Heritage Intelligence

Mendengar intelijen ingatan langsung tertuju kepada James Bond 007, CIA, KGB, dan Mossad. Institusi intelijen Negara yang bekerja dalam ketertutupan dan menyeramkan seperti kisah Victor Ostrovsky atau novel Body of Lies karya David Ignatius. Intelijen Benda Cagar Budaya (Heritage Intelligence) bukan merupakan pengenjawantahan dari Lembaga Intelijen Negara, melainkan pekerjaan penelitian dan pendokumentasian tentang keberadaan benda cagar budaya yang ada di Indonesia. Banyaknya peninggalan kekayaan artefak sejarah yang telah lenyap atau musnah, sehingga menciptakan kerugian besar hampir disetiap sektor baik dari Ilmu pengetahuan, sosial-budaya, ekonomi dan pertahanan keamanan Negara.
Ketidak berdayaan pembuktian kekayaan dan kerugian Negara tentang peninggalan sejarah, yang telah hilang maupun masih ada merupakan 'titik lemah' untuk dapat menjelaskan dan mempertanggung jawabkan kepada publik.
Sebagaimana contoh hancurnya bangunan di proklamasi, dimana potret nyata detik-detik bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Pertanyaan kerugian apa saja yang diciptakan dari kehancuran bangunan proklamasi tersebut? Ternyata ketika di 'bedah' anatominya sungguh membuat kepala cekot-cekot, dari sisi Ilmu pengetahuan bukti nyata keberadaan fisik bangunan sudah tidak ada. Di dalam ranah berbeda seperti contoh ketika pulau Sipadan dan Ligitan diakui oleh Mahkamah Internasional di Belanda, fisik bangunan yang terdapat dikedua pulau tersebut adalah milik Malaysia. Pada akhirnya secara de jure maupun de fakto pulau Sipadan dan Ligitan milik sah Malaysia.
Terperanjat bahwa eksistensi fisik bangunan bukan persoalan sederhana, cara pandang melihat fisik bangunan selama ini hanya dilihat dari 'kaca mata kuda' yang melulu diukur dari perspektif estetika dan ekonomis semata. Padahal sebuah bangunan diciptakan melampaui tapal batas estetika dan ekonomi, sebagaimana masyarakat Jawa membangun rumah Panggang pe Ceregancet mirip dengan jasad hidup yang tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan kehidupan penghuninya.

Database Benda Cagar Budaya

Film petualangan Indiana Jones, National Treasure, dan Da Vinci Code, membuat adrenalin penonton terpacu. Kecerdasan mengumpulkan serpihan informasi yang tercecer, sehingga teka-teki dapat terpecahkan dan disusun ulang. Sungguh sebuah inspirasi. Tersebar dan terseraknya artefak benda cagar budaya dari berbagai wujud, baik dari sisa-sisa peninggalan kerajaan Nusantara sampai peninggalan kolonial. Sampai saat ini masih dalam 'terawangan' sebagai analogi berjalan dikegelapan tanpa cahaya. Keberadaan UU.No.5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya dan UU.No.26 Tahun 2007 Tentang Tata Ruang masih dalam tahap konsepsional, belum memasuki 'ranah' operasional di dalam pelestarian benda cagar budaya. Inventarisasi pendokumentasiaan sebagai database keberadaan benda cagar budaya dari berbagai ragam bentuk, sampai saat ini masih belum dapat direalisasikan. Padahal database tersebut merupakan 'peta hidup' sebagai alat deteksi dini, perihal kelangsungan pelestarian benda cagar budaya di Indonesia. Karena bila terwujud pendokumentasian tersebut, publik dapat mengetahui dan menjaga pelestarian dari benda cagar budaya yang dilindungi oleh Negara. Fungsi database dapat memberikan suguhan informasi, berapa jumlah benda cagar budaya yang dimiliki seperti Gedung, Benteng, Rumah, Masjid, Gereja, Vihara, Pusaka dan lain sebagainya. Dengan adanya informasi keberadaan artefak sejarah ini, penghancuran dan pencurian dapat maksimal dihindari.
Pendokumentasian mempunyai peran ganda di satu sisi dapat menjadi alat kontrol, disisi lain merupakan alat sosialisasi dari Undang-Undang tentang Benda Cagar Budaya yang murah dan efektif kepada warga Negara.

