sebatik dan Nunukan barangkali akan semakin
akrab dengan semua yang berbau Malaysia. Akankah kita kehilangan lebih
banyak lagi dari masyarakat di perbatasan?
(SH/emmy kuswandari/sofyan asnawi)