Benda Cagar Budaya dan Keamanan Nasional

Perjuangan panjang Vasco da Gama (1497-1499) mencapai India melalui Tanjung Harapan telah berhasil gilang gemilang, dari keberhasilan ini maka terbuka lebar pintu masuk pelayaran bangsa Eropa ke Asia. Setelah Tanjung Harapan ditundukkan, kini giliran Melaka dikuasai Portugal (1511).
Di dalam kurun waktu 11 tahun tepatnya pada tahun 1522 ekspedisi Ferdinand Magellan dari Spanyol berhasil mencapai Maluku, selisih waktu 57 tahun (1522-1579) Francis Drake dari Inggris datang menyusul ke kewilayah 'surga rempah-rempah' Maluku. Berawal dari rempah-rempah nafsu serakah untuk menguasai dalam wajah kolonialisme tertancap di bumi Maluku, gesekan kepentingan untuk saling menguasai antara Portugal dan Spanyol di Maluku pada abad XVI tidak dapat terhindarkan. Maka keluar perjanjian Tordesillas (1494) dan menyusul perjanjian Saragossa (1527) antara Spanyol dan Portugal. Hal hasil dari perjanjian tersebut Portugal dapat menguasai Maluku.
Kilasan sejarah tersebut merupakan 'rekam jejak' kolonialisme pertama kali hadir di bumi jamrud khatulistiwa, taktik dan strategi kolonial di dalam melakukan infiltrasi sampai menuju invasi dapat ketahui. Fakta penjajahan dapat ditelusuri melalui artefak seperti Benteng Victoria (1605) yang dibangun Portugal di Maluku, berfungsi sebagai benteng pertahanan. Juga Benteng Oranje (1607) di Ternate yang dibangun oleh Cornelis Matelief de Jonge (Belanda). Benteng ini pernah dijadikan pusat pemerintahan tertinggi Hindia Belanda (Gubernur Jenderal) Pieter Both, Herald Reynst, Laurenz Reaal, dan Jan Pieterszoon Coen.
Dari Benteng pertahanan sampai rute perjalanan alur laut kolonial memasuki Nusantara, sebagaimana diketemukannya beberapa artefak kapal laut kolonial yang karam di dasar laut. Dan legitimasi Mahkamah Internasional tentang batas kedaulatan wilayah Negara Kesatuan republik Indonesia (NKRI), mengacu pada peninggalan tanah jajahan Belanda. Dengan demikian 'patok batas' secara fisik peninggalan Belanda, kedepan menjadi sesuatu yang vital di dalam pembuktian wilayah kedaulatan Negara.
Walaupun bukan konteks benda cagar budaya, tetapi masih dalam 'satu tarikan nafas' peristiwa dikuasainya Pulau Sipadan dan Ligitan oleh Malaysia, karena lemahnya bukti otentik di Mahkamah Internasional. Merupakan pertanda urgensinya fisik bangunan dalam wilayah hukum Internasional. Serta perluasan pembangunan fisik didaratan Singapura melalui 'pasir laut', hampir saja mencaplok kedaulatan Indonesia khususnya pulau Nipa dan pulau lainnya disekitar wilayah propinsi kepulauan Riau. Satu lagi peristiwa penghancuran taman didepan stasiun Beos kota, dimana wilayah itu merupakan 'ring satu' zona benda cagar budaya. Kepentingan bisnis lebih penting daripada keamanan. Pembangunan shelter busway dan terowongan untuk pedestrian mengakibatkan dampak buruk bagi bangunan tua disekitarnya. Tercatat sedikitnya empat bangunan tua yang langsung terkena dampak negative yang diakibatkan dewatering saat pembangunan terowongan tersebut, keseimbangan air tanah disekitar lokasi terganggu. Dan keempat bangunan tua mengalami penurunan pondasi, dan dampak negatif apa yang akan tercipta kedepan? Tidak ada yang dapat mengatahui dan diperlukan kajian mendalam. Sampai saat ini kejelasan tentang barang sitaan Negara dari hasil penangkapan eksplorasi kapal VOC yang karam secara illegal, berapa jumlah dan nilai harta karun tersebut dan disimpan dimana masih dalam misteri.
Saksi bisu benda cagar budaya ternyata faktual dapat 'berbunyi' dan berkata jujur tanpa ada rekayasa maupun kebohongan.

Intelijen Benda Cagar Budaya (Heritage Intelligence)

Cegah tangkal di dalam pelestarian benda cagar budaya sudah waktunya diperkuat, perhitungan secara matematis tentang kekayaan 'adi luhung' bangsa Indonesia belum dapat direalisasikan. Kemampuan IPTEK di dalam kalkulasi sumber daya alam (SDA) kekayaan laut sudah dapat dihandalkan di negri kepulauan ini, padahal dahulu sebelum teori tersebut ada masih merupakan sesuatu yang 'ghaib' diwilayah alam bawah sadar. Sosok manusia dapat terbang Gatot Kaca yang hanya ada dalam cerita pewayangan, tersentak bahwa cerita itu bukan mitos melainkan teknos dengan kemampuan di dalam rekayasa teknologi kapal terbang (Dirgantara Indonesia).
Eksistensi heritage intelligence di dalam melakukan penelitian dan pendokumentasian, serta dapat juga melakukan 'audit' benda cagar budaya, merupakan pemecah dari kebekuan dan kerapuhan mengatasi permasalahan benda cagar budaya. Generasi kedepan perlu diberikan 'menu' visualitas bukan virtualitas. Melalaui intelijen benda cagar budaya sesuatu yang absurd menjadi rasional, investigasi tapak tilas untuk dapat mengumpulkan kembali serpihan sejarah yang tercecer dan hilang. Seperti analogi menjahit pakaian yang sudah usang termakan jaman, memerlukan sentuhan ketekunan penjahit handal. Semoga.***

BAROUSAI, BARUS, ATAU FANSUR: KISAH CEMERLANG DARI BERIBU TAHUN SILAM

BAROUSAI, BARUS, ATAU FANSUR:

KISAH CEMERLANG DARI BERIBU TAHUN SILAM

Kota bandar di tepian pantai barat Sumatra yang berabad lalu menjadi sebuah perkampungan multi-etnis yang penuh guyub, sarat daya tarik bagi para pedagang di hampir seluruh penjuru bumi, juga menjadi pintu masuknya berbagai peradaban dan agama-agama besar di bumi Nusantara itu kini telah sepi.

BARUS saat ini hanya sebuah ibukota Kecamatan, di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatra Utara. Posisinya berada di pinggir pantai barat Sumatera, sekitar 60 km sebelah utara Sibolga, atau sekitar 414 km dari Medan. Tidak ada yang istimewa. Begitu juga dengan Desa Lobutua, sekitar 4 km ke arah barat dari Barus. Juga layaknya sebuah desa, sepi. Meskipun sesekali para peziarah datang silih-berganti, menapaki sejarah sebuah kota banda yang jauh di awal abad masehi pernah begitu cemerlang dan menggemparkan sekujur bumi.

Dan boleh jadi, Barus adalah satu-satunya kota yang tercatat di dalam buku yang terbit di awal masehi, sehingga menempatkannya sebagai kota tertua di bumi Nusantara. Adalah Claudius Ptolomaios[1], seorang geograf Yunani yang dalam bukunya dari abad ke dua Masehi, Geographike Hyphegesis menuliskan nama negeri Barousai di Chryse Chora (Pulau Emas) yang antara lain oleh van der Meulen disimpulkan sebagai Sumatra[2].

Tapi apa gerangan yang menjadikan kota bandar ini begitu mempesona orang Yunani, China, India, dan bahkan juga para Pharao di Mesir kuno?

Jawabnya tak lain adalah kapur barus (bhs Belanda: kamfer, dan mungkin dari kata kapur yang diucapkan kofur oleh bangsa Arab).[3] Konon, kapur barus asal kota barus inilah yang paling banyak dicari karena kualitasnya yang terbaik, paling laku dan harganya kurang lebih 8 kali lebih mahal daripada kapur-kapur barus asal tempat lain[4]. Dalam catatan pelancong Italia, Marco Polo bahkan disebutkan bahwa, harga kapur barus kala itu setara dengan harga emas dengan berat yang sama[5].

Seorang Belanda pernah menulis bahwa kemenyan dari Barus, telah dipakai sebagai salah satu bahan mengawetkan (membalsem) mayat raja-raja di Mesir sebelum Masehi[6]. Jika dugaan ini benar, maka berarti kota bandar Barus ini sudah ada sejak 5.000 tahun SM. Perkiraan akhir itu, didasarkan pada temuan bahan pengawet dari berbagai mummy Fir'aun Mesir Kuno salah satu pengawetnya menggunakan kanper atau kapur Barus. Sejarawan era kemerdekaan Moh. Yamin, bahkan memperkirakan bahwa, perdagangan rempah-rempah dan tentu saja kamfer, sudah dilakukan pedagang Nusantara sejak 6.000 tahun lalu ke berbagai penjuru dunia.

Hasil penelitian Innis Miller terhadap naskah Historia Naturalis karya Plinius di abad pertama juga sudah menunjukkan bahwa, para pedagang Nusantara pun ternyata sudah menjajakan komoditas mereka sampai ke Asia Barat dan Afrika Timur sejak abad permulaan Masehi[7]. Sementara Prof. Kern[8] pernah menulis bahwa Kota “P’o-lu-chi” yang dimaksud I Tsing di abad ke-7, tidak lain dari Barus[9]. Seorang penyair Arab sebelum Islam, Amru al-Qais (meninggal tahun 530 Masehi), sangat memuji keharuman kafur dalam syair-syairnya[10].

Begitu pentingnya kota Barus ini—mungkin bisa disamakan dengan Paris pada abad modern yang terkenal dengan inovasi parfumnya—maka sejak zaman dulu dalam dunia dagang telah dikenal nama-nama Baros, Balus, Pansur, Fansur, Pansuri[11], Kalasaputra[12], Karpura-dwipa, Barusai, Waru-saka dan lain-lain.

Dan tentu, seperti kata pepatah, ada gula ada semut. Pesona kapur barus dari selatan ini menggoda banyak pendatang. Sebagaimana dicatatan Ptolomaios, selain para penjelajah dari Yunani, juga datang pedagang dari Venesia, India, Arab dan Tiongkok. Selain itu, sekelompok penyebar ajaran Kristen Sekte Nestorian dari Konstantinopel, pusat Kerajaan Byzantium Timur, juga menjejakkan kakinya di Barus. Kelompok itu diperkirakan datang sekira tahun 600 M dan mendirikan gereja pertama di Desa Pancuran, Barus.

Dewan Gereja-gereja di Indonesia juga memercayai sejak tahun 645 Masehi di daerah Barus telah masuk umat Kristen dari sekte Nestorian. Keyakinan tersebut didasarkan pada buku kuno tulisan Shaikh Abu Salih al-Armini. Sementara itu, penjelajah dari Armenia Mabousahl mencatat bahwa pada abad ke-12 telah terdapat Gereja Nestorian.

Lalu datanglah para pedagang Arab memasuki Barus sekira 627-643 M atau sekitar tahun 1 Hijriah, dan menyebarkan agama Islam di daerah itu. Di antaranya Wahab bin Qabishah mendarat di Pulau Mursala pada 627 M. Ada juga utusan Khulafaur Rasyidin, bernama Syekh Ismail akan ke Samudera Pasai dan singgah di Barus, sekira tahun 634 M. Dan sejak itu pula, tercatat bangsa Arab (Islam) mendirikan koloni di Barus. Bangsa Arab menamakan Barus dengan sebutan Fansur atau Fansuri, misalnya oleh penulis Sulaiman pada 851 M dalam bukunya "Silsilatus Tawarikh."

Kedatangan bangsa Arab yang kemudian menyebarkan agama Islam itu juga disebutkan dalam berita-berita Cina, Hsin-Tang-shu[13] (Catatan Dinasti Tang, 618-907), dan Chu-fan-chi[14] (Catatan Negeri-negeri Asing) yang ditulis Chau Ju-kua pada tahun 1225. Di dalam dua kronik Cina itu banyak bercerita tentang Ta-shi, istilah Cina untuk menyebut Arab. (Chu-fan-chi menerangkan bahwa Ta-shi mempunyai seorang Buddha (maksudnya Nabi) yang bernama Ma-ha-mat (Muhammad). Dalam sehari mereka lima kali sembahyang, dan setiap tahun berpuasa selama sebulan penuh. Dinasti Ta-shi ada dua macam, yaitu white-robed Ta-shi (Arab berjubah putih) atau Pon-ni-mo-huan (Bani Marwan, atau Bani Umayyah), serta black-robed Ta-shi (Arab berjubah hitam) yang didirikan raja A-po-lo-pa (Abul-Abbas)[15]. Pada tahun 651 Masehi, raja Ta-shi (Arab) bernama Han-mi-mo-mi-ni mengirimkan utusan ke istana Cina[16]. Hampir dapat dipastikan bahwa nama Han-mi-mo-mi-ni dalam ucapan Cina ini adalah untuk Amir al-Mu’minin, gelar resmi para khalifah Islam, dan “raja Ta-shi” yang mengirimkan utusan itu adalah Khalifah `Utsman ibn Affan yang memerintah dari tahun 644 sampai 656. Hsin-Tang-shu mencatat bahwa pada tahun 674 terdapat pemukiman pedagang Ta-shi (Arab) di Po-lu-shih, daerah pantai barat Sumatera.[17]

Tentu, dapat dibayangkan betapa makmurnya kota Barus pada awal abad masehi ini, dengan penduduk yang sebagian besar terdiri atas kaum pedagang. Pertanyaannya kemudian, siapakah yang menggerakkan semua perdagangan hingga jauh ke negeri seberang itu?

Seorang bekas kontrolir Belanda, G.J.J. Deutz, sewaktu bertugas di Barus,[18] menulis bahwa menurut rakyat setempat di Desa Lobutua pernah didapat penduduk sebuah batu bertulis pada dua bagian. Tetapi sayang, batu itu pada tahun 1857 dipecahkan oleh Raja Barus bernama Mara Pangkat. Pada tahun 1872 Deutz banyak menemukan pecahan batu peninggalan zaman Hindu yang telah dilupakan orang, telah berlumut. Dan baru pada tahun 1932, prasasti itu diterjemahkan Profesor Nila-kanti Sastri dari Universitas Madras.[19]

Prasasti itu menyebutkan bahwa paling sedikit sejak abad ke-11, telah bermukim di kota Barus sebuah koloni bangsa Tamil. Menurut batu Lobutua itu, mereka tergabung dalam sebuah perusahaan bernama “kelompok 500″ yang tidak asing lagi bagi orang-orang India waktu itu. Perusahaan swasta yang mereka wakili, merupakan perusahaan dagang cukup kuat, merdeka dalam tindakan dan tidak gampang tunduk pada salah satu raja yang berkuasa di sekitar Barus. Mereka yang berdiam di Barus inilah yang membeli beberapa hasil dari rakyat—utamanya kapur barus—untuk diekspor ke luar negeri.

Menurut Gnillout Claude[20], Barus adalah sebuah kota kuno di pantai barat Propinsi Sumatera Utara yang terkenal di seluruh Asia, sejak lebih dari seribu tahun, berkat hasil hutannya. Selain itu, nama Barus juga muncul dalam sejarah peradaban Melayu dengan Hamzah Fansuri, penyair mistik terkenal yang baru-baru ini ditemukan kembali makamnya di Mekkah. Sementara itu, tim arkeolog dari Ecole Francaise D’extreme-Orient (EFEO) Perancis bekerjasama dengan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua-Barus, menemukan bahwa pada sekitar abad 9-12 Masehi, Barus telah menjadi sebuah perkampungan multi-etnis dari berbagai suku bangsa seperti Arab, Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu, dan sebagainya. Tim tersebut juga menemukan banyak benda-benda berkualitas tinggi yang usianya sudah ratusan dan bahkan ribuan tahun dan ini menandakan dahulu kala kehidupan di Barus itu sangatlah makmur.

Dan semua kemakmuran itu berkat aroma kapur barus yang diolah dari kayu kamfer. Hanya kini, komoditi yang begitu mempesona di masa silam itu, hingga konon juga dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5. 000 tahun sebelum Masehi itu, kini sudah lama tidak lagi diproduksi

Di komplek makam Syekh Machmud yang tertata rapi dan terletak di Bukit Papan Tinggi dan memang betul-betul tinggi sehingga harus melewati 710 anak tangga ini, menggantung sebuah tulisan, “Beri Salam dan Alas Kaki dibuka.” Seakan mengakhiri sebuah kisah perjalanan sebuah kota bandar di tepian pantai barat Sumatra yang berabad lalu menjadi sebuah perkampungan multi-etnis yang penuh guyub, sarat daya tarik bagi para pedagang di hampir seluruh penjuru bumi, juga menjadi pintu masuknya berbagai peradaban dan agama-agama besar di bumi Nusantara itu kini telah sepi.**



[1] Barus telah disebut oleh Ptolomeus kira kira tahun 150 Masehi. (Kozok, 1991, 14)

[2] W. J. van der Meulen, “Suvarnadvipa and the Chryse Chersonesos”, Indonesia, 18, October 1974, h. 1

[3] Encyclopdeia van Nederlandsch Indie

[4] Ada tiga jenis kapur barus pada saat itu yaitu: Kapur barus dari Kalimantan dan Sumatera (Dryobalanops aromatica), Kapur barus dari China dan Jepang (Cinnamomum Camphora) yang banyak beredar dipasaran dan yang ketiga adalah Blumea balsami- fera, yang diproduksi di China dengan nama kapur barus Ngai. Harga dari kapur barus asal Sumatera ini kira-kira 138 kali lebih mahal dari kapur barus China dan Jepang. (Hobson-Jobson, Glossary of Anglo-Indian Words and Phares)

[5]Travel of Marco Polo,” Buku 3 Bab 9 dan Buku 2 Bab 8 by Marco Polo dan Rustichello of Pisa

[6] Sumatra Benzoe, Disertasi P.H. Brans

[7] J. Innis Miller, The Spice Trade of the Roman Empire, Oxford University Press, London, 1969, terutama Bab “The Cinnamon Route”

[8] Verspreide Geschriften No VI, halaman 15

[9] Po-lu-chi atau Po-lu-suo terkadang sering keliru diterjemahkan dalam text China dengan Bo-si atau Persia. Barus ini juga sering disebut sebagai Bon-cu, Bian-shu atau Bin-cuo. (Roderich Ptak, Possible Chinese Reference to the Barus Area (Ming to Tang) in Claude Guillot (ed.) Histoire de Barus, Sumatera: Le Site de Lobu Tua I, Etudes et Documents, Paris, Cahier d’Archipel 30, 1998, pp. 119-138)

[10] Oliver W. Wolters, Early Indonesian Commerce, Cornell University Press, Ithaca, New York, 1967, terutama Bab 8

[11] Dari Desa Pansur sedikit di utara Barus

[12] Dari kata Kalasan, daerah penghasil kapur barus antara Kota Barus dan Sungai Chenendang

[13] Diterjemahkan oleh Paul Pelliot, “Deux Itineraires de Chine en Inde a la Fin du VIIIe Siecle”, BEFEO, 4, 1904, hal. 132-413

[14] Diterjemahkan oleh Friedrich Hirth dan W. W. Rockhill, Chau Ju-kua: His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries, entitled CHU-FAN-CHI, Imperial Academy of Sciences, St.Petersburg, 1911

[15] Lihat: F. Hirth dan W.W.Rockhill, hh. 114-124

[16] Berita ini tercantum dalam kronik Tung-tien buku 193 nomor 22b. Lihat: F.Hirth dan W.W.Rockhill, h. 119

[17] Paul Pelliot, h. 297. Lihat juga W. P. Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources, Bhratara, Jakarta, cetak ulang 1960, h. 14.

[18] Barus, G.J.J. Deutz, Tijdschr No. 22 tahun 1875

[19] A Tamil Merchant-guild in Sumatera oleh Prof. N. Sastri dalam Tijdschr No 72 tahun 1932

[20] “Lobu Tua Sejarah Barus”, Obor, 2002

Sabtu, 13 September 2008

Arti Penting Wilayah Perbatasan Kalimantan
Minggu, 20 Juli 2008


1. Umum.
Perbatasan daerah Kalimantan dengan daerah serawak-Sabah membentang sepanjang kurang lebih1.824 kilometer dari barat menuju timur.
Wilayah perbatasan merupakan sumber masalah atau dapat menjadi pemicu konflik antara dua negara yang bertetangga seperti yang terjadi di India dan Pakistan atau di negara-negara yang mempunyai wilayah perbatsan darat dengan negara lain, mengingat perbatasan merupakan bermulanya kedaulatan negara yang harus diakui oleh negara tetangganya. Pengakuan kedaulatan inilah yang bisa menjadi pemicu konflik karena tidak jarang wilayah yang berbatasan suatu negara bernilai strategis juga bagi negara tetangganya, baik ditinjau dari aspek politik dan ekinomi ataupun terjadinya pelanggaran perbatasan dengan berbagai sebab dan berbagai kepentingan.
Demikian juga wilayah perbatasan Kalimantan dengan Serawak dan Sabah bisa juga menjadi pemicu konflik antara kedua negara, bila tidak ditangani secara serius melalui pembangunan wilayah perbatasan yang berkesinambungan mengingat wilayah perbatasan ( Kalbar dan Kaltim ) memendam beberapa kerawanan sebagai akibat dari bentuk geografi, demografi dan kondisi sosial yang memiliki banyak kesulitan.
Kodam VI/Tpr sesuai dengan tugas pokoknya sebagai jabaran dari tugas TNI sesuai Tap MPR VII/2000 perlu mewaspadai daerah perbatasan mengingat pengalaman selama ini bahwa upaya represif akan lebih mahal dan sulit bila dibandingkan dengan upaya preventif oleh karena itu melalui tulisan yang bertepatan dengan hari ulang tahun HUT ke 52 Kodam VI/Tpr kami mencoba untuk menggugah perhatian semua elemen bangsa yang ada di Kalimantan agar mempunyai Visi yang sama tentang pentingnya pembangunan wilayah perbatasan ditinjau dari aspek pertahanan, mengingat masalah pertahanan negara merupakan mesalah kita semua dan bukan merupakan dominasi TNI saja.


2. Kondisi
Kondisi wilayah perbatasan pada umumnya wilayah perbatasan Kalimantan Sabah dan Serawak muncul sebagai akibat keterbatasan kondisi geografi, demografi dan kondisi sosial masyarakat yang menyebabkan pembangunan wilayah perbatasan tertinggal dibandingkan wilayah lainnya di Kalimantan. Bila ketertinggalan ini tidak segerah diatasi, maka jurang pemisah akan semakin lebar dan dapat diumpamakan kemajuan wilayah perbatasan menurut deret hitung sedangkan kemajuan wilayah lainnya menurut deret ukur.
Adapun permasalahan yang dialami sekarang antara lain :
a. Masalah kemiskinan. Kemiskinan merupakan masalah sosial yang tertua di dunia seperti perjudian dan prostitusi, boleh dikata sejak manusia mengenal kebutuhan ekonomi maka masalah kemiskinan selalu diderita oleh manusia yang tingkat peroduksinya rendah termasuk karena letak geografinya seperti di desa perbatasan di Kalbar dan Kaltim terutama yang di pedalaman. Gula pasir yang harganya umumnya Rp. 3.800,- bisa menjadi Rp. 10.000,- dan lain-lain. Hal ini disebabkan keterbatasan alat transfortasi berdasarkan penelitian kemiskinan yang ada pada masyarakat desa-desa perbatasan lebih banyak berkaitan dengan ketidak seimbangan antara unsur potensi alam dengan kemampuan sumber daya manusia (SDM) atau adanya hambatan eksternal dan internal. Hambatan Eksternal biasanya disebabkan karena tidak berdayaan masyarakat untuk memanfaatkan potensi alam karena tidak adanya sarana tranfortasi untuk memasarkan hasil pertaniannya. Alasan yang satu inilah juga yang menyebabkan maraknya pencurian kayu diperbatasan yang dilakukan masyarakat setempat dan hasilnya dijual ke Malaysia mengingat transfortasi ke Malaysia lebih murah dibandingkan bila kayu itu akan dijual kewilayah lain di Kaliamantan. Sedangkan hambatan yang bersifat Internal adalah rendahnya kualitas SDM termasuk budaya gampang menyerah menyebabkan masyarakat cenderung malas bekerja dan terjadilah kemiskinan kultural yaitu dimana kemiskinan itu terjadi bukan karenan tidak adanya sumber daya alam tetapi karena masyarakatnya malas bekerja.
Secara umum sebenarnya sumber daya ekonomi di wilayah perbatasan sangatlah besar dengan jumlah penduduk yang relatif sedikit dan lahan pertanian yang luas. Iklim yang mendukung seharuanya mampu dipergunakan untuk menyejahterakan masyarakat perbatasan dan tentunya diperlukan kekuatan dari luar untuk menopang yaitu peran pemerintah dan masyarakat lainnya.

b. Masalah kualitas SDM. Rendahnya kualitas SDM yang sangat dipengaruhi oleh daya kreasi manusia di daerah perbatasan sangat rendah mengingat daerah perbatasan berada jauh dari pusat-pusat pendidikan dan pelatihan, maka sedikit sekali anggota masyarakat yang memiliki kesempatan untuk meningkatkan kualiatas sumber daya.
Rendahnya kualitas SDM secara otomatis mempersempit daya kreasi masyarakat untuk menggali potensi-potensi ekonomi bagi kesejahteraan hidupnya rendahnya kualitas SDM berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat, rendahnya kesejahteraan masyarakat juga akan berdampak pada pendidikan, kesehatan dan prodoktivitas sehingga merupakan mata rantai yang tidak berujung.


c. Masalah Geografi. Secara Geografi kondisi di desa-desa perbatasan kurang menguntungkan selain terpencil sehingga sulit dijangkau oleh transportasi darat dan air. Biasanya topografi tanah di desa perbatasan juga kurang menguntungkan sehingga wilayah perbatasan sangat lambat untuk berkembang. Rencana pembuatan jalan yang sejajar sepanjang wilayah perbatasan terkendala oleh karena kondisi medan, meskipun tidak 100% benar mengingat mengapa Malaysia dapat membuat jalan yang sejajar dengan perbatasan sedasngkan kita tidak.
Kondisi ini membuat wilayah perbatasan terisolasi dari daerah lain. Ketertutupan ini juga berdampak pada kualitas SDM dan permasalahan selama ini terjadi di wilayah perbatasan yang biasanya kita hanya dapat menyalahkan tanpa dapat memberikan solusinya.

3. Permasalahan.
Permasalahan yang timbul sebagai akibat kondisi di wilayah perbatasan bila ditinjau dari aspek pertahanan yang bersumber pada kondisi wilayah perbatasan adalah :

a. Rendahnya rasa kebangsaan masyarakat perbatasan, rendahnya rasa kebangsaan ini disebabkan karena domininannya pengaruh Ringgit terhadap Rupiah, dominannya produk negeri seberang dibanding produk dalam negeri serta kuatnya pengaruh sosial budaya negeri Malaysia seperti penggunaan bahasa, derasnya siaran TV Malaysia dibandingkan dengan siaran TVRI Jakarta serta tingkat kemajuan yang timpang antara desa-desa di wilayah Malaysia dan di Indonesia.
Rendahnya rasa kebangsaan ini bisa berakibat pada rendahnya pemahaman teritorial masyarakat perbatasan. Terbukti banyknya penduduk wilayah perbatasan yang berusaha mendapat Identity Card ( identiti kad ) Malaysia agar diakui sebagai warga negara Malaysia dibandingkan dengan jarangnya penduduk Malaysia yang berusaha mendapatkan KTP agar diakui sebagai warga negara Indonesia.
Rendahnya kualitas kebangsaan ini juga disebabkan oleh banyknya pelintas batas terutama dari Indonesia ke Malaysia meskipun diakui bahwa Malaysia pelintas batas ini sulit untuk dihapus mengingat beberapa alasan antara lain karena sulitnya mencari lapangan kerja di Indonesia usaha perdagangan dimana cenderung masyarakat perbatasan menjual dan mebeli produk Malaisia karena lebih murah dibandingkan harus memberi di wilayah lain di Kalimantan, maupun kegiatan-kegiatan anjangsana kekeluargaan mengingatk masyarakat yang berbatasan tentunya dulu merupakan satu rumpun keluarga.
Saat ini pelintas batas semakin bertambah marak dan lebih banyak jumlahnya yang ke Malaysia dibandingkan ke Indonesia dan lebih memprihatinkan lagi mereka tidak menggunakan prosedur hukum yang berlaku sehingga secara hukum mereka sangat lemah dan sangat dirugikan teritama bila ada sengketa antara majikan dan TKI. Bahkan disinyalir banyak pengusaha Malaysia yang memanfaatkan kelemahan ini, untuk menekan ongkos produksi, tidak membayar gaji dan lain-lain, sedangkan buruh tidak berani menentukan karena takut ditangkap polisi mengingat kehadirannya tidak berijin atau pendatang tanpa ijin (PTI), seperti kasus yang terjadi 2-3 bulan yang lalu dimana Malaysia memulangkan PTI yang jumlahnya satusan ribu dan diantaranya melalui Nunukan dan Entekong yang akhirnya membuat repot Pemda setempat karena harus memulangkan kedaerah asal TKI yang tentunya memakan ongkos yang mahal. Mungkin akan lebih mahal bila ongkos yang digunakan untuk memulangkan TKI ini digunakan untuk membangun wilayah perbatasan, sehingga tidak perlu lagi tenaga kerja Indonesia ke Malaysia karena diwilayah perbatasab juga tersedia lapangan kerja seperti perkebunan dan lain-lain seperti diperbatasan Malaysia.
Melihat kondisi diatas tentunya akan berakibat terjadinya degragasi nilai kebangsaan pada masyarakat perbatasan, yang bila dibiarkan berlarut-larut akan berdampak buruk pada ketahanan masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

b. Dalam kehidupan bernegara aspek pertahanan merupakan faktor yang sangat hakiki dalam menjamin kelangsungan hidup negara tersebut. Pembukaan UUD 1945 menetapkan bahwa pemerintah negara Republik Indonesia berkewajiban untuk melindungi bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Berdasarkan ketentuan tersebut ditarik kesimpulan bahwa melindungi dari setiap bentuk ancaman pada hakikatnya merupakan salah satu fungsi pemerintah negara, oleh karena itu masalah pertahanan negara diselenggarakan oleh pemerintah secara dini dengan sistem pertahanan negara melalui usaha membangun dan membina kemampuan dan daya tangkal negara.
Dengan melihat kondisi wilayah perbatasan dan skanario ancaman terhadap Pulau Kalimantan dimana salah satunya menjadikan Kalbar atau Kaltim sebagai sasaran untuk melindungi gerakan musuh pada corong darat maupun tengah atau menjadikan Pulau Kalimantan sebagai Staging Area untuk menguasai Pulau Jawa dan Sulawesi maupun Sumatera, maka untuk kepentingan pertahanan pulau Kalimantan perlu dibuat klasifikasi daerah yang meliputi daerah tempur,daerak komunikasi dan daerah pangkal perlawanan yang tentunya berdampak pada kebijakan pembangunan daerah ( Perbangda Provinsi dan Kabupaten perbatasan ) dan salah satu kunsekuensinya dengan membangun wilayah perbatasan dengan tujuan :
1) Menegakkan kedaulatan. Penegakan kedaulatan negara diperbatasan sedangkan dan terus dilakukan oleh Kodam VI/Tpr yang saat ini menempatkan pos pengamanan perbatasan dengan kekuatan 2 Batalyon yang terbagi dalan 112 pos, 3 diantaranya pos bersama dengan Tentara Darat Malaysia (TDM), disamping penegakkan kedaulatan tugas satuan ini juga harus mampu untuk meningkatkan wawasan masyarakat tentang kehidupan berbangsa serta mengembangkan daya tahan masyarakat untuk menjadi kekuatan pertahanan serta melindungi segenap kekayaan alam dari rong-rongan dan pencurian pihak luar.

2) Meningkatkan kesejahtraan masyarakat. Pengembangan kesejahtraan masyarakat dengan mendayagunakan potensi alam secara maksimal perlu diimbangi dengan peningkatan SDM, dengan salah satu cara pengembangan agrobisnis disepanjang perbatasan yang disamping serbagai Safety Belt juga sebagai tanda batas hidup sehingga tidak mudah hilang dan bergeser seperti yang terjadi selama ini.

3) Mengembangkan Infastruktur wilayah. Pengembangan Infastruktur wilayah selain sangat bermanfaat bagi satuan TNI AD dalam manuver di daerah tersebut juga sangat bermanfaat bagi pengembangan masyarakat seperti yang telah diuraikan di depan, termasuk pengembangan sarana penyiar RRI maupun TVRI sehingga pengaruh siaran dari negara luar dapat dieliminir. Infastruktur wilayah yang perlu dikembangkan berupa jalan yang menghubungkan antar desa, antar Kecamatan dan antar Kabupaten baik yang berada di Kalbar maupun di Kaltim serta jalan perbatasan yang sejajar dengan garis perbatasan untuk memudahkan pengawasan dan pengendalian perbatasan.

4) Pengembangan pemukiman penduduk dengan cara Transmigrasi sehingga pemukiman ini dapat menjadi titik kuat dalam rangka pengawasan dan penguasaan wilayah jarak antara pemukiman perkisar sekitar 10 kilometer sehingga memudahkan dalam pengorganisasian dan pendayagunaan untuk kepentingan pertahanan disamping juga kemudahan untuk pembinaannya serta sebagai sara deteksi dan penangkal awal terhadap setiap ancaman terhadap kedaulatan.

4. Dalam era globalisasi perdagangan bebas (AFTA 2003) daerah perbatasan utara Kalimantan akan memiliki arti penting karena menurut pengaman dan pakar ekonomi pada masa mendatang akan terjadi pergeseran perdagangan atlantis ke ara Pasifik. Ini berarti pelabuhan-pelabuhan bagian utara Kalimantan akan memainkan peranan yang penting dalam pendistribusian barang ke pasar Internasional.
Disisi lain pada masa mendatang komoditas perdagangan nonmigas akan menjadi promadona menggantikan komoditas migas yang selama ini dikuras habis-habisan. Dengan kata lain sudah saatnya 2 Provinsi di Kalimantan yang mempunyai wilayah perbatasn dengan Malaysia mulai memprioritaskan pembangunan wilayah perbatasan yang secara tidak langsung disamping untuk menyejahterakan masyarakat juga akan meningkatkan kemampuan pertahanan negara yang dalam bab III pasal 7 UU No. 3 tahun 2002 disebutkan bahwa komponen pertahanan negara ini terdiri dari komponen utama, komponen pendukung dan cadangan, dan dalam hal ini pembangunan wilayah perbatasan secara tidak langsung akan mengingatkan kemampuan komponen pendukung dan cadangan serta memberikan kemudahan komponen utama dalam menegelola wilayah perbatasan untuk kepentingan pertahanan.

0 komentar: